Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Angkatan dalam Sastra Indonesia


Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indnesia, Universitas Flores, Ende

Sebagian besar ahli sejarah sastra Indonesia berpendapat bahwa sastra Indonesia dimulai sejak tahun 1920-an, dihitung sejak Balai Pustaka menerbitkan karya-karya para pengarang yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Latin. Balai Pustaka adalah penerbit dan percetakan milik kolonial Belanda. Karya-karya sastra terbitan Balai Pustaka itulah yang kemudian menjadi bahan bacaan wajib masyarakat Indonesia pada masa tahun 1920-an. Meskipun bahasa Indonesia secara politik baru lahir sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, namun bahasa Melayu yang merupakan asal bahasa Indonesia itu sudah dikenal luas di seluruh wilayah Nusantara jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928 itu.

Secara garis besar sejarah sastra Indonesia disusun berdasarkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan angkatan dalam sastra Indonesia. Angkatan merupakan penamaan untuk sekelompok sastrawan yang dengan sadar atau tidak, secara bersama-sama memiliki kemiripan melalui karya-karya mereka. Sekelompok sastrawan itu biasanya sangat berpengaruh pada penciptaan karya sastra pada zamannya dan dianggap mewakili generasinya. Meskipun memiliki kemiripan, namun di antara para sastrawan itu mempunyai kekhasan masing-masing.

Pembagian angkatan dalam sastra Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kesamaan masa kelahiran dan masa penulisan karya-karya sastra mereka. Kesamaan kelahiran dan masa penulisan karya sastra menyebabkan mereka berpengaruhi satu sama lain sehingga karya-karya mereka memiliki kekhasan. Jadilah mereka dengan gampang dimasukkan dalam satu angkatan. Inilah sebabnya, setiap 10-20 tahun sekali muncul sebuah angkatan sastra baru dalam sastra Indonesia. Selain itu, penamaan angkatan dalam sastra Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor di luar sastra, yakni pengaruh peristiwa politik atau goncangan politik di Tanah Air, seperti Angkatan 45 dan Angkatan 66, dua angkatan yang diberikan oleh kritikus HB Jassin.

Angkatan dalam sastra Indonesia lebih menekankan pada peran sastrawan dalam generasinya dan sebagai tanggapan terhadap angkatan sastrawan sebelumnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001, halaman 51), angkatan dalam sastra adalah kelompok sastrawan yang bertindak sebagai kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang kurang-lebih sama untuk mendasari karya sastra mereka.

Meskipun para penulis sejarah sastra Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang kapan sastra Indonesia dimulai dan apa saja nama-nama angkatan dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengikuti kecenderungan umum saja bahwa sastra Indonesia dimulai sejak 1920-an pada masa Balai Pustaka sebagai titik pijak sejarah sastra Indonesia.

Berdasarkan pendapat umum tersebut, maka angkatan-angkatan dalam sejarah sastra Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa angkatan, yakni (1) Angkatan Balai Pustaka; (2) Angkatan Pujangga Baru; (3) Angkatan 1945; (4) Angkatan 1966, (5) Angkatan 1970-an, (6) Angkatan Pascareformasi, dan (7) Angkatan Digital. Berikut penjelasan singkat ke-7 angkatan sastra Indonesia tersebut.

Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pustaka merupakan angkatan pertama dalam sejarah sastra Indonesia dengan rentang waktu sekitar tahun 1920-1930. Karya-karya mereka diterbitkan Balai Pustaka yang kemudian karya-karya itu banyak dibaca masyarakat Indonesia karena peredarannya luas. Ciri-ciri karya sastra Angkatan Balai Pustaka, mengandung cerita keseharian masyarakat desa, terutama Sumatra, berkaitan dengan adat-istiadat, kawin-mawin, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang jauh dari perkotaan. Di samping dipengaruh unsur-unsur sastra lama, seperti pantun, syair, gurindam, bidal, hikayat, dan cerita rakyat, angkatan ini sudah mulai menulis sajak, cerita pendek, dan roman (yang kemudian disebut novel) karena mulai dipengaruhi sastrawan Belanda (Angkatan 80 di Belanda).

Sastrawan yang berpengaruh pada Angkatan Balai Pustaka adalah Marah Rusli di bidang prosa dan Muhammad Yamin di bidang puisi. Marah Rusli menulis karya (1) Siti Nurbaya (1922); (2) La Hami (1924); (3) Anak dan Kemenakan (1956), sedangkan Muhammad Yamin menulis karya (1) Tanah Air (1922); (2) Indonesia Tumpah Darahku (1928); (3) Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Sastrawan Angkatan Balai Pustaka yang lain adalah Abdul Muis, Merari Siregar, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Djamaluddin Adinegoro, Sutan Pamuntjak, Aman D Modjoindo, dan lain-lain.


Marah Rusli

Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru tampil pada rentang waktu sekitar tahun 1930-1940. Karya-karya para sastrawan angkatan dimuat dalam majalah sastra Pujangga Baru yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor dilakukan Balai Pustaka terhadap karya-karya sastra para penulis pribumi yang mengangkat tema nasionalisme. Ciri khas angkatan ini adalah nasionalisme dan intelektualisme. Lewat majalah Pujangga Baru mereka memperjuangkan visi besar menuju Indonesia merdeka.    

Sastrawan yang berpengaruh pada Angkatan Balai Pustaka adalah STA di bidang prosa dan Amir Hamzah di bidang puisi. STA menulis karya (1) Layar Terkembang (1936); (2) Dian Tak Kunjung Padam (1932); (3) Tebaran Mega (1935); (4) Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940); (5) Kalah dan Menang, sedangkan Amir Hamzah menulis karya (1) Nyanyi Sunyi (1937); (2) Begawat Gita (1933); (3) Setanggi Timur (1939); (4) Buah Rindu (1959). Sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang lain adalah Sanusi Pane, Armijn Pane, Rustam Efendi, HAMKA, JE Tatengkeng, Anak Agung Pandji Tisna, dan lain-lain.


Sutan Takdir Alisjahbana

Angkatan 1945

Angkatan 1945 adalah angkatan pada masa perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia sekitar tahun 1940-1960. Nama angkatan dipengaruhi oleh situasi politik pada masa itu. Angkatan ini menunjukkan sikap heroik menentang penjajahan Belanda dan Jepang dan dengan tegas menyatakan kebebasan untuk merdeka, baik jasmani maupun rohani. Karya-karya sastra yang mereka hasilkan berisi perjuangan dengan menampilkan idealisme kebangsaan menuju Indonesia meredeka. Visi yang mereka perjuangkan tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang berisi bahwa karya sastra berisi kebebasan hati nurani dan kemerdekaan bangsa dari penjajahan.

Sastrawan yang berpengaruh pada Angkatan 1945 adalah Idrus di bidang prosa dan Chairil Anwar di bidang puisi. Idrus menulis karya (1) Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948); (2) Aki (1949); (3) Perempuan dan Kebangsaan, sedangkan Chairil Anwar menulis karya (1) Kerikil Tajam yang Terampas dan yang Putus (1949); (2) Deru Campur Debu (1949). Sastrawan Angkatan 1945 yang lain adalah Asrul Sani, Rivai Apin, Bakri Siregar, Achdiat K. Mihardja, M. Balfas, Trisno Sumardjo, Utuy Tatang Sontani, Muhammad Kasim, Suman Hs, dan lain-lain.


Chairil Anwar

Angkatan 1966

Angkatan 1966 muncul pada rentang waktu tahun 1960-1970 yang ditandai dengan pergolakan politik pergantian kekuasaan Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto). Nama Angkatan 1966, juga Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan Angkatan 45, diberikan oleh kritikus sastra legendaris, HB Jassin. Pada masa ini karya-karya sastra diwarnai haluan politik dengan berbagai ideologi yang dianut. Para sastrawan terbelah dua. Ada yang berhaluan kiri komunis bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memperjuangkan konsep bersastra realisme sosialis.

Gerakan Lekra yang dimotori Pramoedya Ananta Toer mendapat tantangan dari para sastrawan yang tidak seideologi. Para penentang Lekra itu menandinginya dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang memperjuangkan visi sastra humanisme universal, bukan realisme sosialis. Persaingan ideologi dalam kedua kelompok ini tak terhindarkan, yang kemudian berpuncak pada meletusnya peristiwa berdarah pada 30 September 1965 yang dikenal dengan nama G-30 S atau Gestapu.

Pada masa itu, yakni Juli 1966, terbit majalah sastra Horison yang dipimpin Mochtar Lubis yang berpengaruh besar dalam perkembangan sastra Indonesia kemudian. Pada masa ini banyak sekali karya sastra yang dilarang oleh pemerintahan Orde Baru, terutama karya-karya sastra yang berhaluan kiri komunis, bahkan ada banyak sastrawan yang dipenjarakan, termasuk Pramoedya Ananta Toer, yang pada tahun 1980-an pernah menjadi nominasi untuk mendapatkan Hadiah Novel Sastra.

Sastrawan yang berpengaruh pada Angkatan 1966 adalah Pramoedya Ananta Toer di bidang prosa dan WS Rendra di bidang puisi. Pramoedya Ananta Toer menulis karya (1) Bumi Manusia (1980); (2) Anak Semua Bangsa (1980); (3) Jejak Langkah (1985); (4) Rumah Kaca (1988), sedangkan WS Rendra menulis karya (1) Ballada Orang-Orang Tercinta (1957);  (2) Empat Kumpulan Sajak (1961); (3) Blues untuk Bonnie (1971);  (4) Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972);  (5) Potret Pembangunan dalam Puisi (1983);  (6) Nyanyian Orang Urakan (1985); (7) Disebabkan oleh Angin (1993); (8) Orang-Orang Rangkasbitung (1993),  dan  Pantun Jurnalistik (1998).  Sastrawan Angkatan 66 lain adalah Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Gerson Poyk, Subagio Sartrowardojo, Taufiq Ismail, Ajib Rosidi, Nh Dini, Trsinojuwono, AA Navis, Umar Kayam, Ramadhan KH, Toto Sudarto Bachtiar, Bokor Hutasuhut, Virga Belan, dan lain-lain.


Pramoedya Ananta Toer

Angkatan 1970-an

Angkatan 1970 tampil berperan dalam sejarah sastra Indonesia dengan rentang waktu cukup lama sekitar tahun (1970-2000) selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Penamaan Angkatan 1970-an diberikan, antara lain oleh Dami N. Toda, Abdul Hadi WM, dan Korrie Layun Rampan. Pada masa ini di samping majalah sastra Horison berperan besar dan menjadi barometer kualitas sastra Indonesia, dikenal pula Penerbit Pustaka Jaya di Jakarta dan Penerbit Nusa Indah di Ende yang cukup gencar menerbitkan buku-buku sastra.

Dalam kurun waktu tahun 1970-2000 dicatat para pengamat dan kritikus sastra Indonesia sebagai era suburnya kreativitas sastrawan Indonesia dengan melahirkan berbagai terobosan baru, baik di bidang puisi maupun di bidang prosa dan drama. Di samping mengusung tema umum humanisme universal, muncul pula tema baru, antara lain eksistensialisme dan atavisme (kembali ke asal budaya).

Sastrawan yang berpengaruh pada Angkatan 1970 adalah Iwan Simatupang di bidang prosa dan Sutadji Calzoum Bachri di bidang puisi. Iwan Simatupang menulis karya (1) Merahnya Merah (1968); (2) Ziarah (1968); (3) Kering (1972); (4) Koong (1975); (5) Tegak Lurus dengan Langit, sedangkan Sutadji Calzoum Bachri menulis karya (1) O, Amuk, Kapak (1981); (2) Atau Ngit Cari Agar (2008); (3) Hujan Menulis Ayam (2001); (4) Isyarat (2007). Sastrawan Angkatan 1970-an yang lain adalah Abdul Hadi WM, Ajib Rosidi, Bur Rasuanto, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Korie Layun Rampan, Satyagraha Hoerip, Budi Darma, Putu Wijaya, Motinggo Busye, Ikranegara, Leon Agusta, Titis Basino, Danarto, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Aspar Paturusi, YB Mangunwijaya, Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Subagio Sastrowardojo, LK Ara, Arswendo Atmowiloto, Darman Moenir, Remy Silado, Diah Hadaning, Taufik Ikram Jamil, Haris Effendi Thahar, dan lain-lain.


Sutardji Calzoum Bachri

Angkatan Pascareformasi

Angkatan Pascareformasi muncul setelah reformasi Indonesia tahun 1998 yang ditandai dengan tumbangnya rezim politik Orde Baru (Soeharto). Angkatan ini tampil terhitung sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia dalam kurun waktu sekitar tahun 2000-2010. Angkatan Pascareformasi diberikan kritikus Maman S. Mahayana dalam tulisannya “Sastra Indonesia Pascareformasi” (dalam buku Pengarang Tidak Mati, 2012, halaman 292-304). Ini masa kebebasan berekspresi para sastrawan Indonesia setelah Orde Baru yang otoriter ditumbangkan dalam reformasi tahun 1998. 

Pada era pascareformasi ini, pusat-pusat kekuasaan termasuk pusat-pusat kebudayaan tidak lagi bersifat sentralistik di Jakarta, tetapi bersifat desentralistik dan tersebar di berbagai daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Ciri khas karya para sastrawan pada era ini adalah mengangkat warna daerah atau warna lokal kedaerahannya ke dalam karya-karya sastra. Jadilah sastra nasional Indonesia yang penuh dengan warna-warni daerah dari seluruh pelosok Tanah Air. Tidak hanya warna daerah, berbagai tema sosial dan budaya yang lain diangkat para sastrawan pascareformasi ini.

Sastrawan yang berpengaruh pada Angkatan 1970 adalah Ayu Utami di bidang prosa dan Afrizal Malna di bidang puisi. Ayu Utami menulis karya (1) Saman (1988); (2) Larung (2001); (3) Bilangan Fu (2008), sedangkan Afrizal Malna menulis karya (1) Abad yang Berlari (1984); (2) Yang Berdiam dalam Mikrofon (1990); (3) Arsitektur Hujan (1996); (4) Kalung dari Teman (1999); (5) Sesuatu Indonesia (2000); (6) Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002); (7) Berlin Proposal (2016). Sastrawan Angakatan Reformasi yang lain adalah Eka Kurniawan, Ahmad Joko Pinurbo, Ahmadun Yosi Herfanda, Oka Rusmini, Sindhunata, Acep Zamzam Noer, Agus R. Sardjono, Andrea Hirata, Oka Rusmini, Seno Gumira Adjidarma, Jamal D. Rahman, Raudal Tanjung Banua, Maya Wulan, Dewi Sartika, Ratih Kusuma, Nukila Amal, Fira Basuki, Widji Thukul, Dorothea Rosa Herliany, Helvy Tiana Rosa, Joni Ariadinata, Asma Nadia, Fanny J. Poyk, S. Prasetyo Utomo, Maria Matildis Banda, dan lain-lain. 


Ayu Utami

Angkatan Sastra Digital

Angkatan Sastra Digital muncul dengan ciri khas media sosial yang berbasis internet, di samping media cetak, seperti buku, majalah, dan surat kabar. Angkatan Sastra Digital dalam sastra Indonesia dimulai sekitar tahun 2010 sampai saat ini. Penerbitan karya-karya sastra pada era digital ini tidak hanya menjadi monopoli para penulis yang merasa diri sebagai sastrawan, tetapi juga masyarakat umum yang tertarik pada sastra ikut menerbitkan karya-karya sastra, baik lewat media sosial maupun lewat penerbitan buku sastra pribadi maupun antologi bersama.

Era tahun 2010-an adalah era paling semarak menerbitkan buku-buku sastra, terutama buku-buku antologi puisi dan antologi cerpen bersama yang diinisiatif oleh para sastrawan maupun oleh orang-orang awam yang coba mengambil bagian dan ikut terjun ke dunia sastra. Lomba mengumpulkan puisi dan cerpen dari siapa saja yang merasa tertarik, dipersilakan untuk mengirimkan puisi dan cerita pendek untuk diterbitkan, dengan biaya penerbitan ditanggung bersama-sama. Era ini adalah era yang dengan sangat gampang menerbitkan buku-buku sastra, dengan editor dan kurator yang muncul dengan tiba-tiba. Hasil karya sastra yang muncul ada yang bermutu, ada pula yang tidak.

Salah seorang sastrawan yang dikenal luas pada Angkatan Digital ini adalah Mezra E. Pellondou di bidang prosa dan Wayan Jengki Sunarta di bidang puisi. Mezra E. Pellondou telah menulis karya sastra prosa, antara lain berjudul Perempuan dari Lembah Mutis (2012), Kuda dan Sang Dokter (2017), Menjahit Gelombang (2020),  sedangkan Wayan Jengki Sunarta menulis karya (1) Pada Lingkaran Putingmu (2005); (2) Impian Usai (2007); (3) Malam Cinta (2007); (4) Pekarangan Tubuhku (2010); (5) Perempuan yang Mengawini Keris (2011); (6) Magening (2015); (7) Sumantara (2021). Sastrawan Angkatan Sastra Digital yang lain adalah Felix K. Nesi yang menulis cerpen Usaha Membunuh Sepi (2016) dan novel Orang-Orang Oetimu (2019), Habiburrahman El Shirazy, Warih Wisatsana, D. Kemalawati, Sosiawan Leak, Dinar Rahayu, Rini Intama, Dewi Lestari, Umi Kulsum, Fritz Meko, SVD, Willy Fahmi Agista, Fini Marjan, Mario F. Lawi, Robertus Fahik, dan lain-lain. *


Mezra E. Pellondou

 

 

Post a Comment for "Angkatan dalam Sastra Indonesia"