Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melacak Sastra dan Sastrawan NTT, Menjawab Tanggapan

ARTIKEL opini saya “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT” yang dimuat harian Flores Pos (19/11/2011) mendapat tanggapan yang beragam dan meriah dari berbagai kalangan, baik kalangan sastrawan, pengamat, maupun kalangan awam, baik lewat artikel opini di Flores Pos, telepon, SMS, maupun lewat internet (weblog dan facebook). Artikel opini saya yang lain berjudul “Sastra NTT yang Berpijak di Bumi” yang dimuat harian Pos Kupang (13/12/2011) juga mendapat tanggapan beragam, yang sampai sejauh ini baru lewat telepon, SMS, dan internet, sedangkan lewat artikel opini di Pos Kupang belum ada.

Kedua artikel opini di atas mengemukakan rumusan pengertian dan kriteria sastra NTT dan sastrawan NTT. Rumusan pengertian dan kriteria seperti ini memang belum pernah dilakukan sebelumnya, meskipun sastra NTT telah berusia puluhan tahun. Yang pernah dikemukakan sejumlah kecil pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra NTT sebelumnya adalah sobekan pikiran dan kesadaran lepas bahwa di Provinsi NTT ini memang “betul ada” sastra NTT dan sastrawan NTT, namun seperti apa dan bagaimana sosoknya tidak dirumuskan secara memadai. Mungkin itu pulalah sebabnya, kedua artikel opini sastra di atas mendapat tanggapan yang cukup meriah dan semarak.  

Tanggapan tertulis lewat artikel opini Flores Pos sampai dengan saat ini ada tiga orang. Pertama, Norbertus Jegalus (seorang filsuf, doktor filsafat lulusan Jerman, dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang) yang berjudul “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT (Sebuah Tanggapan)” (Flores Pos, 24/11/2011). Kedua, Pion Ratulolly (seorang sastrawan NTT, mahasiswa Undana, anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora Kupang) yang berjudul “Pengarang NTT (Tanggapan atas Opini Drs. Yohanes Sehandi)” (Flores Pos, 29/11/2011). Ketiga, Januario Gonzaga (seorang sastrawan NTT, mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira,  anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora Kupang) yang berjudul “Dosa Asal Sastrawan (NTT)” (Flores Pos, 9/12/2011).

Tanggapan lewat SMS yang masuk ke handphone (HP) saya jumlahnya lebih dari 40 orang, baik berasal dari kalangan sastrawan, pengamat, maupun awam. Semua SMS tanggapan ini telah saya rekam dan simpan di komputer sebagai data berharga yang dapat digunakan kapan saja. Di samping memuat isi tanggapan, dalam SMS itu juga tercantum nama pengirim, tanggal terima, dan waktu terima (jam dan menit). Data-data SMS yang masuk ini dapat dilacak di kemudian hari di pusat data Telkomsel apabila dibutuhkan untuk mengecek kebenaran setiap SMS tersebut.

Tanggapan lewat dunia maya atau internet jauh lebih meriah dan semarak. Jumlahnya seratusan orang, dan mungkin saja akan terus bertambah. Meriah dan semaraknya tanggapan lewat internet ini berkat jasa baik Usman D. Ganggang, Pion Ratulolly, dan Januario Gonzaga (ketiganya sastrawan NTT) yang ikut menyebarluaskan opini “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT” yang dimuat Flores Pos tersebut ke berbagai kalangan lewat facebook. Sedangkan tanggapan lewat telepon (HP) saya tidak kumpulkan datanya karena tidak merekam semua telepon yang masuk sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dari berbagai tanggapan yang masuk ini, dapat ditarik lima pokok atau inti pikiran. Kelima pokok itu adalah: (1) Sebagian pengarang sastra NTT merasa risih disebut sebagai sastrawan; (2) Nama dan data sastrawan yang ditampilkan belum   tercakup dan akurat; (3) Rumusan pengertian dan kriteria sastra NTT dan sastrawan NTT perlu dipertajam; (4) Perlu dikaji local genius sastra NTT; dan (5)  Perlu dijelaskan, apa  peran sastrawan, pemerintah daerah, dan masyarakat NTT dalam mengembangkan sastra NTT ke depan. Kelima pokok tanggapan itu serta jawaban saya atas kelima pokok tanggapan itu dikemukakan berikut ini.

Risih Sebagai Sastrawan

Sebagian pengarang sastra NTT yang namanya disebut sebagai “sastrawan NTT” dalam artikel opini saya, merasa risih atau tidak enak bahkan tidak nyaman.  Mereka merasa sebutan atau gelar sastrawan itu belum pantas untuk mereka sandang. Mereka merasa diri “belum sampai” pada tahap gelar bergengsi itu.

Pion Ratulolly (Kupang) lewat artikel opininya di Flores Pos (29/11/2011) merasa risih bahkan berkeberatan dengan gelar sastrawan itu, kemudian menganjurkan agar disebut “pengarang” saja sehingga tidak terlalu beban bagi pemiliknya. Pion menulis: “Ada baiknya, saya sarankan akan lebih afdhol kita sebut saja “pengarang.” Supaya pengertian sederhananya hanya pada orang yang mengarang karya (khususnya karya-karya sastra).”

V. Jeskial Boekan (Kupang) dalam internet (http://yohanessehandi.blogspot.com) pada 19 Desember 2011 menyatakan: “Terima kasih Pak Yan Sehandi karena tulisan itu telah masukkan atau kelompokkanku sebagai Sastrawan NTT. Sesungguhnya aku malu-malu kucing dengan itu karena aku berlatar belakang pendidikan bukan sastra, tetapi latar belakang hukum.”

Pater Frans Mido (Kisol) lewat SMS pada 21 November 2011, pukul 10.43 menulis: “Pak Yan, saya barusan baca Flores Pos, 19 Nov 2011. Agak heran bahwa saya disebut sastrawan, tetapi senang juga, mungkin karena buku cerita rekaan? Lebih tepat gelar saya guru bahasa Indonesia. Tuhan memberkati.”

Gusty Masan Raya (Papua), lewat SMS pada 26 Desember 2011, pukul 11.41 menulis: “Hehe, maaf keraeng tua, neka rabo ta, maklum perantau. Thanks udah masukkan aku di sastrawan NTT, tapi kayaknya saya belum pantas, masih banyak yang lebih hebat dan produktif. Saya lebih memilih dibilang kuli sastra saja. Hehe.”

Itulah sekadar contoh tanggapan sejumlah sastrawan NTT yang namanya disebut. Saya mengajak dan mengharapkan agar para sastrawan NTT tidak perlu merasa risih atau malu-malu dengan nama atau gelar itu. Mengapa? Pertama, bukan Anda yang minta atau menyebut diri sebagai sastrawan NTT, tetapi orang lain, dalam hal ini saya sebagai pemerhati sastra NTT. Nama Anda disebutkan sebagai sastrawan NTT bukan tanpa berdasar. Saya mempunyai dasar atau kriteria untuk itu. Kriterianya tidak lain adalah karya-karya sastra yang Anda publikasikan selama ini. Nanti, lewat artikel opini lain yang akan datang akan saya perkenalkan satu per satu sastrawan NTT beserta karya-karya sastra yang mereka hasilkan selama ini. Kedua, nama atau gelar sastrawan NTT yang diberikan itu mempunyai nilai positif sebagai pendorong untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karya sastra yang dihasilkan pada masa-masa mendatang.

Untuk mendapatkan nama atau gelar sastrawan itu memang tidak gampang. Kata orang “harganya” mahal. Namun, kalau tidak menggunakan nama sastrawan, lantas menggunakan nama apa? Menurut saya, nama atau gelar sastrawan itu semacam “rumah besar” bagi para pengarang atau penulis karya sastra. Yang tinggal di dalam “rumah besar sastrawan” itu bermacam-macam: ada sastrawan kreatif (penyair, novelis, cerpenis, dan dramawan), ada sastrawan ilmiah (kritikus, pengamat, pemerhati, dan peneliti sastra).

Setiap sastrawan dalam “rumah besar” itu memiliki spesifikasi sendiri-sendiri. Maria Matildis Banda, Yoss Gerard Lema, dan Pion Ratulolly, misalnya, rumah besarnya adalah sastrawan, sedangkan spesifikasinya sebagai novelis atau cerpenis, karena yang menonjol pada ketiganya adalah penulisan novel dan cerita pendek (cerpen). Contoh lain, A.G. Hadzarmawit Netti, Ignas Kleden, Frans Mido, dan Yoseph Yapi Taum, rumah besarnya adalah sastrawan, sedangkan spesifikasinya adalah pengamat sastra atau kritikus sastra, karena keempatnya menulis telaah sastra dan kritik sastra. John Dami Mukese dan Usman D. Ganggang adalah sastrawan, sedangkan spesifikasinya adalah penyair karena sebagian besar karya keduanya adalan puisi.

Contoh terakhir adalah Mezra E. Pellondou. Sastrawan muda yang sangat populer di kalangan sastrawan muda se-Indonesia ini, memiliki spesifikasi paling lengkap di NTT, yakni sebagai novelis, cerpenis, penyair, dan dramawan, bahkan sebagai pengamat sastra. Mezra E. Pellondou menulis semua jenis karya sastra itu dengan sangat baik, yakni novel, cerita pendek, puisi, dan drama/film sekaligus menjadi sutradaranya, bahkan juga menulis telaah sastra. Pada saat ini Mezra E. Pellondou tengah menyelesaikan tiga judul film yang akan diluncurkan tahun 2012 ini, yakni (1) Manusia Cuma Debu, (2) Laposin, (3) Mimpi Natan, yang ketiganya disutradarai oleh Mezra sendiri. Ketiga film ini dimainkan oleh Teater Akar, Teater Amsal Putih, dan Teater Engkel. 

Pada dasarnya sastrawan itu hanyalah sebuah nama yang punyai nilai apabila pemilik nama itu terus menghasilkan karya sastra yang bermutu. Sebagai sebuah nama, sastrawan itu sebetulnya bukanlah sesuatu yang angker, sesuatu yang seolah-olah jauh dari jangkauan. Sebetulnya sama saja atau mirip dengan nama lain yang akrab dengan kita, misalnya nama petani. Orang yang bertani, ya disebut petani, menghasilkan produk pertanian. Ada yang bertani sampai tua bahkan sampai mati, dialah petani tulen. Ada yang bertani  lama, ada yang belum lama, ada yang bertani sebentar saja kemudian  menghilang, dan seterusnya. Akan tetapi, kalau ia beralih menjadi pedagang atau penganggur, misalnya, maka gelar petani yang disandangnya lama-kelamaan hilang atau paling-paling disebut sebagai mantan petani.

Analogi nama sastrawan dengan nama petani di atas berlaku pula untuk nama kritikus sastra. Norbertus Jegalus lewat opini tanggapannya di Flores Pos (24/11/2011) menyebut bahkan membaptis saya dengan gelar kritikus sastra NTT. Bagi saya, gelar kritikus sastra ini bukan kemauan saya, saya tidak pernah minta, tetapi kemauan orang lain, dalam hal ini Bapak Norbertus Jegalus. Sebagai pemikir serius yang peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT, beliau tentu mempunyai dasar dan kriteria tertentu sehingga berani membaptis seseorang menjadi kritikus sastra.

Nilai positif yang saya tangkap adalah: dengan gelar ini saya termotivasi untuk terus melakukan kajian, telaahan, dan kritikan terhadap berjenis-jenis karya sastra NTT yang tentu makin lama makin intensif dan berkualitas. Seandainya saya tidak lagi atau tidak mampu lagi melakukan kajian, telaahan, dan kritikan terhadap karya-karya sastra NTT, maka gelar kritikus sastra NTT yang saya sandang lama-kelamaan hilang atau paling-paling disebut sebagai mantan kritikus sastra NTT.

Data Perlu Akurat

Tentang nama dan data sastrawan yang disebut dalam artikel dinilai belum akurat. Ada nama yang sebetulnya belum layak disebut, tetapi disebut. Sebaliknya, ada nama yang seharusnya disebut, tetapi tidak disebut. Sadar atau tidak, menurut sejumlah tanggapan yang masuk, “menyebut” nama seseorang adalah sebuah pembaptisan, pembaptisan seseorang menjadi sastrawan NTT.

Menghadapi tanggapan itu, memang pada akhirnya saya menyadari bahwa menyebut nama-nama mengandung resiko. Ada nama yang terakomodasi, ada yang tercecer. Namun saya segera sadar, kalau tidak menyebut nama-nama, lantas dengan cara apa masyarakat umum mengetahui nama-nama  sastrawan NTT?

Dengan pengalaman ini saya terdorong agar ke depan saya perlu lebih cermat dan akurat lagi menyeleksi nama-nama sastrawan NTT yang tersebar di mana-mana. Selain itu, akan dicermati pula karya-karya sastra mereka, sehingga pada akhirnya suatu saat, semua nama sastrawan NTT yang disebut itu memang benar-benar pantas dan layak untuk disebutkan. Dengan demikian, “tak ada lagi pihak yang merasa ditinggalkan atau meninggalkan” meminjam kata-kata bijak Pion Ratulolly dalam Flores Pos (29/11/2011).

Rumusan Perlu Dipertajam

Tanggapan berikutnya adalah agar rumusan pengertian dan kriteria sastra NTT dan sastrawan NTT perlu dipertajam dan disempurnakan lagi. Ignas Ragu (Kupang), lewat SMS pada 15 Desember 2011, pukul 09.49 menyatakan: “Menurut saya, definisi sastra NTT masih perlu dipertajam. Sastra yang khas NTT itu ada pada tingkat mentalitas dan gaya ucap. Saya rindu sastra dengan gaya ucap khas estetika NTT dengan tema pergumulan mentalitas khas petani ladang NTT dengan arus deras modernisasi. Jati diri sastra NTT menurut saya terletak di situ.”

Pater Frans Mido (Kisol), lewat SMS tanggal 19 Desember 2011, pukul 08.33 mengusulkan agar (kriteria) bahasa, dalam hal ini “bahasa Indonesia” juga dimasukkan dalam rumusan pengertian dan kriteria sastra NTT. Menurut beliau, tidak ada sastra NTT, yang ada adalah “sastra Indonesia warna lokal NTT” atau warna daerah NTT karena menggunakan bahasa Indonesia. 

Usulan Pater Frans Mido ini sangat simpatik. Dengan dimasukkannya kriteria “bahasa Indonesia” dalam rumusan pengertian sastra NTT dan sastrawan NTT, maka kita dapat membedakan  sastra NTT (yang menggunakan bahasa Indonesia) dengan sastra daerah NTT (yang menggunakan bahasa-bahasa daerah di NTT). Usulan ini diterima dengan senang hati. Dengan demikian, maka rumusan pengertian sastra NTT disempurnakan. Sastra NTT adalah “sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia!”

Dikaji Local Genius Sastra NTT

Tanggapan lain adalah perlu dikaji secara lebih mendalam apa yang disebut local genius sastra NTT. Kajian local genius ini penting karena local genius inilah yang membedakan sastra NTT dengan sastra-sastra lain di Indonesia. Usulan dan masukan berharga ini datang dari Bapak Norbertus Jegalus lewat artikel opininya di Flores Pos (24/11/2011). Usulan dan masukan ini sungguh menantang saya dan para pemerhati dan kritikus sastra NTT lain untuk mengkaji dan merumuskan local genius sastra NTT tersebut. Saya sungguh termotivasi melakukan kajian tersebut, hanya butuh waktu yang agak lama, karena memerlukan data-data karya sastra NTT yang cukup memadai.

Sebagai gambaran awal, menurut  hemat saya, local genius atau “ciri khas” sastra NTT itu dapat dikaji secara mendalam dengan cara menganalisis unsur-unsur karya sastra yang diterima secara universal. Unsur-unsur karya sastra menurut pemahaman umum, terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik (bdk. Rene Wellek dan Austin Warren dalam Teori Kesusastraan, terjemahan Melani Budianta, 1993).

Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun cipta sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur ini merupakan faktor dari dalam yang aktif berperanan sehingga memungkinkan sebuah karangan menjadi karya sastra. Eksistensi sebuah karya sastra terletak pada unsur-unsur intrinsiknya, tanpa mengabaikan unsur-unsur ekstrinsik. Yang termasuk unsur-unsur intrinsik karya sastra, antara lain meliputi: tema (inti atau pokok), tokoh (perwatakan atau karakter), alur (plot), latar (setting), gaya pengucapan, dan diksi (pilihan kata).

Unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur atau faktor-faktor yang mempengaruhi cipta sastra dari luar. Faktor-faktor luar itu, antara lain faktor sosiologi, ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain yang turut berperanan dalam proses penciptaan karya sastra. Unsur ekstrinsik itu merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi penciptaan karya sastra dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti, dan pengaruhnya. Meskipun demikian, unsur-unsur ekstrinsik itu tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya sastra.

Gambaran umum local genius sastra NTT akan diperoleh setelah mengkaji unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik berbagai jenis karya sastra NTT. Untuk melakukan itu tentu membutuhkan waktu yang agak lama. Karena itu, pada kesempatan ini, kajian terhadap local genius sastra NTT, sebagaimana diharapkan Bapak Norbertus Jegalus, belum bisa saya penuhi sekarang, akan dipenuhi dalam artikel opini tersendiri pada kesempatan lain yang akan datang. Hasil kajian tentang local genius sastra NTT ini tentu akan sangat panjang atau bahkan bisa menjadi “embrio” untuk penulisan sebuah buku yang khusus membahas local genius atau ciri khas sastra NTT.

Mengembangkan Sastra NTT

Masalah berikut yang juga mendapat perhatian dari para penanggap adalah bagaimana upaya menumbuh dan mengembangkan sastra NTT ke arah yang lebih maju dan berkualitas. Norbertus Jegalus (lewat Flores Pos, 24/11/2011) meminta saya untuk menjawab tiga pertanyaan berikut: (1) Apa  yang harus dilakukan para penulis sastra (sastrawan NTT)?; (2) Apa saja peran pemerintah daerah di NTT?; dan (3) Apa pula peran masyarakat NTT dalam memajukan sastra NTT?

Saya mohon maaf, ketiga pertanyaan penting ini belum bisa dijawab sekarang karena keterbatasan ruangan dalam kolom opini ini.  Ketiga pertanyaan ini akan dijawab lewat artikel opini khusus yang akan datang lewat harian ini juga. * (HP 081339004021, Blog www.yohanessehandi.blogspot.com).

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 10 dan 11 Januari 2012)  

Post a Comment for "Melacak Sastra dan Sastrawan NTT, Menjawab Tanggapan"