Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seni dan Penguasa, Sebuah Patronase Menggelisahkan

Oleh Januario Gonzaga 
Berkarya di Paroki Santa MariaAssumpta, Kupang
 
 Mungkin karena sejarah sastra memiliki tokoh besar Sartre atau Nietzsche atau Camus, maka pemerintah berdingin-dingin saja sikap menanggapi mereka yang berkoar-koar bagai martir sastra. Bapak Yohanes Sehandi sebagai tokoh yang tak kenal lelah mempropagandakan paradigma masyarakat tentang pentingnya sastra, juga terbentur pada dukungan pihak ini. Karena itu, saya merasa perlu mengikutsertakan pemerintah yang tertidur pulas pada bantal-bantal gelisah atas kritik pedas Arswendo Atmowiloto di Rezim Orde Baru, atau cacimaki puitik Mochtar Lubis buat para birokrat.
Perkenalan dengan pemerintah atau lebih tepat penguasa adalah mencabut hak berandai tentang kaum sastrawan yang ke kiri-kirian. Dengan semikian, Albert Camus, sang peraih nobel sastra yang mendeklarasikan pembangkangan melalui novelnya the outsider menjadi gerbang yang membawa masuk segenap aspirasi martir-martir sastra di NTT ini. Kalau penguasa berkehendak, maka sastra bisa menjadi alat untuk merintis jalan bagi diskusi-diskusi politik yang bersifat ideologis serta mengantarai dialog antara kaum penguasa dan kaum marginal. Demikianlah sebenarnya sastra pemberontakan mendapatkan lagi licensia poetica-nya yang murni sebagai kata yang adalah palang pintu nurani bangsa.
Namun, pertama-tama, mengutip pendapat guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang dilontarkan dalam Seminar Internasional Kesastraan bertema “Sastra dan Negara,” penguasa berpetan penting untuk membantu perkembangan kesusastraan dengan memberikan keleluasaan bagi karya para sastrawan. Keleluasaan itu diharapkan akan bisa membuka peluang kemunculan karya-karya sastra yang berharga. Kelak karya itu akan menjadi kekayaan yang bisa diwariskan pada anak cucu. Jadi, penguasa bukannya mendikte gerak sastrawan, melainkan memberikan dukungan atau (menjadi) patronase.

Aktor Seni dan Fakta
            Akhir-akhir ini meledak hasrat sejumlah anak muda Kota Kupang untuk berkumpul dan merakit ide-ide kreatif. Di sejumlah jalan Kota Kupang kita menemui aktivitas remaja-remaja dengan goyangan suffle dan dance. Di taman kebanggaan pemerintah, Taman Nostalgia, berkibar bendera dari rumah-rumah sastra yang ada di Kota Kupang, khususnya. Sering pada malam-malam minggu selalu terisi panggung rakyat di Taman Nostalgia. Dan yang paling berkesan ialah aneka atraksi panggung yang dipertunjukkan oleh kelompok sastra di Kota Kupang.
            Pada tahun 2007 lalu, Komunitas Utan Kayu menggelar Seminar Seni Pertunjukan Indonesia Kini dengan tema “Masalah Produksi dan Capaian Estetik” di Teater Utan Kayu, Jakarta. Iming-iming komunitas ini hanyalah untuk mengkritik ribuan seniman kota yang semakin minim produksi seninya. Persoalan ini tentu jauh berbeda dengan kita di NTT. Selain karena persentuhan yang terlambat dengan seni pertunjukan, juga pemilik dan peminat seni bersastra minim. Di kota kita ini, gelora produksi seni semakin tinggi, namun jumlah komunitas belum sebanyak yang diharapkan. Beberapa komunitas yang berandil pada mati-hidupnya seni sastra dan seni pertunjukan tercatat, antara lain Komunitas Rumah Poetica, Komunitas Sastra Ledalero, Laskar Sastra Kupang, Komunitas Sastra Seminari Tinggi Santo Mikhael, Rumah Teater SMA N 1, Komunitas Sastra Seminari Menengah Santo Rafael, dan sejumlah pemerhati sastra  yang kusebut sebagai martir sastra.
            Krisis terhebat di Provinsi Cendana ini adalah fluktuasi responsif dari masyarakat dan pemerintah atas karya seni. Sampai denga saat ini belum ada satu wadah yang merangkum gerak para seniman di kota, selain komunitas-komunitas dadakan demi sambut-menyambut sebuah perayaan  kenegaraan atau kunjungan tamu Negara dan partai. Hal memilukan dibuat oleh pemerintah ketika menggunakan atribut-atribut seni untuk menghasilkan uang, untuk menarik para turis, untuk hiburan saat upacara bendera, dan untuk hiburan pada pertemuan-pertemuan. Sungguh malang nasib para seniman. Harga yang dibayar adalah “harga lelucon,” harga yang tidak manusiwi diterima atas keringat dan air mata.
            Mengapa pelaku dan karya seni tunduk saja pada kaum penguasa? Apakah Anda setuju saja ketika melihat sebuah tarian Jai yang susah-susah dipentaskan lantars dibayar dengan seratus lima puluh ribu dengan alasan untuk uang make-up dan bemo? Apakah Anda puas karena dengan demikian Anda telah dihargai? Oh, tidak! Saat kematian seni di kota kita semakin mendekat sebelum ia tumbuh dewasa. Kaum tiran sedang memonopoli laju seniman.
            Aktor seni di lain sisi, juga boleh dibilang, belum tiba pada kesadaran akan entitas dari estetika seni yang utuh. Memang ini secara in se, bukan sepenuhnya kesalahan aktor seni. Perilaku ini tumbuh oleh sebab orientasi seni yang dialihfungsikan oleh kaum kita yang pongah dan suka menulis dengan mulutnya sendiri dan senang memuaskan keinginannya. Dalam opininya Dr. phil Norbertus Jegalus, MA di harian Flores Pos (24/11/2011), beliau sempat menyinggung hubungan antara sastra dan kapitalis. Saya setuju dengan pendapat doktor filsafat tersebut. Memang secara tak disengajai, kita yang berkehendak terlibat dalam peran seni apa saja, sedang dimanipulasi oleh penguasa dan kaum bermodal (kapitalis). Menurut saya, yang paling mengalami tragedi ini sebagai bukan sebuah tragedi adalah kelompok-kelompok “paduan suara.” Hampir pasti biaya hidup dan anggaran rumah tangga menjadi dasar sebelum mereka membunyikan notasi-notasi dari sebuah partitur teks. Sebuah pencaplokan.

Penguasa, Cobalah Berandil!
            Seniman itu seakan-akan adalah “pelacur suci,” seperti film dokumenter Prostitutes of God yang dikarang oleh mantan wartawan The Independent, Sarah Harris. Pelacur suci adalah sekumpulan pelacur kuil di India, Devadasi, yang adalah gadis-gadis muda yang dipersembahkan sejak kecil kepada satu dewa Hindu, namun mereka menjalani profesi pekerja seks itu untuk menyokong kehidupan keluarga mereka. Jadi, kehidupan rumah tangga seniman ditentukan oleh besar-kecilnya fee yang diperoleh dari sebuah karya atau pertunjukan. Dan jalan pertunjukan adalah jalan menelanjangi diri sambil memuntahkan libido-libido purba yang pada banyak pejabat berduit membuat mata terbelalak.
            Sesungguhnya, letak semua ketidaksesuaian ini ialah dalam metode dan alur pembanguna SDM yang dipelopori oleh pemerintah. Seni sebagai satu bentuk pemberdayaan SDM mengalami pasang surut oleh sebab pemerhati, yakni pemerintah mengesampingkan perhatiannya. Geliat sastra dan seni pertunjukan diakomodir selama cara dan tujuannya mendukung program-program pemerintah atau untuk menyemarakkan kampanye-kampanye partai tertentu. Di daerah ini tentu akan menjadi lebih baik kalau sokongan pemerintah tidak sekadar untuk “memperkosa” seni melainkan untuk “menyelamatkan” seni dan seniman.
            Di beberapa daerah, misalnya Bali dan Jakarta, mereka menyiapkan wadah khusus untuk menampung para seniman melalui festival-festival, misalnya Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Sayembara Menulis Puisi Harian Bali Post, Sayembara Film Dokumenter. Atau yang di Malang, Festival Seni Ukir dan Seni Pahat. Atau juga Temu Sastrawan Indonesia di Ternate (2011) yang lalu. Rahasia keberhasilan penyelenggaraan ini terletak pada “sokongan pemerintah” sebagai pemerhati yang bukan sekadar pemakai jasa.
            Beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah, antara lain mengadakan pertemuan sastra tingkat provinsi, pertemuan seniman pertunjukan tingkat provinsi, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan mana saja unsur kreatif yang dimiliki masyarakat NTT untuk dilestarikan. Follow up dari pertemuan ini harus dilanjutkan dengan pembentukan Wadah Seniman Provinsi NTT. Wadah ini terdiri dari dua bentuk, yaitu wadah (organisasi) seniman dan wadah (sarana) media berseni, dalam bidang sastra, misalnya.
            Pemerintah melalui Dinas Kebudayaan diharapkan mengadakan Temu Sastrawan NTT, Sayembara Menulis Tahunan, dan usaha menerbitkan majalah sastra dan budaya NTT. Itulah  sumbangan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTT yang jika dimanut dan dijalankan, maka kita tidak akan lagi ketinggalan kereta seni yang selama ini banyak dicederai oleh kita sekalian. *
 
(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 21 Januari 2012)


1 comment for "Seni dan Penguasa, Sebuah Patronase Menggelisahkan"

  1. Teruslah berkarya, kenapa musti mengemis dari pemerintah...

    ReplyDelete