Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Manifesto Sastra Indonesia di NTT

Prolog 
Dr. Marsel Robot
dalam Buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT

Dr. Marsel Robot
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,  Undana, Kupang

Episode menggetarkan itu terjadi. Tengah malam, tanpa dentang biola, tangis perdana sang bayi menebas sunyi malam. Si ibu baru melahirkan sang bayi. Salah seorang dari dalam rumah keluar. Diambilnya alu, lalu mengetuk-ngetuk dinding rumah seraya berkata: Ata one ko ata pe’ang. Si dukun atau sispapun, yang bantu melahirkan bayi, menjawab sesuai dengan jenis kelamin sang bayi yang baru lahir. Menjawab ata one, apabila bayi yang lahir laki-laki. Menjawab ata pe’ang, apabila bayi yang lahir berkelamin perempuan.

Ata one dalam tradisi orang Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengandaikan anak laki-laki penjaga rumah yang berkewajiban memelihara orang tua dan segala warisannya. Ia merupakan titisan peradaban kuni agu kalo (kampung halaman dan leluhur) orang Manggarai. Sedangkan ata pe’ang adalah perempuan yang melangkah keluar rumah. Ata one adalah diskursus, sebab, ia merupakan alih waris kebudayaan dan juru bicara zaman. Ata pe’ang meninggalkan roh dan roti  kultural, ia terkadang dicitrakan sebagai  manusia kelas dua.

Tamsil ini, saya gunakan untuk menjelaskan distingsi sastrawan Indonesia dan sastrawan Indonesia yang berkarya tanpa melalui Jakarta. Sastrawan Indonesia kita sebut saja ata pe’ang, anak perempuan. Orang yang meninggalkan rumah, berselingkuh dengan alam batin kota dan menyambar kilatan-kilatan universalitas. Ia tidak sepenuhnya menjadi alih waris kebudayaannya. 

Goenawan Mohamad dalam nada satiris menyebutnya sebagai si Malin Kundang, sastrawan modern Indonesia yang menyangkal ibu kandungnya. Ia asyik-sibuk menyapu langit global dan menjilat-jilat ubin kota. Sedangkan ata one, anak laki-laki, adalah sastrawan Indonesia yang berkarya dari dan dengan kuni agu kalo, kampung halaman dan leluhurnya, yang berkarya tanpa harus melalui Jakarta. Ia berkarya dari tempat kelahirannya, dari daerah yang dikuasainya secara jasmani dan rohani. Ia penghidup roh dan roti keadaban. 

Perbincangan sastra daerah dan sastra Indonesia telah berlangsung lama dengan berbagai terminologi yang dihasilkannya. Ignas Kleden (2004: 5) pernah mewanti, penyair pasca Chairil Anwar kembali ke gua atavistik (menggelorakan roh nenek moyang) dalam sajak-sajak mereka. Kleden merujuk pada karya Ramdhan K.H. dalam puisi Priangan Jelita atau novel Ajib Rosidi Perjalanan Penganten mengekspresikan karakteristik khas kesundaan. Karya sastra ini hanya dipahami apabila terlebih dahulu memahami kebudayaan Sunda.

Pada dekade 1980-an muncul beberapa pengamat yang berusaha mengkaji watak  kedaerahan dalam sastra Indonesia. Jakob Sumardjo memperlihatkan sastrawan Indonesia yang coba menggotong tema lokalitas ke pentas sastra nasional. Ia menyebut gejala itu sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal. Mursal Esten menyebut gejala itu sebagai sastra Indonesia jalur kedua. Budi Darma menyebutnya sebagai sastra sub-kebudayaan.

Pada tahun 1984, Arief Budiman dan Ariel Heryanto menggagaskan “sastra kontekstual.” Pemikiran ini menimbulkan diskusi kritis yang luas dan menantang. Beberapa pendukung, seperti Y.B. Mangunwijaya, Yudisthira M. Massardi ikut merimbunkan perdebatan ini. Dalam penerimaan Arief Budiman, sastra kontekstual merupakan kesadaran balik tentang relevansi sastra dengan masyarakat si “empunya” sastra (publiknya). Artinya, sastra bukan semata-mata  ekspresi batin pengarang, melainkan ekspresi pengalaman sosial pengarang. Dengan demikian, “sastra kontekstual” adalah modus penolakan terhadap “sastra universal” yang tak berumah.

Arief Budiman antara lain menulis: “Apakah sastra kontekstual? Sastra kontekstual adalah sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusastraan. Nilai-nilai sastra terikat oleh waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut harus tumbuh dan berubah sepanjang sejarah. 

Nilai tersebut berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dari kelompok manusia ke kelompok manusia yang lainnya (suku, agama, kelas sosial, dan sebagainya). Hanya dengan mengakui kenisbian nilai-nilai ini maka sastra kita dapat berkembang di  bumi yang nyata, bukan di dunia yang diidealkan” (Rahman dkk, 2014: 470).

Meski pengarang bukan juru bicara sebuah konteks (lokalitas), tetapi sesungguhnya ia membentuk dan dibentuk oleh konteks lokalitas itu. Konteks itulah yang menjadikan pikiran dan seluruh seting perjalanan hidupnya. Secara sosiologis, piranti konteks adalah nilai, norma, dan aturan yang memandu hidup kolektif. Relasi sastrawan dengan konteks (kebudayaan) adalah relasi  simbolik. Watak kontekstual adalah khas dalam  karya sastra Indonesia.

Tidak Harus Melalui Jakarta

Pengantar yang saya tulis ini tidak membahas terminologi sastra Indonesia warna daerah (Jakob Sumardjo), sastra Indonesia jalur kedua (Mursal Esten), atau sastra sub-kebudayaan (Budi Darma). Perihal itu sudah dibahas panjang-lebar oleh Yohanes Sehandi sendiri dalam bagian pertama buku ini. 

Saya hanya mengkritisi terminologi yang cenderung memosisikan sastrawan yang menggotong esensi lokalitas daerah sebagai pengarang kelas dua, padahal mesti sebaliknya. Pada pihak lain, hegemoni estetika Jakarta dan selera estetika Horison (majalah Horison, terbitan Jakarta) telah lama melemahkan jentik-jentik sastra Indonesia yang mengusung lokalitas itu.

Pertanyaan muncul, norma estetika apa yang mengategorikan sastra warna daerah atau sastra jalur kedua atau sastra sub-kebudayaan? Atau sastra Indonesia: “Jakarta itulah.” Sastrawan Indonesia, “Horison itulah.”              

Terkadang pertanyaan ini dipandang sebagai kecengengan estetika sastrawan yang berkarya di berbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian, pembahasan lokalitas ini tidak sekadar melap-lap guci lama guna menipiskan rasa lupa lantaran kita sudah terperosok dalam rawa-rawa zaman yang cacat, sarat prahara dan horor. Akan tetapi, menarik guci dari ruang atavisme, diletakkan di kamar tengah yang sabar-setia, selalu dijaga oleh para pujangga.  Lokalitas daerah adalah semacam jamuan dengan rasa gurih high art (seni  tinggi).

Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menjelaskan, sastra Indonesia adalah lokalitas itu. Sastrawan-sastrawan ata one tidak lagi tunduk di hadirat dinastik estetika Jakarta atau selera estetika Horison. Ia mendasarkan dan mendaraskan karya pada keunikan lokalitas itu. Jakarta  boleh menjadi ibu kota negara, bukan untuk sastra, ibu kota sastra Indonesia adalah daerah-daerah. 

Bagi saya, lokalitas adalah putik-putik kesadaran keindonesiaan. Bukankah kesadaran lokalitas yang disebut Indonesia ini sudah sangat lama diwantikan penyair besar Muhammad  Yamin, seorang politikus handal yang menyusun baris-baris puisi Sumpah Pemuda itu? Puisi “Tanah Air” (1922) Muhammad Yamin adalah sebuah pernyataan politik yang menyadari kekuatan kedaerahan dalam memfasilitasi nasionalisme Indonesia.

Sastrawan Provinsi NTT (sastrawan NTT) harus menjadi ata one, menjadi penjaga rumah dan alih waris kebudayaan daerah-daerah NTT. Karya-karya mereka merupakan “mata air inspirasi” untuk mengenal dan mengonstruksi identitas keindonesiaan. Untuk menyebut beberapa nama, John Dami Mukese, Maria Matildis Banda, Usman D. Ganggang, Mezra E. Pellondou, Aster Bili Bora, Amance Franck Oe Ninu, Christo Ngasi, Ishak Sonlay, Pion Ratuloly, Mario F. Lawi, Buang Sine, Sipri Senda, Yefta Atapeni, Bara Pattyradja.

Suatu hal yang membuat saya terpukau dengan sastrawan NTT, bukan saja local color (warna lokal) yang mereka arak ke pentas sastra, melainkan mereka bersastra ”tidak harus melalui Jakarta.” Mereka keluar dari tirani Jakarta yang dianggap sebagai Roma dan Mekahnya sastrawan. Mereka pun tidak meletakkan tangan di atas majalah Horison (majalah sastra) yang angker, sering dipandang sebagai sungai Yordan tempat pembabtisan para sastrawan. Jika hasil karyanya dimuat dalam majalah itu, maka jadilah dia sastrawan (Robot, 2012). Sementara banyak karya sastra bermutu yang dimuat pada koran-koran lokal di daerah-daerah dan ditulis di tempat-tempat yang amat jauh dari Jakarta, menghasilkan karya sastra besar dari udik, rabun, dan sunyi.

Lokalitas merupakan ciri pembeda (identitas) baik dari eksistensi maupun intensi dalam bersastra. Karena itu, lokalitas bukan sekadar menempel seting NTT pada cerpen, puisi  dan novel, atau melengketkan nama tokoh, melainkan bagaimana latar problem sosial, tema-tema budaya, pesan-pesan rahasia di balik ritual cita rasa NTT muncul dalam ciptaan

Jadi, bukan soal  pohon lontar, pohon cengkeh, kuda, sapi, cendana, dan sabana. Bukan pula soal Timor, Sumba, Alor, Flores, dan seterusnya, melainkan bagaimana keunikan manusia dan budaya diguratkan dan digugat dalam karya sastra. Sumber inspirasi tertata dalam pandangan dunia masyarakat, sistem kepercayaan, ritual kematian, ritual penyucian, ritual berkomunikasi dengan Allah, bernyanyi dengan alam, prosesi membuat kampung dan kebun, prosesi bercinta, dan seterusnya. Kita mempunyai keharusan untuk merindukan sastra dengan rasa gurih NTT!”

Sastrawan NTT dan  Ruang Rangsang

Ruang rangsang yang saya maksudkan adalah sebuah metaforik tentang keadaan yang memungkinkan tumbuhnya suatu iklim kreatif (bersastra). Media massa, kelompok diskusi, komunitas sastra, penerbitan buku, toko buku, seminar, lomba penulisan, even, dan seterusnya merupakan “ruang rangsang” (prakondisi penciptaan). Sengaja atau tidak sengaja, ruang rangsang diciptakan. 

 

Tujuh tahun belakangan ini ruang rangsang di NTT sangat terlibat dalam pertumbuhan sastra NTT. Media lokal, diskusi, komunitas sastra (semisal Dusun Flobamora, Uma Kreatif, Rumah Poetika), penerbitan buku-buku karya sastrawan NTT, buku-buku yang mengulas sastra NTT adalah modus ruang rangsang kehidupan kreatif di NTT.

Lantas, siapa penggiat sastra yang tekun membangun ruang rangsang itu? Bila suatu ketika orang bertanya: siapa gerangan pengamat sastra NTT, maka dapat dipastikan ia akan mengatakan Yohanes Sehandi. Lima tahun belakangan, terutama setelah Pak Yan (sapaan akrabnya) pulang dari aula riuh politik, sebagai anggota DPRD Provinsi NTT dua periode (1999-2009), ia kembali ke habitatnya (sebagai penggiat sastra). Sehandi begitu tekun melacak, mendokumentasikan karya-karya para sastrawan NTT dan menelaahnya secara serius.

Sebetulnya, nama Yohanes Sehandi bukan pendatang baru dalam dunia kritik sastra. Sejak tahun 1980-an, Sehandi sudah terlibat dalam diskusi sastra bertaraf nasional. Bahkan ia terlibat dalam “perdebatan sastra kontekstual” dengan sejumlah kritikus sastra sekaliber Arief Budiman. Perhelatan itu kemudian dibukukan dalam Perdebatan Sastra Kontekstual (Heryanto, 1985) dan memuat semua tanggapan dalam perdebatan itu. Salah satu tanggapan yang dimuat dalam buku itu adalah pendapat Yohanes Sehandi.

Berkat ketekunannya dalam melacak jejak sastra dan sastrawan NTT, maka lahirlah buku pertama berjudul: Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012. Dalam buku pertama ini, Sehandi secara khusus memperkenalkan sastrawan-sastrawan NTT dan mencoba melakukan periodisasi berdasarkan usia. Buku ini mendapat sambutan luar biasa, baik dalam nada protagonis maupun dalan nada antagonis.

Dalam nada protagonis, misalnya: (1) buku ini menjadi ruang rangsang bagi sastrawan NTT untuk lebih bergairah dalam berkarya. Lahar-lahar imajinatif mulai meleleh menggenangi  media massa dan menimbun di penerbitan buku karya sastra. Sehandi mencatat puluhan buku sastra NTT yang terbit sampai dengan tahun 2012, (2) buku ini menjadi semacam “gua penampakan” para  sastrawan NTT.  Di sana, sastrawan NTT dihadirkan dan dihargai. Sehandi sendiri mengakui, setelah buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT terbit dan beredar luas, banyak sekali buku karya para sastrawan NTT yang selama ini berstatus rongsokan di rak bukunya, terus mengalir dikirim ke Ende untuk diberi pesona. Kehadiran buku pertama mengejutkan, karena memang buku ini satu-satunya buku yang secara berani menetapkan jumlah dan memproklamirkan sejumlah orang menjadi sastrawan NTT.

Dalam nada antagonis, buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT mendapat kritikan yang cukup seru. Misalnya (1) orang mempertanyakan asumsi akademik untuk menetapkan katagori sastrawan dan tidak. Apakah pengamat dan kritikus sastra, seperti Ignas Kleden, Yoseph Yapi Taum, A.G. Hadzarmawit Netti digolongkan sebagai sastrawan?, (2) seberapa besar luas publisitas karya seseorang sehingga dikatakan sastrawan?, (3) seberapa intens seseorang yang layak disebut sebagai sastrawan? Masih banyak pertanyaan yang diajukan. 

Semua itu merupakan bentuk sambutan masyarakat bahwa buku ini menarik untuk dikaji. Buku ini kemudian menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif bagi dosen perguruan tinggi yang diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI melalui SK Nomor 1982/E5.4/HP/2014, tertanggal 23 Juni 2014.

Buku kedua di tangan Anda ini dibagi atas empat bagian, yakni (1) Sastra Indonesia Warna Daerah NTT, (2) Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, (3) Mengenal Sastrawan-Sastrawan NTT, dan (4) Menyelisik Sastra dan Sastrawan NTT. Satu hal yang tampil lain dibandingkan buku pertama adalah Sehandi menghembuskan diskusi Sastra Indonesia Warna Daerah NTT. 

Ia memulai bagian itu dengan kajian pustaka tentang pemikiran sejumlah  pengamat sastra, seperti Jakob Sumardjo, Mursal Esten, dan Budi Darma dengan terminologi masing-masing. Jakob Sumardjo menyebut sastra Indonesia warna daerah, Mursal Esten menyebut sastra Indonesia jalur kedua, dan Budi Darma menyebutnya sastra sub-kebudayaan.

Bagian kedua, Sehandi menampilkan Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa. Bagian ini mengulas sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT. Menurutnya, sejarah awal sastra NTT dimulai oleh Gerson Poyk, kemudian diikuti Dami N. Toda. Dan selama puluhan tahun sejarah itu terkubur dalam lapisan lupa publik. Sehandi membentangkan eviden-eviden atau buku-buku sastra yang terbit sepanjang masa rabun tersebut. Ia sangat berhasil “menyibak tabir” jejak sejarah sastra NTT yang rabun dan tak beraksara. 

Ia pun menunjuk bahwa dalam rentang waktu puluhan tahun, dari tahun 1961 sampai Desember 2014, tercatat ada 44 sastrawan NTT, dengan 135 judul buku sastra telah terbit, meliputi novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi. Ini suatu kerja pelacakan yang luar biasa tekun, didukung oleh data yang lengkap dan akurat.  

Bagian ketiga, “Mengenal Sastrawan-Sastrawan NTT.” Bagian ini pada dasarnya  melengkapi bagian buku pertama. Inti bagian ini memperkenalkan sastrawan-sastrawan NTT kepada masyarakat umum Indonesia yang telah memunculkan sosok kultur dalam imajinasi-imajinasi mereka. Ia menampilkan biodata setiap pengarang dan karya-karya yang dihasilkannya.

Bagian keempat, Sehandi menulis, “Menyelisik Sastra dan Sastrawan NTT.” Bagian ini berisikan 13 artikel yang telah dipublikasikan oleh media cetak di NTT dalam kurun waktu 2012-2014. Sehandi memperlihatkan bahwa kehidupan sastra Indonesia di NTT cukup bergairah dan semarak. Namun, kendala cukup besar dialami, kesulitan mengakses media massa nasional.

Penjaga Rumah Sastra NTT

Ketekunan Yohanes Sehandi yang luar biasa ini menciptakan ruang rangsang agar sastrawan NTT lebih rajin kembali ke “ruang kabung” (baca kontemplasi) untuk berkarya. Iklim yang kondusif ialah kemajuan teknologi. Dunia maya telah menyediakan bacaan yang dapat diakses kapan dan di mana saja. Tidak lagi bergantung pada perpustakaan daerah atau perpustakaan kampus yang hanya menyediakan buku kedaluwarsa.

Sehandi menyusun buku ini dengan data yang berkelebat dan bahasa yang ketat. Suatu objektivitas akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya berkeyakinan, kehadiran buku yang sedang Anda baca ini akan (1) menambah wawasan dalam bidang kesusastraan sekaligus merupakan tanggung jawab secara akademik tentang sastra dan sastrawan NTT, (2) menjadi ruang rangsang yang dapat menggairahkan para pengarang Indonesia di NTT, (3) memperkuat posisi sastrawan asal NTT bahwa estetika Jakarta dan estetika Horison bukan lagi segala-galanya dalam bersastra di Indonesia, dan (4) buku ini memberikan kesibukan baru bagi sastrawan dan kaum akademisi sastra untuk mendiskusikan isi buku ini. Buku yang baik selalu memberikan ruang untuk dikritisi, dan di sanalah pembaca dilibatkan.

Sastra Indonesia di daerah menginstalasikan kembali puing-puing peradaban kebangsaan Indonesia. Sastra Indonesia pada dasarnya berisi kultur lokal dan karakter kedaerahan khas berbagai daerah di Indonesia. Sehandi telah menyemarakkan dunia sastra Indonesia di Provinsi NTT, dan Sehandi sendiri, menurut hemat saya, adalah “penjaga rumah sastra NTT.”

Sekarang tiba zaman perarakan pulang, setelah hampir seabad menjadi ata pe’ang, anak perempuan. Gila, dan memang, kalau tidak ikut gila akan digilas, moral kota melorot jauh, peradaban mengalami pendarahan. Dalam kelelahan yang tak tertahankan itu, melap-lap lagi apa yang pernah kita miliki dan membuat kita “ada dan menjadi.” Kita pun tak pernah kesal, lantaran sebagian kepesonaan telah berangkat menuju ujung zaman, mengalir bersama sungai rutinitas yang menghanyutkan cangkang-cangkang hedonistisik dan tengkorak-tengkorak manusia yang belepotan pragmatisme.

Saya mengakhiri Pengantar ini dengan “Manifesto Sastra Indonesia di NTT” berikut.

Semalam, selembar kafan menyekah langit
Kala aku ingin menyapu Jakarta dengan liur
Mencabik-cabik lembar Horison sembilu imaji
Mengalirkan kemenyam gunung-gunung 
Memberi ombak kepada pujangga pemuja kota
Di pojok sejarah ia mendongak, lalu berseru:
“Akulah sastrawan”
Si nenek dari gua menarik kepalanya
Disegel dan berseru pula
“Kau cuma Malin Kundang
dan menulis di atas rawa-rawa
Setelah kau menjadi ata pe’ang

Daftar Pustaka

Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Mahayana, Maman S. 2014. “Muhammad Yamin: Indonesia dalam Imajinasi” (dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Editor: Jamal D. Rahman, dkk). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Rahman, Jamal D., dkk. 2014. “Arief Budiman: Sumbangan bagi Kritik dan Pemikiran Sastra” (dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Editor: Jamal D. Rahman, dkk).Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Robot, Marsel. 2012. “Menggergaji Matahari” (Makalah Seminar Komunitas Dusun Sastra, 2013, Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui, Kupang).
Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

(Artikel ini merupakan Prolog yang ditulis Marsel Robot dalam buku Yohanes Sehandi yang berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015, halaman ix-xvii).

Post a Comment for "Manifesto Sastra Indonesia di NTT"