Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenang Arief Budiman, Tokoh Sastra Pencetak Sejarah

Arief Budiman meninggal dunia pada Kamis, 23 April 2020 di Salatiga, Jawa Tengah, dalam usia 79 tahun. Arief Budiman lahir di Jakarta pada 3 Januari 1941. Beliau adalah salah satu tokoh sastra Indonesia yang berpengaruh besar. Boleh dikatakan, Arief Budiman adalah tokoh sastra Indonesia pencetak sejarah. Dia juga dikenal luas sebagai tokoh sastra kontekstual bersama Ariel Heryanto.
 

Pada waktu Arief Budiman meninggal dunia, teman akrabnya, Ariel Heryanto, menulis kesan singkat di akun Facebook-nya: “Kesan yang paling kuat tentang Arief yang saya simpan adalah sosoknya sebagai aktivis dan intelektual publik. Berbeda dengan kebanyakan aktivis, Arief berjiwa aktivis sedalam-dalamnya dan nyaris seumur hidup.” Tulisan Ariel Heryanto itu kemudian ramai-ramai dibagikan sejumlah netizen dan sejumlah media online di Tanah Air.

Ariel Heryanto adalah teman akrab Arief Budiman. Keduanya pernah menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kemudian, keduanya sama-sama keluar dari UKSW dan menjadi dosen di Universitas Melbourne, Australia. Kemudian pula, keduanya menyandang gelar profesor dari Universitas Melbourne. Arief kembali ke Tanah Air setelah pensiun dan tinggal di rumahnya di Salatiga, sedangkan Ariel masih di Australia sampai saat ini.

Aktivis dan Intelektua Publik

Ada banyak kesan dan prestasi yang ditinggalkan Arief Budiman di berbagai bidang, antara lain bidang pemikiran sosial, politik, aktivis politik, ekonomi, sastra, dan budaya. Dan yang paling dikenal luas adalah sepak terjangnya sebagai aktivis politik dan pejuang demokrasi. Arief Budiman yang bernama asli Soe Hok Djin dikenal sebagai demonstran tangguh tahun 1960-an bersama adiknya Soe Hok Gie, menumbangkan Orde Lama. Pada Pemilu pertama Orde Baru tahun 1972, Arief Budiman bersama Imam Waluyo, dan kawan-kawan, menentang kontenstan dalam Pemilu 1972 itu dengan mengampanyekan Golput (Golongan Putih), yakni menusuk bagian putih kertas pemilihan sehingga dinyatakan tidak sah.  

Sejak mendengar berita meninggalnya Arief Budiman pada Kamis (23/4/2020) berbagai media massa, baik media cetak maupun media elektronik dan media siber (online) mengangkat beragam prestasi dan ketokohan Arief Budiman sebagai aktivis sejati dan intelektual publik yang disegani berbagai kalangan, baik oleh kawan maupun lawannya. Kesan umum, Arief Budiman adalah seorang tokoh publik dan aktivis pejuang demokrasi yang berani mengambil resiko.

Bidang Kritik dan Pemikiran Sastra

Esai ini ditulis sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat saya terhadap Arief Budiman pada hari ulang tahun wafatnya hari ini. Bagi saya, Arief Budiman adalah tokoh besar yang berjasa besar dalam bidang kritik dan pemikiran sastra Indonesia modern. Bidang kritik dan pemikiran sastra ini merupakan salah satu sisi kepeloporan Arief yang tercatat dalam sejarah sastra.

Keterlibatan Arief Budiman di bidang kritik dan pemikiran sastra ini menimbulkan kontroversi luas dan perdebatan serius di kalangan masyarakat sastra Indonesia, bahkan melibatkan masyarakat awam, hingga bertahun-tahun kemudian. Pemikirannya merangsang pemikiran baru, dengan segala pendukung dan penentangnya. Semuanya menunjukkan bahwa Arief Budiman berpengaruh besar. Dia memang pantas dan layak masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman, dkk., Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014).

Pada tahun 1963, dalam usis masih sangat muda 22 tahun, dan masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Arief Budiman sudah terlibat dalam politik kebudayaan tingkat tinggi dan berisiko. Arief merupakan salah satu tokoh penanda tangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) bersama sejumlah tokoh besar Indonesia lain di bidang pemikiran sastra dan budaya, antara lain Wiratmo Soekito (penyusun konsep Manifes Kebudayaan), H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, Taufiq Ismail, dan masih banyak yang lain lagi.

Manifes Kebudayaan berisi pernyataan sikap para seniman dan cendekiawan Indonesia terhadap tekanan politik dan ideologi revolusioner dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dimotori Pramoedya Ananta Toer. Lekra merupakan sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Terjadi persaingan kasar dan tak sehat antara kubu Manikebu dengan kubu Lekra yang berujung pada pembubaran Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Dalam posisi melawan PKI itulah Arief Budiman bersama eksponen pemuda Indonesia lainnya berdemonstrasi menumbangkan rezim Orde Lama di bawah Soekarno pada 1966, dan menjadi awal rezim Orde Baru di bawah Soeharto.

Salah Satu Pendiri Majalah Sastra Horison

Pada tahun 1966, dalam usia 25 tahun, Arief Budiman menjadi salah satu penggagas dan pendiri majalah sastra Horison, bersama sejumlah tokoh lain, yakni Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini, dan Taufiq Ismail. Majalah Horison terbit edisi pertama pada Juli 1966, yang kemudian menjadi majalah sangat berpengaruh di Indonesia dan menjadi barometer mutu karya sastra Indonesia.


Adapun sejumlah tokoh sastra sastra yang pernah menjadi redaktur majalah Horison kemudian, antara lain H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Arief Budiman, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Arwah Setiawan, Hamsad Rangkuti, Taufiq Ismail, dan Jamal D. Rahman. Majalah Horison berhenti terbit pada Juli 2016, dalam usia 50 tahun, diganti dengan majalah Horison online. Sekarang terbit lagi edisi cetaknya, tetapi tidak rutin setiap bulan seperti 1966 – 2016.

Pada tahun 1968, waktu Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) didirikan Gubernur DKI Ali Sadikin, Arief Budiman menjadi salah satu anggota pendiri DKJ bersama sejumlah tokoh besar di bidang sastra, seperti Ajib Rosidi. Lewat DKJ para seniman mendapat tempat berkreasi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Arief Budiman bersama DKJ memberi jaminan kebebasan berekspresi bagi para seniman dan sastrawan Indonesia di TIM, sesuatu yang sangat berharga pada masa ketika Indonesia baru keluar dari tekanan pemerintahan otoriter Orde Lama.

Pada tahun 1968, terjadilah kehebohan besar dunia kritik sastra Indonesia. Kehebohan berlanjut dalam sebuah forum diskusi, bernama “Diskusi Kritik Sastra” yang berlangsung pada 31 Oktober 1968 di Jakarta. Dalam forum itu Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menggugat dominasi kritik sastra analitis (kritik strukturalisme) yang digunakan para akademisi sastra Indonesia yang dimotori para dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI). Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menandinginya dengan jenis kritik sastra baru dengan nama Metode Ganzheit (Gestalt). Dari pihak akademisi FS-UI sebagai lawan diskusi adalah J.U. Nasution, S. Effendi, Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Boen S. Oermarjati, dan Lukman Ali, yang kemudian menamakan jenis kritik sastra mereka sebagai Kritik Sastra Aliran Rawamangun. 

 
Aliran Rawamangun berpandangan, karya sastra terdiri atas unsur-usur pembentuknya, disebut unsur intrinsik. Alat bedah yang dipakai adalah teori strukturalisme dan berbagai teori sastra lain yang berasal dari Barat. Sebaliknya, Metode Kritik Ganzheit (Gestalt) berpandangan sebaliknya, bahwa karya sastra adalah satu-kesatuan, sebuah totalitas, tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebuah totalitas bukanlah penjumlahan dari unsur-unsur pembentuknya.

Perdebatan seru kedua aliran kritik sastra itu berlangsung selama beberapa tahun kemudian sampai awal 1970. Seluruh perdebatan itu kemudian dibukukan Lukman Ali (Ed) dengan judul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978). 

Arief Budiman sendiri sebelumnya telah menerapkan Metode Kritik Ganzheit ini dalam menganalisis puisi-puisi Chairil Anwar sebagai skripsi sarjananya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi itu kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).

Tokoh Kunci Sastra Kontekstual

Pada tahun 1984 terjadi kehebohan besar lagi dalam dunia pemikiran sastra Indonesia. Arief Budiman melakukan perlawanan terhadap paham sastra universal yang sangat dominan di Indonesia pada 1980-an. Perlawanan itu dilakukan pada Sarasehan Kesenian di Solo pada 28-29 Oktober 1984. Adapun para pembicara dalam sarasehan yang panas itu itu adalah Arief Budiman, Ariel Heryanto, Y.B. Mangunwijaya, dan Yudhistira Ardi Masardi.

 
Arief Budiman yang kemudian didukung penuh Ariel Heryanto menggugat paham sastra universal yang tengah dominan di Indonesia. Paham sastra universal berpandangan bahwa hakikat sastra bersifat universal, yang seragam untuk segala masyarakat, pada segala zaman. Arief Budiman melawannya dengan mengajukan paham tandingan bernama “sastra kontekstual” (istilah yang disodorkan Ariel Heryanto). Paham sastra kontekstual berpandangan terbalik dengan paham sastra universal. Sastra kontekstual tidak mempercayai hakikat sastra yang bersifat universal. Bagi paham sastra kontekstual, hakikat sastra bersumber dari konteks sosio-historis, yaitu rangkaian peristiwa konkret dan tingkah laku manusia, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain.

Dalam makalahnya yang berjudul “Sastra Kita yang Kebarat-baratan” (1985), Arief Budiman merumuskan pengertian sastra kontekstual sebagai: “Sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusasteraan. Nilai-nilai sastra terikat oleh waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut terus tumbuh dan berubah sepanjang sejarah, berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain, dan dari kelompok manusia satu ke kelompok manusia lain. Hanya dengan mengakui kenisbian nilai inilah, maka sastra dapat berkembang di buminya yang nyata, bukan di dunia awang-awang.” Seluruh perdebatan seru itu kemudian dibukukan dengan cermat oleh Ariel Heryanto dengan judul Perdebatan Sastra Kontekstual (Jakarta: Rajawali, 1985).

Perdebatan sastra kontekstual berlangsung sekitar dua tahun (1984-1985). Pada waktu perdebatan itu berlangsung, Arief Budiman dan Ariel Heryanto dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Saya beruntung, pada masa itu saya menjadi dosen tidak tetap di UKSW (1985-1989) sehingga mengikuti dengan intens perdebatan seru itu, baik lewat media massa cetak maupun lewat seminar, diskusi, juga lewat ngobrol santai di bawah pohon dan di emperan kampus UKSW bersama Arief Budiman atau Ariel Heryanto. Saya akhirnya ikut terlibat. Salah satu tulisan saya di harian Suara Karya (17/5/1985) berjudul “Sastra Kontekstual versi Ariel Heryanto” dimuat dalam Lampiran buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985, halaman 498).

Ciri khas ketokohan dan kepeloporan Arief Budiman, dia selalu mengambil posisi berseberangan (kontra) terhadap sesuatu yang dinilainya sudah dominan dan mapan. Baginya, sesuatu yang sudah dominan dan mapan, harus segera dikoreksi dan dilawan agar tidak menjadi diktator dan otoriter. Itulah sebabnya, pemikiran dan gerakannya selalu menimbulkan pro-kontra, perdebatan atau polemik sampai bertahun-tahun kemudian, melibatkan banyak pihak.

Pada waktu sastra Indonesia didominasi kelompok Lekra yang beraliran sosialis, Arief Budiman melawannya dengan ikut menandatangani Manifes Kebudayaan pada 1963. Pada waktu kritik sastra Indonesia didominasi kritik sastra analitis dengan teori strukturalisme mendominasi, Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menandinginya dengan mengajukan jenis Kritik Metode Ganzheti (Gestalt) pada 1968. Pada waktu pemikiran sastra Indonesia didominasi paham sastra universal, Arief Budiman bersama Ariel Heryanto menantangnya dengan sastra kontesktual pada tahun 1984. Sepak terjangnya selalu berseberangan dengan yang sudah mapan dan dominan. Itulah kekhasan Arief Budiman, tokoh sastra Indonesia pencetak sejarah untuk bangsa ini. *

Ende, Flores, Jumat, 23 April 2021
  

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

 


 

Post a Comment for "Mengenang Arief Budiman, Tokoh Sastra Pencetak Sejarah"