Pengantar Buku oleh Novi Anoegrajekti
Penulis: Yohanes Sehandi
Pengantar: Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.
Genre: Kritik Sastra
Penerbit: Kosa Kata Kita, Jakarta
Cetakan 1: 2022
Tebal: xxvi + 274 halaman
ISBN: 978-623-6425-46-6
Harga Buku Cetak: Rp 75.000
(+ Ongkos Kirim)
Harga Buku PDF: Rp 25.000
(Buku Dikirim Lewat WA)
Berminat Hubungi WA: 081 339 004 021
Rekening BNI Nomor 0496601959
Atas Nama: Sehandi Yohanes
Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.
Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Negeri Jakarta
Istilah “reformasi” menjadi populer pada akhir tahun 1990-an yang berpuncak pada berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru tahun 1998. Semangat Orde Baru yang dikumandangkan adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, menjadi daya pesona menyatukan seluruh komponen bangsa untuk meraih dan mewujudkannya. Orde Baru memang memiliki banyak prestasi, antara lain dalam pembangunan di bidang perekonomian.
Meskipun banyak prestasi, pemerintahan Orde Baru juga banyak kelemahan dan dikoreksi, seperti yang dimuat dalam Kompas.com., yaitu (1) rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak pernah terjadi; (2) rekrutmen politik bersifat tertutup; (3) terjadi kecurangan pada pemilihan umum; dan (4) pelaksanaan hak-hak dasar warga negara lemah.[1] Dalam buku Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai ini, Yohanes Sehandi (2022) menyebutkan bahwa rezim Soeharto dan Orde Baru cenderung represif, sentralistik, militeristik, dengan berbagai jargon politiknya yang penuh eufemistik.
Sastra Indonesia Pascareformasi
Penggunaan leksikon “pasca” dalam konstruksi “pascareformasi” mengingatkan kita pada leksikon dan teori “pos” (post) yang berpotensi sebagai ruang ekspresi yang saling melengkapi dengan teori yang mendasarinya. Setiap teori berbeda dari yang lain sesuai dengan literatur yang menjadi rujukan utama. Dalam kaitannya dengan “pos” (post), berbagai pertanyaan dapat diajukan secara terpola, seperti yang sudah disampaikan oleh Kaup (2021: 1) yang bertanya, “Apa yang terjadi setelah poststrukturalisme?”[2] Strukturalisme telah menghasilkan temuan-temuan gemilang dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti linguistik, sastra, pendidikan, dan antropolologi. Namun, bidang ilmu pengetahuan terus mengalami dinamika dan memunculkan pandangan mengenai poststrukturalisme, sampai akhirnya muncul pertanyaan di atas.
Pertanyaan tersebut untuk mengawali pembahasan tentang pergeseran intelektual yang berkelanjutan dalam bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial humanistik setelah postmodernisme dan poststrukturalisme. Sementara itu, Braidotti (2010; 2013; 2018; Bellingham, 2020: 85)[3] memfokuskan pandangan mengenai posthuman yang motif pergeserannya mengarah pada komodifikasi oportunistik. Namun, apapun motif dan tujuannya, pergeseran cenderung akan terus terjadi, sejalan dengan temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, menjadi imperatif bagi kalangan akademisi untuk menyimpan secara verbal tulis agar menjadi dokumen abadi yang dapat diwariskan dan dikembangkan secara lintas waktu, ruang, dan generasi.
Sementara itu, posfeminisme membahas status quo feminisme setelah mencapai hak-hak yang dituntut teori feminis. Pos-Freudian berbeda dengan versi awal, sedangkan Erikson menunjukkan perbedaan dengan Freud karena fokusnya lebih pada suasana sosial dan pengaruh budaya kepribadian. Sementara itu, teori kritis cenderung mengakomodasi pada pembebasan umat manusia dan mengikatnya pada kebenaran tertentu, sejalan dengan filosofi yang menyatakan bahwa manusia berpotensi menjadi lebih dari subjek yang dapat dimanipulasi dalam proses konstruksi dalam berbagai bidang kehidupan.
Buku karya Yohanes Sehandi, dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, yang berjudul Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai ini menggunakan leksikon “pasca” yang secara leksikal berarti “sesudah.” Leksikon “pasca” diikuti dengan “reformasi” menjadi “pascareformasi,” yang menunjukkan arti “perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara” (KBBI, 2018: 1.382).[4]
Reformasi merupakan terminologi politik dan budaya yang mengubah berbagai tatanan kehidupan utamanya dalam era Orde Baru yang dikenal represif, sentralistik, militeristik, dengan berbagai jargon politiknya yang penuh eufemistik (Sehandi, 2022) menjadi tatanan politik yang demokratis, desentralistik, dan bergerak menuju masyarakat madani. Unsur pusat sastra Indonesia menunjukkan bahwa fokus kajian adalah sastra Indonesia. Dengan demikian permasalahan-permasalahan lokal yang menjadi fokus dalam buku ini tetap dalam kaitan dengan sastra Indonesia.
Implementasi Religiositas dan Konstruktivistik
Pertanyaan setipe berpeluang muncul, yaitu: “Apa yang terjadi setelah pascareformasi?” Secara empiris, “pos” dan “pasca” apapun, sastra merupakan dunia kata yang menuntut kepiawaian sastrawan dalam menata satuan-satuan lingual secara bermakna. Dengan demikian, kepiawaian memanfaatkan potensi satuan lingual secara verbal lisan dan verbal tulis menjadi imperatif yang tidak dapat ditawar bagi seorang sastrawan. Dari segi isi, sastra cenderung merepresentasikan kehidupan. Novel Suara Samudra (2017) karya Maria Matildis Banda, misalnya, berkisah tentang perburuan ikan paus di Laut Banda yang merupakan tradisi masyarakat Lamalera, Lembata, NTT.
Berburu ikan paus merepresentasikan kehidupan, kesucian, kesalehan, dan keimanan. Novel Suara Samudra mengekspresikan religiusitas masyarakat Lamalera. Kesucian menjadi prasyarat menyambut anugerah Tuhan dalam wujud paus yang dihadirkan untuk diburu dan ditangkap. Anugerah sudah selayaknya disambut dengan hati dan jiwa yang suci dari segala macam dosa yang dilakukan sepanjang hidupnya, terutama seorang lamafa atau penikam ikan paus. Lamafa Arakian bertugas menikam ikan paus yang menjadi sasaran perburuan. Menurut keyakinan masyarakat Lamalera, sebelum melaut, para nelayan, terutama lamafa, harus bersih diri, tidak boleh ada dosa dan kesalahan. Kalau ada dosa dan kesalahan, harus segera diselesaikan secara adat dan secara agama Katolik. Setelah bersih baru bisa melaut (Sehandi, 2022).
Dalam novel Suara Samudra karya Mery Banda ini, lamafa Arakian yang merasa memiliki beban dosa masa lalu, mengalami konflik batin dan ragu dalam melakukan penikaman paus. Hal tersebut menyebabkan malapetaka yang dialami seluruh nelayan pemburu paus. Fenomena tersebut mengingatkan pada kisah Nabi Yunus yang bersalah karena menolak perintah Tuhan dan menyebabkan kapal yang ditumpanginya hampir karam. Kesalahan satu orang, akibatnya dirasakan semua penumpang, dan akhirnya Nabi Yunus yang dilempar ke laut dan ditelan ikan dan tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari sebelum dimuntahkan di Pulau Niniwe yang harus didatanginya.
Agama dalam novel Suara Samudra dihayati dari dimensi sakralitas, bahwa menerima anugerah Tuhan berupa kehadiran paus harus dengan batin yang suci. Dimensi spiritualitas agama menjadi dasar bagaimana para nelayan mengimplementasikan dalam kehidupan nyata pada saat berburu paus. Dimensi moralitas agama menjadi dasar cara para nelayan berinteraksi dengan sesama. Pandangan baik-buruk dan dosa menjadi praktik kehidupan yang dijalaninya dengan taat dan penuh kepercayaan. Dosa dan tindakan buruk yang belum diurai dengan saling memaafkan mewarnai cara menyikapi pekerjaan, seperti yang dialami lamafa Arakian dalam novel ini.
Manusia dalam hidup bersama cenderung bersifat konstruktivistik. Stratifikasi sosial merupakan salah satu hasil konstruksi yang diciptakan kelompok manusia dalam mengatur kehidupan bersama dan diikuti oleh masyarakat pendukungnya. Aturan mengenai kasta di satu sisi memberi peluang-peluang tertentu, akan tetapi sekaligus memberikan pembatasan-pembatasan tertentu bagi orang lain. Novel Kemelut Kasta (2020) karya Aris Woghe berkisah romantis mengenai percintaan antara Maria anak bangsawan dan Simon anak rakyat biasa, terkendala karena perbedaan kasta. Pasangan kekasih dalam novel ini menjadi korban sistem kasta, meskipun pada akhirnya keduanya diterima orang tuanya, setelah orang tuanya semakin tua dan menyadari kesalahannya, yaitu melakukan kekerasan, penyiksaan, dan penghinaan terhadap anak menantu.[5]
Toleransi, Politik, dan Protes Sosial
Toleransi merupakan konstruksi yang diformulasikan masyarakat sebagai konsekuensi dari adanya keberagaman dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk lokasi geografis. Ajakan penyair NTT, Shaula Astried Emmylow, dengan diksi bagus memberi inspirasi dengan mengedepankan dimensi estetis yang menjadi penciri karya sastra kreatif. Beikut kutipan bait puisi Shaula:
Timor, Rote, Sabu, Sumba, Alor, dan Flores
Terpisah samudra biru
Beda pulau, lain suku dan budaya
Namun satu dalam kasih
Beragam pulau dalam kutipan tersebut menyatu oleh samudra. Beragam suku dan budaya menyatu oleh kasih. Samudra biru adalah wujud kasih dari Yang Maha Kuasa untuk menyatukan bentangan pulau-pulau, rekreasi, jalur lalulintas yang menyatukan, dan tempat berkembangnya sumber penghidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Samudra biru adalah kasih yang menyatukan dan menghidupi umat manusia serta menyimpan beragam potensi yang belum tergali. Itulah NTT yang sering disebut juga sebagai Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor).
Keberagaman pulau-pulau di NTT disatukan samudra, laut dan selat. Keberagaman suku dan budaya disatukan oleh kasih. Keberagaman atau kebhinekaan dalam bidang politik disatukan oleh tujuan bersama, yaitu mewujudkan kesejahteraan bersama. Negara adalah organisasi untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Bagi bangsa Indonesia tujuan negara secara nasional tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan tujuan bernegara itu, maka pemerintah (presiden) sebagai representasi negara bertanggung jawab dalam mewujudkan keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan kebebasan dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang ada sesuai dengan kekuasaan dan bidang masing-masing demi terwujudnya cita-cita bersama yang sudah tertuang dalam UUD 1945. Presiden, gubernur, bupati/walikota, camat, lurah/kepala desa, anggota DPD/DPR/DPRD melaksanakan tugas dan kewajibannya atas kehendak dan kepercayaan rakyat.
Pemilu sebagai alat untuk memilih dan menentukan pejabat pemerintah yang dikehendaki sebagian besar rakyat. Rivalitas hanya sampai di ruang pemilihan. Setelah terpilih, semua kembali bersatu dan bekerja sama mewujudkan tujuan bersama. Semua berkontribusi dalam mencapai tujuan bersama sesuai dengan kapasitas dan kompetensi masing-masing, termasuk yang melakukan kontrol terhadap kebijakan negara. Kontrol, kritik, dan solusi dari masyarakat diperlukan untuk menjaga program berjalan dengan baik dan mengarah pada terwujudnya tujuan bersama.[6] Antologi puisi Kepada Pedang dan Nyala Api (2020) memuat beragam pesan sosial untuk direfleksikan dan diimplementasikan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni.
Warna daerah, protes sosial, dan narasi tragedi sosial (TKI) yang dikemas secara estetis menjadi ruang kontrol terhadap kebijakan negara yang merugikan masyarakat. TKI yang tersiksa dan hidup terlunta di negeri orang menjadi tanggung jawab negara sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Saat ini, Indonesia secara empirik terbuka terhadap beragam kritik. Penguasa yang tahan kritik sebagai salah satu pemimpin yang kuat, terlebih kritik ditempatkan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap pemimpin dan kebijakan-kebijakannya.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan era Orde Baru pada masa kepenyairan WS Rendra tahun 1970–1980-an, yang berkali-kali masuk keluar penjara, pelarangan buku, pembredelan koran dan majalah, kegiatan sastra dilarang. Penyelenggaraan seminar harus minta izin melewati sekitar 10–12 meja birokrasi (dari RT/RW sampai Ditsospol, saat itu) yang tidak selalu sehari selesai. Prosedur dan kontrol yang panjang tersebut sebagai representasi pemerintahan yang lemah sehingga selalu khawatir, curiga, dan antikritik. Penguasa saat itu hadir sebagai sosok yang ditakuti. Ketakutan rakyat karena khawatir kegiatan dibubarkan dan para pelakunya ditangkap aparat. Sebaliknya, di Amerika Serikat sebagai negara adidaya, pembacaan puisi menjadi protokoler wajib pada setiap pengambilan sumpah dan janji presiden. Kapan pengambilan sumpah dan janji Presiden Republik Indonesia disertai alunan pembacaan puisi? Semoga suatu waktu bisa terwujud.
Birokrasi dan Korupsi
Karya seni, termasuk karya sastra sebagai artefak berpotensi menginspirasi masyarakat (penikmat) melakukan perubahan. Hal itu dikarenakan, secara autentik, sastra dipahami dan diinterpretasi berdasarkan kualitas kebenaran estetiknya, yaitu totalitas hubungan subjek dan objek selama berlangsungnya proses kreatif. Dalam proses kreatif yang estetis, otonomi subjek dan objek berpotensi melampaui dan menumbangkan kesadaran bersama (Marcuse, 1978: ix).[7] Dua puisi karya Sapardi Djoko Damono dan Mira Sato yang diulas Yohanes Sehandi dalam buku ini menampakkan kecenderungan seperti disampaikan Marcuse. Mata pisau dan ulat jambu menjadi fenomena kontrol sosial untuk mengatasi permasalahan besar, yaitu korupsi. Sejak Republik Indonesia berdiri, baru sekitar dua dasawarsa ini sudah berlangsung OTT (operasi tangkap tangan) sehingga banyak pejabat dan mantan pejabat yang bertumbangan dan mengenakan rompi oranye.
Puisi “Mata Pisau” karya Sapardi Djoko Damono salah satu lariknya berbunyi: mata pisau itu tak berkejap menatapmu. Mata pisau yang tidak berkejap menatap diinterpretasi sebagai bentuk pengawasan yang terus berlangsung. Ruang pengawasan diperlukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan, terutama penggunaan anggaran negara, baik APBN maupun APBD, yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengawasan yang paling efektif adalah kesadaran untuk secara swadisiplin dalam menggunakan fasilitas negara atau lembaga. Di daerah yang rawan penyimpangan adalah di lingkungan OPD (Organisasi Perangkat Daerah).
Puisi “Seekor Ulat dalam Buah Jambu” karya Mira Sato menarik untuk disimak. Buah jambu yang sudah dirambah ulat tentu menjadi busuk dan tidak layak dimakan orang. Namun, orang yang rakus dan tamak bisa saja tega menyantapnya. Kembali kritikus Yohanes Sehandi mengajak pembaca melayangkan imajinasi pada APBN dan APBD yang disusun dengan memanfaatkan uang rakyat, yang seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk fasilitas, termasuk bantuan sosial untuk keluarga miskin. Memangkas dan menggelapkan bansos dianalogikan menyantap buah jambu yang menjadi milik dan hak ulat (rakyat miskin). Pelaku korupsi tentu bukan orang miskin, akan tetapi orang yang rakus, tamak, tega, dan tidak peduli pada kesengsaraan dan kemiskinan orang lain di sekitarnya.
Situasi koruptif, memerlukan pendidikan nilai kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan. Korupsi sebagai suatu bentuk penyimpangan dari aturan main. Ketika politik dihayati sebagai permainan, termasuk permainan untuk mendapatkan keuntungan, korupsi menjadi salah satu peluang dengan mempermainkan logika dan strategi tertentu. Manusia yang bermain-main (homo luden) telah disampaikan Huizinga (1980).[8] Permainan (game) menjadi ruang edukatif untuk menginternalisasi nilai mengenai aturan main.
Dalam permainan anak, misalnya, perbuatan curang mendapat sanksi dan hukuman. Oleh karena itu, kecenderungan umumnya, anak mengikuti peraturan secara taat. Sikap menaati peraturan menjadi ruang edukasi secara tidak langsung dan secara perlahan berpotensi menginternalisasikan nilai taat pada aturan main agar permainan berlangsung sportif dan merepresentasikan prestasi masing-masing dan seluruh pemain.
Tokoh untuk Pendidikan Karakter
Maria Matildis Banda, Gerson Poyk, Mezra E. Pellondou, dan Agust Dapa Loka adalah para kreator sastra Indonesia dari NTT yang menghadirkan beragam tokoh sebagai sosok teladan yang berjuang dalam bidang sosial, kemanusiaan, dan kebudayaan. Mery Banda menghadirkan tokoh Rosa Dalima yang berprofesi bidan dalam novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015). Rosa Dalima sebagai pejuang kemanusiaan dalam bidang kesehatan dan telah menyelamatkan banyak ibu hamil yang mengalami masalah kesehatan dan persalinan. Dalam bidang kesehatan, ia harus berjuang meyakinkan masyarakat pedesaan yang masih percaya pada tradisi, untuk beralih dari cara pengobatan tradisional ke cara pengobatan medis yang lebih akurat dan terukur.
Bidan desa menjadi tumpuan harapan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, utamanya bagi ibu-ibu rumah tangga dan balita. Perjuangan tersebut setelah menjadi angka statistik menjadi begitu sederhana untuk dibaca dan dibaca perkembangannya. Akan tetapi, kenyataan di lapangan diperlukan pejuang yang tidak kenal lelah dan sudah menjadi kesadaran bersama, bahwa profesi bidan desa dituntut untuk memiliki dedikasi tinggi dan siaga selama 24 jam. Keutuhan dan kebulatan watak tokoh dilengkapi dengan kepiawaiannya menguasai gejolak asmara yang datang dari tiga pria lajang. Kemampuan komunikasi, rasa kemanusiaan, empati, serta ketajaman intuisinya, Rosa Dalima mampu mengatasi siasat ketiga pria lajang yang hendak merebut hatinya.
Tokoh Enu Molas bersama suaminya Dr. Paul Putak dihadirkan sastrawan Indonesia Gerson Poyk melalui novelnya Enu Molas di Lembah Lingko (2015). Enu Molas dan Dr. Paul Putak menjadi pejuang kemanusiaan dengan menciptakan beragam lapangan kerja bagi para sarjana nganggur melalui usahanya mengembangkan destinasi wisata berbasis budaya. Dalam pandangan Arief Yahya, pariwisata dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu wisata alam, buatan, dan budaya.[9]
Wisata alam menempatkan alam sebagai unggulan, seperti gunung, sungai, pantai, hutan, dan gua. Wisata buatan menempatkan destinasi wisata yang dengan sengaja dirancang dan diciptakan sebagai destinasi wisata atau sebagai akibat lanjutan dari penciptaan industri tertentu, seperti TMII (Taman Mini Indonesia Indah), waterboom, pelabuhan, dan pabrik. Wisata budaya menempatkan ciri khas budaya masyarakat sebagai unggulan. Di Bali dikenal ada Desa Wisata Penglipuran, di Banyuwangi terdapat Desa Wisata Using, di Flores terdapat Desa Adat Waerebo, dan di Yogyakarta terdapat Desa Wisata Tembi.
Pengembangan destinasi wisata budaya mengasumsi adanya optimalisasi potensi budaya agar menjadi sajian yang unik, autentik, menarik, dan mengesankan. Beberapa destinasi budaya juga mengembangkan model wisata yang partisipatif dengan memberi pengalaman praktis kepada wisatawan dalam berbagai kegiatan budaya, seperti praktik membatik, bermain angklung, menanam padi, dan menari gandrung paju.
Pengalaman lainnya dalam hal ritual, seperti pengalaman eksotis dalam ritual Sateré-Mawé di Brasil[10] yang dapat diadopsi di Indonesia dalam ritual ruwatan pada masyarakat Jawa dan mubeng beteng (mengelilingi benteng), yaitu ritual dengan berjalan mengelilingi benteng keraton Yogyakarta dalam keadaan diam. Ritual mubeng beteng dilakukan tengah malam menyongsong tanggal 1 Muharam.
Melalui novel Perempuan dari Lembah Mutis (2012), Mezra E. Pellondou menghadirkan tokoh perempuan bernama Cendana Putri Sabana. Secara leksikal, nama tersebut terdiri atas tiga laksikon, yaitu Cendara, Putri, dan Sabana. Cendana adalah nama pohon yang batangnya berbau harum dan menjadi salah satu unggulan produk kayu di Timor, NTT. Putri adalah sebutan untuk anak perempuan bangsawan, sedangkan sabana adalah padang rumput yang ditumbuhi beragam pepohonan yang menjadi khas pulau-pulau di NTT.
Nama tersebut bersifat simbolik yang merepresentasikan identitas tokoh sebagai seorang perempuan yang membantu orang tuanya dengan cara menggembalakan sapi. Lazimnya sapi digembalakan di padang rumput atau sabana. Cendana merepresentasikan kehadirannya sebagai tokoh yang bernilai dan berkualitas. Sebagai anak yatim piatu ia menjadi penggembala sapi. Dalam kondisi ekonomi yang terbatas ia memiliki cita-cita yang tinggi. Kegemarannya membaca koran dan buku-buku bekas yang hanyut di sungai, ia menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA dengan gemilang. Cendana pun dengan beasiswa dari Pemda diterima kuliah di ITB Bandung.
Setelah meraih gelar sarjana dan bekerja di Perusahaan Satelit Jaya, ia pun membuka cabang perusahaan di daerah asalnya, Lembah Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Kegigihan Cendana dalam meraih dan mewujudkan cita-citanya menjadi sumber inspirasi bagaimana belajar dan mengasah potensi yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Cendana Putri Sabana adalah sosok pribadi dengan cita-cita tinggi dan pantang menyerah walaupun dalam kondisi ekonomi yang terbatas. Niat baik untuk mengembangkan potensi anugerah-Nya dengan semangat untuk mengangkat kualitas hidup masyarakat mendapat jalan dan solusi yang indah.
Agust Dapa Loka dari Sumba, melalui novel Perempuan Itu Bermata Saga (2011) menghadirkan sosok perempuan tanpa nama, akan tetapi memiliki pengorbanan dan kesetiaan yang tinggi. Tampaknya perempuan “bermata saga” yang dihadirkan dalam novel ini terinspirasi oleh kehidupan istrinya yang merawatnya saat Agust Dapa Loka mengalami patah kaki akibat kecelakaan. Perempuan bermata saga berhasil membangkitkan semangat hidup suaminya dan mengambil alih semua tanggung jawab suaminya sebagai kepala keluarga. Perubahan drastis terjadi dan tidak disangka-sangka. Perempuan bermata saga merepresentasikan kesetiaan, kegigihan, keberanian, dan ketabahan menghadapi perubahan ekstrem kehidupan rumah tangga dan berhasil mengembalikan kebahagiaan rumah tangganya.
Penutup
Paparan di atas memperlihatkan bahwa sastra berpotensi sebagai inspirator bagi pembaca untuk melakukan perubahan. Hal tersebut mengasumsikan bahwa karya sastra yang diformulasikan dengan menggunakan satuan-satuan lingual verbal tulis dinikmati masyarakat pembaca. Pemaknaan yang dilakukan dalam buku karya Yohanes Sehandi yang berjudul Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai ini memperlihatkan kemungkinan tersebut dengan melakukan interpretasi secara kontekstual dan simbolik.
Peluang perubahan juga berpotensi terjadi melalui keteladanan sosok pribadi para tokoh idola yang dihadirkan melalui fiksi. Rosa Dalima yang dihadirkan Mery Banda, Enu Molas dan Dr. Paul Putak yang dihadirkan Gerson Poyk, Cendana Putri Sabana yang dihadirkan Mezra E. Pellondou, serta perempuan bermata saga yang dihadirkan Agust Dapa Loka, semuanya menjadi teladan hidup yang layak diteladani oleh siapa saja. Kehidupan religius yang mencakup dimensi sakralitas, moralitas, dan spiritualitas dipaparkan oleh Mery Banda dalam novel Suara Samudra. Selebihnya, sastra juga sebagai media sosialisasi, promosi, dan informasi potensi berbagai potensi wilayah yang layak dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya.
Tanpa bermaksud membelenggu pemaknaan, buku Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai menjembatani jarak ruang dan waktu antara sastrawan dan para pembaca. Meskipun demikian masih terbuka ruang-ruang interpretasi baru sesuai dengan perspektif dan horison harapan pembaca. Selamat berlayar di samudra sastra Indonesia yang telah dipaparkan dalam buku ini dan menelisik sampai ke karya sastra yang menjadi fokus pembahasan buku ini. *
Catatan
1. Banyak interpretasi mengenai karakteristik pemerintahan Orde Baru. Pandangan ini diambil dari Kompas.com https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/13/110000969/karakteristik-demokrasi-periode-orde-baru?page=all.
2. Istilah “pos” (post) digunakan untuk berbagai ragam terminologi, seperti poskolonial, posmodern, posstruktural, poshumanisme, dan posfeminisme. Lihat, Monika Kaup, 2021, New Ecological Realisms: Post-Apocalyptic Fiction and Contemporary Theory, Edinburgh: Edinburgh University Press.
3. Braidotti, secara khusus melakukan pembahasan terhadap pandangan, konsep, dan teori mengenai “pos” (post). Lihat, Rosi Braidotti, 2010, “The Politics of “Life Itself,” in D. Coole and S. Frost (Eds), New Materialisms: Ontology, Agency, and Politics, 201–18, Durham and London, UK: Duke University Press. Rosi Braidotti, 2013, The Posthuman, Cambridge, MA: Polity, Rosi Braidotti, 2018, “A theoretical Framework for the Critical Posthumanities,” Theory, Culture & Society, 1–31, Robin Bellingham, 2020. “Posthumanist Poetics and the Transcorporeal, Hypercorporeal Chronotope,” dalam Matthew Krehl Edward Thomas and Robin Bellingham (Eds.), Post-Qualitative Research and Innovative Methodologies, New York: Bloomsbury Academic.
4. Secara leksikal “pasca” dan “pos” menunjukkan ciri sinonim. Lihat, Dora Amalia (Pemimpin Redaksi), 2018, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
5. Sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial yang memakan korban, mengingatkan kita pada pandangan klasik Peter L. Berger (1976) mengenai piramida (manusia) korban yang dituangkan dalam bukunya berjudul Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change, Australia: Penguins Books.
6. https://www.nusabali.com/berita/30460/politik-untuk-kesejahteraan-masyarakat, 10 Mei 2018, diunduh 29 Januari 2022.
7. Herbert Marcuse, 1978, The Aesthetic Dimension: Toward a Critique of Marxist Aesthetics, Boston: Beacon Press.
8. Johan Huizinga, 1980, Homo Ludens: A Study of The Play-Element in Culture, London, Boston, Henley: Routledge & Kegan Paul.
9. Dengan merujuk pada bidang yang dikembangkan oleh Badan Ekonomi Kreatif yang saat ini bergabung di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lihat, Novi Anoegrajekti, dkk., (2018), Potensi Budaya Using dan Industri Kreatif, Yogyakarta: Ombak.
10. Sateré-Mawé adalah ritual dengan menggunakan semut peluru yang dimasukkan dalam kantong, kemudian tangan peserta ritual dimasukkan ke dalam kantong tersebut agar mendapat gigitan semur peluru (lihat, Sudartomo Macaryus, 2020, “Identitas Destinasi Wisata dalam Syair Lagu: Dari Kuliner sampai Istana,” dalam Novi Anoegrajekti, Djoko Saryono, dan I Nyoman Darma Putra, 2020, Sastra Pariwisata (Yogyakarta: Kanisius), halaman 439–459; Gabriela Saldannha, 2018, “Literary Tourism: Brazilian Literature through Anglophone Lenses,” Translation Studies, DOI: 10.1080/14781700.2018.1434086.
(Artikel ini merupakan Prolog yang ditulis Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum., dalam buku Yohanes Sehandi yang berjudul Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai, Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2022, halaman v-xx).
Post a Comment for "Pengantar Buku oleh Novi Anoegrajekti"