Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Budaya Literasi Bangsa Indonesia

Orang yang aktivitas hariannya berkaitan dengan kegiatan literasi (membaca dan menulis) maka orang yang sudah berbudaya literasi itu adalah orang yang melek huruf, orang yang gemar membaca dan menulis. Orang yang berbudaya literasi adalah orang mampu mengolah dan memahami informasi pada waktu proses membaca dan menulis.

Orang tersebut sedang membangun peradaban. Masyarakat dan bangsa yang sudah memiliki budaya literasi, dipastikan masyarakat dan bangsa tersebut sudah maju dan sejahtera di berbagai bidang kehidupan, seperti masyarakat Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea. 

Budaya literasi yang tertanam dalam diri generasi muda mempengaruhi tingkat kecerdasan dan keberhasilan seorang terpelajar, mulai dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, sampai PT. Budaya literasi juga mempengaruh tingkat kecerdasan dalam menggeluti berbagai aspek kehidupan. Itulah sebabnya orang menyebut budaya literasi sebagai jantungnya pendidikan dan kebudayaan.

Seorang pegiat literasi bernama Ngainun Naim, dalam Pengantar bukunya berjudul Geliat Literasi (2015) menyatakan, untuk menciptakan kemajuan peradaban suatu daerah salah satu caranya adalah dengan menumbuh dan mengembangkan tradisi literasi atau budaya literasi. Dalam konteks ini mahasiswa sebagai generasi pembelajar seharusnya dapat mengambil peran aktif menjadi motor penggerak budaya sadar literasi di lingkungannya masing-masing.

Kalau generasi muda kita tidak ditanamkan budaya literasi maka ke depan generasi muda kita lebih banyak mengenal para artis dan pelawak Indonesia, seperti Nikita Mirzani, Sule, Dinar Candy, dan Azis Gagap, dibandingkan dengan para tokoh intelektual, negarawan, dan budayawan Indonesia, seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Gus Dur, Soejatmoko, Goenawan Mohammad, dan Ignas Kleden, dan lain-lain. 

 

Oleh karena itu, pada era digital (internet) sekarang ini, generasi muda kita termasuk para mahasiswa perlu menggeluti dunia literasi secara serius dan mendalam sehingga terbentuk budaya literasi.

Indonesia Urutan 62 dari 70 Negara

Di mana posisi Indonesia dalam budaya literasi tingkat dunia? Ternyata cukup mengecewakan. Indonesia menempati urutan ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Indonesia berada pada posisi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 (Utami, 2021, dalam: https://www.tribunnews.com/nasional/2021/03/22/tingkat-literasi-indonesia-di-dunia-rendah-ranking-62-dari-70-negara?page=2).

Terhadap hasil survei itu, Kepala Perpustakaan Nasional,, Syarif Bando , mengatakan, persoalan Indonesia adalah persoalan rendahnya tingkat literasi atau budaya literasi. Ini menjadi tantangan berat bangsa Indonesia. Untuk kemajuan bangsa Indonesia, budaya literasi harus digencarkan. Harus sukseskan program Gerakan Literasi Nasional (GLN), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga (GLK), dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM).

 Soal literasi adalah soal kedalaman pengetahuan dan teknologi seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan. Rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia ditengarai karena selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hilir. Sisi hilir yang dimaksud adalah masyarakat terus-menerus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya.

Karena terus-menerus dihakimi sebagai bangsa yang rendah budaya bacanya, maka rendah pula indeks literasinya. Itulah stigma buruk. Orang Indonesia jadinya merasa minder. Masalahnya, orang Indonesia tidak berusaha bangkit untuk mengurangi stigma buruk itu.

Stigma buruk tersebut mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi rendah daya saingnya. Rendah indeks pembangunan SDM-nya. Rendah inovasinya. Rendah income per kapitanya, sampai pada rendah rasio gizinya. Itu semua akhirnya berpengaruh pada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia negara itu sendiri.

Yang perlu dilakukan kini adalah pembenahan pada sisi hulunya. Pembenahan pada sisi hulu ini, antara lain negara harus berperan menghadirkan berbagai jenis bahan bacaan sesuai dengan kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke, terutama masyarakat di pedalaman. Di tengah masyarakat itu perlu ada eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh masyarakat, akademisi, para penulis, dan  penerbit.

Rendahnya budaya literasi Indonesia dilihat pula dari jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia. Di bidang literasi, Indonesia hanya memiliki rasio nasional 0,09. Artinya, setiap tahun, satu buku ditunggu oleh 90 orang. Itu termasuk tingkat literasi yang sangat rendah dalam indeks kegemaran membaca.

Standar UNESCO minimal 3 buku baru untuk setiap orang setiap tahun. Di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, China, rata-rata setiap tahun memiliki 20 buku baru bagi setiap orang. Ini menjadi tantangan Indonesia paling mendasar, budaya membaca di Indonesia sangat rendah.

Salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah dengan merekomendasikan para bupati, walikota, dan gubernur untuk bertanggung jawab, antara lain dengan mendorong para penulis dan sastrawan untuk menulis buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia di masing-masing daerah. 

 

Menulislah buku yang terkait dengan asal-usul budayanya, peta geografisnya, potensi SDA, potensi SDM, potensi pariwisata, dan hal-hal lain yang menjadi kebanggan masyarakat daerah tersebut. Hindari Jakarta menulis buku untuk orang NTT yang isinya tidak berkaitan dengan kebutuhan orang NTT.

Malas Membaca, Tetapi Cerewet di Medsos

Dalam sebuah artikel berjudul “Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca, Tapi Cerewet di Medsos” (dalam https://legaleraindonesia.com/masyarakat-indoneia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/ mengangkat beberapa fakta penting tentang perilaku orang Indonesia yang malas membaca, tetapi cerewet di media sosial (medsos). Berikut antara lain fakta-fakta tersebut.

Fakta pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah terendah soal literasi dunia. Artinya, minat baca orang Indonesia sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yakni hanya 0,001 %. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca!

Riset lain yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi infrastuktur untuk mendukung budaya membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Fakta kedua, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.

Ironisnya, meskipun minat membaca dan menulis buku Indonesia sangat rendah, tapi data Wearesocial per Januari 2017 mengungkapkan, orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal “kecerewetan” di media sosial, orang Indonesia berada di urutan ke-5 cerewet di tingkat dunia. Indonesia juara ke-5 cerewet tingkat dunia. Jakarta adalah kota paling cerewet di dunia maya. Aktivitas kicauan dari akun Twitter penduduk Jakarta paling padat di dunia, melebihi penduduk Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris, Perancis.

Salah satu yang mengagetkan juga, di tingkat dunia, warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek dan membagi cerita di Twitter dengan jumlahnya lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua di tingkat dunia adalah Tokyo, kemudian London, New York, dan Sao Paulo yang juga gemar membagi cerita. Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam tingkat dunia. Dengan demikian, Indonesia memiliki rekor dua kota masuk dalam daftar riset dunia, Jakarta dan Bandung.

Terasa ironis, malas membaca buku, tetapi paling banyak menatap layar gadget dan paling cerewet pula di media sosial. Jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoaks, dan fitnah. Kecepatan jari untuk like dan share melebihi kecepatan otaknya. Padahal informasinya belum tentu benar, termasuk provokasi dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, merongrong NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara.

Era Post-Truth

Lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang didapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal berita palus (fake news) dan akun-akun penyebar hoaks itu. Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini soal kepercayaan masyarakat terhadap media hoaks versus media valid. Faktanya memang begitu. Diukur lewat Alexa.com ada beberapa media hoaks bisa mengalahkan media mainstream valid, seperti Antaranews dan Tempo.co.

Selamat datang di Era Post-Truth! Post-Truth ini berkaitan dengan keadaan di mana fakta-fakta obyektif yang masuk akal sehat kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik, dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta, melainkan afirmasi dan konfirmasi atas keyakinan yang dimilikinya.

Pada saat ini banyak sekali situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok. Mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Kebenaran menjadi tidak penting, yang penting adalah daya tarik belaka. 

Kredibilitas nama media online sudah tidak dilihat oleh masyarakat kita yang malas baca dengan serius dan tukang cerewet. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan media opini hoaks tersebut, masyarakat justru malah berbalik menjadi tidak percaya terhadap media-media yang obyektif dan valid. Jadi, yang mengganggu bukan hanya media sosial berisi hoaks, tetapi juga media hoaks yang menyebarkan berita dan opini yang terpolarisasi.

Untuk membangun budaya literasi media yang baik dan benar, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo RI harus tegas untuk menutup akun-akun media online palsu yang menyebarkan hoaks yang memecah belah bangsa Indonesia. Selain itu, kita juga harus melakukan kontra narasi yang kredibel terhadap hoaks atau berita dan opini yang menyesatkan. *


Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende


 

 

Post a Comment for "Budaya Literasi Bangsa Indonesia"