Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Prasasti Pertemuan Lewat Antologi Puisi

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

Awalnya saya sempat ragu menerima permintaan Pater Fritz Meko, SVD, untuk menyusun Prolog buku puisi ini. Soalnya, buku ini merupakan karya bersama dua orang penyair yang mempunyai sejumlah titik beda, Ibu Erna Suminar dan Pater Fritz Meko, SVD. Seandainya buku ini karya pribadi Fritz Meko, SVD, bagi saya tidak masalah, karena sebelumnya, yakni tahun 2020, saya menyusun Prolog buku antologi puisi beliau berjudul Kasut Lusuh (Yogyakarta, Pohon Cahaya, 2020).

Namun, setelah membaca beberapa kali puisi-puisi dalam buku ini, saya merasa, tidak ada perbedaan mencolok antara puisi-puisi Erna Suminar dan puisi-puisi Fritz Meko, SVD. Akhirnya saya bersedia menulis Prolog untuk buku ini. Semoga Prolog ini bisa menjadi jembatan bagi para pembaca agar dapat menikmati keindahan bentuk dan menyelami kedalaman nilai puisi-puisi yang terdapat dalam buku antologi puisi ini.

Buku puisi ini berjudul Pertemuan, dengan anak judul Antologi Puisi Sufistik. Dengan membaca judulnya, kita sebagai pembaca langsung menangkap pesan tersurat dan tersirat dari kedua penyair. Bahwa buku ini hadir sebagai bukti bahwa betapa intensifnya “pertemuan” antara kedua penyair ini, baik secara fisik-lahiriah maupun spiritual-batiniah.

Kalau kita menggunakan kacamata umum, kedua penyair ini sebetulnya sulit untuk “dipertemukan” karena ada banyak perbedaan di antara keduanya. Namun, setelah kita membaca Sekapur Sirih yang ditulis oleh keduanya, diperkuat dengan isi dan pesan puisi-puisi yang terdapat dalam buku ini, barulah kita mendapatkan kacamata baru, bahwa meskipun ada sejumlah titik beda, namun jauh lebih banyak titik temu di antara keduanya. Titik temu inilah yang harus diperbanyak. Inilah pesan berharga, sekali lagi pesan berharga, dari penyair Erna Suminar dan penyair Fritz Meko, SVD, kepada kita para pembaca warga bangsa ini: “Kurangi titik beda, perbanyak titik temu.”

Betapa tidak. Ibu Erna Suminar seorang perempuan, dari suku Sunda, istri dari seorang suami, dan ibu dari beberapa orang anak. Erna Suminar lahir pada 13 September 1966 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau penganut Islam yang taat, berjilbab, aktivis masjid, dengan latar pendidikan komunikasi, kini sedang menyelesaikan tingkat Doktor komunikasi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Dalam beberapa tahun terakhir beliau melakukan riset komunikasi di daratan Timor, khususnya di Timor Tengah Utara (TTU).

Sebaliknya Pater Fritz Meko, SVD. Dia seorang pria, dari suku Timor, biarawan Katolik dari Tarekat SVD (Societas Verbi Divini), dan tidak berkeluarga. Fritz Meko, SVD,  lahir pada 21 Juni 1963 di Manamas, Kabupaten TTU, NTT. Latar belakang pendidikan bidang filsafat dan teologi, kini sedang menyelesaikan Doktor dalam bidang teologi kontekstual di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang, dengan wilayah penelitian di Timor Tengah Utara (TTU).  

Gambaran Umum Isi Buku

Marilah kita melihat gambar umum isi buku antologi puisi bersama ini. Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian I berjudul “Menyusuri Padang Waktu,” berisi 44 judul puisi karya penyair Erna Suminar. Ada puisi pendek yang hanya satu bait, ada yang sedang, ada pula yang panjang. Sebagian besar puisi disusun dalam bentuk baris dan bait, meskipun ada beberapa puisi yang disusun dalam bentuk paragraf seperti sebuah prosa, yakni puisi nomor 18, 38, dan 40. 

Dari 44 judul puisi, hanya 9 puisi yang dapat ditelusuri riwayat hidup kelahiran dan proses kreatif penciptaannya, yakni tahun 2018 (satu puisi), 2019 (tiga puisi), dan 2022 (lima puisi), karena ke-9 puisi itu memiliki kolofon. Kolofon adalah keterangan yang tercantum pada bagian akhir setiap puisi yang berisi tempat dan tanggal kelahiran atau penciptaan sebuah puisi.

Bagian II berjudul “Pada Tepi Harapan,” berisi 44 judul puisi karya penyair Fritz Meko, SVD. Sama halnya dengan puisi-puisi Erna Suminar, puisi-puisi Fritz Meko, SVD, juga ada yang pendek, ada yang sedang, ada pula yang panjang. Sebagian besar puisi disusun dalam bentuk baris dan bait, meskipun ada banyak puisi yang disusun dalam bentuk baris dan bait yang longgar sesuai dengan amanat yang hendak disampaikan penyair. Ada banyak pula puisi yang disusun mirip paragraf layaknya sebuah prosa.

Semua puisi Fritz Meko, SVD, dapat dilacak atau ditelusuri riwayat hidup dan proses kreatif penciptaannya, karena setiap puisi memiliki kolofon. Berdasarkan kolofon itu, maka diketahui, bahwa ke-44 puisi Fritz Meko, SVD, ini diciptakan selama dua tahun, yakni tahun 2021 sebanyak 32 puisi, dan tahun 2022 sebanyak 12 puisi. Latar penciptaan ke-44 puisi penyair ini terjadi di daratan Timor, dengan variasi tempat. Terbanyak di Kupang, yang lain di So’E, Kefamenanu, Manamas, Nenuk, Bolok, Noemuti, Bello, Halilulik, dan Maubesi.

Ciri khas yang menonjol puisi-puisi Erna Suminar dan Fritz Meko, SVD, dalam buku antologi Pertemuan ini adalah puisi sufistik sebagaimana tersirat dalam anak judul buku. Lewat Sekapur Sirih buku ini, kedua penyair mengakui bahwa puisi sufistik banyak memberi inspirasi kepada keduanya. Meskipun tidak semua puisi dalam buku ini berciri sufistik, namun ciri khas itulah yang menonjol. Semua puisi dalam buku ini cukup komunikatif, mudah ditangkap maknanya, termasuk pembaca awam sekalipun.

Kedua penyair menggunakan kata-kata biasa yang mudah dipahami. Kedua penyair mengandalkan kekuatan makna kata-kata atau “tergantung pada kata” (meminjam istilah ilmuwan sastra, A. Teeuw) dalam mengemban nilai dan amanat pada puisi-puisinya, bukan pada kata-kata simbol dan metafora yang rumit dan berbelit-belit. Ada banyak penyair Indonesia yang menyusun puisinya dengan mengandalkan kekuatan makna kata-kata, seperti Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Joko Pinurbo, dan Abdul Hadi WM.

Penyair Erna Suminar dan Fritz Meko, SVD, sepertinya mengharapkan agar para pembaca dengan mudah menyelami puisi-puisi yang mereka ciptakan. Dengan demikian, para pembaca tidak hanya menikmati isi buku puisi ini dari perspertif sastra, tetapi juga dari perspektif spiritual-batiniah. Maka, jadilah puisi-puisi dalam buku ini minim bahasa simbol dan metafora rumit.

Kedua penyair sepertinya berprinsip, apalah gunanya menulis puisi penuh bahasa simbol dan metafora rumit dan gelap yang ternyata tidak dapat dipahami para pembaca. Meskipun minim bahasa simbol dan metafora, kadar puisi-puisi buku ini sebagai karya sastra tidak berkurang. Ada banyak penyair Indonesia yang kurang peduli dengan bahasa simbol dan metafora dalam puisi mereka.

Pertemuan Lewat Jalur Sastra

Meskipun kedua penyair ini memiliki latar belakang pribadi, suku, agama, dan pendidikan yang berbeda bahkan bertentangan, namun keduanya berhasil membangun pertemuan monumental lewat penerbitan buku antologi puisi ini. Itulah sebabnya saya menyebut buku antologi puisi ini sebagai “Prasasti Pertemuan Lewat Buku Antologi Puisi,” sebagaimana tertera pada judul Prolog ini.

Mengapa kedua penyair berhasil membangun prasasti pertemuan lewat penerbitan buku antologi puisi? Jawabannya, karena pertemuan keduanya tidak hanya secara fisik-lahiriah, tetapi juga, bahkan terutama, secara spiritual-batiniah. 

Kalau hanya secara fisik-lahiriah, tentu kenangan pertemuan itu tidak bertahan lama, sebagaimana pertemuan pada umumnya yang biasa kita alami selama ini. Pertemuan kedua penyair ini lebih banyak dilakukan secara spiritual-batiniah. Hal itu terjadi karena keduanya memiliki minat yang sama dalam bidang sastra, musik, dan sains.

Pertemuan secara spiritual-batiniah lewat jalur sastra inilah yang menghasilkan karya monumental, berupa buku antologi puisi sufistik ini. Pertemuan keduanya lewat jalur sastra, terutama jalur sastra sufi atau sastra tasawuf yang salah satu penyair besarnya adalah Jalaluddin Rumi (1207-1273). “Jalaluddin Rumi menjadi titik pusat di mana jiwa sastra kami bertemu,” tulis Erna Suminar dalam Sekapur Sirih buku ini.

Lebih lanjut Erna menulis: “Puisi sufistik dipengaruhi oleh pengalaman batin dan rekreasi jiwa. Sastra sufistik adalah pengalaman batin yang mempribadi, juga saat menghayati pengalaman imani. Saya sadari benar, identitas agama kami berbeda, dan membiarkannya tetap dengan jati diri kami masing-masing. 

Mungkin, dalam buku ini terlihat jelas garis pemisah secara aqidah, namun saya selalu percaya bahwa output terbaik dari iman adalah cinta kasih dan ketulusan pelayanan. Cinta adalah derajat perasaan tertinggi, ketulusan adalah derajat perbuatan tertinggi. Antara cinta dan ketulusan tak dapat saling meniadakan.”

Dalam Sekapur Sirih buku ini pula Fritz Meko, SVD, bercerita tentang pertemuannya dengan Erna Suminar: “Tentu, pembicaraan dalam pertemuan kami, menjadi seru saat kami tahu bahwa kami sama-sama menyukai sastra, menyukai musik dan juga berbicara mengenai proyek penelitian ilmiah kami masing-masing. Titik temu kami sangat banyak, terutama saat pembicaraan kami tentang sastra menyentuh nama Jalaluddin Rumi seorang mistikus besar Islam.”

Lebih lanjut Fritz Meko, SVD, menulis: “Karena pertemuan kami lebih banyak difasilitasi pengalaman batin dan kreasi jiwa yang mengarungi derajat bantahan karena pengalaman batin kami mempribadi, juga di saat memaknai penghayatan iman kami. Kami tetap kokoh dengan identitas keagamaan kami yang kuat: ERNA Islam sejati dan FRITZ Pastor Katolik dari Tarekat SVD.”

Apa Itu Puisi Sufistik?

Berdasarkan berbagai referensi yang ada, puisi sufistik merupakan bagian dari sastra sufistik. Sastra sufistik adalah ragam sastra atau aliran sastra yang dipengaruhi oleh ajaran sufisme atau tasawuf dalam ajaran Islam. Puisi sufistik berisi kerinduan penyair kepada Tuhannya, hakikat hubungannya dengan Sang Khalik, dan segala perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius.            

Puisi sufistik dikenal luas dalam khazanah sastra Islam karena bersumber dari kitab suci Alquran. Sastra sufistik tidak jauh berbeda dengan sastra religius dalam pengertian umum. Sastra sufistik kebanyakan berupa puisi. Para sufi biasanya mengambil kisah-kisah dalam Alquran yang menggambarkan rasa cinta terhadap Tuhan, kedamaian dan ketentraman jiwa melalui keyakinan dan iman yang mendalam terhadap Tuhan Sang Pencipta. Sastra sufistik muncul dan tersebar luas di Timur Tengah.

 

Salah satu penyair sufistik yang sangat terkenal di tingkat dunia adalah Jalaluddin Rumi (1207-1273) yang diakui kedua penyair kita ini sebagai idola keduanya. Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi dari Persia, teolog sekaligus ulama Islam. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan dalam beragam genre sastra. Jalaluddin Rumi dikenal sebagai salah satu penyair terpopuler dan terlaris, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di berbagai negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat.

 

Pengaruh sufisme dalam khazanah sastra Indonesia, berdasarkan berbagai referensi yang ada, muncul sejak masa sastra Melayu klasik pada akhir abad ke-16 Masehi. Pada masa itu, pengaruh Islam ditandai dengan munculnya berbagai hikayat para nabi dan pahlawan Islam. Sastra sufi juga muncul lewat puisi-puisi sufistik karya penyair Hamzah Fansuri masa sastra Melayu klasik itu.

 

Dalam perkembangannya di Indonesia, yakni pada masa Pujangga Baru tahun 1930-an, puisi sufistik atau puisi yang secara tematik dipengaruhi tasawuf dalam Islam, memperlihatkan mata rantai cukup jelas pada karya-karya penyair Amir Hamzah (1911-1946). Bisa ditelusuri dalam dua antologi puisi Amir Hamzah, yakni Nyanyi Sunyi (1935) dan Buah Rindu (1959).

 

Pada dasawarsa tahun 1970-an dan 1980-an bahkan sampai sekarang ini, penyair sufistik Indonesia yang sangat kuat dan menonjol adalah Abdul Hadi WM. Abdul Hadi WM lahir di Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Beliau telah menerbitkan banyak buku antologi puisi yang berisi puisi-puisi sufistik. Dapat disebutkan di antaranya adalah buku Laut Belum Pasang (1972), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin (1977), Anak Laut, Anak Angin (1984), dan Tuhan, Kita Begitu Dekat (2012). Beliau juga menulis sejumlah buku kumpulan esai tentang sastra sufi.

 

Berikut ditampilkan salah satu puisi sufistik karya Abdul Hadi WM yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang termuat dalam buku Tuhan, Kita Begitu Dekat (2012).

TUHAN, KITA BEGITU DEKAT
(Abdul Hadi WM)

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

Puisi sufistik karya Abdul Hadi WM di atas mengandung makna yang dalam. Antara si aku lirik (bisa penyair, bisa juga tidak) dengan Tuhannya terjalin komunikasi yang sangat intim. Sebagai pembaca kita dapat merasakan kedekatan penyair dengan Tuhannya. Kedekatannya tidak terpisahkan. Hanya rasa keimanan yang kuat dan teguhlah yang mampu mendekatkan hubungan antara si aku lirik dengan Tuhannya.

Diksi atau pilihan kata dalam puisi ini sangat kuat dan tepat menggambarkan isi yang terkandung di dalamnya yang merupakan perbandingan hubungan kedekataan itu. Pilihan sejumlah majas metafora atau majas perbandingan yang dipakai penyair juga sangat mengena: sebagai api dengan panas, seperti kain dengan kapas, seperti angin dan arahnya. Ada pula majas personifikasi, yakni benda mati seolah-olah menjadi benda hidup: kini aku nyala, pada lampu padammu.

Buku Antologi Puisi Sufistik

Buku antologi puisi karya bersama Erna Suminar dan Fritz Meko, SVD, ini adalah buku antologi puisi sufistik. Hal tersebut dimaklumi karena kedua penyair adalah pencinta sastra, terutama sastra sufistik atau sastra tasawuf dalam khazanah Islam atau sastra religius dalam khazanah sastra umum. Betulkah buku puisi ini sebagai buku kumpulan puisi sufistik? Marilah kita coba mencermati ke-88 puisi dalam buku ini.

Setelah saya mencermati dan membaca berulang-ulang puisi-puisi dalam buku antologi bersama ini, saya temukan bahwa sebagian puisi kedua penyair dalam buku ini termasuk dalam kelompok puisi sufistik atau puisi religius. Puisi-puisi sufistik itu terutama puisi-puisi pada bagian awal karya Erna Suminar (perhatikan puisi nomor 1 sampai nomor 18) dan puisi-puisi awal karya Fritz Meko, SVD (perhatikan puisi nomor 1 sampai nomor 18), sedangkan sebagian puisi yang lain ciri khas sebagai puisi sufistik kurang menonjol, bahkan sebagian yang lain tidak termasuk puisi sufistik, tetapi puisi bertema umum.

Puisi-puisi sufistik kedua penyair disusun dengan cukup cermat dan serius. Struktur puisi disusun dengan bentuk yang indah dengan kedalaman makna dan nilai iman yang kuat sebagai pesan religiusitasnya. Bobot sastra puisi-puisi sufistik dalam buku ini tidak kalah dengan bobot puisi-puisi karya para penyair sufistik yang dikenal di tingkat nasional, bahkan tingkat dunia.

Mari kita ambil contoh satu contoh puisi sufistik karya Erna Suminar yang berjudul “Menyusuri Tempat-Mu” (puisi ke-3) dan satu contoh puisi sufistik karya Fritz Meko, SVD yang berjudul “Kuingin Lebih Dekat dengan-Mu” (puisi ke-3). Mari kita nikmati bersama kedua puisi ini dan coba bandingkan dengan puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM di atas.

MENYUSURI TEMPAT-MU
(Erna Suminar)

Menyusuri jalan menuju tempat-Mu, Kekasih
Aku laksana debu yang melayang
Jalanan panjang telah kutebus dengan usiaku
Melalui waktu yang Engkau cipta.

Apakah jalan-jalan ke tempat-tempat
Di hamparan bumi adalah bayang-bayang
Pelabuhan hati adalah drama dari kepingan
Butir debu pasir di lautan.

Semua jalan berakhir di tempat-Mu
Semua perahu berlabuh di pantai-Mu
Yang abadi adalah cinta-Mu
Yang abadi adalah

Rinduku pada-Mu. **

Puisi penyair Erna Suminar ini menggambarkan dengan sangat bagus hubungan intimnya dengan Tuhannya yang disebutnya sebagai: Kekasih (dengan huruf K kapital), Engkau (dengan huruf E kapital), dengan kata ganti untuk Tuhan, yakni Mu, pada frasa di tempat-Mu, di pantai-Mu, cinta-Mu, dan pada-Mu. Sebutan dan sapaan si aku lirik terhadap Tuhannya menunjukkan kedekatan dan intim. 

Si aku lirik menyebut dirinya sama sekali tidak berarti: sebagai debu yang melayang, dan butir debu pasir di lautan. Si aku lirik menyatakan, untuk sampai ke tempat-Mu harus melalui jalan atau melalui perahu: //Semua jalan berakhir di tempat-Mu/ Semua perahu berlabuh di pantai-Mu//. Tidak ada yang abadi menurut penyair Erna Suminar: //Yang abadi adalah cinta-Mu/ Yang abadi adalah/ Rinduku pada-Mu//.

INGIN LEBIH DEKAT DENGAN-MU
(Fritz Meko, SVD)

Tuhan-ku, Engkau sedang di mana?
Pada bibir pantai, hanya kujumpai pasir dan kepiting kecil berlari ke sana ke mari
Pada dahan pohon rindang, hanya ada alunan kicauan murai senja yang menyayat hatiku
Pada dapur kami, hanya ada periuk tanah dengan aroma kepul asap yang menggairahkan
Aku tetap bertanya, di manakah Engkau ber-ada?

Engkau membentang kerinduanku begitu panjang
Deraian keringat menetesi setiap langkah yang terayun mencari-Mu
Sejuk di pikiran adalah daya langit yang tersangkut pada ubun-ubun rinduku
Debar rasa di batin adalah melodi cinta yang menggugah setiap deret mata di tepi jalan.

Engkau sedang di mana?
Sejauh aku berlari, sejauh harapanku menjulur ke takhta-Mu
Aku begitu gundah mendengar lenguhan sapi di padang Timor
Kukira Engkau ada di lambungnya.

Ah .... Ternyata, saat kutatap keajaiban hidupku,
Aku sadar Engkau begitu dekat denganku
Tapi noda di mataku menghalangi kemuliaan-Mu
Yang tersamar agung dalam setiap warna hidupku. **

* Boentuka – Benlutu, Februari 2022

Sama seperti penyair Erna Suminar, penyair Fritz Meko, SVD, juga menyapa Tuhannya dengan sebutan Engkau (huruf E kapital), kata ganti orang kedua tunggal yang menunjukkan keakraban. Dalam pergaulan kita sehari-hari menyebut engkau atau kau kepada lawan bicara dinilai kurang sopan. Apakah Tuhan marah karena menyebutnya Engkau? Rupanya tidak. Karena dalam doa-doa kita, kita menyapa Tuhan dengan Engkau untuk menunjukkan kedekatan antara Tuhan dengan anak-anak-Nya.

Puisi penyair Fritz Meko, SVD, yang berjudul “Ingin Lebih Dekat dengan-Mu” di atas  menunjukkan bahwa si aku lirik mengalami kegelisahan bahkan kecemasan mendalam akan keberadaan Tuhannya. Tentu ini kegelisahan seorang imam atau biarawan Katolik dalam mencari Sang Penciptanya. Ada tiga pertanyaan bernada gelisah dan cemas si aku lirik dalam puisi yang terdiri atas empat bait di atas, yakni (1) Tuhan-ku, Engkau sedang di mana?, (2) Aku tetap bertanya, di manakah Engkau ber-ada?, (3) Engkau sedang di mana?

Setelah si aku lirik mempertanyakan keberadaan Tuhannya dan tidak mendapat jawaban yang memadai, pada akhirnya si aku lirik menyadari kedangkalan dan keterbatasannya: //Ah ... Ternyata, saat kutatap keajaiban hidupku/ Aku sadar Engkau begitu dekat denganku/ Tapi noda di mataku menghalangi kemuliaan-Mu/ Yang tersamar agung dalam setiap warna hidupku//.

Erna Suminar di Mata Fritz Meko, SVD

Pertemuan intensif secara fisik dan terutama secara batin lewat jalur sastra antara penyair Erna Suminar dan Fritz Meko, SVD, melahirkan karya kreatif yang menggambarkan sosok sahabat di mata kedua penyair ini. 

Pada waktu dengar berita bahwa Ibu Erna Suminar akan segera meninggalkan Timor dan kembali ke Bandung, setelah sekitar sepuluh tahun pulang-pergi Bandung-Timor, hidup dan membaur dengan masyarakat beragama Katolik di Timor Tengah Utara (TTU), tergeraklah hati sahabatnya Pater Fritz Meko, SVD, untuk menulis puisi menunjukkan gejolak perasaan terdalamnya, mengapa perspisahan itu harus terjadi. Mengapa engkau pergi?

Lewat puisi berjudul “Sahabat: Mengapa Engkau Pergi: Kepada Si Pencari Hikmah yang Berjilbab” (puisi ke-36) Pater Fritz Meko, SVD, menumpahkan isi hatinya tentang sosok Ibu Erna Suminar, yang disebutnya sebagai Si Pencari Hikmah yang Berjilbab. 

Memang ada beberapa puisi Fritz Meko, SVD, dalam buku ini, yang bisa ditafsirkan untuk sahabatnya Erna Suminar, namun puisi yang ditampilkan ini sudah bisa menggambarkan secara utuh sosok Erna Suminar, di mata Fritz Meko, SVD.

SAHABATKU: MENGAPA ENGKAU PERGI
Kepada: Si Pencari Hikmah yang Berjilbab
(Fritz Meko, SVD)

Sahabatku                                                                                                                                                    Mengapa engkau pergi meninggalkan kami?                                                                         
Tidak tahukah bahwa senyum manismu masih dikulum                                                       Raut jalan yang pernah engkau lintasi di nusa ini?                                                              Dan aroma dirimu masih menghampar di sudut-sudut kampung                                           Yang riang, seriang kehadiranmu yang selalu membuat rindu.

Sahabatku ....
Jangan biarkan embun cintamu pupus dari sanubari kami semua
Jangan biarkan siul murai menambah rasa perih di dada kami
Jangan biarkan lolong anjing menggelegar, hingga rindu kami padamu menguap.

Biarkan bayanganmu tetap meliuk pada kemilau setiap bulan purnama
Biarkan namamu tertoreh pada dinding jiwa para sahabatmu di sini
Biarkan keramahanmu membayang pada relung hati kami semua. 

Suatu saat, semesta akan membawamu kembali ke sini
Semesta telah menghitung jarak antara ujung rambut dan ujung jari kakimu
Di sana, ada sederet kenangan yang tak’an pupus dalam ruas-ruas waktu. **

*  Kupang, 28 Desember 2021.

Lewat puisi ini Pater Fritz Meko, SVD, menunjukkan kesedihan dirinya dan kesedihan sahabatnya yang meninggalkan Timor. Berpisah dengan sahabat-sahabat di Timor yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, khususnya masyarakat yang beragama Katolik di pelosok-pelosok desa Timor Tengah Utara (TTU). 

Namun Pater Fritz Meko, SVD, tetap mempunyai keyakinan bahwa suatu waktu sahabatnya Erna Suminar akan kembali ke Timor mengunjungi sahabat-sahabatnya, dalam perjalanan waktu, cepat atau lambat.

Pater Fritz Meko, SVD, menulis: //Suatu saat, semesta akan membawamu kembali ke sini/ Semesta telah menghitung jarak antara ujung rambut dan ujung jari kakimu/ Di sana, ada sederet kenangan yang tak’an pupus dalam ruas-ruas waktu//.

Fritz Meko, SVD, di Mata Erna Suminar

Sebagai sahabat, penyair Erna Suminar tahu keunggulan dan kelemahan sahabatnya Friyz Meko, SVD. Penyair Erna memahami tantangan dan rahasia jalan hidup yang akan ditempuh sahabatnya, penyair Fritz Meko, SVD. 

Penyair Erna Suminar dengan sangat bagus menggambarkan sosok sahabatnya Fritz Meko, SVD, dalam dua judul puisinya yang indah, yakni puisi “Pilgrimage of Life: Kepada P. Fritz Meko, SVD” (puisi ke-31) dan puisi yang berjudul “Pelintas” (puisi ke-32). Mari kita nikmati kedua puisi berikut ini.       

PILGRIMAGE OF LIFE
Kepada: P. Fritz Meko, SVD
(Erna Suminar)

Apa yang kau dapati dari lipatan-lipatan halus rahasia hidup itu, 
Sahabat?
Warna-warni langit, derai-derai gerimis dan ayunan angin
Telah jatuh jadi pantulan cermin di lautan
Derai-derai gerimis serupa kelopak-kelopak
Dan ayunan angin meniupnya tanpa meninggalkan jejak
Adakah engkau dapat meraih kedalaman samudera-Nya?

Kitalah para musafir itu, Sahabat
Yang tak akan pernah mampu menyingkap rahasia
Selalu terdampar dalam labirin tanya
Tentang hidup, tentang sebelum ada dan setelah tiada.

Selayak angin yang tak pernah tahu akan berhenti di mana
Dan bagaimana mula-mula
Kita hanya mampu merasakan desirnya
Merasakan dinginnya
Merasakan panasnya
Kita hirup udaranya.

Maka hiruplah udara sekuat-kuatnya
Hembuskan nafas melepas bebas
Sebab cinta adalah udara-Nya.

Biarkan ia menyatu bersama laut, bersama langit, bersama angin
Biarkan cahaya-Nya merasuki partikel-partikelnya
Mmenuhi dada kita.

Bagaimana kita akan memahami rahasia itu, Sahabat?
Sebab kita adalah rahasia-Nya
Rahasia di dalam Rahasia. **

PELINTAS
(Erna Suminar)

Karena engkau telah ditakdirkan menjadi pelintas itu,  
Sahabat
Yang tak akan pernah menetap Kau akan dihadapkan banyak persimpangan perasaan
Di tempat yang selalu jauh dari rumah
Yang kerap menawarkan perjalanan sekaligus misteri
Lalu, saat kau dicintai dan mencintai
Kau pun harus segera beranjak pergi.

Perjalanan itu sekarang, Sahabat
Adalah rangkaian teka-teki hidupmu
Sekaligus jawaban
Dan kau akan terus berkelana menembus batas
Perasaanmu, kesedihanmu, kesepianmu
Kebahagiaanmu dan juga harapanmu.

Suatu hari
Saat dalam doa pagimu
Kau mengakui titik kerapuhan hatimu
Aku akan menerbangkan doa-doa ke langit
Menyatukan doa bersamamu

Bahwa kau akan kuat. **

Pada puisi “Pilgrimage of Life: Kepada P. Fritz Meko, SVD,” penyair Erna Suminar tahu persis suka duka dan misteri perjalanan hidup sahabatnya sebagai seorang biarawan Katolik. Rahasia iman itu disebut penyair Erna Suminar sebagai lipatan-lipatan halus rahasia hidup, yang penuh warna-warni langit, derai-derai gerimis, dan ayunan angin. 

Apakah dengan itu, engkau sahabat Fritz Meko, SVD, dapat meraih kedalaman samudera-Nya? Pada bait terakhir puisi ini penyair Erna menulis: // Bagaimana kita akan memahami rahasia itu, Sahabat?/ Sebab kita adalah rahasia-Nya/ Rahasia di dalam Rahasia//.

Dalam puisi berikutnya berjudul “Pelintas,” penyair Erna Suminar menyebut sahabatnya penyair Fritz Meko, SVD, sebagai “pelintas” atau “pelintas batas,” dan itu sudah ditakdirkan untuk sahabatnya itu. 

Karena sudah ditakdirkan sebagai pelintas, menurut Erna,  engkau sahabat tak akan pernah menetap, akan dihadapkan banyak persimpangan perasaan, selalu jauh dari rumah, menawarkan perjalanan sekaligus misteri, lalu, saat kau dicintai dan mencintai, kau pun harus segera beranjak pergi.

Pada bait terakhir puisi “Pelintas” ini penyair Erna Suminar menunjukkan sikap puncak kedewasaan seorang umat beragama, yakni pada saat setiap jiwa sanggup menerima perbedaan, dan melihatnya sebagai warna-warni yang indah untuk dikagumi dan dihormati – selebihnya bertarung untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan kepada alam dan sesama untuk dipersembahkan kepada Tuhan.

Menurut saya, bait terakhir puisi Erna Suminar ini merupakan puncak persembahan Erna Suminar sebagai seorang umat beriman kepada sahabat karibnya yang bernama Fritz Meko, SVD. Bait terkhir ini, kalau Pater Fritz Meko, SVD, membacanya dengan pelan dan pelan serta dengan kedalam jiwa yang sunyi, bisa meneteskan air mata: //Suatu hari/ Saat dalam doa pagimu/ Kau mengakui titik kerapuhan hatimu/ Aku akan menerbangkan doa-doa ke langit/ Menyatukan doa bersamamu/ Bahwa kau akan kuat//. *

Universitas Flores, Ende, 22 Oktober 2022   

 

 

Post a Comment for "Prasasti Pertemuan Lewat Antologi Puisi"