Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melacak Kemesraan Sastrawan dan Penguasa di NTT

Oleh Pion Ratulolly
Penghuni Komunitas Dusun Flobamora, Kupang

Alur Arus Wacana
 
Diskursus ikhwal ‘Melacak Sastra dan Sastrawan NTT’ kian hari kian diminati. Hal ini ditandai dengan telah bergayungsambutnya diskursus ini sebanyak tujuh esai di harian Flores Pos. Ketujuh esai itu secara bergantian ditaja oleh Ama Yohanes Sehandi (2 esai), Dr. Norbertus Jegalus, Pion Ratulolly, Frater Januario Gonzaga (2 esai), dan Ama Yoseph Yapi Taum.

Lima esai pertama menyoal pendefenisian sastra NTT dan kriteria sastrawan NTT. Pada esai keenam dirumuskan (meskipun baru disepakati oleh dua pakar/dosen sastra) bahwa sastra NTT adalah sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia. Sedangkan sastrawan NTT adalah orang NTT yang menulis tentang sastra. Baik itu sastrawan kreatif (penyair, novelis, cerpenis, dan dramawan), maupun sastrawan ilmiah (kritikus, pengamat, pemerhati, dan peneliti sastra).

Kelanjutan dari diskusi itu masih menyisakan beberapa pertanyaan. Satu di antaranya adalah terkait peran pemerintah (terutama Pemda NTT) dalam menyikapi perkembangan sastra di propinsi yang telah melahirkan anak kandung semisal Umbu Landu Paranggi, Presiden Maliboro; Ignas Kleden dan Dami N. Toda, Kritikus Sastra Nasional; dan Gerson Poyk, Satrawan peraih Khatulistiwa Literary Award 2009.

Melacak Kemesraan: Kisah Suka

Saya punya beberapa kisah suka terkait problematika ini. Sengaja saya lacak demi mempertegas perihal kemesraan. Kisah pertama terjadi sekitar dua tahun lampau. Kala itu, saya hendak menerbitkan novel perdana saya. Akan tetapi, saya terkendala di tikungan dana. Maka saya berniat melawat ke singgasana penguasa (baca: pemerintah). Setelah melewati meja birokrasi yang lumayan lebar, akhirnya saya diberi kesempatan bertatap muka dengan penguasa  nomor satu di propinsi ini. Beliaulah Gubernur NTT, Bapak Frans Lebu Raya.

Dalam pertemuan itu, Pak Gub sempat bertanya kepada saya, “Ade, kenapa kalian seniman sulit sekali diatur?” Mendapat pertanyaan itu, saya berusaha tenang. Lalu saya menjawab, “Sebenarnya seniman itu bisa diatur, Pak. Jika pemerintah menjalankan roda pemerintahannya di atas rel-rel seni, yakni estetika dan etika. Bila dituruti maka senimanlah yang berdiri di garda terdepan untuk membela pemerintah. Bila dipantang maka senimanlah yang berdiri di garda terdepan untuk menentang pemerintah”. Mendengar itu, Pak Gub mengangguk sembari tersenyum optimis. Setelah itu, beliau pun berkenan membantu saya untuk pendanaan novel.

Peristiwa suka kedua yang saya alami bersama penguasa nomor satu di Kabupaten Flores Timur, Bapak Bupati Yoseph Laga Doni Herin. Dalam momentum kegiatan Pemugaran Rumah Adat di Desa Lamahala Jaya, beberapa bulan lalu. Saat itu, secara resmi di hadapan khalayak, Pak Bupati berkata “Saya pernah menantang Ade Pion untuk menulis sebuah buku tentang Lamahala. Waktu itu saya masih Wakil Bupati. Saat ini, saya sudah menjadi Bupati. Menulislah tentang Desa Lamahala Jaya. Saya akan mendukungmu!” Mendengar pernyataan itu, saya serentak teringat akan beberapa karya (naskah buku) bertemakan lokalitas Lamahala yang telah saya persiapkan untuk diterbitkan. Di samping itu, jujur, saya sangat kagum dengan keluhuran hati pejabat negara ini. Pasalnya, tempo hari beliau sudah pernah memberikan dukungan pendanaan atas novel perdana saya. Kini dia kembali hadir melecutkan semangat berkarya saya.

Dari kedua kisah suka ini dan jika dikaitkan dengan judul esai di atas maka dapat ditarik dua hipotesa. Pertama, bahwasanya penguasa (baca: pemerintah) semata berposisi sebagai ‘pendukung’. Atau lebih santun digelar sebagai stimulator (perangsang) dan motivator (pendorong). Mereka hadir di saat rakyat (termasuk sastrawan) sudah memproduksi karya. Ketika itu mereka sejenak bertandang demi menebarkan aroma rangsangan sekaligus tenaga dorongan kepada rakyat (termasuk sastrawan) agar karya tersebut bisa diberdayakan lebih lanjut. Setelah itu, mereka membiarkan rakyat (termasuk sastrawan) terus memola dan memoles diri demi mempercantik elok karya kepunyaannya. Tentu, sembari tiada kedip mengintai perkembangan ghiroh sastra sang produsen itu.  

Berangkat dari pengalaman empiris di atas, saya sangat yakin, jika tanpa dukungan kedua penguasa tersebut, pembaca tidak mungkin bisa menikmati karya saya. Karena jujur, saya (dan juga beberapa kawan saya) hanya bermodalkan semangat dalam berkarya. Tidak bermodal finansial. Dan ketika terkendala di tikungan finansial ini, penguasa menjadi sandaran.

Kedua, bahwasanya konsep seni, yakni estetika dan etika tidak sekadar nampang dalam karya. Ia haruslah me-real dalam tindak dan tanduk. Apatah lagi bagi para pelaku seni. Satu aspek etis di antaranya yakni berbaik sangka. Artinya, bilamana dalam membangun relasi sosial dengan penguasa, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, marilah kita terima itu sebagai sebuah kelaziman.

Melacak Kemesraan: Kisah Duka

Di samping kisah suka, ada kisah duka. Saya (dan juga beberapa kawan lainnya) pernah beberapa kali mengalami kisah duka. Misalnya, ketika saya hendak mengikuti kegitan Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang, tahun 2010. Saya sempat beraudiens dengan seorang pejabat tinggi di kota Kupang demi memohon dukungan dana. Namun, apa yang saya dapatkan berbanding terbalik dengan keinginan saya. Saya belum bisa dibantu. Dengan demikian, saya harus berbaik sangka. Saya harus menerima penolakan itu sebagai sebuah konsekuensi logis dari ikhtiar.

Pengalaman pahit lainnya, ketika kawan saya Mario F. Lawi dan Ishak Sonlay hendak berangkat ke Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate tahun 2011, beberapa bulan silam. Ketika itu, saya bersama keduanya menemui seorang pejabat tinggi lainnya di kota Kupang. Tetapi, lagi-lagi naas. Kami kembali bertepuk sebelah tangan. Kami belum bisa dibantu. Maka kami harus berbaik sangka lagi.

Tetapi, alhasil baik dari berbaik sangka. Kedua even sastra di jagad nasional tersebut mampu kami kecap berkat bantuan doa tulus yang dipanjatkan, mungkin saja oleh kedua pejabat tinggi tersebut.

Akhirul Kalam

Dengan beberapa pikiran sederhana ini, saya ingin membangun sebongkah optimisme dalam diri para pengerajin karya sastra di NTT. Marilah kita ingat, bahwasanya kemesraan itu bukanlah semata dihinggapi ketercapaian niat. Kemesraan niscaya pula dihampiri kekecewaan batin. Tinggal di beranda mana posisi kita berdiri sehingga kedukaan bisa kita pandang sebagai kesukaan. Bukankah orang sukses adalah orang yang nekat menghadapi tantangan, lalu berani mengubah tantangan itu menjadi sebuah peluang?

Saya sadar, bahwasanya kita tidak punya apa-apa, selain semangat. Jika semangat terus membara maka hakkulyakinlah, karya dapat ditaja. Jika karya telah ditaja, di hati kita tenang, di jiwa mereka senang. * 

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 7 Februari 2012)

Post a Comment for "Melacak Kemesraan Sastrawan dan Penguasa di NTT"