Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengantar Buku oleh Suwardi Endraswara

Pengantar Buku
Oleh Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.
dalam Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Editor Yohanes Sehandi)

Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.
Guru Besar Antropologi Sastra Universitas Negeri Yogyakarta

Memandang Butiran-Butiran Telur
telur di atas bibir ranumu sulit bersahabat
biarpun telah memanjakan rasa yang penuh cahaya
ketika ada kekuatan dari nafas dalam
tak terasa, memecahkan detik-detik kehidupan
telur di atas jemarimu berkata lembut
menggoda ketidakadilan zaman
ketika perbedaan hanya terukur hampa
oleh keraguan kapitalis yang merebut
keduniawian meracut dahaga
telur di tengah rahimmu membisu
melukiskan ketiadaan menuju sangkan paran
yang mulai bergetar di sudut sunyi
yang sulit terbayangkan pada saat gundah
mempertahankan marwah
telur di pangkuanmu semakin bebas dan liar
menggelinding dalam api sekam
yang penuh tantangan geliat
namun tetap menggema
tak pernah akan sirna
(Suwardi Endraswara)

Sebanyak 50 penulis opini dalam buku ini, seperti sedang memandang butiran-butiran telur. Telur itu bernama puisi esai. Fantastis. Penuh inspiratif. Karena itu telur mentah, boleh jadi opinius (penulis opini) ada yang mencoba menelan puisi esai mentah-mentah, jadi obat. Ada juga yang mencoba memasak telur dengan aneka masakan. Ada yang berujud telur ceplok, telur dadar, telur gudeg, dan sejenisnya. Mereka umumnya sedang memandang butiran-butiran telur estetis.

Butiran telur itu, dari perspektif antrologi sastra seperti etnografi indah. Etnografi puitik dan esai, boleh ditafsirkan apa saja. Maka, penulis opini dalam buku ini, seperti sedang berolah etnografi estetis. Penulis puisi esai itu seperti memancing tukang masak telur. Artinya, tukang masak itu kadang menggunakan resep dan kadang tanpa resep. Yang penting masakannya sedap. Telur itu  tersaji rapi, enak dinikmati. Terserah yang hendak menikmati. Pembaca, sebagai penikmat boleh saja menolak masakan, mengkritik, dan juga acung jempol. Setiap orang boleh berbeda untuk merasakan makanan. Maka hadirnya puisi esai, tak perlu heran kalau ada yang menghirup aroma sedap, bervitamin, dan lezat. Sebaliknya ada yang kurang paham, sering muak dengan masakan itu. Lalu, mereka komentar: ah puisi esai itu sekedar sayur yang dipanaskan saja. Silakan.

Brad Evans (2007) dalam artikelnya Introduction: Rethinking the Disciplinary Confluence of Anthropology and Literary Studies, menyatakan bahwa sejak Frans Boas sudah ada kegelisahan terhadap budaya plural yang terungkap lewat sastra. Puisi esai adalah karya sastra unik. Keunikan muncul sebuah lukisan etnografi. Saya bayangkan, para penulis opini tentang puisi esai juga menggunakan konsep 3-K, yaitu (1) konten, artinya puisi itu memuat kandungan nilai, konten yang dalam dan estetis, (2) konteks, artinya puisi esai itu membawa pesan yang melingkupi berbagai hal dalam hidup ini, (3) konstruksi, artinya susunan puisi esai memang ada kekhasan. Kekhasan puisi esai, menurut saya ada getaran etnografis. Maka dalam konteks ini, studi sastra boleh digali dari perspektif antropologi sastra yang memandang konteks hubungan sastra dengan budaya.

Yang jelas, opini tentang puisi esai dalam buku antologi ini sudah mengendors pekik kehadiran puisi esai. Berbagai opini sebenarnya sedang “beretnografi estetis” dengan cara masing-masing. Yang penting, menurut saya, sastra itu selalu ada kebaruan, antara lain muatan etnografis. Opini itu bebas menggelinding. Opini puisi esai dalam buku ini, menurut saya, sebuah kreativitas ekstraordinary. Biasa, jika ada pro-kontra. Sebab di dunia ini ada beberapa kelompok, antara lain (1) kelompok yang mudah iri hati jika ada sesuatu yang baru, (2) kelompok yang tidak begitu paham terhadap sesuatu yang baru, ikut-ikutan, merasa sok tahu lalu memberi ajusment yang semauanya sendiri, (3) kelompok yang berpikir jernih.

Dalam Pengantar Editor untuk buku antologi opini ini mas Yohanes Sehandi membuka mata kita tentang puisi esai. Yang unik, katanya, ada penolakan terhadap puisi esai prabayar Denny JA. Saya sendiri heran mengapa ada petisi penolakan, ketika ada orang yang sedang menghembuskan nafas kreativitas. Maka, saya cenderung tidak antipasti pada kreativitas, sejauh dengan cara-cara yang bijak. 

Menurut hemat saya, kalau saya membuka catatan puisi-puisi esai berjudul Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia editor Acep Zam Zam Noor (2013), ternyata nama-nama seperti D. Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, dan sebagainya sudah ikut terindikasikan sebagai penulis puisi esai. Entah awalnya memang sengaja atau tidak, diminta atau tidak, dari lubuk hati, puisi esai itu sudah ada.

Sastra memang tak pernah diam. Puisi pun begitu. Seperti halnya telur, bentuknya yang bulat halus, diletakkan di mana saja pantas. Telur itu, ibarat puisi esai, selalu bergerak. Puisi esai juga selalu mencari bentuk dan atau kostruksinya. Opini puisi esai pun mengalir, sesuai dengan pancingan puisi esai yang muncul. Maka, saya sedikit kaget, ketika ada opini yang ditolak ada sekitar 12 judul gara-gara tidak membahas tentang puisi esai, tetapi membahas puisi atau sastra pada umumnya. Tampaknya, ada perbedaan antara puisi esai dengan puisi pada umumnya. Saya tidak terlalu rebut dengan pembedaan itu, sebab hidup itu yang penting berkarya tidak pernah berhenti. Berpuisi esai, secara antropologis justru memancing pengkajian baru.

Setidaknya, puisi esai itu ada tiga ciri utama, yaitu (1) lebih panjang diekspresikan, (2) ada cetusan kisah, dan (3) ada ide gagasan mengalir seperti halnya prosaik. Ciri-ciri tersebut banyak mewarnai gagasan kreatif para penyair puisi esai. Mengapa banyak orang selalu tidak setuju dengan puisi esai, padahal saya sendiri sudah menulis puisi esai sejak tahun 1994-an, jauh sebelum gagasan puisi esi ini didengungkan ulang. Waktu itu, saya sudah menjadi juri lomba cipta puisi yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta dan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta. Cukup mengejutkan. Sebab, pemenangnya ternyata penyair yang dapat terindikasikan sebagai puisi esai.

Sesungguhnya dunia ini puisi. Dunia yang saya jalani, mulai dari dunia putih, hitam, abu-abu adalah puisi. Penuh keindahan, yang sulit terbayangkan. Dunia ini juga berseliweran esai. Kalau puisi itu jagat fantasi jiwa, esai itu pendapat tentang fantasi itu. Puisi dan esai sesungguhnya dua genre yang berbeda. Puisi itu dasarnya imajinasi yang melambung, sedangkan esai itu didasari pada fakta dan data. Gabungan antara puisi dan esai boleh-boleh saja. Pemaduan puisi dan esai menjadi puisi esai, artinya konstruksi puisi yang dibumbui esai.

Sebagaimana puisi esai itu boleh, tentu “esai puisi” juga boleh. Jika puisi esai itu titik beratnya adalah puisi yang disertai pendapat, esai puisi adalah pendapat yang diuntai secara puistis. Dalam buku antologi ini, saya sebut esai tentang puisi esai. Buku ini bukan sebuah esai puisi dan juga bukan puisi esai, melainkan “esai tentang puisi esai.” Esai itu pendapat, gagasan, dan harapan.

Puisi esai bukan hal tiba-tiba. Secara filosofi, puisi esai itu muncul atas dorongan dua hal (1) dorongan kreativitas, yang hendak memunculkan ide baru. Ide itu berawal dari puisi panjang (long poetry), yang sebelum tahun 2012 pun sebenarnya sudah ada. Prototipe puisi esai seperti dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, juga sejenis puisi esai; (2) dorongan psikologi, yaitu keinginan mengemukakan imajinasi, dipadu dengan opini, yang kian menggebu, tidak cukup hanya beberapa baris. Akibatnya harus muncul puisi yang berbentuk naratif (narrative potery).

Opini dalam buku ini bebas. Bebas bergaul tentang puisi esai. Yang saya cermati, para penulis opini lebih banyak mengemukakan aura positif. Hampir tidak ada yang memberikan kritik, melainkan berupa sanjungan. Mulai bagian pertama yang memuat (1) Surat Sastra Buat Denny JA oleh Gunoto Saparie, (2) Puisi Esai yang Adil dan Beradab oleh Kumbo Adiguno, (3) Puisi Esai, Membebaskan Puisi dari Kerangkeng Fiksi oleh Bernadus B. Daya, (4) Puisi Esai, Mengapa Tidak? oleh Dhenok Kristianti, (5) Puisi Esai, Jalan Menuju Redefinisi Puisi oleh A. Y. Delianna, (6) Puisi Esai dan Ruang Riset Sastra oleh Rasiah, (7) Puisi Esai di Tengah Kebuntuan Sastra oleh Anthony Tonggo, (8) Puisi Esai dan Kemungkinan Kontribusinya oleh Heri Mulyadi, (9) Puisi Esai Memperkaya Khazanah Sastra oleh Rini Sulistiani, (10) Puisi Esai, Sebuah Kolaborasi Sastra oleh Hamri Manopo, (11) Puisi Esai, Puisi Modern yang Tidak Biasa oleh Fajar Mesaz, (12) Puisi Esai, Fakta yang Harus Diterima oleh F. X. Purnomo, (13) Puisi Esai Sebagai Puisi Dunia oleh Bambang Widiatmoko. 

Dari opini-opini yang muncul lebih banyak memberikan wawasan eksistensial dan potensi puisi esai. Wawasan mereka banyak memberikan percikan yang kontributif. Kata kuncinya, puisi esai itu sebagai hentakan nafas baru yang segar. Seolah-olah mereka sedang lupa kalau sebelumnya belum pernah ada puisi sejenis, yang dikenal dengan sebutan puisi naratif. Apapun alasan opini, telah memberi jejak ruang baru dalam jagat perpuisian di Indonesia.

Bagian kedua buku ini memang sebuah masakan yang penuh problematika. Kehadiran puisi esai di tengah-tengah percaturan sastra, telah membuka ruang dialog. Ada yang dengan kepala dingin dan sebaliknya ada yang kebakaran jenggot. Itulah tajuk sebuah perdebatan. Saya sendiri, ketika diminta memberi Prolog ini, banyak “diteror” oleh beberapa teman jika saya menggunakan komentar atas nama HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indoesia). Sebagai Ketua Umum HISKI, akhirnya saya harus memutuskan yang terbaik, atas nama pribadi, sebagai orang yang telah “blusukan” melewati jalan antropologi sastra. Sejak saya dikukuhkan sebagai ilmuwan sastra di bidang itu, memang perdebatan sastra itu sah-sah saja, asalkan tidak memaksakan kehendak. Maka pada saat perdebatan puisi esai, yang disaksikan beberapa penulis, saya sependapat. 

Beberapa teman yang cerdas mengikuti puisi esai dalam opininya, yaitu (1) Kontroversi Puisi Esai 2018 oleh Yohanes Sehandi, (2) Meneropong Gonjang-Ganjing Puisi Esai oleh Usman D. Ganggang, (3) Hatinya Mengeras Karena Hakimi Puisi Esai oleh Masrur Ridwan, (4) Puisi Esai dan Dosa yang Dicari-cari oleh La Ode Gusman Nasiru, (5) Honorarium Puisi Esai, Apanya yang Salah? oleh Viddy Ad Daery, (6) Biarkan Bola Sastra Puisi Esai Menggelinding oleh Willem Berybe.

Sorotan itu boleh apa saja. Sorotan terhadap puisi esai, asal proporsional akan memperkaya. Dari gagasan opini yang muncul, sempat mempertanyakan berbagai hal yang secara antropologi sastra, itu merujuk pada kultur bangsa. Bangsa kita (baca: Nusantara), sering berlaku (1) gagap menanggapi kehadiran puisi esai sebagai hal yang baru atau mungkin neo-puisi naratif, (2) iri hati, mengapa bukan dirinya yang mengembangkan puisi esai. Apa saja alasan boleh saja, ihwal honor tinggi, boleh saja dikemukakan. Pertanyaannya, apakah salah puisi diberi honor yang lebih besar dari yang lazim? 

Dari perspektif antropologi sastra, boleh juga orang yang memiliki budaya kapitalis mewarnai pengembangan sastra. Dulu, kapitalis itu raja sebagai pengayom sastra. Kalau sekarang ada pihak lain, saya pikir tak ada yang menyalahi undang-undang. Kalau perlu, ke depan satu puisi seratus juta, mengapa tidak. Ingat, ada lukisan yang satu lukisan juga dihargai lima juta lebih. Padahal lukisan dan puisi sama-samaa karya kreatif.

Nah, soal angkatan sastra atau penyair. Dari andalan antropologi sastra, manusia itu memang hidup dalam kultur kelompok. Mereka lebih percaya diri dan bangga apabila dianggap menjadi garda depan sebuah angkatan. Namun, yang terpenting, janganlah angkatan yang seperti buih sabun. Beberapa opini, yang menyatakan bahwa puisi esai hendak membangun angkatan baru dalam sastra Indonesia, yakni (1) Angkatan Puisi Esai dalam Sastra Indonesia oleh M. Isfridus Harapan, (2) Puisi Esai Sebagai Genre Baru Menurut Kriteria David Fishelov oleh Satrio Arismunandar, (3) Angkatan Puisi Esai dan Terobosan Marketing oleh Roso Titi Sarkoro. Silakan saja. 

Angkatan itu sebuah terobosan, ya. Yang paling utama, dalam angkatan itu perlu ada karakteristik yang khas. Puisi esai, perlu ciri khas, bukan sekadar puisi panjang. Maka, sebagai pemerhati sastra saya menengarai bahwa puisi esai ini akan menjadi tonggak puisi ke depan. Perlu lahirkan genre baru atau yang super baru lagi setelah puisi esai.

Dulu, pernah ada pemikiran puisi mbeling, puisi gelap, dan puisi instalasi. Silakan saja insan sastra berkreasi. Puisi esai itu memang sebuah rekaman. Catatan zaman. Saya berpikir secara antropologis bahwa penyair itu orang yang memiliki budaya suka mencatat perubahan budaya. Lewat puisi esai, catatan itu akan lebih leluasa. Begitu yang ditulis dalam opini puisi esai, antara lain (1) Potret Batin dan Potensi Puisi Esai oleh Isbedy Stiawan ZS, (2) Puisi Esai, Kesaksian Potret Batin Sosial oleh Fitri Angraini Roffar, (3) Potret Batin dan Isu Sosial Puisi Esai oleh Eddy Salahuddin, (4) Samakah Potret Batin Kita? oleh Nyoto Utoyo, (5) Puisi Esai Merekam Isu Sosial Masyarakat oleh Neneng Hendriyani, (6) Puisi Esai, Antara Isu Sosial dan Realitas Batas oleh Januarius Yohanes Tolan Igor, (7) Puisi Esai, Pembelajaran Berbasis Masalah dan Ruang Kepekaan oleh Imelda Oliva Wisang. Dari tujuh opini tersebut, menandai bahwa penyair itu orang yang memiliki kepekaan kultural. Budaya penulis opini lebih suka memotret. Mereka sebagai juru potret kultur masyarakat. Hal itu sebagai kunci perubahan budaya.

Jika ada gagasan menggarap puisi esai ke layar lebar, bagus. Ala novel Laskar Pelangi, yang secara antropologis dapat mengubah imajinasi masyarakat Belitung. Puisi esai sangat cocok bila digarap menjadi film layar lebar. Ide-ide estetis, keliuk-keliukan hidup selalu ada. Kelokan-kelokan nasib tergambar dalam puisi esai. 

Beberapa opini menuju ke sini, adalah (1) Mengangkat Puisi Esai ke Layar Lebar oleh Eldita Listika, (2) Puisi Esai dalam Dunia Perfilman oleh Yoseph Yoneta Motong Wuwur, (3) Antusiasme Film Star Wards dan Puisi Zaman Now oleh Rissa Churria. Gejolak Zaman Now memang perlu terwadahi. Pintalan-pintalan hasrat untuk memfilmkan puisi esai, adalah opini cerdas. Paling tidak, puisi esai akan mengubah hadirnya perubahan. Setidaknya, lewat puisi esai akan memancing munculnya industri kreatif sastra. Dalam perspektif antropologi sastra, industri kreatif sastra akan menghadirkan penyelamatan budaya.

Puisi esai itu bukan sekedar ekspresi yang eforia sesaat. Itu yang diharapkan banyak pihak. Yang menarik, puisi esai akan membuka budaya melek puisi, yang saya sebut dengan istilah “literasi sastra.” Saya pernah menulis buku berjudul Literasi Sastra (2017), ternyata budaya tidur orang itu perlu dibangkitkan dengan gertakan-gertakan. 

Hadirnya puisi esai, saya sependapat pada beberapa opini berikut, yakni (1) Kiat Mengajarkan Puisi Esai di Sekolah oleh Tri Cahyono, (2) Puisi Esai dan Gerakan Literasi oleh Lukman Juhara, (3) Puisi Esai dan Nilai Edukasi Siswa oleh Anto Narasoma. Dari tiga opini tersebut terbersit harapan bahwa puisi esai itu layak diajarkan. Saya juga setuju, puisi yang baik memang harusnya memberikan literasi edukasi. Puisi yang hebat tentu memiliki suntikan pedagogi, bahkan mampu memberikan andragogi pada pembacanya. Orang yang alergi pada puisi esai, akan sia-sia. Puisi esai dapat memperkaya edukasi bangsa.

Opini yang menyatakan bahwa puisi esai itu mampu menggairahkan lokalitas, memang patut diacungi jempol, terlihat pada opini (1) Puisi Esai dan Geliat Sastra Indonesia di Daerah oleh Eka Susilawati, (2) Isu Sosial Masyarakat Aceh dalam Puisi Esai oleh D. Kemalawati, (3) Puisi Esai, Peluang Baru Penulis Papua oleh Anggia Budiarti, (4) Proses Kreatif Menulis Puisi Esai di Kalimantan Utara oleh Muhammad Thobroni. 

Dari gelagat opini ini, ternyata gema puisi esai sudah membius orang-orang di daerah. Berbagai pihak di pedalaman dan pinggiran pun sudah mencium bau puisi esai. Lepas dari sedap tidaknya bau itu, yang jelas puisi esai merupakan sebuah alternatif. Banyak pihak selalu berkoar-koar di media grup, bahwa puisi esai itu hanya sekadar upaya yang “dalam rangka,” silahkan saja. Saya sebagai pemerhati sastra, bangga. Bangga ada orang yang mau bergerak, menggelorakan puisi sampai tingkat lokal.

Begitukah, saya harus berdiri di tengah. Maksudnya, dari perspektif antropologi sastra, puisi esai tetap hal yang menarik. Saya tidak sedang mengungkapkan apakah ini hal baru atau hal lama yang diungkap baru. Saya justru menyoroti berbagai opini yang memandang puisi esai itu telah menyedot berbagai pengguna perspektif sastra. 

Sebagai bukti, ada keragaman tinjauan tentang opini puisi esai berikut, yakni (1) Perspektif Psikoanalisis Bentuk Puisi Esai oleh Narudin, (2) Puisi Esai Denny JA, Agama, dan Politik oleh Handry TM, (3) Kegelisahan PW Singer dan Denny JA oleh Krisantus Sehandi, (4) Puisi Esai Menepis Ego Penyair oleh Isti Nugroho, (5) Puisi Esai dan Gerakan Revolusi Mental oleh Rita Orbaningrum, (6) Catatan Kaki dalam Puisi Esai oleh Nia Samsihono, (7) Apakah Penyair Harus Miskin? oleh Bambang Irawan, (8) Bila Bangsa Sedang Sakit, Puisi Esai Obatnya oleh Pinto Janir, (9) Puisi Esai: Dekonstruksi Puisi Modern oleh Imam Qalyubi, (10) Puisi Esai, Tradisi Budaya, dan Kearifan Lokal oleh Elvi Ansori, (11) Menikmati Puisi Esai “Sapu Tangan Fan Yin” oleh Raden Tita Pujiwanti.

Dari berbagai opini itu, tampak kalau puisi esai memang dapat ditinjau dari aneka perspektif. Perspektif antropologi sastra pun ada, utamanya yang memandang aspek budaya politik, memandang bahwa ada budaya sakit di negeri ini, ada tradisi budaya unik di negeri ini. Bahkan ada yang mencoba mengotak-atik puisi esai lewat jalur dekonstruksi. Singkat kata, 50 opini tentang puisi esai dalam buku ini sudah mengibaskan sayap. 

Kalau saya buka gagasan Vincent Debaene (2014) cukup jelas, bahwa opini puisi esai yang beragam di atas, sesungguhnya telah memandang puisi esai dari ragam perspektif. Di antara keragaman perspektif, yaitu mencermati etnografi puisi esai. Puisi esai, mirip puisi etnografi, yang menggambarkan riak-riak budaya manusia.

Sepengetahuan saya, puisi esai itu sebuah etnografi bangsa. Sebagai karya etnografi, yang menuturkan kondisi budaya, dapat digali dari perspektif antropologi sastra. Puisi esai itu sudah menerbangkan imajinasi para esais. Jadi para penulis opini ini sedang memasuki sebuah esai-esai estetis. Esai tentang dunia, yang mulai ada pendangkalan. Esai tentang hidup. Semoga bermanfaat.

Hotel Horison, Yogyakarta, 27 Mei 2018

Suwardi Endraswara

(Artikel ini merupakan Prolog yang ditulis Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dalam buku Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia, Editor Yohanes Sehandi, Penerbit Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2018, halaman xi-xx).

Post a Comment for "Pengantar Buku oleh Suwardi Endraswara"