Mengenang WS Rendra, Sastra Sebagai Alat Perjuangan
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata-kata
(Rendra, Depok, 22 April 1984)
Hari Sabtu, 7 November 2021, kita mengenang kelahiran penyair dan dramawan besar Indonesia, Rendra. Nama lengkapnya Wilybrordus Surendra Rendra yang disingkat menjadi W. S. Rendra, namun kemudian namanya disederhanakan menjadi Rendra. Rendra lahir pada 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah, dalam keluarga dan lingkungan Katolik yang teguh. Rendra meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009 dalam usia 74 tahun. Dikuburkan di Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di SD/SMP Katolik Kanisius, Solo, di samping sebagai dramawan tradisonal Jawa. Ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah, seorang penari serimpi di Keraton Surakarta. Rendra menyelesaikan SD, SMP, SMA Katolik St. Yosef, Solo. Tahun 1955 kuliah pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM) sampai Sarjana Muda (gelar BA). Tahun 1964-1967 mendapat beasiswa untuk belajar di American Academy of Dramatical Art, Amerika Serikat.
Penyair dan dramawan besar ini, dengan penuh kesadaran dan keberanian yang teguh, memilih jalan seni dan sastra sebagai alat perjuangan: //Aku mendengar suara/ jerit hewan yang terluka/ ada orang memanah rembulan/ ada anak burung terjatuh dari sarangnya/ orang-orang harus dibangunkan/ kesaksian harus diberikan/ agar kehidupan bisa terjaga//.
Di mata Guru Besar Filsafat Univeristas Katolik (Unika) Atma Jaya dan STF Driyarkara, Jakarta, Alois A. Nugroho, Rendra adalah “suara lain,” katakanlah “suara hati nurani bangsa” yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Rendra telah menyumbangkan “suara lain” atau “alteritas,” yang terkesan urakan dan bohemian bagi kehidupan dan aspirasi normal rata-rata manusia Indonesia. “Alteritas inilah yang memungkinkan manusia Indonesia lepas dari sikap one in one yang banal. Alteritas ini memampukan kita mengkritisi hidup yang normal” kata Alois Nugroho (Kompas, 8/8/2009).
Bagi Rendra, seni tidak berhenti pada estetika, tetapi ia menjadi “seruan hati nurani” yang berfungsi kritis dan profetik. Apapun bentuknya, seni selalu “terlibat” dan kontekstual. Karya-karya sastra Rendra, baik berupa puisi maupun drama/teater, membuat orang “menjadi” tercenung, berefleksi, bercermin diri, atau berani mengkritisi lingkungannya, masyarakatnya, bangsanya, dan negaranya.
Dalam puisinya yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong” (1978) Rendra menggugah kesadaran kita: //Inilah sajakku// pamflet masa darurat/ Apakah artinya kesenian/ bila terpisah dari derita lingkuingan/ Apakah artinya berpikir/ bila terpisah dari masalah kehidupan//.
Sumber Foto: nusantaranews.co
Buku kumpulan puisinya yang pertama, Ballada Orang-Orang Tercinta (1957) yang salah satu puisi di dalamnya “Ballada Penyaliban” terasa kegetiran dan kedengkian menggupal merasuki anak-anak Adam di bawah kolong langit ini: //Ia melangkah ke Golgota/ jantung berwarna paling agung/ mengunyah dosa demi dosa/ dikunyahnya dan betapa getirnya// Tiada jubah terbentang di jalanan/ bunda menangis dengan rambut pada debu/ dan menangis pula segala perempuan kota// Akan diminumnya dari tuwung kencana/ anggur darah lambungnya sendiri/ dan pada tarikan napas terakhir bertuba/ : -- Bapa, selesailah semua!//.
Rendra juga menciptakan/menerjemahkan/menyadur naskah-naskah drama/lakon, terutama drama/lakon klasik Yunani, sekaligus memainkannya di atas panggung lewat Bengkel Teater yang didirikannya, sehingga dikenal luas sebagai dramawan besar Indonesia. Almarhum juga menulis cerita pendek (cerpen) dan menulis esai atau kritik sastra/kebudayaan. Membawakan pidato kebudayaan atau orasi kebudayan yang khas, menggigit dan menggugat, benar-benar suara lain atau “alteritas,” yakni “suara hati nurani bangsa,” sebagaimana dikatakan Profesor Filsafat Alois A. Nugroho.
Pertama, kumpulan puisi dalam bentuk buku: (1) Ballada Orang-Orang Tercinta (1957); (2) Empat Kumpulan Sajak (1961); (3) Blues untuk Bonnie (1971); (4) Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972); (5) Potret Pembangunan dalam Puisi (1983); (6) Nyanyian Orang Urakan (1985); (7) Disebabkan oleh Angin (1993); (8) Orang-Orang Rangkasbitung (1993), dan Pantun Jurnalistik (1998).
Kedua, naskah lakon/drama/teater sekaligus memainkannya, antara lain: (1) Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954); (2) Bip Bop Rambate Rate Rata (teater Mini Kata, 1967); (3) Mastodon dan Burung Kondor (1972); (4) Perjuangan Suku Naga (1975); (5) Sekda (1977); (6) Penembahan Reso (1986); (7) Oedipus Sang Raja (terjemahan karya Sophokles, 1969); (8) Selamatan Anak Cucu Sulaiman; (9) Hamlet (terjemahan karya William Shakespeare); (10) Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare); (11) Lysistrata (terjemahan karya Aristophanes); (12) Menunggu Godot (terjemahan karya Samuel Beckket, 1969); (13) Oedipus di Kolonus (terjemahan karya Sophokles; (14) Antigone (terjemahan karya Sophokles); (15) Kasidah Berzanji; (16) Sobrat (2005), (17); Kereta Kencana ( terjemahan karya Ionesco); (18) Buku Harian Seorang Penipu (terjemahan karya Alexander Ostrovsky).
Ketiga, kumpulan cerpen: (1) Ia Sudah Bertualang (1963); (2) Dua Jantan; (3) Hutan Itu. Sedangkan kumpulan esai/kritik sastra/kebudayaan adalah: (1) Mempertimbangkan Tradisi (1983); (2) Tentang Bermain Drama; (3) Seni Drama untuk Remaja (1977).
Karya-karya Rendra tidak hanya dikenal di dalam negeri, juga dikenal di luar negeri. Sebagian karyanya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing, antara lain dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, dan India. Ia juga aktif dalam mengikuti sejumlah festival internasional, antara lain: The Rotterdam International Poetry Festival (Rotterdam, Belanda, 1971, 1979); The Valmiki International Poetry Festival (New Delhi, India, 1985); Berliner Horizonte Festival (Berlin, Jerman, 1985); The First New York Festival of The Arts (New York, AS, 1988); Spoleto Festival (Melbourne, Australia, 1989); World Poetry Festival (Kuala Lumpur, Malaysia, 1992); dan Tokyo Festival (Tokyo, Jepang,1995).
Puisi Rendra yang lain yang cukup terkenal berjudul “Sajak Rajawali.” Berikut petikannya.
Sajak Rajawali
tidak bisa mengubah seekor rajawali
menjadi seekor burung nuri
Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti
Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara
Rajawali terbang tinggi
memasuki sepi
memandang dunia
Rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya
Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat fatamorgana
Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka!
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
Rendra....... Sastrawan Besar Indonesia yang perlu dikenang dan dilanjutkan oleh generasi penerus bangsa.
ReplyDeleteKarya karyanya menginspirasi perubahan dari tatanan kehidupan.
Ia menginspirasi
Menghentak nurani untuk bertindak demi kemanusiaan
Betul sekali Pak Guru Thomas Krispianus Swalar. Dia penyair besar setelah Chairil Anwar.
ReplyDelete