Menafsir Buru Abadi Dami N. Toda
Saya mengenal Dami N. Toda sejak SMP. Saat itu, kami sekolah di SMP Seminari Kisol, Manggarai Timur, berlangganan majalah bulanan Horison dan Basis. Saya kagum beberapa puisinya yang dimuat dalam kedua majalah bulanan tersebut.
Sepengetahuan saya, awal 1980-an, beliau menulis skripsi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI) tentang novel-novel Iwan Simatupang yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Novel Baru Iwan Simatupang.
Tahun 2000 saya belajar teologi di Nijmegen, Belanda. April 2002 ia ke Belanda. Lalu kami berusaha untuk bertemu di Arnhem untuk mengunjungi museum militer di sana. Kami mencari dokumen “perintah penangkapan panglima Todo yang melawan Belanda.”
Saat makan siang kami membahas situasi politik Indonesia, sastra, dan puisinya. Ia mengaku sudah lama tidak ada percikan ilham puisi. Tetapi masih ada naskah puisi yang siap terbit.
Rasanya tidak banyak yang mengenal Dami N. Toda sebagai penyair NTT. Mungkin karena ia merantau di Yogyakarta, Jakarta, kemudian Hamburg dan meninggal dunia di sana. Abunya dimakamkan di tanah kelahirannya, Pongkor. Makamnya bertuliskan Buru Abadi.
Rendra menziarahi makamnya dan menorehkan tulisan: “Nyamperin matahari dari satu sisi. Memandang nisan dari segenap jurusan.” Rendra, Pongkor, 17 Oktober 2007. Buru Abadi adalah judul kumpulan puisinya (Indonesia Tera, Magelang, 2005). Saya menulis catatan tentang buku itu.
Buku Puisi Buru Abadi
Tahun 2005 terbit kumpulan puisi Dami N. Toda berjudul Buru Abadi, setahun sebelum ia meninggal dunia 10 November 2006. Saya membuat komentar kritis tentang puisi-puisi dalam Buru Abadi ini. Puisi dalam buku ini berjumlah 69. Saya membaginya dalam beberapa kategori.
Pertama, ada puisi rohani. Mengungkapkan kesadaran akan Tuhan, membangun relasi dengan Tuhan, memuji Tuhan, menyapa Tuhan, bahkan menggugat Tuhan. Ada sumpah serapah. Begitulah Dami Toda, menghayati religiositasnya. Contohnya puisi: Buru Abadi 1, Buru Abadi 2, Buru Abadi 3, Doa Pagi, Doa Siang, Doa Petang, Doa Malam, Madah Pagi (halaman 9-16).
Kedua, ada puisi nostalgia. Pengalaman cinta masa silam, pengalaman rindu kampung halaman, atau kenangan akan tempat indah. Contohnya puisi: Iteng (halaman 20), Hutan (halaman 21), Puncak Ranaka Malam Hari (halaman 22), dan lain-lain.
Ketiga, ada puisi cinta. Pengalaman mencintai, jatuh cinta, dan perkawinan. Contohnya puisi: Kuda Khatulistiwa (halaman 89), Hujan di Pantai Karang (halaman 87).
Akhirnya ada puisi protes atau puisi kritik sosial terhadap penguasa dan kezaliman. Contohnya puisi: Ritus Akhir Musim (halaman 49-50), Tutup Tahun di Kuta (halaman 79), Demonstran Angkasa (halaman 76). Tidak semua puisi diulas di sini. Itu tidak mungkin, karena ruang terbatas. Saya memilih puisi rohani, kategori pertama. Itu pun tidak semua, hanya beberapa.
Menakar Religiositas Sang Buru Abadi
Saya tertarik pada puisi-puisi rohani itu karena sebelum bertemu Dami N. Toda saya “berkesan” bahwa dia seorang sekular-ateis. Ketika pertama kali bertemu dengannya di Arnhem itu, saya berkesan, Dami Toda adalah orang keras dan tidak beriman. Tetapi kesan itu hilang saat makan siang. Ia mengajak saya mengawalinya dengan doa dalam tradisi Katolik. Jelas Dami N. Toda adalah seorang religious-devosional.
Benar H.B. Jassin berkata: “… pada Dami nampak suatu solidaritas dengan nasib manusia yang menderita di manapun dia berada, rasa solidaritas yang berakar pada kesadaran sejarah dan ketuhanan… persiapan untuk mengerti Dami adalah berat sebab ia hidup dalam dunia sejarah, mitologi dan pemikiran falsafi .…”
Ia adalah orang beriman yang tersentuh oleh sinyal transendensi. Ia tidak hanya “… hidup dalam dunia sejarah, mitologi dan pemikiran falsafi .…” juga dalam pemikiran teologis, mistik, spiritualitas. Dami Toda adalah orang beragama, bukan apatis, apalagi ateis.
Dami Toda tidak pernah menulis buku agama, teologi ataupun spiritualitas. Puisi-puisi rohani buku ini meyakinkan saya bahwa beliau orang beriman. Maka saya fokus pada upaya mendalami puisi rohani itu.
Melalui “Buru Abadi” Bermuara “Madah Kasih”
Saya mulai dengan “Doa Pagi.” Perhatikan: //tikamkan 70 kali// 70 x 7 kali tikaman lagi// tetes-tetes darah// menorah peta nasibku// di tanah// baca// jejak darah aku ke mana//. Saat membaca angka 70 x 70 x 7 itu, saya teringat perintah Yesus untuk mengampuni.
Tetapi yang diajarkan di sini ialah benci, dendam, yang menimbulkan percikan darah. Penyair mencoba menimba hikmat dan belajar dari peristiwa tragis itu, dari jejak tragis darah di tanah.
Hasilnya mengagumkan: terjadi transformasi hati yang tidak tahu ke mana jejak darah itu membawanya. Ada efek tobat dalam hatinya agar tidak mengulang drama-tragis berdarah itu. Lalu perjalanan pun menjadi doa tobat lewat pengalaman tragis-negatif.
Hal itu terkait dengan pengalaman pribadinya yang berusaha mengisi nafas hidupnya, saban desah, dengan memburu, dan mencari Dia yang Mahatinggi, Sang Surya itu. Aktivitas memburu itu tidak pernah selesai, ia abadi (“Buru Abadi 1,” halaman 9).
Dalam puisi “Buru Abadi 2,” ia membaca tanda-tanda untuk menemukan jejak Tuhan di alam. Ia memasang peralatan untuk mengendus yang kudus. Ia tidak mau gagal dalam pencarian dan penantian itu (“Buru Abadi 2,” halaman 10).
Dalam “Buru Abadi 3,” ada deskripsi pengalaman mistik yang berusaha mencari Tuhan, dan mengendus pergerakan-Nya. Pemburu itu lelah, lalu menunggu dan bersembunyi, dan sedikit kesal. Karena saat dikejar Ia menjauh, dan saat ia berhenti dan bersembunyi, Ia mendekat (“Buru Abadi 3,” halaman 11).
Dalam “Doa Siang” (halaman 13), Dami Toda melukiskan pengalaman adanya jarak yang tak terjembatani antara dia dan Tuhan. Hal itu menyebabkan “ciliwungku tak bisa mengalir ke arahMu…”
Perlu terobosan “gila” untuk merombak simbol lama (tabernakel) menjadi simbol baru. Setelah melakukan hal itu, walau merasa “sia-sia kita berunding dan makan dalam satu impian,” ia bermuara pada pemahaman, Eureka. Maka ia berseru, ya saya mengenal (halaman 13).
Menelusuri “Madah Pagi” dan “Madah Kasih”
Dari “Madah Pagi” (halaman 16-17), saya kutip ini: //Terpujilah Allah Mahatinggi terpujilah Esa tak terbagi terpujilah Luhur tak berdasar terpujilah Sabda Fajar tak terperi terpujilah Suci tak terbanding terpujilah Besar tak terukur terpujilah Kuasa tak terselam terpujilah Cahaya dari warna terpujilah Mahamuara ruang dari waktu terpujilah Maha DIAM TAKBERANTARA//.
Ini adalah litani pujian yang panjang kepada Sang Pencipta dan Penyelenggara kehidupan alam ini. Jelas bahwa Dami Toda adalah sosok religius. Puisi ini terasa seperti Doa Syukur Agung, doa puncak dalam Eucharistia. Struktur Eucharistic hidup Dami Toda, terendapkan dalam “Doa Syukur Agung” ini.
Saat membacanya kita terhanyut dalam keheningan mistik, DIAM TAK BERANTARA. Walau Dami Toda gagal menjadi pastor, namun ia tetap ucapkan Doa Syukur Agung-nya sendiri dalam puisinya yang mendalam.
Dami Toda menempatkan diri di hadapan Tuhan. Ia adalah makhluk yang datang dalam hening untuk memuji. Itu sebabnya, dalam puisi ini ia mengulang kata TERPUJILAH sampai 38 kali.
Denyut religiositas Dami Toda juga terasa dalam “Pemanah Mata Hari” (halaman 28-30). Di sini Dami menelusuri perjalanan exodus dengan memakai metafora. Kata-kata kunci exodus disebutkan di sini: Domba Kurban, Farao, Laut Merah, Musa, Roti Manna, Sinai. Semuanya dimuarakan dalam refrain Ampunilah Kami.
Penelusuran itu diteruskan dalam exodus masa kini yang tragis karena perang dunia kedua, Auschwitz, Tragedi Gaza, Hiroshima, dan Vietnam. Semuanya dimuarakan pada permohonan ampun. Namun, derita Jalan Salib manusia belum bakal berhenti di sini.
Puisi-unik “Alpha et Omega, Heri et Hodie” (halaman 36-38), adalah puisi tentang Tuhan karena dalam tradisi Yudeo-Kristen, Alfa dan Omega adalah gelar Tuhan.
Kepada Alpha et Omega itu, Dami Toda seakan mewakili manusia, memohon belas kasihan, karena ada banyak kekejaman dan paradox: “…Yang menimbulkan harap dari dalam derita, yang menyuruh berdoa dari dalam kematian, yang menumbuhkan percaya dari dalam kesangsian-kesangsian, yang Awal, yang Akhir, yang Akhirnya adalah Awal, Yang Prinsip” (halaman 38).
Saya menutup penelusuran ini dengan mengulas “Puisi Ruh” (halaman 65-67). Puisi ini terilhami oleh hidup Saulus. Ia beralih dari sosok penebar-benci menjadi penebar-kasih.
Kasih itu prasyarat segala-galanya agar bermakna. Seperti Paulus, ia yakin bahwa tanpa kasih, semuanya tidak berguna. Kasih-lah yang memaknai segalanya.
Puisi ini digubah Dami dari madah kasih Paulus (1 Kor 13:1-13), walau Dami tidak menyebutnya. Jadi, sosok “orang keras” yang pertama kali saya lihat di Arnhem itu, ternyata sangat religius dan terhanyut dalam gelombang wacana kasih Paulus yang bermuara pada samudera mistik cinta bahkan juga menyeberang ke dalam keabadian, di mana ia kini berada. *
Frans Borgias
Lahir pada 2 Oktober 1962, di Manggarai, Flores, NTT. Pendidikan SD sampai SMA dijalani di Manggarai. Masuk Postulan OFM di Pagal, Manggarai. Masuk Novisiat OFM di Papringan, Yogyakarta. Menempuh pendidikan Filsafat pada STF Driyarkara, Jakarta (1983-1986). Menempuh pendidikan lanjutan teologi pada Fakultas Teologi Wedabhakti, Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Menempuh pendidikan S2 Teologi pada Radboud University of Nijmegen, Netherland, dengan menulis master-thesis Critical Retrieval of Hans Urs von Balthasar’s Criticism of Karl Rahner’s idea of Anonymous Christians. Menempuh pendidikan S3 Interreligious Studies pada ICRS-Yogyakarta, Interreligious Studies, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan menulis disertasi berjudul Manggaraian Myths, Rituals, and Christianity: Doing Contextual Theology in Eastern Indonesia (Graduate School of Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2016). Pernah bekerja pada sebuah production-house di Jakarta yang bergerak di bidang bisnis hiburan televisi dan karya-karya kesenian. Sejak 1993 sampai sekarang ini, mengajar Ilmu Filsafat dan Teologi pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat. Sejak SMP dan SMA sudah aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Aktivitas menulis semakin intensif ditekuni saat belajar filsafat dan teologi dengan menulis di beberapa media cetak, antara lain Basis, Rohani, Utusan, Mawas Diri, Citra Yogya, Dian, Flores Pos, Pos Kupang, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Hidup, Gita Sang Surya, Komunikasi, Harian Yogya, Solo Pos, dan lain-lain. Juga menulis untuk beberapa majalah dan jurnal, seperti Melintas, Diskursus, Forum Biblika, Wacana Biblika, En Arche, Perspektif. Sudah beberapa kali menjadi kontributor Bab dalam beberapa buku Teologi Biblika. Juga sudah menulis beberapa buku atas nama sendiri yang terbit di beberapa penerbit, seperti Fidei Press, Jalasutera, Lamalera, Kanisius, Pustaka Nusatama, Serva Minora. Sudah menerjemahkan 20-an judul buku dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, 10 di antaranya sudah terbit di Kanisius, Nusa Indah, Mizan, Obor.
RIP Kraeng tua Frans Borgias. Tulisanmu abadi. Beberapa kali kita bekerjasama saat saya masih jadi editor penerbit Yayasan Pustaka Nusatama
ReplyDelete