Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Potensi Sastra NTT untuk Pendidikan Karakter


Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

Seperti lidah ia di mulut kita tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita tak teraba
(Darmanto Jatman, 1980)

Dua baris puisi penyair Darmanto Jatman di atas dikutip dari puisinya yang berjudul “Istri” (1980). Penyair menunjukkan, betapa seorang istri dianggap biasa-biasa saja, bahkan tidak dianggap, oleh seorang suami dalam hidup keseharian rumah tangga. Dia seperti lidah dan jantung yang sebetulnya sangat penting, namun dianggap biasa-biasa saja, karena kehadirannya tak terasa di mulut dan tak teraba di dada.

Baru terasa penting tatkala lidah kita bermasalah, misalnya lidah tergigit atau terkena sariawan. Akibatnya, kita tidak bisa berbicara leluasa, dan terasa betapa sakitnya. Kita juga baru kaget pada waktu jantung diperiksa, ternyata jantung kita bocor. Nyali kita menciut, bayangan hantu kematian berada di depan mata. Suami kaget, dan baru merasa betapa pentingnya seorang istri, pada waktu istri hendak meninggalkannya atau menceraikannya, karena kehadirannya dianggap biasa saja, bahkan tidak dianggap oleh sang suami. Istri baru dirasa penting untuk diperhatikan sang suami, tatkala rumah tangga sudah di ambang pintu kehancuran.

Gambaran singkat tentang istri yang diibaratkan seperti lidah dan jantung di atas, tidak jauh berbeda dengan anggapan dan tanggapan kita terhadap sastra dalam kehidupan kita pada umumnya. Sastra dianggap biasa-biasa saja, bahkan tidak dianggap, dalam pembangunan bangsa, apalagi pembangunan berkelanjutan, sebagaimana tema seminar nasional ini. Peran dan fungsi sastra tidak dianggap atau dianggap biasa-biasa saja oleh sebagian besar petinggi/pejabat pengambil keputusan di negeri ini, dari tingat pusat sampai daerah. 

Sebagian besar mereka menganggap pembangunan adalah pembangunan fisik-material (jasmani) belaka, yang hasilnya bisa dilihat dan dirasakan, yang bisa diukur dan ditabelkan. Yang diukur hanyalah pembangunan fisik, ekonomi, dan infrastruktur, dengan sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar mata uang, pembangunan infrastruktur, PAD, DAU, DAK, APBN, dan APBD.

Karena yang diutamakan adalah pembangunan fisik-material (jasmani), pembangunan mental-spiritual (jiwa) diabaikan. Akibatnya, meskipun pembangunan ekonomi dan infrastruktur gencar dilakukan di seantero negeri, mental-spiritual sebagian besar warga bangsa ini terasa kerdil dan keropos. Terjadi ketimpangan serius antara pembangunan fisik-material dengan pembangunan mental-spiritual. Warga bangsa ini mental-spiritualnya lemah, bahkan sebagian tidak mempunyai karakter, karena pembangunan karakter diabaikan.

Sikap hidup pragmatis dan instan dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Yang sebaliknya terjadi adalah budaya instan kekerasan dan anarkisme sosial. Nilai kearifan lokal (local genius, local wisdom) yang santun, ramah, arif bijaksana, religius, pluralitas, saling menghormati, dan menghargai perbedaan,  seakan terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup yang semuanya diukur dari nilai ekonomi dan gaya hidup modern. 

Kepribadian anak bangsa terbelah, tidak utuh. Antara budi dan pekerti terpisah. Antara perkataan dan perbuatan tidak sejalan. Lain di mulut, lain di hati, lain di perbuatan. Akibatnya, masyarakat kita dengan sangat gampang tersulut emosinya, menjadi pemarah, brutal, kasar, eksklusif, dan vulgar tak mampu mengendalikan diri dan nafsu.

Membangun Jiwa Bangsa

Yang dibutuhkan bangsa pada saat ini adalah paradigma pembangunan yang berorientasi pada pembangunan mental-spiritual, pada pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa mengutamakan dan mengintegrasikan persoalan moral dan keluhuran budi pekerti segenap warga bangsa. Hal itu sejalan dengan tujuan dan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Penidikan Nasional, yakni untuk membangun dan mengembangkan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.

Pembangunan karakter adalah pembangunan jiwa, pembangunan mental-spiritual. Adapun unsur-unsur jiwa itu adalah: pikiran, perasaan, kehendak, dan angan-angan (Herimanto dan Winarno, 2010). Syair lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya,” telah memberi isyarat tegas kepada para petinggi/pejabat negeri: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Bangunlah jiwanya,  maksudnya membangun mental-spiritual (karakter) warga bangsa, sedangkan bangunlah badannya adalah membangun fisik-material warga bangsa. Keduanya harus dibangun secara berimbang dan berkelanjutan. Karena ketimpangan pembangunan jiwa dan badan itulah maka perilaku anak bangsa tak terpuji terus menghantui harian kita: ujaran kebencian, persekusi, korupsi, pembunuhan (bahkan atas nama agama), mutilasi, terorisme, hoaks, dan berbagai perilaku barbar yang lain.

Apa itu karakter dan pembangunan karakter? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008, halaman 623) karakter diartikan sebagai: sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga diartikan sebagai tabiat atau watak. Karakter merupakan nilai yang tertanam dalam diri seseorang yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri-sendiri, sesama manusia, lingkungan, bangsa dan negara yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat-istiadat. Karakter juga merupakan cara berpikir dan perperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, saling menghargai, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan mempertangungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya.

Sastra Membangun Karakter Bangsa

Pembentukan karakter bangsa dapat diwujudkan antara lain melalui pengembangan potensi sastra. Sastra yang dimaksudkan di sini adalah karya-karya sastra kreatif dengan berbagai jenis (genre). Adapun jenis-jenisnya karya sastra itu secara garis besar adalah (1) prosa (novel, novelet, cerita pendek, cerita rakyat, hikayat, mitos, legenda, fabel, dan lain-lain yang ciri khasnya bercerita/narasi), (2) puisi (syair, pantun, gurindam, pribahasa, bidal, tuturan adat, doa, balada, dan lain-lain yang ciri khasnya pemadatan makna kata/ungkapan), dan (3) drama (teater, pementasan, sinetron, film, monolog/dialog, dan lain-lain yang bersifat pertunjukan panggung).

Untuk pembentukan karakter bangsa, karya sastra dengan berbagai genrenya diperlukan sebagai sarana atau media. Hal ini beralasan karena karya sastra mengandung berbagai nilai etika dan estetika, nilai pendidikan dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri-sendiri (psikologis), tetapi juga tentang/dengan Tuhan (religiusitas), tentang alam semesta (romantik), dan tentang masyarakat lingkungan (sosiologis).      

Peran dan fungsi sastra dalam pembangunan karakter bangsa ibarat garam yang dilarutkan dalam air, tak terlihat garamnya, namun terasa asinnya. Dia nyata, namun sulit dibuktikan wujudnya. Peran sastra juga bagaikan bumbu masakan yang membuat masakan terasa lezat, gurih, dan bergairah, meskipun bumbunya tidak kelihatan karena terlarut dalam masakan. Yang terlihat masakannya, bumbunya tidak kelihatan. Cara kerja sastra adalah membentuk karakter anak bangsa dari dalam diri. Pendidikan sastra menjadi lebih bermakna dan berbeda karena tumbuh kesadaran dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar.

Karya sastra sebagai karya seni tercipta karena adanya energi estetis dan imajinatif serta luapan perasaan pengarang yang disampaikan secara lisan dan tulisan ke publik. Sastra sebagai karya seni memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang. Karya sastra mampu membawa kita menjelajahi dunia yang penuh imajinasi dan kreatif. Dengan sastra kita dapat menanamkan nilai-nilai dari dalam diri-sendiri dan diri orang lain, misalnya rasa malu, harga diri, kreatif, kejujuran, kebaikan, kerja keras, rajin, bertanggung jawab, menghargai perbedaan, dan lain-lain.

Demikian pula halnya dengan sastra NTT, memiliki potensi besar dalam pembangunan karakter bangsa, membangun mental-spiritual warga bangsa yang ada di Provinsi NTT. Sastra NTT yang dimaksudkan di sini adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT. Sastra NTT juga bisa diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal Provinsi NTT. Sastra NTT merupakan hasil karya puluhan sastrawan NTT yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Sastra NTT mengandung unsur lokal kedaerahan NTT, seperti tema, gaya pengucapan, tokoh, aspirasi, latar, dan karakter kedaerahan NTT lainnya yang khas. Sastra NTT memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan sastra Indonesia di provinsi lain, seperti sastra Indonesia di Yogyakarta, sastra Indonesia di Bali, sastra Indonesia di Aceh, sastra Indonesia di Kalimantan, sastra Indonesia di Riau, sastra Indonesia di Sulawesi Selatan, dan lain-lain.

Selama delapan tahun terakhir, sejak tahun 2011, saya melakukan penelitian khusus secara mandiri tentang sastra dan sastrawan NTT. Penelitian tanpa dukungan dana dari siapa pun dan dari mana pun menghasilkan tiga judul buku. Ketiga judul buku itu adalah (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012), (2) Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015), dan (3) Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian itu, ditemukan bahwa sejak tahun 1955 orang NTT telah menulis dan mempublikasikan karya sastranya secara nasional lewat berbagai majalah dan surat kabar bertaraf nasional. Orang NTT pertama yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan mempublikasikannya secara nasional itu adalah Gerson Poyk (1931-2017). Sampai dengan akhir hayatnya tahun 2017 Gerson Poyk telah menerbitkan minimal 30 judul buku. Adapun perinciannya, 13 judul buku novel, 14 judul buku kumpulan cerpen, satu judul buku kumpulan puisi berjudul Dari Rote ke Iowa (2015), satu judul karya jurnalistik bergaya sastra Keliling Indonesia: dari Era Bung Karno Sampai SBY (2010), dan satu buku renungan filsafat berjudul TerorisTidak, Damai Ya (217).

Bila dihitung sejak tahun 1955, maka tahun 2018 ini sastra NTT sudah berusi 63 tahun, 3 tahun sebelum Provinsi NTT terbentuk tahun 1958. Dalam kurun waktu 63 tahun ini telah terbit minimal 176 judul buku sastra (pendataan pertengahan tahun 2018). Adapun perinciannya: 72 judul buku novel, 46 judul buku kumpulan cerpen, dan 58 judul buku kumpulan puisi. Jumlah sastrawan NTT yang sempat diidentifikasi lebih dari 40 orang, baik di NTT maupun di luar NTT.

Potensi Sastra NTT Membangun Karakter

Sastra NTT memiliki potensi besar dalam pembangunan karakter bangsa di Provinsi NTT. Karya-karya sastra NTT memiliki keunggulan yang khas karena mengangkat kearifan lokal Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT yang dapat mengangkat citra NTT ke tingkat nasional. Karakter tokoh-tokoh dalam karya sastra NTT dapat menjadi contoh, idola, teladan, pedoman, panduan dalam membangun mental-spiritual atau membangun karakter anak bangsa. Karakter para tokoh dalam karya sastra NTT gampang ditiru anak-anak NTT karena banyak kesamaan: kesamaan suku, kedekatan geografi, bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, agama, dan lain-lain. Berikut disebutkan sejumah contoh tokoh berkarakter dalam sastra NTT yang bisa menjadi idola/panutan.

Pertama, tokoh Rosa Dalima, seorang bidan desa kelahiran Bajawa, terdapat dalam novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015) karya Maria Matildis Banda. Bidan Rosa adalah seorang bidan desa berusia muda yang berkarakter, tabah, sopan, cerdas, ulet, beriman, dan profesional. Dia senantiasa berpegang teguh pada filosofi bunga “wijaya kusuma” (lambang bakti husada). Ia berhasil menyelamatkan banyak nyawa ibu hamil dari kematian sia-sia. Ia berhasil menyadarkan kaum pria di wilayah terpencil Lio bagian Timur Kabupaten Ende, tentang pentingnya memeriksa ibu hamil/melahirkan anak di fasilitas kesehatan, bukan periksa ke dukun. Atas prestasinya itu Bidan Ros yang cintanya diperebutkan tiga pria jomblo ini (dr. Yordan, Adri, dan Martin), berhasil meraih penghargaan sebagai Bidan Teladan Tingkat Provinsi NTT.

Kedua, tokoh Enu Molas kelahiran Borong dan suaminya Dr. Paul Putak kelahiran Rote dalam novel Enu Molas di Lembah Lingko (2015) karya Gerson Poyk. Dua tokoh utama novel ini  berkarakter kuat, mempunyai visi jauh ke depan membangun pariwisata khas NTT. Suami-istri ini sukses membangun kampung wisata berbasis budaya dan kearifan lokal di sebuah dataran rendah di dekat Labuan Bajo, Menggarai Barat. Kampung wisata didesain berbentuk lodok-lingko, seperti jaring laba-laba, sistem perladangan orang Manggarai. Kampung wisata ini dikelilingi jalan melingkar yang indah dan unik, diapit dengan restoran dan kafe, diisi dengan kuliner lokal NTT. Kampung wisata adat ini menyerap ribuan sarjana nganggur lulusan perguruan tinggi di NTT.

Ketiga, tokoh Cendana dalam novel Perempuan dari Lembah Mutis (2012) karya Mezra E. Pellondou. Cendana, lengkapnya Cendana Putri Sabana, adalah anak yatim piatu yang sehari-hari menggembalakan sapi-sapi bersama teman gadisnya Yohana, di lembah Gunung Mutis dataran sungai Benanain, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Meskipun anak peternak, dia punyai cita-cita setinggi langit. Berkat keuletan dan gemar membaca koran/buku bekas hangutan sungai Benanain, Cendana meraih prestasi gemilang mengantarnya menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB Bandung, beasiswa dari Pemda TTU. Cita-citanya dari kecil tercapai menjadi tenaga teknisi Perusahaan Satelit Jaya, perusahaan satelit terbesar di Indonesia. Meskipun sukses besar di kota, dia tidak lupa membangun kampung halamannya, membuka cabang perusahaan, mendirikan sekolah, dan membangun SDM masyarakat di kampung-kampung di Lembah Mutis.

Keempat, tokoh istri (tanpa nama) dalam novel Perempuan Itu Bermata Saga (2011) karya Agust Dapa Loka. Dia seorang ibu rumah tangga yang awalnya lugu, namun karena situasi dan kekuatan cintanya tulus tanpa pamrih, mampu merawat dan membangkitkan kembali semangat hidup suaminya yang mengalami patah kaki karena kecelakaan maut. Perempuan Sumba bermata saga (merah) ini, tidak hanya telaten siang dan malam merawat sakit sang suami, tetapi juga mengambil alih seluruh tanggung jawab urusan rumah tangga dan pendidikan tiga orang anak perempuan yang masih kecil. Ini contoh yang tulus orang beriman mendapat campur tangan ilahi.

Bagaimana mengembangkan sastra NTT untuk pembangunan karakter anak bangsa di Provinsi NTT? Berikut sejumlah tawaran untuk pengembangannya.

Pertama, program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang kini tengah berlangsung harus terus digencarkan lagi pelaksanaannya secara masif. Program GLS harus dikendalikan langsung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT. Disarankan agar buku-buku yang dibaca dalam GLS adalah buku-buku sastra karya para sastrawan NTT.

Kedua, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT menyiapkan anggaran untuk membeli buku-buku sastra karya para sastrawan NTT dan dibagikan secara gratis ke semua perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah di seluruh NTT.

Ketiga, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT menyelenggarakan berbagai festival sastra, perlombaan penulisan karya sastra, lomba pementasan drama, atau lomba meresensi buku-buku sastra karya para sastrawan NTT.

Keempat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT menyiapkan anggaran untuk menggubah karya sastra NTT, misalnya novel, cerita pendek, atau cerita rakyat, ke dalam layar lebar, dalam bentuk film, sinetron, drama. Perlu ditiru langkah Pemprov Bangka Belitung beberapa tahun lalu yang menyiapkan anggaran menggubah cerita novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata menjadi film Laskar Pelangi yang kemudian meledak di pasaran. Pulau Belitung yang menjadi latar novel menjadi sangat terkenal dan mengundang banyak wisatawan berkunjung. Kini Belitung menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia. *

 

Post a Comment for "Potensi Sastra NTT untuk Pendidikan Karakter"