Pengantar Buku oleh Maman S. Mahayana
Oleh Maman S. Mahayana
dalam Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai Karya Yohanes Sehandi
Kritikus Sastra dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Kritikus yang besar ialah kritikus yang berjiwa besar dan sudah bisa melepaskan diri dari nafsu dengki, iri hati, benci, dan ria dalam hubungan seorang terhadap seorang.
Ada pula kritikus yang suara dasarnya: “Aku lebih tahu!” memukul, menerjang kiri-kanan lalu datang dengan: “mestinya begini, begini, begini” dan ia menjadi badut apabila pembaca yang kritis dan teliti pula mendapatkan bahwa yang “begini, begini, begini” itu tidak tepat, kurang benar atau sama sekali tidak benar.
(HB Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya, Jakarta: Gunung Agung, 1952, halaman 44-45
***
Pernyataan HB Jassin menegaskan pentingnya sikap tawadu, rendah hati, inklusif, dan tidak sok tahu melekat dalam perilaku dan dalam memperlakukan sastrawan dan karyanya! Ya! Yang pertama-tama diniatkan oleh seorang kritikus dalam mengulas atau membicarakan karya sastra adalah memberi apresiasi, penghargaan atas karya seseorang, dan sekaligus juga penghormatan pada profesi sastrawannya. Jadi, ketika karya sastra diungkap kelebihan atau kekurangannya, tidak berarti di sana tersimpan kebencian. Kritik di sana merupakan bentuk penghargaan dan harapan agar sastrawan yang bersangkutan dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Bagaimana jika kritikus tidak mengungkapkan kekurangannya? Ya, tidak apa-apa. Tokh dengan begitu, ada pesan tersirat, agar si sastrawan tidak cepat puas diri dan berhenti sampai di sana. Bagaimana pula jika karya sastra itu dipandang terlalu banyak masalah, masih mentah, dan perlu pendalaman, pilihan seorang kritikus adalah tidak membicarakannya. Biarlah sastrawan yang bersangkutan meningkatkan dahulu jam terbangnya, memberi kesempatan untuk menghasilkan karya yang lebih matang, agar karyanya menjadi yang lebih baik lagi.
Sesungguhnya, apa yang disampaikan tadi adalah ukuran subjektif seorang kritikus. Semangatnya adalah memberi apresiasi. Maka, ketika seorang kritikus mempublikasikan ulasannya, sikap dasarnya tidak lain adalah sebuah apresiasi. Dengan demikian, karya itu perlu dibincangkan, dan publik pembaca seyogianya ikut pula mengapresiasi karya itu. Jadi, meskipun pada awalnya pilihan atas karya dan proses pembacaannya bersifat subjektif, penilaiannya sendiri tetaplah objektif, karena ia mendasari segalanya pada karya, pada teks an sich.
Sering kali, pengarang tidak atau kurang menerima evaluasi yang dilakukan kritikus. Si sastrawan kemudian mengungkapkan kemarahannya, tidak mau karyanya dikritik seperti itu, dan tudingan lain yang cenderung menyedihkan. Begitulah, nasib seorang kritikus. Ketika ia menyampaikan kritikannya, sering kali sastrawannya sendiri tidak siap menerima kritik. Sebaliknya, ketika kritikannya mengangkat hal-hal yang positif, sastrawan lain melihatnya sebagai bentuk perkawanan, untuk menyenangkan, tendensius, dan seterusnya. Boleh jadi, lantaran kerap serba-salah itu, pilihan menceburkan diri sebagai kritikus, menjadi tidak populis.
Tuntutan lain yang mutlak dimiliki seorang kritikus adalah pengetahuannya tentang kritik sastra (criticism), yang di sana ada sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra yang bersifat teoretis dan praktis. Jadi, penilaian seorang kritikus tidaklah asal jeplak, tidak didasari oleh sikap suka atau tidak suka, dan ia mesti punya pengetahuan lain untuk mencantelkan karya sastra dengan disiplin ilmu lain. Ia juga mesti tidak abai pada perkembangan sastra. Lho, jika begitu, berat betul tuntutan menjadi seorang kritikus. Ya memang, begitulah, jika hendak menjadi kritikus yang baik. Tidak dapat lain, wajib begitu!
Jangan salah menduga pula. Ketika seorang kritikus mengulas sebuah karya sastra, ada sejumlah buku lain yang perlu juga dibacanya, baik sebagai landasan, maupun sebagai acuan. Tujuannya, agar makna teks yang tersembunyi, dapat diteroka kedalamannya, disingkap celah-ceruknya, diungkap perlambangannya, dan dipaparkan lagi segalanya menjadi kekayaan teks. Jangan salah. Teks sastra yang menyajikan rangkaian kalimat denotatif, sesungguhnya bermain dalam tataran bahasa konotatif; ada penyembunyian simbol, permainan metafora, dan pertentangan ketaksaan. Tidak jarang, seorang sastrawan sengaja menghadirkan akrobat diksi. Seorang kritikus seyogianya menyediakan diri untuk masuk lebih dalam ke berbagai peristiwa di belakang teks itu. Begitulah nasib kritikus sastra!
***
Wow! Apa pula yang hendak dikerjakan Yohanes Sehandi atas dunia sastra di Provinsi Nusa Tenggata Timur (NTT), sebuah wilayah yang bagi orang-orang Jakarta, berada nun jauh di sana. Bagi sastra Indonesia, itulah langkah penting yang menegaskan, bahwa sastra Indonesia dengan segala perkembangan dan perbalahannya, tidak melulu terjadi di Pulau Jawa, lebih khusus lagi di Jakarta. Tidak! Indonesia adalah rangkaian pulau yang bertebaran di seluruh Nusantara. Dalam bahasa politik, itulah yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perkembangan kebudayaan-kesenian-kesusastraan Indonesia adalah keseluruhan yang terjadi dalam wilayah NKRI itu. Maka, pengabaian pada dinamika kebudayaan-kesenian-kesusastraan Indonesia yang tumbuh dan bergerak di berbagai daerah, sama halnya dengan membuat peta keindonesiaan yang compang-camping, tak lengkap, dan penuh cacat.
Langkah Yohanes Sehandi, yang biasa juga disapa Yan Sehandi, menyusun buku Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai adalah sebuah kiprah besar yang kelak berdampak fenomenal. Ia laksana menyampaikan pesan tegas, bahwa pemetaan sastra Indonesia selama ini, tidak lengkap, bolong di sana-sini, dan cenderung hegemonik. Inilah NTT yang telah menyumbangkan semangat dan renjana (passion) Indonesia lewat pemikiran Gorys Keraf, Jos Daniel Parera, Sony Keraf, Dami N. Toda, Ignas Kleden, Daniel Dhakidhae, Willy Hangguman, dan sederet nama lain dari Flores yang telah menyemarakkan keindonesiaan kita. Kini tengoklah kesusastraannya. Sesungguhnya sudah sejak lama kesusastraan di NTT tumbuh dan bergerak bersama kehidupan sosial-budayanya yang khas; yang menjadi pelengkap kesusastraan Indonesia; yang tak terpisahkan dan telah menyatu, menjadi bagian integral sastra Indonesia!
Yohanes Sehandi telah membuat peta lengkap tentang kesusastraan di NTT yang tidak terpisahkan dengan kesusastraan kita: kesusastraan Indonesia. Dalam buku ini, kita dapat mencermati perjalanan sejarahnya, kiprah kesastrawanannya, dan esai-esai kritiknya yang cair dan mengasyikkan. Jadi, ada usaha sangat serius yang dilakukan Sehandi untuk memperkenalkan karya-karya para sastrawan NTT ke panggung sastra nasional Indonesia. Tentu saja, seberapa pun besar-kecilnya, mereka, para sastrawan NTT itu, telah menyumbangkan buah kreativitas dan kiprah kesastrawanannya sebagai bagian dari kesusastraan Indonesia.
Langkah yang dilakukan Yohanes Sehandi ini niscaya akan memberi inspirasi, memicu teman-teman sastrawan lain di berbagai daerah di Indonesia untuk melakukan pemetaan di wilayahnya sendiri, sebagaimana yang diperlihatkan Aceh, Bali, Jakarta, Kendari, Makassar, Manado, Pekanbaru, Surabaya, Yogyakarta, dan sejumlah daerah lain. Dengan cara demikian, peta sastra Indonesia yang compang-camping itu, sedikit demi sedikit, dibenahi, dirajut kembali, dan akhirnya direvisi secara komprehensif. Oleh karena itu, siapa pun peneliti dan pengamat sastra Indonesia, terutama para Indonesianis, berkewajiban masuk dan menyelami kesusastraan Indonesia, lebih lengkap dan proporsional. Bisa saja pintu masuknya lewat NTT atau Aceh atau Manado, atau daerah lain. Tak soal. Tetapi jangan hendaknya berhenti di situ. Masih ada wilayah-wilayah lain di Indonesia yang sama pentingnya.
***
Jika di awal tulisan ini disinggung perkara kritikus, ya, memang diperlukan kritikus yang punya kesadaran dan kepedulian pada dinamika kesusastraan di wilayahnya sendiri. Yohanes Sehandi telah menegaskan kesadaran dan kepeduliannya pada NTT. Bagian ketiga buku ini yang bertajuk “Sastra NTT dalam Kritik dan Esai” merupakan bentuk apresiasi atas kiprah para sastrawan di sana. Usahanya untuk mengungkapkan kekayaan makna khazanah sastra karya pengarang NTT dan coba mengungkap kedalamannya, disampaikan dalam bahasa yang ringan, dan informatif, tetapi sekaligus juga inspiratif. Model gaya kritik esai H.B. Jassin yang sungguh mustahak bagi perkembangan dan pembinaan sastra yang sehat dan bergizi. Dengan cara begitu, buku ini dapat pula menjadi bahan pembelajaran kalangan yang lebih luas: para pelajar-guru, mahasiswa-dosen, atau para sastrawan dan masyarakat luas.
Saya bahagia Yohanes Sehandi telah memilih jalan yang benar. Terlalu amat sedikit kritikus sastra di negeri ini, sementara karya-karya sastra puisi, cerpen, novel, drama, terus berlahiran. Karya-karya itu perlu dijembatani agar ada gerak resipokral yang dinamis, kreatif, dan sehat. Kritikus sesungguhnya juga berfungsi sebagai juru bicara yang menghubungkan pengarang-teks-pembaca. Tugas kritikus, dengan sedaya-upayanya, dengan keluasan wawasan pengetahuannya, mengungkap kekayaan teks, menerjemahkan makna yang tersembunyi yang berada di balik teks sastra.
Boleh saja pembaca lain bersetuju atau tidak bersetuju. Justru di situlah kritikus telah memainkan peranannya menghadirkan ruang terbuka keberbedaan tafsir. Dalam situasi itu pula, proses demokratisasi pemikiran sedang berlangsung. Bukankah dengan demikian, pembaca yang satu dengan pembaca yang lain, bebas berbeda pendapat, dan sekaligus juga berkomitmen untuk saling menghormati keberbagaian pendapat itu. Karya sastra pada gilirannya dapat digunakan sebagai pintu masuk membangun demokrasi.
Akhirnya, saya perlu menyampaikan selamat atas kehadiran buku Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai ini. Telah hadir kritikus dari Indonesia Timur. Kelak, kita dapat menempatkannya sebagai teman bertengkar dalam perkara sastra Indonesia. Sebab, pertengkaran pemikiran perlu untuk menggairahkan kehidupan kesusastraan dan pengetahuan secara lebih luas, tidak merayap lesu dan stagnan. Sastra Indonesia di belahan wilayah mana pun di negeri ini, harus dapat bergerak dinamis, kreatif, dan bahagia!
Bojonggede, Bogor, 11 Oktober 2017
Maman S. Mahayana
(Artikel ini merupakan Prolog yang ditulis Maman S. Mahayana dalam buku Yohanes Sehandi yang berjudul Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2017, halaman vii-xi).
Post a Comment for "Pengantar Buku oleh Maman S. Mahayana"