Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fungsi Karya Sastra

Ketajaman perasaan sastrawan menyebabkan ia mampu menangkap getar-getar kehidupan ini lengkap dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Karya sastra mampu mengangkat pembacanya dari kedangkalan keseharian ke tingkat yang lebih subtil dan beradab, menambah kekayaan batin penikmat, menjadi lebih peka terhadap hidup dan kehidupan ini. Karya sastra dinilai mampu menjadikan para penikmatnya lebih mengenal manusia dengan kemanusiaannya, karena apa yang disampaikan oleh setiap sastrawan tidak lain adalah tentang manusia dan kemanusiaan dengan berbagai macam keberadaannya. Perihal fungsi karya sastra, seorang penyair besar Romawi kuno, yakni Horatius (65-8 SM), berpandangan bahwa karya sastra berfungsi sekaligus bertujuan sebagai utile (bermanfaat) dan dulce (nikmat, menyenangkan).

Jadi, utile et dulce, bermanfaat dan menyenangkan. Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya-karya sastra, yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur. Mungkin juga karya sastra itu mengisahkan hal-hal yang tidak terpuji, tetapi bagaimanapun pembaca masih bisa menarik pelajaran darinya sebab dalam membaca karya sastra pembaca dapat  diingatkan dan sadar untuk tidak berbuat demikian.

Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat (menyenangkan) kepada para pembacanya melalui keindahan isi dan bentuknya berupa penggunaan bahasa dan gaya bahasa yang memikat (Pradotokusumo, 2008: 5-6). Secara umum, para ahli sastra merincikan fungsi karya sastra, antara lain sebagai berikut.

Pertama, sebagai ekspresi keindahan. Pada awal mula sastra muncul sebagai media ekspresi pengalaman mistis dan estetis manusia pada waktu berhadapan dengan alam dan Sang Penciptanya sebagai penjelmaan keindahan. Ekspresi pengalaman mistis dan estetis manusia dalam bentuk keindahan ini, menurut Mudji Sutrisno (dalam Taum, 1997: 9-10), menenteramkan dan menggembirakannya, karena di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan memanggil manusia untuk selalu dekat kepada Sang Penciptanya.

Menurut Wadjiz Anwar (1980), keindahan itu terdapat di mana-mana. Kita memandang alam di sekeliling kita, kita menjumpai keindahan. Kita juga menjumpai dan merasakan keindahan dan kecantikan. Keindahan pemandangan nyiur melambai di pinggir pantai negeri ini, gunung dan bukit, lereng dan lembah serta padang belantara, adalah pemandangan yang indah. Keindahan laut yang membanting tepi pantai. Suara burung dan gesekan pohon kayu diterpa angin pun menimbulkan keindahan. Gerak langit dan gerak penari pun ada keindahannya.

Di samping keindahan yang terdapat dalam alam itu kita sebagai manusia juga boleh membuat sejumlah keindahan yang kita tuangkan di dalam karya seni. Kita merasakan dan menikmati keindahan sebagai hiburan. Karya sastra adalah sarana ekspresi keindahan yang ditangkap dengan mata batin pengarang.

Kedua, sebagai sarana hiburan. Sastrawan menciptakan karya sastra antara lain sebagai sarana untuk menghibur orang lain, para penikmat atau pembaca. Hiburan dalam arti bisa dalam bentuk inderawi bisa pula dalam bentuk hiburan intelektual, kedalaman substansi isi karya sastra yang dinikmati. Karya-karya sastra yang tinggi (serius) kualitasnya lebih menonjolkan pesan nilai-nilai yang bersifat universal dibandingkan fungsi hiburannya. Sebaliknya, karya sastra yang bersifat populer, lebih menonjolkan fungsi hiburan dibandingkan dengan pesan nilia-nilai.

Menurut Sidi Gazalba (1974), fungsi karya seni, termasuk karya sastra sebagai hiburan mendapat nilai yang tak terkirakan peranannya dan menambah kenyamanan hidup manusia. Puisi, cerpen, novel, nyanyian, musik, tarian, drama, dan lukisan merupakan sumber vitamin dan protein untuk kesehatan jiwa dan semangat yang penat, letih, dan lesuh,  karena terkena berbagai beban hidup di berbagai aspek kehidupan manusia di bawah kolong langit ini. Semangat hidup yang sudah menurun dan kendur disegarkan kembali oleh nilai-nilai yang kita nikmati dalam karya-karya seni termasuk karya sastra.

Ketiga, sebagai sarana pendidikan. Menurut Aning Retnaningsih (1982), karya seni diciptakan pengarang karena pengarang memiliki niat baiknya untuk mengemukakan nilai-nilai, pesan, cita-cita, serta pikiran dan perasaan yang terkandung di dalam batinnya. Seorang pengarang menciptakan karya sastra karena ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pengarang ingin berbagi pengalaman batin dengan pembaca. Pengalaman batin yang disampaikan merupakan sarana pendidikan bagi masyarakat penikmat karya sastra tersebut.

Nilai pendidikan yang disampaikan ada yang bersifat langsung ada yang tak langsung. Pendidikan yang bersifat langsung dapat dilihat dari dialog langsung yang dilakukan oleh para tokoh atau penutur pada seni pertunjukkan. Tema-tema ucapan dan adegan mempunyai pesan dan tujuan tertentu untuk penontonnya. Walaupun isi dialog seolah-olah untuk keperluan dan konflik antara tokoh yang terdapat di dalam cerita. Sedangkan pendidikan yang bersifat tidak langsung, dapat dilihat dari tema cerita, jalan cerita, dan perkembangan watak para tokoh  dalam cerita. Perkembangan tersebut dapat menjadi contoh kepada pembaca atau penonton pertunjukan.

Pendidikan yang bersifat informal dapat disampaikan pengarang melalui karya seni. Misalnya, pendidikan tentang hukum, agama, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah novel, dapat menampilkan persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Misalnya, masalah korupsi, ketidakadilan gender, kemiskinan yang mendera, dan pelbagai masalah sosial kemasyarakatan yang lainnya yang terungkap di dalam novel tersebut. Karya sastra tidak hanya memancarkan kenyataan, tetapi juga turut membangun masyarakat, sebagai sarana pendidikan.

Keempat, sebagai sarana penanaman nilai. Karya seni yang diciptakan pengarang menjadi satu dunia imajinatif yang tersusun secara rapi dan teratur. Di dalam dunia fiksi ini terjalin jalan pikiran dan berhubungan dengan kehidupan. Pengarang merekam peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan, namun pengarang sebagai anggota masyarakat memiliki pemahaman dan kajian terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Pemahaman dan kajian pengarang ini mempengaruhi pengungkapannnya di dalam karya sastra yang kaya dengan daya imajinasinya. Karya sastra tidak menampilkan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tetapi telah dicampurkan dengan daya imajinasi pengarang yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan bermacam-macam, seperti nilai moral, etika, estetika, religius, sosial, budaya, hukum, dan lain-lain.

Nilai-nilai kemanusiaan itu sangat dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Nilai-nilai itu terkandung dalam karya sastra. Nilai-nilai ini berfungsi seolah-olah sebagai nasihat bagi para penikmat karya sastra. Pembaca yang peka akan nilai-nilai yang ditawarkan dalam karya sastra berpengaruh besar dalam mengubah perilaku hidupnya, melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan.

Pengarang berusaha untuk mengungkapkan kebaikan, jika dapat melaksanakan dan mentaati kebaikan itu. Begitu juga pengarang menjelaskan akibat perbuatan yang tercela, jika dilakukan oleh seseorang. Oleh sebab itu, timbul pemikiran pembaca untuk tidak melaksanakan atau tidak mengikuti hal-hal yang kurang baik dan kurang memberikan harapan yang baik pada masa depan.

Melalui cerita (karya sastra) pengarang ingin menanamkan nilai-nilai melalui perkembangan watak pelaku cerita. Pengarang memberikan contoh atau teladan kepada pembaca atau penonton pertunjukkan. Pembaca atau penonton dapat mengambil pesan yang disampaikan pengarang. Penonton seolah-olah menjadi objek para pengarang. Pembaca atau penonton selalu diberikan pesan, pesan langsung maupun tidak langsung.

Melalui karya sastra pengarang berusaha memberikan nasihat kepada pembaca, agar pembaca dapat melaksanakan kehidupan ini dengan baik, tulus, dan jujur. Karya sastra dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi dan agung, lebih bertanggung jawab, baik tanggung jawab kepada diri sendiri maupun tanggung jawab kepada orang lain, bangsa, negara, dan kepada Tuhan Sang Penciptanya.

Kelima, sebagai sarana melestarikan budaya bangsa. Setiap suku, etnis, daerah, bangsa, dan negara memiliki kebudayaan sendiri dan kesenian yang khusus. Seni budaya itu berkembang pada masyarakat yang bersangkutan, melalui pertunjukkan (sastra lisan, seni drama, deklamasi), dan seni membaca (puisi, cerpen, dan novel), dan pameran (seni lukis, seni patung).

Kemudian, kesenian itu dapat juga berkembang melalui pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan yang resmi yang khusus mengajarkan pendidikan seni atau menjadi pelajaran muatan lokal. Seni itu dapat berkembang melalui pendidikan informal seperti menonton pertunjukan, membaca, mendengar dari aktivitas dan kreativitas karya seni.

Sastra bukanlah sesuatu yang otonomi yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu diciptakan. Apa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat akan mempengaruhi karya sastra yang dilahirkan seorang pengarang. Karya sastra merupakan pancaran masyarakat pada masa diciptakan setelah melalui proses pengolahan imajinasi pengarang.

Stephanus Djawanai (Rektor Universitas Flores, Ende) dalam Sambutan Pengantar untuk buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012: 1) karya Yohanes Sehandi (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012), menyatakan, Sastra (susastra) adalah khazanah pengetahuan dan tempat manusia menyimpan catatan dari sejarah intelektualnya.

Jadi, menurut Djawanai, sastra NTT (Provinsi Nusa Tenggara Timur), yakni sastra Indonesia warna daerah (lokal) Provinsi NTT, adalah khazanah pengetahuan dan tempat manusia (masyarakat) NTT menyimpan catatan dari sejarah intelektualya. Disadari atau tidak, pengarang langsung terpengaruh dengan keadaan kehidupan masyarakat.

Oleh sebab itu, karya sastra, berfungsi sebagai sarana untuk melestarikan budaya bangsa. Karya sastra itu saling mempengaruhi dengan masyarakat. Karya sastra dianggap sebagai wadah rohaniah dan intelektual bangsa, mengangkat martabat dan harkat peradaban bangsa tersebut. Sejarah peradaban suatu bangsa dapat menjadikan karya sastra sebagai rujukannya. Dalam karya sastra terungkap fakta-fakta yang sedikit banyak mencerminkan budaya dan peradaban bangsa yang bersangkutan.

Daftar Pustaka
Anwar, Wadjiz. 1980. Falsafah Estetika. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2008. Cetakan ke-2. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia.
Retnaningsih, Aning. 1982. Roman dalam Masa Pertumbuhan Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Erlangga.
Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende, Flores: Nusa Indah.

Ende, Flores, 31 Mei 2022

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari NTT

 

 

Post a Comment for "Fungsi Karya Sastra"