Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kreativitas dan Konvensi dalam Karya Sastra

Menulis merupakan bagian dari kreativitas. Menulis adalah menuangkan pikiran dan perasaan kepada pembaca melalui media tulisan. Dalam menulis, ada beberapa unsur yang terlibat, yakni penulis, isi tulisan, media tulisan, dan pembaca. Untuk menghasilkan tulisan yang bermutu baik, diperlukan pengetahuan dan wawasan yang luas disertai dengan latihan yang terus-menerus. Sangat sedikit orang yang menghasilkan tulisan yang bermutu dengan sekali tulis.

 

Salah satu jenis tulisan yang banyak disukai orang adalah karya sastra. Yang termasuk dalam jenis karya sastra adalah puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama. Secara umum, para penulis yang sering menulis karya sastra dan diakui masyarakat dan kritikus sastra disebut sebagai sastrawan. Sastrawan dapat dibagi lagi sesuai dengan kemahiran masing-masing. Yang mahir menulis puisi disebut penyair. Yang mahir menulis prosa cerpen disebut cerpenis. Yang mahir menulis prosa novel disebut novelis. Yang mahir menulis naskah drama disebut penulis naskah drama atau penulis lakon, dan yang memainkan drama di panggung disebut dramawan.

 

Karya sastra merupakan salah satu jenis karya seni. Dari sekian banyak karya seni, karya sastra yang merupakan hasil ciptaan yang lengkap mengekspresikan pikiran, perasaan, imajinasi, dan respons sastrawan terhadap hidup dan kehidupan ini dengan menggunakan bahasa yang indah. Dalam karya sastra prosa, unsur-unsur intrinsik prosa, seperti tema, tokoh, alur, latar, peristiwa, suasana, bahkan tempat dan waktu kejadian adalah dunia ciptaan sastrawan. Dunia ciptaan itu biasanya merupakan perpaduan antara fakta (nyata) dan fiksi (seolah-olah ada). Karya sastra itu merupakan dunia tiruan, tetapi bukan tiruan yang sama seperti duplikat atau potret. Dunia tiruan atau dunia potret itu lebih merupakan tanggapan pengarang atas kenyataan yang ada dan terjadi.

 

Karya sastra sebagai hasil kreativitas, dituntut kepekaan pikiran dan perasaan sastrawan untuk memiliki daya kreativitas dan imajinasi yang tinggi agar karya yang dihasilkan bermutu. Menurut Horatius (dalam Pradopo, 1994) karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang “menyenangkan dan bermanfaat” yang dalam bahasa Latin disebut dulce et utile. Artinya, karya sastra itu harus memberi hiburan atau kesenangan dan bermanfaat atau berguna bagi para pembaca.

 

Karya sastra menyajikan nilai-nilai keindahan dan bermanfaat sehingga memberi kepuasan batin, mengandung nilai pendidikan, nilai moral, dan berisi pandangan atau komtemplasi batin sastrawan, baik yang berhubungan dengan masalah agama, filsafat, politik, pendidikan, ekonomi, budaya maupun yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang tergambar dalam karya sastra tersebut. Setiap pembaca karya sastra dengan bebas dan leluasa menafsir dan mengambil hikmah dan nilai dari karya sastra yang dibacanya.

 

Kreativitas dalam Menulis Karya Sastra

 

Kreativitas merupakan kata kunci bagi seorang sastrawan dalam menggali ide-ide baru yang dijadikan sebagai tema tulisannya. Dengan daya kreativitas yang dimilikinya, seorang sastrawan selalu mendayagunakan pemakaian unsur-unsur bahasa agar karya-karyanya berbeda dengan karya-karya sebelumnya dan berbeda pula dengan karya-karya sastrawan lain. Dengan daya kreativitas, seorang sastrawan dapat memanfaatkan berbagai ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghasilkan berbagai jenis karya sastra yang bermutu.

 

Kreativitas mengacu pada pengertian hasil yang baru, berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya. Misalnya, novel-novel Maria Matildis Banda tahun 2000-an sudah berbeda dengan novel-novel Gerson Poyk tahun 1970-an. Puisi-puisi Mario F. Lawi tahun 2010-an sudah berebada dengan puisi-puisi John Dami Mukese tahun 1980-an. Banyak yang mengira bahwa kreativitas itu ditentukan oleh bakat dan kemampuan bawaan. Ini tidak sepenuhnya benar, karena kreativitas ditentukan oleh perpaduan antara berbagai unsur, seperti kemampuan berpikir kritis, kepekaan emosi, bakat, daya imajinasi, dan latihan yang terus-menerus.

 

Dengan berpikir kritis seorang sastrawan tidak mudah merasa puas dengan apa yang telah diciptakannya. Dengan berpikir kritis pula, jiwa sang sastrawan akan hidup karena terus didorong untuk mencari kemungkinan-kemungkian baru yang lain. Kepekaan emosi menjadikan seorang sastrawan dapat merasakan sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Bakat dapat memperkuat daya kreativitas seseorang, tetapi bukan satu-satunya unsur yang menentukan. Sebab, bakat tidak akan berarti apa-apa jika tidak diasah dan dilatih terus-menerus. Daya imajinasi memungkinkan seorang sastrawan menciptakan sebuah gambaran yang utuh dan lengkap dalam fantasinya.

 

Kreativitas terdiri atas beberapa tahap, antara lain penggaliam ide, pemunculan ide, pengembangan ide, penyempurnaan ide, dan penulisan ide ke dalam tulisan, yakni karya sastra. Ide sering muncul di berbagai tempat dan kesempatan. Munculnya ide tidak dapat diramalkan. Ide sering melintas dengan cepat dan menghilang lagi. Untuk itu, ide yang muncul dalam benak segera ditangkap kemudian dicatat. Pencatatan ide harus dilakukan secara rinci. Ide yang muncul dalam benak penulis dapat berupa pengalaman sendiri atau pengalaman dan pengetahuan orang lain. Pengalaman dan pengetahuan tersebut bisa berkaitan dengan bidang keagamaan, kesenian, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain.

 

Ide juga dapat muncul dengan cara dirangsang. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk merangsang pemunculan ide, antara lain dengan membaca karya tulis orang lain, dengan mempelajari ide orang lain, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman,  menciptakan suasana yang merangsang munculnya ide baru, seperti suasana santai, bebas dari rasa malu dan takut, sering merenung, berdiskusi, berpikir kritis dan melakukan perbandingan (Roekhan, 1991). Dengan membaca karya orang lain akan diperkaya dan diperluas wawasan penulis. Dengan membaca seseorang dapat mengetahui pengalaman dan pengetahuan orang lain. Ide yang samar-samar dapat diperjelas dengan cara terjun langsung dalam kehidupan yang akan digambarkan. Dengan merenung orang akan mengungkap kembali seluruh pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang relevan dengan ide yang sedang digarapnya. Diskusi merupakan ajang saling bertukar pengetahuan dan pengalaman, sehingga suatu ide menjadi lebih jelas karena ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dengan mengamati secara langsung orang dapat melihat suatu objek dengan lebih jeli dan lengkap.

 

Ide yang dilahirkan biasanya tidak langsung utuh dan sempurna. Untuk itu, seorang penulis karya sastra harus membaca kembali karya yang dihasilkan dan bila perlu memperbaiki atau sering mengedit karya yang sudah ditulisnya itu. Untuk menyempurnakan ide penulis dapat melakukannya sendiri atau menyuruh orang lain untuk membaca dan memperbaikinya.

 

Konvensi Bahasa dalam Karya Sastra

 

Dalam menulis karya sastra, penulis harus memperhatikan konvensi bahasa. Konvensi bahasa adalah ketentuan-ketentuan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Cara pemakaian bahasa dalam karya sastra harus menimbulkan kesan tertentu dalam diri pembaca. Kesan itu berupa gambaran imajinasi, baik imajinasi penglihatan, pendengaran, penciuman, maupun perabaan yang mampu membangkitkan perasaan kagum dan terkesan dalam batin pembaca. Bahasa dalam karya sastra sering bersifat tersirat dan konotatif, sehingga harus menguasai banyak kosakata untuk menangkap maknanya. Penulis harus mempunyai bekal kosakata memadai, misalnya makna kiasan, makna simbol, makna metafora, dan lain-lain.

 

Untuk mengembangkan kemampuan berbahasa, seorang penulis harus menguasai ejaan, pemilihan kosakata (diksi), penyusunan kalimat, tata bahasa, dan  makna kata atau semantik. Kemampuan seorang penulis dalam memahami bahasa akan mempermudah kegiatan menuangkan ide ke dalam tulisannya. Pembendaharaan kata seorang penulis yang kaya akan membantu kelancaran penuangan idenya. Untuk menambah kekayaan kosakata perlu membaca banyak, baik membaca buku, majalah, surat kabar, maupun media sosial. Semakin banyak membaca, semakin banyak pula jumlah kosakata dan pengetahuan yang dikuasai seseorang.

 

Kaidah bahasa dapat dipelajari dengan membaca buku-buku tata bahasa. Untuk mengembangkan kemampuan menguasai kaidah bahasa dapat dilakukan dengan berlatih membentuk kata dengan afiksasi dan pengulangan, membentuk frase, dan mengubah struktur kalimat. Misalnya, mengubah kalimat sederhana menjadi kalimat kompleks, kalimat langsung menjadi tidak langsung, kalimat pasif menjadi kalimat aktif, dan lain-lain.

 

Pemahaman seorang penulis karya sastra tentang makna kata akan mempermudah ia menyampaikan pesan kepada pembaca sesuai dengan keinginannya. Untuk itu, penulis karya sastra perlu memahami tentang tata makna atau semantik. Misalnya, bisa membedakan makna leksikal dan makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, perluasan makna, penyempitan makna, ameleorasi, peyorasi, sinestesia, asosiasi, kata umum dan kata khusus, sinonim, antonim, homonim, polisemi, majas, ungkapan, peribahasa, dan lain-lain.


Konvensi Sastra dalam Karya Sastra

 

Di samping konvensi bahasa, dalam menulis karya sastra, penulis juga harus memperhatikan konvensi sastra. Konvensi sastra adalah persyaratan sebuah karya sastra yang bermutu. Kemampuan memperhatikan konvensi sastra akan mempermudah penulis dalam menulis karya sastra, baik puisi, prosa (cerpen, novel, roman), maupun maskah drama. Untuk meningkatkan kemampuan seorang penulis sastra, dapat dilakukan dengan cara: membaca banyak karya sastra, mengikuti pertemuan sastra, kegiatan bersastra, apresiasi dan kritik sastra, membaca buku-buku teori sastra, dan menulis karya sastra secara terus-menerus.

 

Apresiasi sastra merupakan sebuah proses memahami terhadap isi karya sastra. Lamanya proses itu bergantung pada tingkat kepekaan emosi, ketajaman berpikir, dan imajinasi penulis. Sebagai proses, apresiasi memerlukan pembacaan karya sastra secara sungguh-sungguh dan teliti. Si penulis harus memperhatikan dengan cermat setiap aspek dari karya sastra tersebut. Sering mengikuti kegiatan bersastra, seperti sarasehan sastra, baca puisi, baca cerpen, dramatisasi puisi, seminar sastra, bedah buku sastra, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menimbulkan rasa cinta dan tertarik terhadap karya sastra.

 

Kritik sastra dapat meningkatkan kekritisan seseorang dalam membaca dan menilai karya sastra. Dengan kekritisan itu seseorang dapat menemukan kelemahan dan kekuatan suatu karya sastra. Atas dasar itu, seseorang dapat memberikan penilaian terhadap karya sastra secara proporsional, serta memberikan alternatif penyempurnaannya. Pengetahuan seorang penulis sastra tentang karya sastra dapat meningkatkan apresiasi dan kritik terhadap suatu karya sastra. Pengetahuan ini dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu mempelajari buku-buku teori sastra, membaca buku-buku antologi esai dan kritik sastra, dan membaca banyak karya sastra, baik dalam buku, majalah, surat kabar maupun dalam media sosial. *


Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

Post a Comment for "Kreativitas dan Konvensi dalam Karya Sastra"