Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Lamafa Salah Menikam Ikan Paus, Membedah Novel Suara Samudra Karya Maria Matildis Banda

Yohanes Sehandi 
Universitas Flores, Ende, yohanessehandi@gmail.com

A.  PENDAHULUAN

Artikel ini membedah novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda. Novelis Maria Matildis Banda lahir pada 29 Januari 1960 di Bajawa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Meraih gelar Sarjana (S-1) di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. Gelar Magister (S-2) diraih di Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Gelar Doktor (S-3) diraih di Fakultas Pascasarjana Universitas Udayana. Pada saat ini Maria Banda menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pernah menjadi dosen di Universitas Nusa Cendana, di Kupang, Universitas Flores, di Ende, dan STFK Ledalero, di Maumere. Telah menerbitkan beberapa judul buku novel dan buku cerita pendek.

Novel ini menarik dan urgen untuk dikaji karena mengangkat tema perburuan ikan paus (physeter macrocephalus) oleh masyarakat nelayan di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Provinsi NTT. Tradisi perburuan ikan paus hanya terjadi di Lamalera. Tidak ada di tempat lain di Indonesia bahkan di dunia ini. Itulah sebabnya Lamalera menjadi salah satu tempat distinasi wisata di Indonesia.

Penangkapan ikan paus ini merupakan teradisi nenek moyang orang Lamalera yang sudah berlangsung sejak akhir abad 16/17 sampai dengan saat ini (Beding, 2020: 8). Pada musim leva, yakni musim berburu ikan paus, yang dimulai bulan Mei sampai Oktober setiap tahun, rombongan ikan paus muncul di peraraian Lamalera untuk menyerahkan diri. Menurut keyakinan masyarakat setempat yang beragama Katolik ini, rombongan ikan paus yang menyerahkan diri itu dikirim secara khusus oleh Tuhan yang Mahakuasa dan para leluhur untuk menghidupi penduduk Lamalera.

Gubernur NTT, Vitor Bungtilu Laiskodat, dalam waktu peresmian 21 Victory Homestay di Lamalera pada 28 Juli 2020, menyatakan, tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera akan dipromosikan di tingkat dunia agar menjadi daerah tujuan wisata yang handal. Dalam beberapa tahun belakangan ini, Lamalera memang memiliki daya tarik wisatawan luar biasa, baik wisatawan nasional maupun mancanegara (Pos Kupang, 31/7/2020). Kalau di Greenland, Kanada, atau di kutub selatan ada tradisi berburu anjing laut dan penguin, di Indonesia ada tradisi perburuan ikan paus. Itulah sebabnya Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, telah menjadikan Lamalera sebagai salah satu dari tujuh destinasi wisata unggulan di Provinsi NTT (Media Indonesia, 21/8/2021),

Tema penangkapan ikan paus dalam novel Suara Samudra ini menunjukkan bagaimana tradisi nenek moyang orang Lamalera menjadikan ikan paus sebagai sumber penghasilan untuk kehidupan mereka sehari-hari. Mereka tidak mempunyai lahan pertanian dan perkebunan. Desa Lamalera dipenuhi bebatuan dan bukit karangan yang curam. Mereka hanya memiliki pantai dengan hamparan pasir halus tempat menyimpan perahu yang berderet-deret. Tidak gampang memang menangkap ikan paus dengan panjangnya sekitar 10-15 meter, tinggi sekitar 1,5-2 meter, apalagi mereka menggunakan perahu sederhana. Hanya orang Lamalera memiliki keberanian seperti ini.  

Fokus kajian artikel ini adalah pada kesalahan fatal juru tikam atau lamafa dalam perburuan ikan paus di Lamalera yang terdapat dalam novel Suara Samudra ini. Kesalahan fatal lamafa ini terjadi, bukan hanya karena lamafa keliru dalam menentukan mana jenis ikan paus yang pantas untuk ditikam dan mana yang pantang, tetapi juga karena lamafa sebagai tokoh utama novel masih memikul dosa masa lalu yang belum terselesaikan secara adat dan secara agama Katolik. Kedua sebab inilah kemudian lamafa salah menikam ikan paus karena para leluhur marah. Akibatnya, para nelayan ini, yang terdiri atas lamafa, matros (para pendayung), dan peledang (perahu) mengalami musibah. Ada dua peledang yang pecah berantakan, dan para nelayan yang sisa terseret induk ikan paus ke samudra raya selama empat hari tiga malam.

Kajian ini menggunakan pendekatan objektif menurut teoretisi sastra M. H. Abrams. Di samping pendekatan objektif, Abrams juga mencetuskan pendekatan ekspresif, pragmatik, dan mimetik, Menurut Abrams (1971: 26-29), pendekatan objektif adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan menitikberatkan perhatian pada karya sastra itu sendiri. Karya sastra dilihat secara otonom, lepas dari berbagai pengaruh latar belakang sosial budaya yang ada di luarnya. Pendekatan objektif Abrams ini sama pengertiannya dengan pendekatan intrinsik yang dicetuskan Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 155-363).

Sedangkan teori kritik sastra yang digunakan adalah teori strukturalisme yang dicetuskan Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure (dalam Sehandi, 2014: 106), teori strukturalisme adalah teori yang menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur pembentuk karya sastra tersebut, seperti tokoh (perwatakan), alur (jalan cerita), setting (latar tempat dan waktu), dan tema (isi dan amanat cerita). Unsur-unsur intrinsik novel Suara Samudra ini tidak dibahas secara khusus dalam artikel, tetapi terintegrasi dalam keseluruhan pembahasan, sejauh unsur-unsur intrinsik itu berkaitan dengan fokus kajian sebagaimana disebutkan di atas.  

B.  METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara membaca, mencatat, dan memilah-milah isi bahan bacaan sesuai dengan pokok bahasan dan tujuan kajian yang hendak dicapai. Adapun tujuan kajian ini untuk mendeskripsikan kesalahan atau kekeliruan juru tikam atau lamafa pada waktu memburu ikan paus di Lamalera dalam novel Suara Samudra sehingga mengakibatkan musibah menimpa para nelayan tersebut. Hasil pembacaan terhadap novel Suara Samudra disaring dan dituangkan dalam kerangka pemikiran dalam pembahasan. Sumber data penelitian adalah buku novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda. Novel ini diterbitkan Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2017. Dibagi dalam 38 bagian/bab, tebal 485 halaman. Nomor ISBN 978-979-21-5289-0.

Metode pembacaan terhadap novel Suara Samudra dilakukan dengan tiga tahapan. Pertama, pembacaan atas seluruh buku novel dengan memperhatikan unsur-unsur intrinsik karya novel, seperti tokoh (perwatakan), alur (jalan cerita), setting (latar tempat dan waktu), dan tema (isi dan amanat cerita). Kedua, unsur-unsur intrinsik novel ditelusuri, kemudian dihubungkaitkan dengan keadaan masyarakat Lamalera sebagai latar tempat novel. Ditelusuri pula adat-istiadat, kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat Lamalera. Ketiga, dilakukan integrasi unsur-unsur intrinsik novel dengan mengidentifikasi persoalan yang dialami di darat dengan peristiwa yang terjadi di lautan. Akan terlhat relasi vertikal tokoh utama dengan Sang Pencipta dan leluhur. Demikian juga relasi horisontal tokoh utama novel dengan sesama manusia dalam hidup keseharian.

C.  HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jejak Awal Desa Nelayan Lamalera

Orang Lamalera mendiami sebuah desa nelayan bernama Lamalera, terletak di pesisir pantai selatan Pulau Lembata dengan Laut Sawu terbentang di depannya. Letak Desa ini sekitar 123,5 Bujur Timur dan 8,30 Lintang Selatan. Diperkirakan mereka berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, dilihat dari tipe perahu yang mereka gunakan. Jumlah penduduk sekitar 2.000 orang. Mata pencarian mereka nelayan. Mereka tidak mempunyai tanah untuk bertani dan berkebun. Seluruh wilayahnya penuh bebatuan dan bukit-bukit yang terjal.

Menurut catatan Alex Beding (2020: 8), sekitar abad 16/17, serombongan manusia perahu berasal dari timur, tiba di sebuah teluk kecil berpasir halus yang membentang. Menurut novelis Maria Matildis Banda (2017: 99-100) para leluhur manusia perahu yang kemudian menetap di  Lamalera itu datang dari Lepanbatan yang tenggelan akibat gelombang laut dahsyat sehingga  menghancurkan desa mereka. Kedatangan mereka pada awalnya ditolak penduduk setempat yang mendiami Desa Wulandoni dan sekitarnya, namun kemudian pendatang baru diterima karena mereka meminta tempat tinggal dengan baik-baik. Tuan tanah menyerahkan sebuah wilayah pesisir yang kini disebut Lamalera. Sejak saat itu, masyarakat Lamalera hidup rukun dan damai dengan masyarakat tetangga yang bertani dan berkebun. Kampung Lamalera pun dibangun di atas bebatuan dan bukit batu karang, ada yang disebut Lamalera A ada pula Lamalera B.  

Menurut Alex Beding (2020: 9), pada mulanya orang Lamalera menggunakan sampan atau bero untuk menangkap ikan di sepanjang pantai. Dalam perjalanan waktu, mereka tahu, ternyata di wilayah laut tempat mereka menangkap ikan, terdapat pula ikan-ikan besar, seperti ikan hiu, pari, dan paus. Mereka sangat bersyukur atas hal tersebut. Menangkap ikan paus tidak bisa menggunakan sampan atau bero yang sudah mereka miliki, karena terlalu kecil untuk berburu ikan paus.

Kemudian mereka membangun jenis perahu baru dengan desain khusus untuk menangkap ikan paus. Perahu baru itu mereka sebut peledang. Membangun sebuah peledang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi bersama-sama dalam satu kampung atau minimal dalam satu suku. Membuat peledang adalah pekerjaan besar. Tidak hanya secara material, tetapi juga secara spiritual. Pemilik peledang harus membebaskan diri dari beban dosa dan kesalahan terhadap sesama dan terhadap leluhur. Pada waktu peledang diluncurkan, segenap warga masyarakat Lamalera terlibat dalam upacara adat pelepasan dan memohon berkat untuk keberhasilan menangkap ikan paus.

2. Tradisi Menangkap Ikan Paus di Lamalera

Tradisi ini sudah turun-temurun karena merupakan tradisi leluhur orang Lamalera dengan menggunakan peledang yang dibuat dari susunan kayu dan papan. Panjang peledang sekitar 10-15 meter dengan tinggi sekitar 1,5-2 meter. Di bagian haluan ada sebuah anjungan yang dibuat dari papan sebagai tempat berdiri lamafa, orang yang berperan penting dalam berburu paus. Peledang digerakkan oleh para matros, yakni para pendayung yang duduk pada dua sisi peledang. Jumlah kru dalam satu peledang sekitar 7-10 orang. Lamafa berdiri di anjungan bagian haluan peledang dengan memegang sebuah bambu panjang yang ujungnya dipasang tempuling. Tempuling yang berkait itu dihubungkan dengan lambung peledang dengan tali panjang yang disebut tale leo. Tempuling adalah sebuah tombak tajam yang berkait untuk menikam paus. Karena bentuknya berkait maka begitu kena badan paus, tempuling itu tidak terlepas lagi, sampai paus itu tidak berdaya dan mati.


Aksi Juru Tikam Ikan Paus di Lamalera (Sumber: lentera24.com)

Pada saat ini ada puluhan peledang milik masyarakat Lamalera. Nama-nama peledang itu berkaitan dengan nilai dan kepercayaan suku pemilik peledang. Ada yang diberi nama Martiva Pukan, Sare Dame, Hama Hama, dan lain-lain. Setiap suku memiliki satu peledang. Kalau jumah anggota suku besar, maka dibuat peledang baru lagi. Diletakkan berjejer rapi di bawah naje, yakni bangsal-bangsal peledang di pasir tepi pantai kalau tidak melaut. Sebelum melaut, peledang beserta peralatan dan para nelayan dilepas ke lautan dengan upacara khusus.

Beginilah upacaranya. “Kepala suku bertindak sebagai pemegang upacara. Diletakkannya semua alat di atas balai-balai yang telah disiapkan. Kemudian diambilnya sebutir telur ayam, dipecahkannya, dan dioleskannya peralatan satu per satu. Beberapa saat kemudian, diambilnya tuak dan disiramnya di atas segenap peralatan itu. Secara simbolis memberi makan pada peralatan yang diyakini memiliki kekuatan dan kehidupan untuk tidak saja digunakan sebagai alat, namun melalui gerakan tangan ata mola peralatan itu pun bergerak dan mulai bekerja” Banda (2017: 66-67).

3.  Keputusan di Tengah Konflik Batin

Novelis Maria Matildis Banda menggambarkan, pada pagi hari itu, sembilan peledang para nelayan Lamalera menuju ke perairan Lamalera untuk menangkap ikan paus yang sudah menampakkan dirinya dengan cara menyemburkan air di permukaan laut untuk bernapas. Paus-paus itu datang dalam rombongan. Sembilan peledang itu sudah berada di tengah rombongan ikan paus. Ketiga peledang, yakni Sare Dame, Hama Hama, dan Martiva Pukan berada pada posisi berdekatan, saling menunggu satu sama lain. Pada saat satu peledang berada di puncak gelombang, peledang-peledang lain berada di kaki gelombang, dan satu perahu lain lagi tampak berjuang mencapai puncak. Arakian, lamafa dari Martiva Pukan yang berusia lima puluhan tahun, bersiap-siap untuk melompat tinggi dengan flake atau galah di tangan dan tempuling di ujung galah itu. Hatinya bergetar. Apakah masih lincah seperti dulu, sebelum dua puluhan tahun yang lalu?

Arakian kini berhadapan dengan rombongan paus dalam jumlah banyak, Konflik batin itu muncul dengan sangat hebat. Apakah tikam atau tidak? Apakah pantas atau tidak? Konflik batin Arakian semakin memuncak tatkala rombongan ikan paus berjarak dekat. Bagaimana dengan Mariana dan anaknya, Yosefina, Lelarat? Lamafa harus bebas dari beban dosa. Itu ajaran para leluhur. Perasaan Arakian teraduk-aduk. Apakah batin sudah bersih? Apakah sudah minta maaf?

Adapun beban batin Arakian terkait dengan mantan pacarnya Ana Mariana dan istrinya Ina Yosefina. “Ketika tidak sanggup lagi menjadi lamafa dan tidak dapat menjelaskan kepada segenap keluarganya mengapa Arakian lumpuh tiba-tiba dan mati-matian tidak mau melaut bersama Martiva Pukan? Belum ada pengakuan dan pertobatan dirinya sendiri untuk bisa mulai mengarungi samudra bersama Martiva Pukan” (Banda, 2017: 65).

Ana Mariana adalah mantan pacarnya yang dibawa lari secara paksa oleh Romansyah, anak seorang tentara yang sudah menjadi pengusaha besar di Denpasar. Pada malam dinihari sebelum Mariana dibawa lari Romansyah, Arakian dan Ana Mariana melampiaskan gemuruh cinta kedua lawan jenis ini di dalam lambung peledang Martiva Pukan di pantai Lamalera. Itu terjadi dua puluhan tahun lalu. Benih yang ditanam Arakian dalam rahim Ana Mariana kemudian melahirkan anak kembar Aurelia Lamberta Lera (dipanggil Lyra) dan Aurelius Lambertus Dika (yang kemudian menjadi pastor, dipanggil Pater Lama). Arakian belum berdamai (minta maaf) kepada Ana Mariana dan kedua anaknya, Lyra dan Pater Lama. Dalam waktu hampir yang bersamaan, Lyra anaknya Mariana dari Denpasar, sedang mencari jejak ayahnya Arakian di Lamalera.

Di samping bermasalah dengan Ana Mariana, Arakian juga bermasalah dengan istrinya Ina Yosefina. Yosefina direbutnya secara paksa dari pacarnya Lelarat (Paulus). Lelarat adalah saudara sepupunya Arakian. Yosefina direbut paksa keluarga besar Arakian, agar Arakian tidak larut putus asa karena kehilangan cinta pertamanya Ana Mariana. Meskipun hidup sebagai sumai istri dalam jangka waktu dua puluhan, Arakian tidak pernah menggauli Ina Yosefina sebagaimana layak suami-istri. Arakian menyimpan beban batin, karena belum minta maaf kepada Yosefina dan Lelarat.

4.  Ketika Lamafa Salah Menikam Ikan Paus

Seluruh kesadaran Arakian dihentakkan. Gelombang samudra semakin tinggi. Ketiga peledang berada dalam posisi siaga penuh. Paus besar berada di depan mata, sekitar dua meter. Kini tampak begitu dekat, searah dengan Martiva Pukan. Gemuruh dalam dada Arakian berdentuman saat terdengar teriakan dari enam peledang lain. Arakian terpana. Kini paus besar menjemputnya, hendak menyerahkan diri kepadanya. Arakian berhenti! Lompatlah Arakian. Sekarang juga Arakian (Banda, 2017: 170).

Samudra menggelora. Perahu terombang-ambing. Matros mendayung sekuat tenaga menghadapi koteklema yang timbul tenggelam. Arakian berdiri tegak di atas hamma lolo dengan napas tersengal. Batin terus berkecamuk. Bagaimana Mariana, Yosefina, Lelarat ... Jantung kembali berdebar kencang ketika suara lamafa lain memberi isyarat bahwa sudah tiga paus yang sudah ditaklukkan, dua koteklema, satu anak paus. Teriakan dan loncatan-loncatan lamafa berikutnya menampilkan sebuah pentas perjuangan antara langit di atas dan samudra raya di bawahnya.

Apakah Arakian harus menikam? Harus ambil keputusan? Dosa menumpuk di daratan, kini diuji di lautan. Bagaimana dengan Mariana, Yosefina, Lelarat, dan anak-anaknya? “Apa yang terikat di daratan, terikat pula di lautan.” Arakian ingat nasihat kakeknya sewaktu kecil dulu.

Arakiaaaaan …. Dadanya menggetarkan. Sambil berteriak dengan sekuat tenaga Arakian terbang melompat ke udara kemudian jatuh menikamkan tempuling di ujung tlake. Seluruh kekuatan tubuhnya terjun menekan dalam-dalam tubuh raksasa paus dalam hitungan detik. Tlake dilepaskan dan dia terjerembab jatuh dalam pelukan samudra raya. Arakian menyelam, timbul, dan menyelam lagi untuk memastikan di mana posisi koteklema yang sudah ditikamnya itu.

Lamafa dari Sare Dame dan Hama Hama yang ikut mengepung seguni raksasa itu terbang meloncat, terjun dengan tikaman-tikaman berikutnya. Induk besar itu mengamuk. Anaknya sudah ditikam lamafa yang lain. Hanya dengan sekali tikam, anak seguni itu mati. Induk seguni itu mengamuk sejadi-jadinya. Dia merasa terluka. Dia tahu pula anaknya sudah ditikam. Induk seguni menerjang tiga peledang di sekelilingnya. Peledang Hama Hama langsung terbongkar, berantakan. Sejumlah induk paus yang tersisa bergerak mendekati anak seguni yang tertikam, menyentuh tubuhnya sebentar dengan mulut, kemudian melanjutkan perjalanan.

Sial bagi Arakian! Dia melakukan kesalahan fatal. Kia, Pito, dan segenap nelayan dalam Martiva Pukan panik. Kesalahan fatal telah terjadi. Arakian menikam induk seguni yang masih menyusui anaknya. Itu pantang atau pemali dalam adat orang Lamalera. Sudah ada perjanjian dengan para leluhur, haram hukumnya untuk menikam paus jenis seguni yang masih menyusui anaknya. Juga seguni yang sedang bunting. Juga anak paus yang masih kecil.

5.  Musibah Akibat Salah Menikan Ikan Paus

Laut seputar induk paus itu berwarna merah. Kedua peledang mengepung untuk saling membantu, tetapi tiba-tiba seguni mengapung di permukaan. Dalam sekali putar ekornya menghantam, peledang Sare Dame pecah pada bagian kiri dan kemasukan air laut. Para nelayan berteriak untuk tetap bertahan. Yang lain berhasil masuk ke lambung Martiva Pukan, yang lain entah ke mana dalam gelombang laut lepas. Induk paus yang marah semakin mengamuk. Tersisa tinggal Martiva Pukan dengan jumlah nelayan 17 orang. Sudah melampaui kapasitas peledang.

Dengan sekuat tenaga para nelayan mengikuti tarikan seguni yang terluka dengan harapan seguni akan kelelahan dan mati. Setelah mati, akan segera ditarik ke pantai Lamalera. Namun apa yang terjadi? Justru sebaliknya. Paus induk jenis seguni ini menenggelamkan dirinya sehingga bebas dari tikaman tempuling para lamafa. Paus induk besar dengan tiga luka yang menganga terus bergerak menyeret Martiva Pukan ke dalam samudra mahaluas.

Para awak Martiva Pukan terpanah. Ritual kea sedang berlangsung di bawah permukaan laut. Ritual kea adalah ritual rombongan ikan paus yang satu per satu menyentuh peledang dan menyentuh paus yang tertikam secara perlahan dengan mulutnya, sebagai tanda perpisahan atau  ucapan selamat tinggal, setelah itu perjalanan dilanjutkan (Banda, 2017: 186).

Seguni terus menyeret makin makin jauh di ke kedalamanan samudra luas. Posisi peledang kini tidak tahu lagi ada di mana. Satu-satunya keputusan adalah memutuskan tale leo atau tali penghubung induk seguni dengan lambung Martiva Pukan. Dengan putusnya tali penghubung ini, maka perahu terbebas dari seretan paus induk, namun resiko baru terjadi, yakni Martiva Pukan terampung tak tentu arah. Tali penghubung itu pun diputuskan. Begitu putus, terjadi hal aneh yang membuat para nelayan tercengang. Berikut deskripsi novelis MM Banda terhadap hal tersebut.

“Beberapa detik setelah tale leo diputuskan, sekonyong induk seguni muncul di permukaan laut, menyemburkan air yang bercampur darah untuk mengambil napas. Tampak tali-temali di tubunya, kaffe numung atau tempuling yang tak terlihat, tetapi ada. Ketika paus muncul hilang timbul di permukaan laut, para nelayan menahan napas, menatap tak berkedip sekejab pun. Dia dapat menghancurkan peledang dengan segenap nelayannya dengan sekali sundul ataupun sekali tabrak. Namun, itu tidak dilakukannya. Bukan sifat koteklema seguni mau mengambil kesempatan dan membalas dendam secara manipulatif. Meskipun di hanya seekor koteklema seguni, akan tetapi kepekaan dan rasa hormatnya pada sesama makhluk hidup yang berbeda dari kelompoknya, tetap tertanamkan” (Banda, 2017: 280).

Tak mereka sadari, sudah empat hari tiga malam mereka berada di lautan lepas. Jagung titi sudah habis beberapa hari lalu. Air minum tidak ada lagi. Hanya keajaiban saja yang bisa menyelamatkan mereka. Di tengah kepanikan, datanglah sang penyelamat. Kapal pesiar Australia melintas dengan kapten kapal Bastian de Razoary asal Larantuka, Flores Timur. Dengan kebaikan hatinya, perahu dinaikkan dalam kapal dan dibawa ke Kupang ibukota Provinsi NTT. Hal itu dilakukan karena awak Martiva Pukan bersikeras agar peledang mereka harus diselamatkan. Mereka merasa Martiva Pukan telah menyelamatkan meraka dari musibah yang sangat dahsyat.


Pemberkatan Laut di Lamalera oleh Pastor Katolik (Sumber: mediantt.com)

Dinas Sosial NTT mewakili Pemda NTT menangani perawatan para nelayan tak berdaya ini. Martiva Pukan kemudian dibawa pulang ke Larantuka kemudian ke Lamalera. Martiva Pukan dimuat di atas KM Feri Ile Mandiri dari Kupang ke Larantuka, dari Larantuka ke Lamalera dengan KM Feri Inerie. Di Pantai Lamalera dibuat acara penerimaan peledang Martiva Pukan dan para nelayan yang selamat dari musibah besar akibat lamafa salah menikan ikan paus. Juga untuk mendoakan keselamatan arwah para nelayan yang hilang, karena lamafa salah menikam ikan paus. Upacara dilakukan secara adat Lamalera dan secara agama Katolik.

D.  KESIMPULAN

Perjuangan para nelayan Lamalera gagal membawa pulang koteklema atau ikan paus karena lamafa salah tikan. Salah tikam terjadi karena lamafa mempunyai beban dosa dan kesalahan yang belum terselesaikan. Menurut keyakinan masyarakat, sebelum melaut, para nelayan, terutama lamafa, harus bersih diri, tidak boleh ada dosa dan kesalahan. Kalau ada dosa dan kesalahan, harus segera diselesaikan secara adat dan secara agama Katolik. Setelah bersih baru bisa melaut.

Dalam novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda ini, lamafa Arakian memiliki beban batin terhadap mantan pacarnya Ana Mariana dan istrinya Ina Yosefina. Dia belum mengakui dosa-dosanya. Dia belum meminta maaf kepada Mariana dan dua orang anak hasil hubungan haram sebelumnya. Arakian juga belum minta maaf kepada istrinya Ina Yosefina yang sudah dinikahinya lebih dari dua puluh tahun, namun tidak pernah berhubungan badan layaknya sebagai suami-istri.

Beban dosa yang dilakukan di darat itu, mendapat pembuktiannya di laut. Apa yang terikat di darat, terikat pula di laut. Itu ajaran nenek moyang orang Lamalera. Arakian dan dua lamafa dari peledang Sare Dame dan Hama Hama salah menikan ikan paus. Mereka menikam induk seguni yang masih menyusui anaknya. Lamafa dari peledang lain juga menikam anak paus yang masih menyusui. Akibatnya, mereka terseret ke laut lepas oleh induk paus seguni yang terluka dan marah. Mereka terombang-ambing di atas peledang Martiva Pukan selama empat hari tiga malam.

DAFTAR PUSTAKA


Abrams, M. H. 1971. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.

Banda, Maria Matildis. 2017. Suara Samudra. Yogyakarta: Kanisius.

Beding, Alex. 2020. “Orang Lamalera dan Spirit Kelautan” (Seri 1), dalam majalah Warta    Flobamora, Edisi 83, Tahun VIII, 2020.

Beding, Alex. 2021. “Orang Lamalera dan Spirit Kelautan” (Seri 2), dalam majalah Warta    Flobamora, Edisi 84, Tahun IX, 2021.

Harian Media Indnesia, edisi 21 Agustus 2021.

Harian Pos Kupang, edisi 31 Juli 2020.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saussure, Ferdinand de. 1988. Cours de Linguistique Generale (Linguistik Umum). Yogyakarta:   Gadjah Mada University Press.

Sehandi, Yohanes. 2014. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Cetakan ke-3. Jakarta: Gramedia.

Catatan:
Artikel ilmiah ini sudah dipublikasikan dalam buku antologi artikel ilmiah Sastra Maritim, Editor Novi Anoegrajekti, dkk, Yogyakarta, Kanisius, 2022, halaman 369-383.

 

 

Post a Comment for "Ketika Lamafa Salah Menikam Ikan Paus, Membedah Novel Suara Samudra Karya Maria Matildis Banda"