Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra NTT


Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

Sejak kapan sejarah sastra Indonesia di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dimulai? Ini pertanyaan awal untuk bisa membuka tabir sejarah sastra Indonesia di NTT. Sastra Indonesia di NTT pada saat ini dikenal luas dengan nama “sastra NTT.” Usaha menelusuri sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT ini ternyata tidak gampang. Ini merupakan kerja idealisme sekaligus tanggung jawab terhadap sejarah sastra Indonesia di NTT.

Pertanyaan di atas muncul dalam hati saya sejak tahun 2010 pada waktu saya kembali ke kampus menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores (Uniflor) Ende. Saya kembali sebagai orang kampus setelah bergerak di bidang politik praktis menjadi anggota DPRD Provinsi NTT Fraksi PDI Perjuangan dua periode (1999-2009).

Menjawab pertanyaan awal di atas ternyata tidak gampang. Kendala utama adalah tidak tersedianya buku-buku atau dokumen-dokumen tertulis sebagai referensi, dari siapapun dan dari manapun. Di NTT sendiri sulit ditemukan bahan-bahan tertulis. Namun, saya tetap melangkah dengan dokumen yang terjangkau. Semuanya dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dana dari manapun. Saya hanya membangun pribadi dengan sejumlah sastrawan NTT yang saya kenal.

Jawaban atas pertanyaan awal di atas tentu saja beragam bagi banyak orang bergantung pada cara pandang masing-masing. Jangankan sastra Indonesia di NTT, pertanyaan sejak kapan sejarah sastra Indonesia dimulai saja, jawabannya sampai kini juga masih beragam dan tidak selesai-selesai (bdk. Ajib Rosidi dalam buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?, 1964). Meskipun tidak gampang, pertanyaan awal di atas harus dijawab untuk mendapat kepastian sejarah perjalanan sastra Indonesia di NTT, minimal sebagai jalan setapak untuk mendapatkan kepastian sejarah. Kata orang, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi yang melakukannya.

Setelah mempelajari berbagai dokumen yang terjangkau akhirnya saya memutuskan titik awal sebagai pangkal tolak sejarah sastra Indonesia di NTT. Adapun titik awal itu dimulai sejak orang NTT menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan secara nasional. Maka, yang perlu dilacak adalah siapa orang NTT pertama itu dan apa nama media cetak yang memuat karya sastra orang NTT tersebut. Karena pada masa awal itu di NTT tidak ada media cetak, atau kalaupun ada, namun tidak memiliki rubrik sastra dan budaya yang memuat berbagai genre karya sastra. Maka, yang harus dilacak adalah berbagai media cetak yang terbit di luar NTT atau yang terbit di Jawa khususnya Jakarta.

Pengertian Sastra NTT dan Sastrawan NTT

Apa itu sastra NTT? Sastra NTT adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT. Sastra NTT juga bisa diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal Provinsi NTT. Sastra NTT adalah bagian dari sastra nasional Indonesia yang memberi warna khas daerah NTT dalam sastra Indonesia. Sastra NTT berbeda dengan “sastra daerah NTT.” Sastra daerah NTT ditulis dalam bahasa-bahasa daerah di NTT, sedangkan sastra NTT ditulis dalam bahasa Indonesia, sebagaimana halnya dengan sastra Indonesia di provinsi lain di Indonesia.

Siapa pula itu sastrawan NTT? Sastrawan NTT adalah penulis karya sastra dalam bahasa Indonesia yang “berasal dari NTT” atau “keturunan orang NTT.” Berasal dari NTT maksudnya, sastrawan itu bisa lahir dan tinggal di NTT, bisa pula lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT. Sastrawan yang lahir dan tinggal di NTT, misalnya Mezra E. Pellondou, lahir di Kupang (NTT) pada 21 Oktober 1969 dan tinggal di Kupang sampai sekarang ini. Sastrawan yang lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT, misalnya Dami N. Toda, lahir di Cewang, Pongkor, Manggarai (NTT) pada 29 September 1942, tetapi tinggal di Yogyakarta, kemudian Jakarta, kemudian Hamburg (Jerman) sampai meninggal dunia pada 10 November 2006. Baik Mezra E. Pellondou maupun Dami N. Toda adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional keduanya adalah sastrawan Indonesia. Keduanya masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (Editor Maman S. Mahayana, 2017).

Sedangkan sastrawan NTT yang merupakan keturunan orang NTT maksudnya, sastrawan itu meskipun lahir di luar NTT, tetapi keturunan (berdarah) NTT. Misalnya, Fanny J. Poyk, lahir di Bima (NTB) pada 18 November 1960, tetapi dari orang tua NTT, yakni Gerson Poyk. Gerson Poyk adalah sastrawan Indonesia dari NTT, lahir di Namodale, Rote (NTT), pernah tinggal di Bima, di Maluku, Bali, Surabaya, dan Jakarta. Fanny J. Poyk anak sulung Gerson Poyk, kini tinggal di Jakarta. Dia adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional Fanny J. Poyk adalah sastrawan Indonesia, masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (Editor Maman S. Mahayana, 2017).

Sejarah Awal Sastra NTT dan Perintisnya

Sejak kapan sastra NTT dimulai? Ini pertanyaan sulit, tetapi harus dijawab untuk kepastian sejarah. Menurut saya, sastra NTT dimulai sejak orang NTT menulis dan mempublikasikan karya sastranya kepada masyarakat luas. Dalam penelusuran saya, orang NTT pertama yang menulis karya sastra adalah Gerson Poyk (1931-2017). Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, NTT, meninggal dunia pada 24 Februari 2017 di Depok, Jawa Barat, dalam usia 86 tahun, dan dimakamkan di Kota Kupang 27 Februari 2017. Dalam kariernya sebagai sastrawan, Gerson Poyk telah menulis tidak kurang dari 40 judul buku, yang terdiri atas buku-buku novel, cerita pendek, puisi, karya jurnalistik, dan renungan filsafat. Masih banyak buku Gerson Poyk yang masih dilacak karena sistem dokumentasi yang kurang bagus.


Gerson Poyk (1931-2017)

Hasil penelitian saya menemukan, Gerson Poyk mulai menulis karya sastra dan mempublikasikannya kepada masyarakat umum Indonesia terhitung sejak Juni 1955. Media cetak yang mempublikasikan karya sastra awal Gerson Poyk adalah majalah mingguan Mimbar Indonesia. Dalam Mimbar Indonesia (MI) yang terbit 1947-1966, yang redaktur sastranya kritikus sastra HB Jassin dan AD Donggo, ditemukan karya-karya awal Gerson Poyk berupa puisi.

Adapun judul-judul puisi awal Gerson Poyk adalah (1) “Anak Karang” dalam MI Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19; (2) “Ulang Tahun” dalam MI Nomor 35, Tahun IX, 27 Agustus 1955, halaman 18; (3) “Sebelah Rumah” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18; (4) “Larut” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18, (5) “Tentang Niskala Aermata dan Malaria” dalam MI Nomor 28, 9 Juli 1960.

Selanjutnya, cerpen-cerpen awal Gerson Poyk ditemukan pula dalam majalah Mimbar Indonesia (MI) tahun 1959, yang judul-judul cerpennya (1) “Pertjakapan Selat” dalam MI Nomor 38-39, Tahun XIII, 10 Oktober 1959; (2) “Dalam Kecepatan 40” dalam MI Nomor 21, 21 Mei 1960. Cerpen awal Gerson Poyk yang lain ditemukan dalam majalah bulanan Sastra edisi Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961 berjudul “Mutiara di Tengah Sawah.” Majalah Sastra adalah majalah bulanan yang terbit pertama kali tahun 1961, dipimpin HB Jassin, M. Balfas, dan DS Moeljanto.

Setelah mempublikasikan puisi-puisinya sejak 1955 dan cerpen-cerpennya sejak tahun 1959, tahun 1964 Gerson Poyk mulai menulis novel. Novel pertama Gerson Poyk berjudul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964, 1968). Novel Gerson Poyk yang kedua berjudul Sang Guru (Pustaka Jaya, Jakarta, 1971), dan novel ketiga Cumbuan Sabana (Nusa Indah, Ende, 1979). Dengan demikian, di samping sebagai perintis sastra NTT, Gerson Poyk juga sebagai perintis penulisan puisi, penulisan cerpen, dan penulisan novel dalam sastra NTT.

Pada tahun 1975 Gerson Poyk menerbitkan sekaligus tiga buku antologi cerpen, yakni (1) Nostalgia Nusatenggara (1975, 1977); (2) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk (1975, 1977); dan (3) Matias Akankari (1975). Ketiga buku ini diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, penerbit yang berjasa melambungkan nama Gerson Poyk. Pada tahun 1985 Gerson Poyk menerbitkan buku puisi pertamanya berjudul Anak Karang (Lukman, Yogyakarta, 1985) dan buku puisi kedua berjudul Dari Rote ke Iowa (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2016).

Kebangkitan Sastra NTT

Dalam penelusuran saya, sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 2010, pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT biasa-biasa saja. Nama-nama sastrawan yang disebut dan dikenal adalah nama-nama lama yang sudah mapan di bidang sastra pada level nasional, seperti Gerson Poyk, Ris Therik, Virga Bela, Julius Sijaranamual, Umbu Landu Paranggi, Dami N. Toda, Ignas Kleden, dan lain-lain, sebagian besar tinggal di Jakarta.

Saya mencatat, awal kebangkitan sastra Indonesia di Provinsi NTT terhitung sejak tahun 2011. Ada sejumlah indikator yang menunjukkan tahun 2011 sebagai tahun kebangkitan sastra NTT. Pertama, jumlah penerbitan buku sastra NTT tahun 2011 jauh melampaui jumlah penerbitan buku sastra tahun-tahun sebelumnya, bahkan setelah tahun 1955. Kedua, jumlah artikel telaah sastra (esai, opini, dan kritik sastra) di media cetak NTT tahun 2011 jauh melampaui jumlah artikel telaah sastra tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, jumlah cerpen dan puisi yang dimuat dalam sejumlah media cetak (harian) yang terbit di NTT terutama edisi hari Minggu jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Adapun sejumlah media cetak di NTT yang berjasa besar ikut mendorong kebangkitan sastra NTT yang kemudian menguat pada tahun 2011 adalah Pos Kupang (Kelompok Kompas-Gramedia), Timor Express (Grup Jawa Pos), Victory News  (Media Grup), dan  Flores Pos (milik SVD) yang terbit di Ende, Flores.

Kebangkitan sastra NTT juga ditandai dengan bergiatnya sejumlah komunitas sastra di NTT, antara lain sebagai berikut. Pertama, Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang yang menerbitkan Jurnal Sastra Santarang; Kedua, Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang yang menerbitkan Jurnal Filokalia; Ketiga, Komunitas KAHE di Maumere yang menerbitkan Jurnal Sastra Dala ‘Ela; Keempat, Komunitas Uma Kreatif Inspirasi Mezra (UKIM) di Kupang; Kelima, Komunitas Puisi Jelata di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Flores, Ende; Keenam, Komunitas Sastra Sandal Jepit di STFK Ledalero, Maumere; Ketujuh, Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK) NTT, sebuah komunitas sastra orang-orang NTT yang bergabung dalam grup media sosial WhatsApp (WA) yang menerbitkan antologi puisi, yakni Bulan Peredam Prahara (2018) dan Kepada Pedang dan Nyala Api (2020), dan antologi cerpen, yakni Perempuan dengan Tiga Senyuman (2018) dan Narasi Rindu (2019).        

Komunitas intelektual, seperti Forum Academia NTT (FAN) dan Komunitas Blogger Flobamora, juga memberikan kontribusi besar dalam partumbuhan dan perkembangan sastra NTT. Sastra NTT juga sudah memasuki kampus-kampus perguruan tinggi (PT) di NTT, antara lain di Undana Kupang, Unika Widya Mandira, Unkris Artha Wacara, Seminari Tinggi Santu Mikhael Kupang, Seminari Tinggi Ledalero, Seminari Tinggi Ritapiret, STFK Ledalero di Maumere, dan Universitas Flores (Uniflor) di Ende. Hal ini terpublikasikan lewat sejumlah media massa yang terbit di NTT. Masih banyak komunitas lain yang tersebar di Flores, Timor, dan Sumba.

Temu 1 Sastrawan NTT 2013

 

Kebangkitan sastra NTT tahun 2011 terus berlanjut pada tahun 2012 dan 2013 bahkan sampai saat ini dengan tiga indikator yang sama sebagaimana telah disebutkan di atas. Pada tahun 2013 jatidiri sastra dan sastrawan NTT terbentuk dan terkonsolidasi. Terkonsolidasinya sastra dan sastrawan NTT ini berkat terobosan yang dilakukan Kantor Bahasa Provinsi NTT (instansi vertikal Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) pimpinan M. Luthfi Baihaqi dengan melakukan berbagai kegiatan dan perlombaan di bidang bahasa dan sastra Indonesia untuk masyarakat NTT, termasuk di sekolah-sekolah, mulai dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, sampai PT.

Sebagian Peserta Temu 1 Sastrawan NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Kupang

 

Terobosan Kantor Bahasa NTT yang patut dicatat sejarah sastra Indonesia di NTT adalah diselenggarakannya Temu 1 Sastrawan NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Taman Budaya NTT (sejak 27 Februari 2017 nama taman ini menjadi Taman Budaya Gerson Poyk) di Kupang. Lebih dari 40 sastrawan NTT mengikuti pertemuan. Inilah untuk pertama kalinya sebagian sastrawan NTT bertemu, berdiskusi, membagi pengalaman, saling meneguhkan, dan menyatukan tekad bersama membangun sastra NTT ke depan yang lebih baik.

 

Ada dua judul buku yang diluncurkan pada Temu 1 Sastrawan NTT ini, yakni (1) Senja di Kota Kupang: Antologi Puisi Sastrawan NTT (2013) tebal buku 219 halaman, menghimpun 104 judul puisi karya 33 penyair NTT, (2) Kematian Sasando: Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT (2013) tebal buku 230 halaman, memuat 31 cerpen karya 31 cerpenis NTT.

 

Sebagian besar penulis kedua buku tersebut adalah peserta Temu 1 Sastrawan NTT. Ada sejumlah kesepakatan dan rekomendasi yang dihasilkan, termasuk kesepakatan untuk menyelenggarakan temu sastrawan NTT secara berkala sekali dalam dua tahun, tahun 2015 berlangsung di Kota Ende untuk Temu 2 Sastrawan NTT, dan tahun 2017 direncanakan berlangsung di Sumba, dengan penyelenggara Kantor Bahasa NTT.

Temu 2 Sastrawan NTT 2015

Setelah sukses menyelenggarakan Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang pada 30-31 Agustus 2013, Kantor Bahasa Provinsi NTT di bawah pimpinan M. Luthfi Baihaqi menyelenggarakan Temu 2 Sastrawan NTT berlangsung di Universitas Flores (Uniflor), Ende. Kalau pada Temu 1 sekitar 40 orang sastrawan NTT yang hadir, pada Temu 2 ini lebih dari 60 sastrawan NTT yang hadir.

Temu 2 Sastrawan NTT di Uniflor merupakan tindak lanjut rekomendasi Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang. Kantor Bahasa Provinsi NTT menjadi penyelenggara bersama Universitas Flores. Temu 2 Sastrawan NTT tahun 2015 disatukan dengan festival sastra, sehingga nama besar hajatan ini adalah “Festival Sastra dan Temu 2 Sastrawan NTT.” Dilaksanakan selama satu minggu, 5-10 Oktober 2015. Ada empat jenis kegiatan, yakni perlombaan sastra yang melibatkan 200-an siswa dan mahasiswa, bengkel (pelatihan) penulisan karya sastra (cerpen, novel sejarah, kritik sastra) yang melibatkan 300-an peserta, temu 2 sastrawan NTT, dan safari sastra para sastrawan NTT.

Tujuh mata perlombaan sastra berupa (1) lomba membaca puisi bagi siswa SD/MI, (2) lomba menulis opini/esai sastra bagi siswa SMA/MA/SMK, (3) lomba bercerita cerita rakyat bagi siswa SMP/MTs, (4) lomba mendongeng bagi guru TK/PAUD/SD/MI, (5) lomba musikalisasi puisi bagi siswa SMP/MTs dan siswa SMA/MA/SMK, (6) lomba majalah dinding bagi siswa SMA/MA/SMK, dan (7) lomba menulis kritik cerpen bagi mahasiswa. Para pemenang tujuh mata lomba ini akan mendapatkan hadiah uang tunai, tropi, dan setifikat dari Kantor Bahasa Provinsi NTTyang nilainya sekitar Rp 50 juta.

Kegiatan pelatihan (bengkel) penulisan sastra meliputi penulisan cerita pendek (bersama Gerson Poyk dan Fanny J. Poyk), penulisan kritik sastra (A.S. Laksana dan Yoseph Yapi Taum), dan penulisan novel sejarah (Tasaro GK dan Seno Gumira Adjidarma). Pada malam hari diisi dengan diskusi sastra dan peluncuran buku sastra.


Sebagian Peserta Temu 2 Sastrawan NTT pada 8-10 Oktober 2015 di Ende

Ada dua judul buku diluncurkan, yakni (1) Nyanyian Sasando: Antologi Puisi Sastrawan NTT (2015) tebal 207 halaman, memuat 153 judul puisi karya 32 penyair NTT, (2) Cerita dari Selat Gonsalu: Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT (2015) tebal 327 halaman, memuat 45 cerpen dari 27 cerpenis NTT. Sebagian besar penulis kedua buku antologi tersebut adalah peserta Temu 2 Sastrawan NTT. Diluncurkan pula buku Yohanes Sehandi berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015).

 

Temu 2 Sastrawan NTT itu sendiri dibuka resmi oleh Wakil Bupati Ende, Drs. Djafar H. Achmad, M.M. mewakili Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Wakil Bupati Ende Djafar H. Acmad membacakan sambutan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Sekitar 500 orang yang hadir dalam acara pembukaan yang berlangsung di Auditorium H.J. Gadi Djou, Uniflor, Ende. Salah satu keputusan penting dalam Temu 2 Sastrawan NTT ini menjadikan tanggal 16 Juni setiap tahun sebagai Hari Sastra NTT.

Para narasumber pada Temu 2 Sastrawan NTT ini adalah Mahsun (Kepala Badan Bahasa Kemendikbud RI), Stephanus Djawanai, (Rektor Uniflor), Yoseph Yapi Taum (kritikus/pakar sastra dari Universitas Sanata Dharma), Cecep Samsul Hari (pakar sastra digital), Hermin Y. Kleden (redaktur budaya Tempo Media Grup), dan Narudin Pituin (sastrawan dan kritikus sastra). Hari terakhir Sabtu safari sastra para sastrawan di Danau Tiga Warna Kelimutu, Situs Bung Karno, dan Taman Renungan Bung Karno di Kota Ende. Para sastrawan NTT akan menulis tentang kekayaan alam, lingkungan, dan keunikan budaya Kabupaten Ende.

 

Salah satu keputusan Temu 2 Sastrawan NTT yang berlangsung di Uniflor Ende pada 8-10 Oktober 2015 menetapkan tanggal 16 Juni sebagai Hari Sastra NTT. Pada waktu merumuskan keputusan dan rekomendasi Hari Sastra NTT itu, tim perumus mengacu pada tanggal lahir Gerson Poyk, 16 Juni. Ini terkandung maksud sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat kepada Gerson Poyk sebagai perintis sastra NTT, yakni orang NTT pertama yang menulis dan memublikasikan karya sastra secara Nasional, terhitung sejak 1955.

Sumbangan penting sastra dan sastrawan NTT bagi perkembangan sastra Indonesia adalah sastra NTT menampilkan “warna lokal” atau daerah NTT dalam konstelasi sastra nasional Indonesia. Warna lokal atau warna daerah NTT itu tercermin dalam latar atau seting daerah/masyarakat NTT dalam cerita, tema khas masyarakat dan daerah NTT yang agraris dengan adat-istiadat yang beragam tersebar di empat pulau besar, yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora). Kalau sebelumnya, warna lokal atau warna daerah khas NTT ini hanya diusung oleh Gerson Poyk seorang diri, kini tema besar NTT itu diangkat oleh sebagian besar sastrawan NTT, baik yang senior maupun yang yunior. Ini tentu sumbangan besar sastra NTT untuk memperkaya tema dan kekhasan sastra nasional Indonesia.

Kinerja Sastrawan NTT Sampai 2022

Setelah Gerson Poyk merintis penulisan karya sastra tahun 1955, muncul kemudian nama-nama baru sastrawan NTT. Meskipun ada nama-nama baru, sejak 1955 sampai 2000, nama-nama sastrawan NTT yang tampil di panggung sastra Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Para sastrawan senior NTT ini dapat disebutkan, antara lain Gerson Poyk, Ris Therik, Julius Sijaranamual, Virga Belan, Dami N. Toda, AG Hadzarmawit Netti, Umbu Landu Paranggi, Ignas Kleden, John Dami Mukese , Maria Matildis Banda, Fanny J. Poyk, dan lain-lain.

Terhitung mulai tahun 2000, nama-nama sastrawan NTT ramai bermunculan, semarak di media massa. Buku-buku sastra mereka mulai ramai diterbitkan. Mereka berani tampil di panggung sastra, baik di panggung sastra NTT maupun panggung sastra Indonesia. Bidang karya sastra yang mereka geluti pun sudah beragam. Ada yang menulis puisi, cerpen, novel, dan drama, bahkan merangkap sebagai pengamat dan kritikus sastra.

Sastrawan NTT generasi tahun 2000-an, dapat disebutkan, antara lain Mezra E. Pellondou, Usman D. Ganggang, Willy A. Hangguman, Agust Dapa Loka, Willem Berybe, Yoss Gerard Lema, Marsel Robot, Vincen Jeskial Boekan, Yoseph Yapi Taum, Petrus Kembo, Buang Sine, Sr. Wilda, CIJ (Imelda Oliva Wisang), Sipri Senda, Steph Tupeng Witin, Santisima Gama, Amanche Franck Oe Ninu, Bara Pattyradja, Jefta Atapeni, Robertus Fahik, Fritz Meko, SVD, Christian Dicky Senda, Pion Ratulolly, Christo Ngasi, Mario F. Lawi, Ruben Paineon, Kopong Bunga Lamawuran, Yoseph Bruno Dasion, Erlyn Lasar, Fince Bataona, Hans Hayon, Felix K. Nesi, Monika N. Arundhati, Milla Lolong, Yurgo Purab, Frid da Costa, Eto Kwuta, Erich Langobelen, Alfred B. Jogo Ena, Martin da Silva, Alexander Aur, Ardi Suhardi, Kristopel Bili, Yosman Seran, Berto Tukan, Oriol Dampuk, Nikolaus Loy, Paulus Heri Hala, Giovani AL Arum, Lee Risar, Sandra Oliva Frans, Jimmy Meko Hayong, Ignas Kaha, Mariah Rose Lewuk, Ian CK, Mikhael Wora, Fian N., Elvira Hamapati, Aris Woghe, Stefanus Dampur, Gody Usnaat, Ignas N. Hayon, Ishack Sonlay, Ivan Nestorman, Charles Beraf, Reinard L. Meo, Yogen Sogen, Bruno Rey Pantola, Chee Nardi Liman, Petrus Nandi, Mario DE Kali, Veran Making, Jemmy Piran, Walter Arryanto, Irno Januario, Maria Marietta Bali Larasati, Marselinus Aluken, dan masih banyak lagi.

Perlu dicatat pula, ada 25 orang sastrawan NTT masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017) yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia, Jakarta, dengan Editor kritikus sastra Maman S. Mahayana, dan Tim Kurator adalah sastrawan Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Rida K. Liamsi, Ahmadun Y. Herfanda, dan Hasan Aspahani. Adapun kurator dan kontributor untuk Provinsi NTT adalah Yohanes Sehandi dan Julia Daniel Kotan.

Ke-25 sastrawan NTT yang masuk dalam Apa & Siapa Penyair Indonesia itu (sesuai abjad) Agust Dapa Loka, Alexander Aur, Amanche Franck Oe Ninu, Bara Pattyradja, Bernard Tukan, Christian Dicky Senda, Dami N. Toda, Erich Langobelen, Fanny J. Poyk, Frid da Costa, Gerson Poyk, Jefta Atapeni, John Dami Mukese, Kristopel Bili, Mario F. Lawi, Marsel Robot, Mezra E. Pellondou, Paulus Heri Hala, Santisima Gama, Suster Wilda (Imelda Oliva Wisang), Umbu Landu Paranggi, Usman D. Ganggang, Willy A. Hangguman, Yoseph Yapi Taum, dan Yoss Gerard Lema.

Bagaimana kinerja sastrawan NTT sampai dengan tahun 2022 ini? Berdasarkan data yang saya miliki, karya para sastrawan NTT yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, sampai dengan tahun 2022 ini sebanyak 279 judul buku sastra. Adapun perinciannya, buku puisi sebanyak 119 judul, buku cerpen sebanyak 63 judul, buku novel sebanyak 85 judul, buku drama sebanyak 5 judul, dan buku esai dan kritik sastra sebanyak 7 judul. Ke-279 buku sastra NTT yang saya datakan di atas memiliki data publikasi lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan, yang terdiri atas: nama penulis, judul buku, tahun terbit buku, nama penerbit, dan nama kota tempat penerbit.

Penerbitan buku puisi dalam sastra NTT dimulai Dami N. Toda tahun 1976, dengan judul Penyair Muda di Depan Forum (Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 1976). Penerbitan buku cerpen dimulai Gerson Poyk tahun 1975, dengan judul Nostalgia Nusatenggara (Nusa Indah, Ende, 1975). Penerbitan buku novel dimulai Gerson Poyk pada tahun 1964, dengan judul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964). Penerbitan buku drama dimulai Marianus Mantovanny Tapung dan Rm. Beben Gaguk, Pr. dengan judul Pastoral Panggung: Bunga Rampai Drama Teater (Parrhesia Institut, Jakarta, 2012). Penerbitan buku esai dan kritik sastra dimulai Yohanes Sehandi  berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012). *

Ende, Flores, 1 Desember 2022

 

Post a Comment for "Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra NTT"