Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ejaan Sebagai Perangkat Dasar Literasi

Literasi adalah bagian dari keterampilan berbahasa. Seperti diketahui, ada empat jenis keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak dan berbicara adalah termasuk keterampilan berbahasa lisan. Sedangkan membaca dan menulis termasuk keterampilan berbahasa tulis.

Menyimak dan membaca adalah keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif (menerima, pasif). Sedangkan berbicara dan menulis adalah keterampilan berbahasa yang bersifat produktif (memberi, aktif). Kemampuan literasi termasuk kemampuan berbahasa tulis, yakni membaca dan menulis. Jadi, fokus aktivitas atau kegiatan literasi pada kegiatan membaca dan menulis, yang merupakan kemampuan berbahasa tulis.

Pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) Universitas Flores, keempat keterampilan bahasa itu, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, adalah keterampilan dasar dan utama yang harus dimiliki para mahasiswa. Setiap keterampilan itu ada mata kuliah tersendiri sesuai dengan Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang mulai berlaku Semester Ganjil 2021/2022.

Ada mata kuliah Menyimak dan Berbicara. Ada mata kuliah Membaca yang didukung mata kuliah Membaca Ilmiah dan Non-Ilmiah. Ada mata kuliah Dasar-Dasar Menulis yang didukung beberapa mata kuliah lain, seperti mata kuliah Menulis Puisi, Menulis Prosa dan Drama, Menulis Bahan Ajar, Jurnalistik, Menulis Ilmiah dan Non-Ilmiah, Menulis Esai dan Kritik Sastra, dan Menulis Naskah Kepewaraan.

Ada ungkapan Lain, yakni, Verba valent schripta manent, yang berarti: Apa yang terucap akan lenyap bersama angin dan apa yang tertulis akan terkenang abadi. Ungkapan ini menegaskan bahwa menulis sebagai bagian dari aktivitas literasi memberikan sumbangsih pemikiran bagi peradaban manusia, karena apa yang pernah kita tuangkan dalam tulisan akan selalu terkenang abadi, meskipun kita telah mati. Ada pula ungkapan lain: Segala sesuatu akan musnah berkalang tanah, kecuali perkataan yang tertulis.

Zainal Arifin Thoha menulis buku berjudul Aku Menulis, Maka Aku Ada (2009). “Aku Menulis, Maka Aku Ada,” dalam bahasa Lainnya: “Scribo Ergo Sum.” Judul buku tersebut bisa kita maknai bahwa tulisan atau karya tulis adalah sesuatu yang tidak akan pernah hilang dan habis. Mengapa demikian? Karena dengan menulis kita akan meninggalkan sebuah jejak yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Ketika jasad telah tiada, namun tulisan-tulisan kita tetap bisa dibaca dan dikenang orang lain sepanjang masa. Menulis adalah proses di mana kita bisa menghargai hidup. Dengan menulis sesuatu yang bermanfaat setidaknya ada orang-orang yang membaca kemudian menarik hikmah atau manfaat dari tulisan kita.

Menulis menjadi cara “mengada” (mode of being). Dengan kata lain, menulis sebagai cara bereksistensi. Eksis dalam arti gagasan dan idenya dikenal dan dibaca orang lain. Bukan eksis sebatas definisi anak muda sekarang di sosmed. Ada hubungan erat antara menulis dengan mengada (menjadi).

Sebut saja misalnya, seorang Seekarno mengada melalui pidato-pidatonya. Pramoedya Ananta Toer mengada melalui karya-karya sastranya. Romo Mangunwijaya mengada melalui roman-roman sejarahnya. Sapardi Djoko Damono mengada melalui puisi-puisinya. Tere Liye mengada melalui novel-novelnya, dan masih banyak lagi. Mengada-nya tokoh-tokoh yang disebutkan tersebut terwujud dalam berbagai bentuk kegelisahan literasi, keprihatinan, sekaligus pergulatan batin yang mereka torehkan dalam aktivitas literasinya.

Pena dan kertas seakan menjadi nyawa para tokoh atau pegiat literasi. Menulis sudah menjadi napas dan detak jantungnya. Sampai ada orang yang merasa dirinya tidak utuh kalau tidak menulis sehari saja. Dengan demikian, menulis tidak lain adalah cara mengada. Baik dalam ruang privat (kedirian) maupun eksis di ruang publik (pengakuan).

Menulis adalah cara mengada secara abadi. Para penulisnya sudah meninggal dunia, tetapi buku-buku atau tulisan-tulisan yang telah ditorehkannya, dengan sendirinya mengabadikan pengarangnya. Apalagi kalau buku dan tulisannya diunggah dan disimpan di internet. Maka abadilah nama dan karya tulis orang tersebut, sepanjang segala masa.

Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Rumah Kaca, pernah mengatakan: “Orang boleh pintar setinggi langit, tetapi kalau tidak menulis, ia akan hilang ditelan sejarah.” Menulis adalah bekerja pada keabadian. Pesan luhur juga pernah disampaikan Imam Al-Ghazali: “Kalau engkau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”

Ejaan Sebagai Perangkat Dasar Literasi

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, literasi adalah aktivitas membaca dan menulis. Orang yang terlibat dalam literasi adalah orang yang melek huruf, mencintai huruf-huruf, baik pada waktu membaca maupun pada waktu menulis.

Ejaan adalah unsur bahasa pertama yang harus dikuasai seorang pembaca dan penulis. Kegiatan membaca dan menulis pada dasarnya adalah kegiatan menggunakan ejaan. Seseorang tidak akan bisa membaca dan menulis atau mengarang kalau tidak menguasai ejaan. Ejaan dan bahasa tulis adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Persoalan ejaan adalah persoalan bahasa tulis.

Secara sederhana, ejaan diartikan sebagai “pelambangan bunyi-bunyi bahasa dengan huruf, baik berupa huruf demi huruf maupun huruf yang telah disusun menjadi kata, kelompok kata, atau kalimat.” Secara umum, ejaan mencakup keseluruhan ketentuan yang mengatur pelambangan bunyi bahasa, termasuk pemisahan dan penggabungannya, yang dilengkapi pula dengan penggunaan tanda-tanda baca atau pungtuasi.

Dalam suatu bahasa, sistem ejaan lazimnya mempunyai tiga aspek, yakni aspek fonologis (bunyi bahasa), aspek morfologis (bentuk bahasa), dan aspek sintaksis (kalimat). Ketentuan yang mengatur pelambangan fonem dengan huruf-huruf, penyesuaian huruf-huruf asing dengan huruf yang ada dalam bahasa Indonesia, pelafalan, penyingkatan, pengakroniman, dan penyusunan abjad, termasuk aspek fonologis.

Ketentuan yang mengatur pembentukan kata dengan pengimbuhan, penggabungan kata, pemenggalan kata, penulisan kata, dan penyesuaian kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia, termasuk aspek morfologis.

Sedangkan ketentuan yang mengatur penulisan dan pelafalan frasa, klausa, serta kalimat termasuk dalam aspek sintaksis. Satuan-satuan sintaksis itu dalam pelafalannya mengandung unsur suprasemental, seperti intonasi, tekanan, dan jeda, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda-tanda baca, misalnya tanda titik, tanda koma, tanda seru, dan tanda tanya.

Aturan atau kaidah ejaan suatu bahasa biasanya berdasarkan kesepakatan para ahli bahasa yang bertolak dari sifat-sifat bahasa tersebut. Sebelum diberlakukan, biasanya aturan atau kaidah ejaan itu diresmikan oleh pemerintah. Setelah ejaan itu resmi berlaku, para pemakai bahasa diharapkan mematuhi kaidah-kaidah yang telah disepakati.

Apabila dalam pemakaian bahasa kaidah ejaan itu diikuti, bahasa yang digunakan itu disebut benar. Sebaliknya, apabila dalam pemakaian bahasa kaidah ejaan tidak dipatuhi, bahasa yang digunakan itu dikatakan salah, khususnya dari segi ejaan. Dengan demikian, aturan atau kaidah ejaan bersifat normatif karena melibatkan pertimbangan  benar salah berdasarkan norma tertentu.

Seseorang yang menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia tentu harus menguasai ejaan bahasa Indonesia. Ejaan bahasa Indonesia yang berlaku saat ini adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). EYD yang telah digunakan sejak 16 Agustus 1972 sempat digantikan oleh Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) pada 26 November 2015 dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). 

 

Namun PUEBI ini digantikan lagi oleh EYD pada Juni 2022 oleh Kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemenristek dan Dikti. Jadi, ejaan yang berlaku dan yang kita pakai pada saat ini adalah EYD. *


Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende

 

Post a Comment for "Ejaan Sebagai Perangkat Dasar Literasi"