Hari Ini 65 Tahun dan Pensiun
Hari ini Sabtu, 12 Juli 2025, saya genap berusia 65 tahun sesuai dengan ijazah dan KTP. Syukur kepada Tuhan atas perjalanan hidup selama 65 tahun ini. Ada kenangan yang tak terlupakan, ada pula yang hilang dalam ingatan. Saya melewatinya dalam suka dan duka.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, seorang dosen pensiun pada umur 65 tahun, kecuali Profesor pensiun pada usia 70 tahun.
Maka, pada usia 65 ini saya harus pensiun sebagai dosen di Universitas Flores (Uniflor) Ende, Flores, NTT. Saya menjadi dosen di Uniflor selama 15 tahun (2010-2025). Tentu saja pensiun efektif mulai Agustus 2025 nanti.
40 Tahun di Dunia Kerja
Sejak tamat kuliah Sarjana (S-1) di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) IKIP Negeri Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang, Unes) tahun 1985 saya langsung terjun di dunia kerja.
Dunia kerja saya awali dengan menjadi dosen tidak tetap mata kuliah Bahasa Indonesia di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga selama 5 tahun (1985-1989).
Dari Salatiga saya pulang kampung pindah bekerja di Flores. Menjadi Editor buku-buku bahasa dan sastra Indonesia di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores, selama 10 tahun (1989-1999). Sambil menulis opini di SKM Dian dan harian Flores Pos terbitan Ende, Flores.
Selama bekerja sebagai Editor pada Penerbit Nusa Indah, Ende, selama 10 tahun, saya juga diminta menjadi dosen tidak tetap mata kuliah Bahasa Indonesia di Stipar Ende selama 9 tahun (1990-1999), dan dosen tidak tetap mata kuliah Bahasa Indonesia di STFK Ledalero (kini ITFK Ledalero) Maumere, selama 5 tahun (1994-1999).
Dalam pemilu pertama reformasi, yakni Pemilu 1999, saya terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi NTT (1999-2004) Fraksi PDI Perjuangan dari Daerah Pemilihan Kabupaten (Dapil) Kabupaten Ende.
Saya tinggalkan Ende pindah ke Kupang. Istri saya Christiana Sri Murni dan anak-anak tetap tinggal di Ende. Ketiga anak lelaki saya semuanya masih sekolah di Ende. Ada yang TK, ada yang SD, ada yang SMP.
Saya ikut lagi Pemilu lagi tahun 2009 dari Dapil Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur, tetapi gagal.
Pernah ikut Pilkada perdana di Kabupaten Manggarai Barat tempat lahir saya, tahun 2005, calon dari PDI Perjuangan, tetapi gagal karena kurang suara dan kurang uang.
Ada tiga pasangan yang bertarung pada Pilkada perdana itu. Pasangan pertama, Wilfridus Fidelis Pranda – Agustinus Ch. Dula. Pasangan kedua, Ferdinandus Pantas – Thobias Wanus. Pasangan ketiga, Yohanes Sehandi – Onesimus Jaman.
Pilkada perdana 2005 itu dimenangkan pasangan pertama. Maklumlah, Wilfridus Fidelis Pranda adalah Penjabat Bupati Manggarai Barat sejak kebupaten baru itu berdiri sejak Januaur 2003.
Tahun 2010 saya mengambil keputusan untuk berhenti dari politik praktis. Pindah dari Kupang kembali ke Ende, tinggal bersama keluarga.
Istri saya tidak mau pindah ke Kupang. Dia lebih memilih untuk tetap menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Flores yang dirintisnya sejak tahun 1990.
Setelah berhenti dari politik praktis, saya masuk kampus dan menjadi dosen di Uniflor selama 15 tahun (2010-2025).
Pertama kali saya ditempatkan di Lembaga Publikasi Uniflor (sejak 1 Oktober 2010). Beberapa bulan kemudian saya ditempatkan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) Uniflor sejak 7 Maret 2011.
Selama 15 tahun di Uniflor, saya pernah dan sempat mengajar di 13 Prodi dari 17 Prodi yang ada di Uniflor pada saat ini (2015). Dunia saya memang dunia akademik. Dunia ilmu pengetahuan. Dunia membaca dan menulis. Uniflor menjadi panggung saya untuk merealisasikan bakat saya di bidang akademik.
Selama di Uniflor saya melakukan penelitian secara khusus tentang sastra NTT dan sastrawan NTT. Ada banyak tulisan saya tentang sastra dan sastrawan NTT.
Atas hasil penelitian itu, saya telah menerbitkan empat judul buku tentang sastra dan sastrawan NTT, yakni (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012), Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015), Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (2017), Antologi Esai dan Kritik Sastra NTT (2020).
Untung Tidak Jadi Mati
Dalam perjalanan hidup selama 65 tahun ini, saya pernah sakit panjang, meskipun tetap bisa mengajar. Pertengahan tahun 2014 saya menjalani operasi penyakit dalam dan dirawat di RS Elisabeth Semarang selama dua minggu.
Sampai dengan pertengahan tahun 2015 sakit saya tidak sembuh-sembuh. Maka, mulai 1 Juli 2015 saya putuskan untuk berpantang, yakni tidak makan daging (kecuali ikan) dan tidak makan telur. Ini sebagai harga yang harus saya bayar agar bisa sembuh dari sakit.
Ternyata tidak sembuh juga. Terasa hidup ini penuh dengan ancaman dan kecemasan.
Karena sudah tiga tahun tidak sembuh-sembuh, maka mulai 21 Juni 2018 saya ambil keputusan yang kedua, tetapi lebih ekstrim, yakni tidak makan nasi dari beras.
Terus makan apa? Makan makanan lokal yang ternyata banyak sekali dijual di pasar rakyat. Setelah tidak makan nasi, sakit memang mulai berkurang, tetapi masih mengeluh kecil-kecil sampai beberapa tahun kemudian.
Baru saya merasa sembuh dari gangguan sakit ini pada akhir bulan Desember 2021. Jadi, saya berada dalam bayang-bayang kecemasan dan kecemasan selama tujuh tahun (2014-2021). Selama tujuh tahun itu saya tetap mengajar, meski sedikit memaksa diri.
Yang anehnya, istri saya Ibu Christiana Sri Murni yang jarang sakit, hanya sakit tiga hari saja, langsung meninggal dunia.
Dia sakit setelah pulan Abdimas (Pengabdian Masyarakat) bersama mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum di Desa Mauponggo, Kabupaten Nagekeo.
Ini sungguh di luar dugaan. Di samping jarang sakit, dia juga sakit hanya tiga hari, terus meninggal. Sebagai suami saya merasa seperti belahan jiwa terpisah.
Dia meninggal dunia di RSUD Ende pada Rabu tanggal 17 Januari 2024 pukul 09.00 dalam usia 63 tahun. Dia dosen di Fakultas Hukum Uniflor selama 34 tahun (1990-2024). Inilah pengalaman yang membuat saya hilang keseimbangan dan rasanya menusuk kalbu.
Lepas Kaca Mata Setelah 45 Tahun
Pengalaman lain sepanjang usia 65 tahun ini adalah lepas kaca mata setelah 45 tahun. Saya pakai kaca mata selama 45 tahun tahun. Saya mulai pakai kaca mata tahun 1980 karena mata minus tinggi. Saya lepas kaca mata pada Januari 2025 di usia 65 tahun.
Cerita singkatnya begini. Pertengahan tahun 2024 saya divonis oleh Dokter Ahli Mata, Dokter Bimo dari Klinik Mata dr. Johanes Don Bosco Do, di Jln. Banteng, Ende, bahwa mata saya minus tinggi. Mata kiri minus 10, mata kanan minus 7,5.
Akhir tahun 2024 kedua mata saya divonis kena katarak. Mata kiri 100 % katarak (tidak bisa lihat) dan mata kanan 65 % katarak. Dokter melarang saya untuk membaca.
Awal Januari 2025 kedua mata saya dioperasi katarak. Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Di samping katarak hilang total, minusnya juga hilang.
Mata kiri yang minus 10 turun menjadi minus 0,75. Mata kanan yang minus 7,5 hilang dan berubah menjadi plus 2.
Sejak saat itu kedua mata saya terang-benderang. Saya merasa seperti kelahiran baru. Lepas kaca mata setelah 45 tahun.
Syukur Anak-Anak Sudah Mandiri
Sampai dengan masa pensiun tahun 2025 ini, syukur kepada Tuhan ketiga anak lelaki saya sudah punya kerja dan mandiri.
Anak pertama (sulung), Krisantus Sehandi, S.H., M.Kn. (Santus) bekerja sebagai Notaris/PPAT di Labuan Bajo sambil mengelola Penginapan Sehandi di Jln. Wisata, Waesambi, Labuan Bajo. Nikah pada 9 Agustus 2019. Istrinya dr. Maria Christina Soe (Christin) bekerja sebagai PNS di RSU Komodo di Labuan Bajo. Sudah dikarunia dua anak, yakni Krisanta Sehandi (Chaca) dan Antonius Halim Sehandi (Lim).
Anak ketiga, Krisogonus Sehandi (Gun) bekerja PNS di Dinas Perumahan Rakyat Kabupaten Ende. Belum menikah.
Di Usia Pensiun: Medsos dan Pesiar
Apa kesibukan pada masa pensiun? Tidak lain dan tidak bukan, tetap membaca, menulis, dan aktif di medsos. Juga pesiar-pesiar di anak-anak dan ciucu-cucu. *
Oleh Yohanes Sehandi
(Catatan: Tulisan ini merupakan penyempurnaan tulisan pendek saya yang sudah dimuat dalam beranda Facebook saya pada HUT saya ke-65 tanggal 12 Juli 2025).
Post a Comment for "Hari Ini 65 Tahun dan Pensiun"