Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seruan Perdamaian Penyair NTT

Dalam rangka menghadapi Tahun Politik 2019 dan 2020, yakni Pemilu dan Pilpres 17 April 2019 dan Pilkada 9 Desember 2020,  Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK) NTT, yakni sebuah komunitas sastra orang-orang NTT yang bergabung dalam grup WhatsApp (WA), menerbitkan dua judul buku antologi puisi. Kedua buku puisi itu berisi pesan perdmaian atau seruling perdamaian para penyair NTT untuk bangsa Indonesia.


Kedua buku itu berjudul Bulan Peredam Prahara (2018) dan Kepada Pedang dan Nyala Api (2020). Diterbitkan oleh Komunitas RSK NTT bekerja sama dengan Penerbit Kosa Kata Kita (KKK), Jakarta. Dilihat dari segi banyaknya penyair dan banyaknya puisi yang terhimpun di dalamnya, kedua buku ini bisa dinilai sebagai representasi karya para penyair NTT yang berkiprah di panggung sastra Indonesia modern.

Bulan Peredam Prahara


Buku pertama, Bulan Peredam Prahara (2018), berisi 225 judul puisi karya 53 penyair NTT, tebal 328 halaman. Editor buku Alfred B. Jogo Ena. Dewan kurasi Mezra E. Pellondou, Yoseph Yapi Taum, dan Julia Daniel Kotan. Prolog ditulis Yoseph Yapi Taum, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dari 53 nama penyair yang ada dalam buku ini, ada beberapa nama yang sudah dikenal luas di jagat puisi dan media sosial, baik karena kekuatan puisinya maupun karena ketokohan penulisnya. Adapun para penyair itu, antara lain Agustinus Thuru, Alfred Jogo Ena, Aster Bilibora, Bernadus Barat Daya, Ian CK, Sahadewa, Ignas Kaha, Julia Daniel Kotan, Mario D. E. Kali, Milla Lolong, Nikolaus Loy,  Paulus Heri Hala, Usman D. Ganggang, Yandris Tolan, Jhoni Lae, Veran Making, Walter Arryanto, Yoseph Yoneta Motong Wuwur, dan lain-lain.

Berikut salah satu contoh puisi perdamaian berjudul “Mencari Damai yang Terasing” karya Jhoni Lae yang terdapat pada halaman 156. Berikut petikannya: //Wajahnya berpeluh janji/ Di tangan kanannya yang kurus/ Dijinjingnya karung kosong/ “Aku mencari damai,” jawabnya// Damai yang terasing di kotanya sendiri/ Mengusik sanubarinya/ Untuk mengaisnya kembali/ Dan kalau ia temukan/ Ia ingin mendamaikan kembali kotanya//

Penggalan puisi di atas adalah bait kedua dan ketiga puisi “Mencari Damai yang Terasing” karya Jhoni Lae, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik (Unika) Widya Mandira Kupang. Dia seorang penyair NTT yang juga seorang calon imam projo yang sedang menjalani masa formasi di Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang.

Mengapa pesan perdamaian yang diutamakan para penyair NTT? Karena dalam Tahun Politik 2019 dan 2020, segenap warga bangsa Indonesia dipenuhi rasa was-was atas sepak terjang dan perilaku para politisi yang berkeliaran. Mereka kini sulit dibedakan, mana malaikat, mana setan. Agustinus Thuru dalam puisinya yang berjudul “Kepada Presidenku” (halaman 44), menulis: //Beri aku hari-hari yang indah/ Tanpa bayang-bayang wajah para pemusnah/ Yang berkeliaran di balik topeng berwajah malaikat/ Beri aku negeri berwajah kemanusiaan/ Agar tak ada darah yang tertumpah sia-sia//.

Herisanto Boaz percaya bahwa lewat kekuatan puisinya ia bisa menebar perdamaian. Dalam puisi “Di Pantai Puisi Damai” (halaman 130-131) Herisanto Boaz menulis: //di lubuk terdalam, layarku tercenung dan berisik/ “wajah politik ini niatnya baik, tapi caranya berisik”/ maka kubentangkan layar puisiku, semakin asyik/ dengan damai kuteriakan, “terbanglah puisiku/ seperti merpati perdamaian ini, terbanglah tinggi/“hinggaplah tenang di tiap hati yang berpuisi”/.

Kepada Pedang dan Nyala Api

Buku kedua, Kepada Pedang dan Nyala Api (2019) berisi 203 puisi karya 73 penyair NTT, tebal 333 halaman. Editor buku Julia Daniel Kotan. Dewan kurasi Mezra E. Pellondou, Yoseph Yapi Taum, dan Julia Daniel Kotan. Prolog ditulis Yohanes Sehandi dan Epilog ditulis Jb Kleden. Yohanes Sehandi adalah dosen di Universitas Flores, Ende, sedangkan Jb Kleden adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang.


Pedang dan nyala api yang tercantum dalam judul buku adalah simbol. Pedang adalah simbol alat yang dipakai untuk bertikai, untuk berperang, untuk membunuh, juga untuk membela diri. Nyala api adalah simbol malapetaka, puncak kerusuhan besar yang memakan korban jiwa dan harta benda. Seruan perdamaian para penyair NTT ditujukan kepada para pemegang pedang dan penyulut nyala api, yakni para perusuh dan aparat keamanan.

Berikut ditampilkan bait kedua puisi “Kepada Pedang dan Nyala Api” (halaman 39) karya Astryanti Korebyma yang oleh para kurator dijadikan sebagai judul buku. Kutipannya: //Untuk semua salah dan dosa/ Kepada Tuhan kuminta ampun/ Merendah sejenak pada altar kudus-Nya/ Merunduk menatap lama salib-Nya/ Melalui jalan-Nyalah kita kembali/ Kembali pada Dia/ Sang Empunya hidup//.

Puisi tawaran perdamaian dari NTT untuk Nusantara juga ditulis dengan baik oleh penyair muda NTT, yalni Elvira Hamapati, dengan judul “Nusaku Bercerita” (halaman 80). Tawaran perdamaian dari Elvira Hamapati untuk Nusantara (Indonesia) ini tentu ada syaratnya. Syaratnya adalah: /Jika hatimu/ Tak tawar oleh kebencian/. Berikut petikan lengkap puisi tersebut: //Tanah ini adalah hadiah/ Mahakuasa/ Aneka raga dan rasa merangkai/ Kisah dan kasih/ Nusaku bercerita/ Kedamaian akan/ Kutawarkan/ Jika hatimu/ Tak tawar oleh kebencian//.

Puisi “Nusaku Bercerita” menggambarkan tentang Provinsi NTT yang merupakan provinsi kepulauan, yang disebut penyair sebagai nusaku. Nusa ini adalah “hadiah” dari Tuhan yang Mahakuasa. Hadiah ini tidak hanya menyangkut “aneka raga” yang tampak, seperti warga masyarakat NTT yang plural, keunikan kepulauan dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi juga “aneka rasa” yang dimiliki masyarakat NTT, seperti rasa persatuan, kesatuan, kerja sama, dan toleransi.

Aneka raga dan rasa itu tercermin dalam kebiasaan dan adat-istiadat yang tersebar luas di wilayah kepulauan Flobamora ini. Aneka raga dan rasa inilah yang menyatu dan membentuk kisah dan kasih yang terangkai dalam kehidupan yang rukun, damai, sejahtera, tidak ada kekacauan dan kerusuhan seperti yang terjadi di daerah lain: /Aneka raga dan rasa merangkai/ Kisah dan kasih/ Nusaku bercerita/.

Dengan modal besar sebagai tempat bersemayamnya kisah tentang kasih, tentang persatuan, kedamaian, dan toleransi di NTT inilah yang hendak ditawarkan dan dipersembahkan para penyair NTT kepada bangsa Indonesia lewat buku puisi ini. Tawaran tentang kasih, persatuan, kerukunan, toleransi, dan kedamaian ini, tentu bukan tanpa dasar dan syarat: /Kedamaian akan/ Kutawarkan/ Jika hatimu/ Tak tawar oleh kebencian/.

Puisi perdamaian lain dipersembahkan penyair muda Shaula Astried Emmylow yang berjudul “Flobamora Damai” (halaman 223) ikut memperkuat gambaran damai dan rukunnya kehidupan warga masyarakat NTT yang dihuni puluhan etnis/suku sejak berdirinya provinsi ini tahun 1958 dengan adat-istiadat, agama, suku, dan bahasa daerah yang beragam. Bait kedua puisi Shaula Astried Emmylow berbunyi: //Damai bukan lagi mimpi/ Damai tak terbatas pada kata terucap/ Damai jadi aksi nyata/ Damai hadir di negeriku/ Flobamora tercinta//. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Pos Kupang, Terbitan Kupang, pada Selasa, 15 Desember 2020, halaman 4)

 

 

Post a Comment for "Seruan Perdamaian Penyair NTT"