Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai

Judul: Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai 
Penulis: Yohanes Sehandi
Pengantar: Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.
Genre: Kritik Sastra
Penerbit: Kosa Kata Kita, Jakarta
Cetakan 1: 2022
Tebal: xxvi + 274 halaman
ISBN: 978-623-6425-46-6
Harga Buku Cetak: Rp 75.000
(+ Ongkos Kirim)
Harga Buku PDF: Rp 25.000
(Buku Dikirim Lewat WA)
Berminat Hubungi WA: 081 339 004 021
Rekening BNI Nomor 0496601959
Atas Nama: Sehandi Yohanes

Pengantar Penulis

Buku ini berisi telaah sastra Indonesia Pascareformasi dalam bentuk kritik dan esai. Sastra Indonesia Pascareformasi merupakan periode setelah Reformasi tahun 1998/1999. Sacara garis besar, sastra Indonesia Pascareformasi dimulai tahun 2000 bersamaan dengan dimulainya otonomi daerah atau desentralisasi politik dan pemerintahan di Indonesia.

Menurut kritikus Maman S. Mahayana dalam artikelnya yang berjudul “Sastra Indonesia Pascareformasi,” dalam buku Pengarang Tidak Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia, 2012, halaman 292-293), periode Pascareformasi merupakan periode yang paling semarak dan meriah dalam sastra Indonesia. Baik secara kuantitas maupun kualitas, karya-karya sastra Indonesia yang terbit pada periode Pascareformasi ini sepertinya datang berdesak-desakan. Adapun faktor utamanya karena terjadinya perubahan sangat mendasar dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Tumbangnya rezim Soeharto dan Orde Baru yang represif, sentralistik, militeristik, dengan berbagai jargon politiknya yang penuh eufemistik, boleh jadi telah sangat mempengaruhi gaya pengucapan dan cara berpikit para sastrawan Indonesia.

Mahayana dalam bukunya yang disebutkan di atas, mengajukan tesis menarik tentang kemungkinan perkembangan sastra Indonesia Pascareformasi. Menurutnya, perubahan sosial dan politik yang terjadi begitu cepat dan derasnya arus globalisasi yang tidak dapat dibendung dalam era teknologi informasi, memaksa perkembangan kesusastraan Indonesia, sangat boleh jadi, akan jatuh pada kecenderungan memasuki dua arah orientasi pada periode Pascareformasi.

Pertama, pengaruh arus globalisasi dan lompatan kemajuan teknologi informasi akan membuka akses yang lebih luas bagi sastrawan Indonesia terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Adanya berbagai kemudahan orang membuka jaringan internet dengan aneka macam situsnya, tidak hanya dapat meluaskan cakrawala atas perkembangan pengetahuan kesusastraan dunia, tetapi juga memberi kemungkinan lain atas gaya, pengucapan, dan tema yang menjadi bahan garapan para sastrawan Indonesia. Kondisi itu tentu saja ikut mempengaruhi perkembangan kesusastraan Indonesia di masa depan.

Kedua, pengaruh perubahan sosial dan politik dalam tataran pemerintahan dalam negeri Indonesia, terutama dalam proses desentralisasi dengan pemberlakuan otonomi daerah sejak tahun 2000, turut mengubah perkembangan sastra Indonesia. Selepas otonomi daerah digulirkan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi sentralistik, kehidupan sosio-kultural di pelosok Tanah Air niscaya lebih membumi, mengakar, dan kembali pada kultur kedaerahan. Paling tidak, problem lokalitas daerah akan menjadi salah satu tema sentral karya-karya sastra Indonesia pada periode berikutnya. Kultur etnik lokal dan problem sosial yang terjadi di daerah sangat mungkin akan menjadi lahan subur bagi sastrawan-sastrawan Indonesia, baik yang tinggal di daerah maupun yang tidak.

Dalam hal kecenderungan yang kedua, yakni desentralisasi sastra Indonesia Pascareformasi, menurut Mahayana, wacana lokalitas akan menjadi penting dan mencuat sebagai sebuah konsep dan sangat mungkin pula akan diwujudkan ke dalam tiga skenario, yakni (1) mengeksploitasi kekayaan tradisi dan kultur lokal; (2) mengusung problema kemasyarakatan lokal, tempatan, yang khas terjadi dan menjadi milik para sastrawan dalam lingkup lokalitas daerah masing-masing; dan (3) memproklamasikan semangat lokalitas daerah menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat Jakarta (Mahayana, 2012, halaman 305-306).

Dengan demikian, sastra Indonesia Pascareformasi, di satu sisi berorientasi global atau mendunia, di sini lain berorientasi lokal/regional atau sastra Indonesia yang kembali ke kultur kedaerahan. Sastra Indonesia yang berorientasi kultur kedaerahan inilah yang disebut sebagian pengamat sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal. Sastra Indonesia warna daerah adalah karya sasta yang ditulis dalam bahasa Indonesia, mengandung kultur lokal dan karakter kedaerahan yang khas, misalnya sastra Indonesia di Provinsi NTT, yang belakangan disebut sebagai sastra NTT. Kultur lokal dan karakter kedaerahan yang khas NTT itu tercermin pada tema, amanat, aspirasi, latar, penokohan, dan karakter khas kedaerahan lainnya. Dua kecenderungan di atas merupakan ciri khas sastra Indonesia Pascareformasi.

Fokus pembahasan buku ini adalah karya-karya sastra Indonesia yang terbit pada periode Pascareformasi yang berorientasi ke daerah yang ditelaah dalam bentuk kritik dan esai. Buku ini dibagi dalam dua bagian. Bagian Pertama, Kritik Sastra, berisi 15 tulisan. Bagian Kedua, Esai Sastra, berisi 15 tulisan. Perbedaan antara esai sastra dan kritik sastra memang sangat tipis. Baik esai sastra maupun kritik sastra masuk dalam kelompok telaah sastra.

Perbedaan antara esai sastra dan kritik sastra secara garis besar sebagai berikut. Esai sastra adalah karya telaah sastra yang berisi apresiasi atau penghargaan terhadap karya sastra dan penulisnya berdasarkan resepsi (penerimaan) dan persepsi (tanggapan) penulis esai (esais) pada waktu membaca karya sastra tersebut, tanpa berpretensi memberi penilaian baik dan buruknya karya yang diulasnya. Sedangkan kritik sastra adalah karya telaah sastra yang, di samping berisi apresiasi terhadap karya sastra dan penulisnya berdasarkan resepsi (penerimaan) dan persepsi (tanggapan) pada waktu membaca karya sastra tersebut, tetapi juga penulis kritik (kritikus) berpretensi memberi penilaian baik dan buruknya karya sastra yang diulasnya.

Kalau meminjam uraian Maman S. Mahayana dalam bukunya Kitab Kritik Sastra (2015, halaman xxxi--xlv), esai sastra berisi tiga tahapan, yakni tahapan deskripsi (menggambarkan), interpretasi (menafsirkan), dan analisis (menguraikan), sedangkan kritik sastra berisi empat tahapan, yakni tahapan deskripsi, interpretasi, analisis, dan evaluasi (menilai). Kritik sastra berpuncak pada tahapan evaluasi, yakni tahapan memberi penilaian baik buruknya karya sastra, sedangkan esai sastra tidak sampai pada tahapan penilaian. Dengan demikian, perbedaan antara esai sastra dan kritik sastra terletak pada unsur penilaian.

Motivasi awal penerbitan buku ini untuk menjadi buku referensi dalam mata kuliah Menulis Kritik dan Esai Sastra Indonesia yang saya asuh di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende, NTT. Sebagian tulisan dalam buku ini telah dipublikasikan di media cetak, seperti majalah dan surat kabar, maupun yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku antologi esai dan kritik sastra. Ada pula sebagian tulisan telah dipublikasikan dalam blog pribadi Yohanes Sehandi. Semua tulisan dalam buku ini telah dilakukan pengeditan dan penyelarasan yang serius agar tidak terjadi tumpang tindih.

Pada bagian akhir Pengantar Penulis ini, saya mengucapkan terima kasih berlimpah kepada Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum., Guru Besar Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang bersedia menulis Pengantar Ahli untuk buku ini. Semoga buku ini dapat menambah referensi di bidang esai dan kritik sastra Indonesia Pascareformasi. Usul-saran perbaikan dari para pembaca budiman akan diterima dengan senang hati. *

Ende, Flores, 18 Februari 2022

Yohanes Sehandi

Daftar Isi
Bagian Pertama: Kritik Sastra
1.  Ketika Lamafa Salah Menikam Ikan Paus, Membedah Novel Suara Samudra
2.  Feodalisme dalam Masyarakat Ngada di Flores dalam Novel Kemelut Kasta
3.  Kepada Pedang dan Nyala Api, Pesan Perdamaian dari Bumi Flobamora
4.  Refleksi Keseharian Seorang Penyair dalam Antologi Puisi Kasut Lusuh
5.  Introduction dalam Antologi Cerpen The Anatomy of Travel Karya Gerson Poyk
6.   Protes Sosial dalam “Sajak Rajawali” Karya WS Rendra
7.   Yesus di Salib, Menurut Chairil Anwar dan dan WS Rendra
8.   Tragedi TKI NTT dalam Sorotan Penyair
9.    Menjaga Mata Pisau Sapardi Djoko Damono
10.  Koruptor Ditegur Seekor Ulat
11.  Virgin, di Manakah Perawanmu?
12.  Felix K. Nesi Membunuh Sepi
13.  Polisi Sampah, antara Fiksi dan Fakta
14.  Mawar Tak Berduri Bidan Flores
15.  Tokoh Idola dalam Novel NTT untuk Pendidikan Karakter
Bagian Kedua: Esai Sastra
1.   Perihal Esai Sastra
2.   Perihal Kritik Sastra
3.   Sembilan Langkah Menulis Kritik Sastra Menurut Maman S. Mahayana
4.   Sejarah Sastra Indonesia di Provinsi NTT
5.   Sastra Indonesia Warna Daerah NTT
6.   Potensi Sastra NTT Membangun Karakter Bangsa
7.   Kontroversi Pencalonan Denny JA untuk Nobel Sastra 2022
8.   Jejak Puisi dalam Sastra NTT
9.   Jejak Cerpen dalam Sastra NTT
10.  Jejak Novel dalam Sastra NTT
11.  Perihal Pelopor Sastra NTT Gerson Poyk
12.  Taman Budaya Gerson Poyk
13.  16 Juni, Hari Sastra NTT
14.  Seruling Perdamaian Penyair NTT
15.  Catatan Sastra untuk Gubernur NTT
Catatan Penutupan
Pada bagian akhir buku ditampilkan hasil wawancara harian Pos Kupang dengan Yohanes Sehandi berkaitan dengan potensi sastra dalam membangun karakter anak bangsa. *

 

 

 

 

 

Post a Comment for "Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai"