Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sepenggal Potret Batin dan Isu Sosial NTT dalam Puisi Esai

Memotret batin dan isu sosial yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk diangkat menjadi tema dalam puisi esai, terasa gampang-gampang susah. Terasa gampang kalau puisi esai itu dipahami berdasarkan lima kriteria atau ciri khas puisi esai sebagaimana dirumuskan Denny JA sebagai penggagas puisi esai. Terasa susah kalau potret batin dan isu sosial masyarakat NTT itu dikemas dalam sebuah puisi (fiksi) yang ditulis dalam bentuk esai lengkap dengan catatan kaki (fakta) atau esai yang bercita rasa puisi.

Kesan gampang-gampang susah itulah yang saya dapatkan pada waktu membaca lima puisi esai yang terdapat dalam Seri Buku Puisi Esai Provinsi NTT ini yang berjudul Gemuruh Laut Timur. Meskipun demikian, kelima penyair NTT telah berusaha sekuat kemampuan yang dimilikinya untuk berpartisipasi dalam program nasional penulisan puisi esai yang cukup heboh secara nasional tahun 2018 ini. Lima puisi esai yang ada dalam buku ini tentu saja bukanlah contoh puisi esai yang ideal bila dibandingkan dengan puisi esai Denny JA yang terhimpun dalam buku Atas Nama Cinta (2012). Keberanian kelima penyair NTT ini patut diberi apresiasi, apalagi mereka untuk pertama kalinya menulis puisi esai. Secara pribadi saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada kelima penyair NTT yang telah menulis puisi esai dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mengangkat citra Provinsi NTT di panggung puisi esai nasional Indonesia. Terima kasih kepada Ibu Sastri Sunarti yang mempercayakan saya menulis pengantar buku ini.

Sebagai pengamat sastra NTT, yakni sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT, saya berusaha untuk membuat pengantar buku ini benar-benar sebagai pengamat pemula puisi esai, bukan sebagai kritikus puisi esai. Apalagi saya untuk pertama kalinya mengulas puisi esai. Sebagai pengamat pemula saya coba meletakkan tulisan ini sebagai pengantar yang bertugas sekadar mengantar pembaca untuk sedikit bisa menangkap potret batin dan isu sosial NTT yang terdapat dalam lima puisi esai ini. Tentu saja potret batin dan isu sosial NTT yang diangkat di sini hanyalah penggalan dari lautan luas permasalahan sosial yang ada dan sedang menggejala di NTT. Sekian ragam isu sosial menonjol dan sedang menggejala di NTT yang belum tersentuh dalam buku ini, antara lain isu TKI/TKW dan perdagangan orang, isu kemiskinan dan keterbelakangan, isu adat-istiadat yang membelenggu, dan berbagai isu sosial krusial yang lain.

Berdasarkan potret batin dan isu sosial yang diangkat, dari lima puisi esai dalam buku ini, saya mengelompokkannya menjadi empat isu utama.  

Pertama, isu tentang keuletan perempuan muda Flores yang berani keluar dari kungkungan adat-istiadat yang membelenggu kaumnya. Isu ini diangkat dalam puisi berjudul “Enu Molas Lesung dari Flores.” Penulisnya adalah Imelda Oliva Wisang, seorang biarawati Katolik dari Kongregasi CIJ, biasa dipanggil Suster Wilda. Sehari-harinya sebagai dosen pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Flores, Ende.

Kedua, isu tentang cinta yang tulus lewat jalan berliku yang berujung pada pernikahan suci, meskipun berbeda suku dan agama. Isu ini diangkat dalam puisi esai berjudul “Setelah Aisyah Melepas Hijab.” Penulisnya adalah John Tubani, sehari-harinya bekerja sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di Atambua, Timor.

Ketiga, isu tentang cinta tulus yang tak tersekat beda agama, namun kandas di tengah jalan karena dendam kesumat nenek moyang di masa lalu. Isu ini diangkat lewat puisi esai “Belis yang Tak Kunjung Sampai.” Penulisnya adalah Muhammad Safiin Panara, seorang pencinta puisi yang bekerja sebagai ASN pada Dinas Kebudayaan Kabupaten Alor.

Keempat, isu tentang problem kemanusiaan yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste pasca jajak pendapat tahun 1999. Isu politik perbatasan ini diangkat penyair Marsel Robot lewat puisi berjudul “Batu Tumbuh Cerita di Perbatasan,” dan penyair Usman D. Ganggang lewat puisi berjudul “Memori Cinta di Batas Timor Leste.” Marsel Robot adalah dosen pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Nusa Cendana Kupang, sedangkan Usman D. Ganggang sehari-harinya sebagai guru dan dosen pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.

Perempuan Flores Meretas Belenggu

Isu ini diangkat penyair Imelda Oliva Wisang dalam puisi berjudul “Enu Molas Lesung dari Flores.” Puisi esai ini menampilkan seorang tokoh perempuan muda Flores bernama Enu Molas Lesung (artinya gadis berpipi lesung, bahasa Manggarai, Flores). Enu Molas Lesung sebagai representasi perempuan muda NTT yang coba keluar dari kungkungan adat-istiadat yang membelenggu. Enu Molas Lesung berasal dari kampung udik, berjuang dengan tekad keras dengan potensi yang ada, bekerja kota, terus merantau ke Kinabalu, Malaysia menjadi TKW,  kembali ke Tanah Air melakukan terobosan demi mengangkat derajat kaum perempuan. Suka dan duka dalam proses menemukan jatidiri Enu Molas Lesung digambarkan Imelda Oliva Wisang ke dalam penggalan-penggalan sejumlah baik dan baris puisi esai berikut ini.

Bertahun-tahun lamanya aku menabung keringat kerjaku
tiba waktu aku keluar dari bilik keji kesenangan sementara
aku akan pergi menuju matahari sejauh-jauh ke timur
menjemput sinar terang cahaya yang selalu muncul pada derap jalan.

Enu Molas Lesung coba berusaha membawa kaumnya keluar 
dari kungkungan adat-istiadat Flores yang membelenggu:
 
Enu Molas Lesung segera membawa pergi kaumnya ke luar batas
meski perlahan melewati batas yang wajar
sambil menemukan panggung utama untuk berpentas
dengan semangat tegar berkehendak tegas.

Sindiran dan cemoohan kadang menerpa sepak terjang Enu Molas Lesung yang tidak lazim  dan itulah realitas. Berhadapan dengan realitas ini, Enu Molas Lesung tetap berkiprah dan tegar menghadapi berbagai isu-isu miring menimpah dirinya, sampai berhasil menggapai impian:

Sejenak senyap Enu Molas Lesung bergegas memutuskan prinsip
kemudian menanggapi rentetan kasus tak habis-habis
berulang-ulang sampai penat menyesak
pentas semakin panas menjerat semangat membara.

Secermat jejak yang tertanam lalu membekas
gerak cekatan Enu Molas Lesung semakin diuji
pekik gempita mengiringi langkah ke pentas
hingga guncingan sesat melilit impian ketika turun panggung. 
 
Sebagaimana biasanya banyak perempuan muda Flores dan NTT umumnya merantau ke Malaysia menjadi TKW. Ia harus berjuang menghadapi persaingan beradu kerasnya hidup.
        
Kini Enu Molas Lesung sudah di tanah seberang
cahaya lampu di menara Kinabalu menyilaukan angan
semua sudah berubah dalam sekejab
wangi kota terlampau merebak semerbak
Enu Molas Lesung sanggup menghadapi semuanya itu.

Hiruk pikuk bersaing di tengah tuntutan hidup
keras tanpa kompromi dan yang tersisa harus berjuang
Enu Molas Lesung ternyata sanggup menghadapi kenyataan
melewati gelap malam menuju pagi berulang sepanjang perjalanan.

Merasa sukses di tanah rantau Kinabalu Malaysia, Enu Molas Lesung dengan percaya diri tinggi pulang kampung ke Flores dengan membawa cita-cita untuk perubahan bagi kaumnya:  
      
Enu Molas Lesung pulang kampung menuntas kuasa yang tertunda
yang masih melilit rongga-rongga kebebasan perempuan
membuka ruang bicara pertemukan hambatan biar sejalan aras zaman
Enu Molas Lesung segera membawa pergi kaumnya ke luar batas yang wajar
sambil menemukan panggung utama untuk berpentas
dengan semangat tegar berkehendak tegas.
 
Kisah sepak terjang Enu Molas Lesung digambarkan Imelda Oliva Wisang di bagian penutup puisi esainya, sebagai berikut:

Enu Molas Lesung tidak peduli menapaki tangga pentas
meski setinggi langit jauhnya
menuruni beribu anak tangga menukik sulit
meski tak sampai lantaran berbatas angan
Enu Molas Lesung selalu yakin pada tekadnya
selalu ada matahari terbit di pagi hari
menjemput Enu Molas Lesung berpentas semakin gemerlap.

Cinta Tulus Berliku, Meski Beda Agama

 Isu ini diangkat dalam puisi berjudul “Setelah Aisyah Melepas Hijab” karya John Tubani. Dikisahkan, ada seorang pemuda bernama Kristian (Kris) yang dikeluarkan dari Seminari (sekolah Katolik untuk menjadi pastor/imam) karena terkena penyakit maag akut. Orang tua dan keluarga besar tidak terima dan mencurigai Kristian keluar dari Seminari karena kasus perempuan. Daripada digosipkan dan diusir dari kampung halamannya di Ainan Kabupaten Belu, ia hilang merantau mengadu nasib di Kota Kupang. Ia beruntung diterima di perusahaan peternakan ayam buras milik seorang pengusaha sukses, Haji Arsyad namanya. Kris jatuh cinta pada Aisyah, anak semata wayang Haji Arsyad. Kecelakaan lalulintas membuat Aisyah hilang ingatan (amnesia) dan tidak mau mengenakan pakaian, tidak mau ditemui oleh siapapun, kecuali oleh Kristian. Bertahun-tahun Kristian merawat Aisyah dalam keadaan telanjang. Ternyata itulah trik Aisyah agar menggaet cinta Kristian, ia tidak mau kehilangan Kristian. Atas restu kedua orang tua dan mantan pacar Aisyah, Aisyah dan Kristian dinikahkan. Adapun mas kawin diberikan Kristian kepada Aisyah adalah jilbab ungu yang dikenakan Aisyah sewaktu kecelakaan lalulintas dahulu.

“Mahkota Aisyah diturunkan dan diganti dengan jilbab kesayangannya,” tulis penyair John Tubani di akhir kisah yang mengharukan ini. Inilah gaya John Tubani mengangkat kisah ini ke dalam puisi esainya ini.

Bayu pagi Seminari Lalian
tak lagi sejuk dihirup Kristian
maag kronis yang dideritanya
kian mengakar di tubuhnya.

Jubah putih lesap bersama gerimis
stelah keputusan diambil Praeses
mahkota kebanggaan telah terhempas
di bulan Juni penuh tragis.

Senyum ayah memuai
air mata ibu berderai
pikiran keluarga tercerai-berai
kampung Ainan hening
desas-desus makin kencang.

Martabat suku tercoreng
kenormatan keluarga hilang
harapan anak cucu pupus
sebab ini aib yang tak akan terhapus.
 
Sebelum diusir dari kampungnya Ainan, Kristian hilang mengadu nasib ke Kota Kupang mencari pekerjaan apa saja. Ia berhasil diterima di perusahaan peternakan ayam buras milik Pak Haji Arsyad, seorang pengusaha sukses di pinggiran Kota Kupang.

Tempat ini telah menelan kekelaman Kris
cita-cita agungnya yang semula tertulis
dalam lembaran hidup telah terhapus
Kini hanya pesona masa depan yang kian mendekat.

Di tempat inilah Kristian untuk pertama kalinya jatuh cinta. Jatuh cinta kepada Aisyah anak semata wayang Pak Haji Arsyad:

Wajah ayu di balik jilbab merah maron
telah mengalihkan perhatian
kata-kata Bapak Haji tak satu pun diingat
sebab senyum manis itu lebih lekat
lebih dekat.

”Aisyah” katanya memperkenalkan diri
Kris kikuk sediri
lidahnya ngilu
tubuhnya kaku
tak berdaya menatap Aisyah
sebab ini debar jantung pertama yang terasa aneh.

Karena kecelakaan lalulintaslah membuat Aisyah mengalami trauma berat, hilang daya ingat. Meskipun sudah sembuh, Aisyah tidak mau kehilangan Kristian cinta tulusnya. Ia tidak mau mengenakan pakaian, hanya mau ditemani dan dirawat Kris. Yang lain tidak boleh mendekat, termasuk kedua orang tuanya. Ini pelukisan John Tubani:

Aisyah mengalami trauma berat
luka di kepalanya telah mengganggu fungsi saraf
Aisyah amnesia
Aisyah hanya mengenal Kris
Aisyah tak mengenal ayahnya, tunangan dan keluarganya
Aisyah tak mau berpakain
Aisyah akan membenturkan kepala
bila ada yang mendekat.

Anga-angan Aisyah kepada Kristian, juga sebaliknya, terwujud. Bukan karena skenario, tetapi karena memang berkat cinta yang tulus dan ikhlas antara keduanya.

Aisyah mendesak Kris untuk menikah
Kris semakin bingung
Ia kemudian bercerita pada Pak Haji
Pak Haji mengiyakannya
“Demi Aisyah, Nak Kris Bapa rela melakukan apa saja
termasuk menikahkan kalian
Asalkan Aisyah sembuh.

Kisah cinta yang tulus melalui jalan berliku ini pun terlaksana dengan kado istimewa dari Krisatian untuk cinta tulusnya Aisyah:


Perlahan dan penuh hati-hati
Kris membuka bingisan itu
sebuah jilbab ungu
jilbab yang dikenakan Aisyah di saat kecelakaan
mahkota Aisyah diturunkan
diganti dengan jilbab kesayangannya.

Aisyah pun membuka rahasia cinta itu yang dibungkusnya bertahun-tahun. Katanya pada hari bahagia itu: “Kris … maafkan. Selama ini aku berpura-pura sakit karena aku takut kehilanganmu. Sebenarnya aku sudah sadar semenjak kita pindah ke rumah baru. Namun, aku tetap merahasiakannya karena aku tidak mau menikahi Malih. Ia telah memiliki anak sewaktu bertugas di daerah batas. Tetapi karena ayah, aku terpaksa melakukan pertunangan itu agar ayah tidak kecewa denganku. Kris aku suka puisi-puisimu. Aku ingin puisi-puisi itu menjadi nyata.”

Cinta yang Kandas Karena Dendam

Isu ini diangkat dalam puisi berjudulBelis yang Tak Kunjung Sampai” karya Muhammad Safiin Panara. Puisi ini mengangkat kisah cinta yang kandas di tengah jalan karena dendam masa lalu antara nenek moyang dua keluarga besar di Pulau Alor Provinsi NTT. Lelaki Kapitang dari wilayah Nuh Mate (wilayah pegunungan, sebagian besar penduduknya beragama Kristen/Katolik) jatuh cinta kepada gadis Baoerae dari wilayah Nuh Atinang (wilayah pesisir, sebagian besar penduduk beragama Islam). Sudah dua musim gadis Baoerae menunggu pinangan lelaki Kapitang sang kekasih hati. Tatkala Lelaki Kapitang dari Nuh Mate menuju Nuh Atinang untuk melamar gadis Baoerae, betapa terkejutnya ia karena saudara dan paman sang gadis Baoerae menghadang di jalan dengan tombak dan pedang hanya karena dendam kesumat nenek moyang kedua belah pihak di masa lalu. Inilah pelukisan Muhammad Safiin Panara lewat bait-bait puisi esainya.

Dua belas lelaki perkasa dengan tombak dan panah
menghadang langkah Lelaki Kapitang
dipaksa balikkan langkahnya dan jika perlu hengkang seketika
“He! Engkau anak haram jadah dari Nuh Mate
Sudah lupa dorang pada bapa pung moyang
yang potong kepala nenek kitorang pung moyang?”
 
Lelaki Kapitang mengutuk diri dan nenek moyangnya, mengapa dendam kesumat masa lalu yang tidak diingat lagi ini harus diungkit kembali? Ia tidak siap menghadapi kenyataan ini.

Sejenak ia terpana bagaikan seribu godam menghantam kepala
tapi seketika ia terjaga dari mimpi indah tentang cinta
bahwa ada yang lebih kuasa dari cinta yang dibawa
kesumat masa lalu bagaikan jalan buntu yang menutup
tali kasih antara dirinya dan kekasih hati yang membeci
sejarah kelam masa lalu dibongkar lagi hari ini.

Si Lelaki Kapitang terluka oleh panas api kebencian
luka itu terasa di raga dan juga jiwa
panasnya dari dada naik hingga ke kepala
harga dirinya dijatuhkan seketika
bukan oleh tombak ataupun parang yang menebas kepala
tetapi oleh kesumat dan tatapan mata yang menghina
dari dua belas pasang mata ular Gong Yamtug yangerah
bagai bara yang menyala.  
 
Sebaliknya, si gadis Baoerae masih duduk di balik jendela berharap kekasihnya Lelaki Kapitang datang meminang dengan sirih pinang bersama mama tua dan bapa tua lengkap dengan para tetua adat, namun tak kunjung datang. Harapannya terhempas karena dihadang dua belas orang saudara lelaki dan pamannya sendiri.

Gadis Baoerae hanya termangu
berharap kekasih pujaan segera menjemput
beharap sirih pinang segera dilumat
juga belis dan tenun sudah lengkap
kambing, padi, dan jagung juga menanti
akan dijadikan hantaran petahala
bagi dirinya dan lelakinya
sebagai tanda membayar ganti diri
ketika gadis Baoerae dinikahi Lelaki Atimelang.
 
Kisah cinta yang kandas di jalan karena dendam kesumat nenek moyang masa lalu ini tidak berakibat fatal bagi kedua belah pihak yang berbeda wilayah suku dan agama ini karena Lelaki Kapitang mampu membasuh luka dalam hatinya karena kekuatan cinta yang sejati. Ia yakin, hanya cinta sejati yang mampu membasuh luka dalam hati. Cinta sejati juga tak butuh busur ataupun belis, juga petahala dan harta, cinta hanya butuh keyakinan dan iman:

Besok pasti ada jalan
menuju tangga uma Pelang Serang
Akan kujemput kau kembali gadis Baoerae
tunggulah abang dengan tenang
kita akan kembali berlayar jika laut sudah kembali tenang
kan kubawa kau ke pulau cinta
yang hanya kita berdua.

Problem Kemanusiaan di Perbatasan Timor Leste

Isu politik perbatasan antara Timor Indonesia dan Timor Leste diangkat dalam puisi berjudul “Batu Tumbuh Cerita di Perbatasan” karya Marsel Robot, dan puisi “Memori Cinta di Batas Timor Leste” karya Usman D. Ganggang. Kedua puisi esai ini mengangkat problem kemanusiaan universal di antara sesama saudara di daerah perbatasan. Mereka sesama orang Timor, bersaudara satu sama lain, satu suku, satu bahasa, dan satu budaya, terpaksa harus dipisahkan oleh batas negara akibat beda pilihan politik. Secara geografis dan geneologis masyarakat kedua wilayah ini mempunyai hubungan saudara sedarah.

Sejak jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 yang dimenangkan oleh kelompok prokemerdekaan yang kemudian membentuk negara Timor Leste, hubungan insani sesama saudara ini diputuskan secara paksa. Perbatasan dijaga ketat oleh pihak keamanan dari dua negara. Spontanitas kemanusiaan mereka terhalang. Maka jalan penyambung rasa persaudaraan antara mereka hanya melalui jalan illegal, jalan tikus. Itulah jalan cinta dan kemanusiaan. Pada kondisi itu, mereka menumpahkan air mata kedukaan di tepi sungai dan selokan perbatasan antara kedua negara. Batu-batu di sungai dan kali kering antara dua negara menjadi tempat berceritera, mengaduh nasib, dan mengeluh atas kelamnya hidup mereka akibat politik. Sejumlah tokoh yang jadi korban dalam kisah ini disebutkan, seperti Soares, Sabina, dan Sabita. Batu-batu di kalilah yang mendokumentasikan pesan persaudaraan mereka. Batu-batu itulah yang tumbuh bercerita di perbatasan. “Oleh negara, mereka sering diklaim sebagai pelanggar batas negara. Sebaliknya, warga perbatasan mengklaim bahwa negaralah yang melanggar batas kemanusiaan.”

Berikut ini adalah gaya Marsel Robot mengangkat isu problem kemanusiaan universal di antara sesama saudara di daerah perbatasan ini sebagai berikut.

Orang Manamas (TTU, Indonesia) dan Tapenit (Oekusi, Timor Leste)
Mengaku bertanah tumpah ketuban yang sama
Mengaku terlahir dari kuamnasi yang sama
Mengaku hidup dari roh dan roti peradaban yang sama
Ke tanah kebun dan ke tanah kubur bersama

Di bawah lengkungan masa lalu, terus meronda mengelilingi bulan ungu di tapal batas Selama hidup menari di bawah lampu lampion Uis Neno.

Jalan tikus atau jalan illegal adalah jalan kemanusiaan bagi warga di perbatasan. Mereka secara sadar membuat jalan tikus untuk melintas batas demi melampiaskan “rasa ingat saudara” yang tertimbun pasca referendum. Hutan lebat sekujur tubuh gunung meminta setiap orang untuk merenda jalan dan petunjuk arah:

“Ke mana kamu?
Apa kamu tidak tahu, kamu sudah melintasi batas dan sudah masuk negara orang lain?”
“Maaf Pak, saya tidak tahun”
“Ayo, kembali” hardik sang datu
Soares akhirnya kembali ke Manamas. 
   
Di akhir kisah piluh, penyair Marsel Robot melukiskan rasa terdalam salah satu tokoh korban politik perbatasan, yakni Soares, ia sebelum menghembuskan napas terakhirnya:

Soares merasa mendekati maut, diambilnya tanah, diludahi lima kali
Tiga sembilu dibakar jadi abu ditiup kea rah Tipani (Tapenit)
Di hadapan Sabina dan Sabita ia meluruhkan bertitah
“Inilah tanah, tanah tumpah ketuban
Aku tiada mengenal negara
Aku tak tahu batas negara
Yang kutahu saudara sedarah melampaui batas
Lewat empat samudra pun kami tetap saudara
Jika aku meninggal, buatlah kuburku seperti benteng.

Selanjutnya, lewat puisi esai berjudul “Memori Cita di Batas Timor Leste” penyair Usman D. Ganggang juga melukiskan problema kemanusiaan sesama saudara di perbatasan Indonesia dan Tomor Leste. Hanya saja puisi Usman ini lebih banyak menggunakan bahasa simbolik dan metafora, antara “tokoh aku” (Timor Indonesia) dan ”tokoh dia” (Timor Leste). Tokoh dia ditinggal pergi oleh sang kekasihnya yang nun jauh di seberang sana. Pasalnya, terjadi masalah yang dihadapi sang kekasih di seberang, hingga tokoh dia merasa ditinggalkan. Ujungnya dia galau. Karena galau, dia tidak bisa meredam emosi, akhirnya, timbul kekacauan di keluarganya. Tiada hari tanpa ada cek-cok dalam keluarga. Tokoh aku yang merupakan tetangga dekat, tidak tega melihat kondisi yang dihadapi tokoh dia yang selalu galau. Sejalan perjalanan waktu, muncul juga cinta dari tokoh aku kepada tokoh dia. Inilah cuplikan puisi esai Usman D. Ganggang.

Dari sisi keturunan dan kedekatan, sejatinya kita ibarat api dan tungku
Kita dalam satu daratan, aku di Baratmu, dank au di Timurku
Lagi bahasa kita satu, Tetum, namanya
Warna kulit kita pun sama, sawo matang, turunan Melayu
Tidak ada pilihan ganda untuk keluar dari mimpi buruk.

Di puncak cerita piluh di perbatasan antara Timor Indonesia dan Timor Leste, penyair Usman Ganggang memberi catatan refleksi mendalam untuk pelajaran berharga ke depan:

Saling menyalahkan adalah sebuah kesalahan fatal
Apapun yang akan dikatakan, nasi telah menjadi bubur
Kau lepas dari rangkulanku, harus aku terima dengan lapang dada
Dan dapat dijadikan pelajaran yang sangat berharga buat anak cucuku. *
 

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Pengantar dalam buku Seri Puisi Esai Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gemuruh Laut Timur, Editor Nia Samsihono, dkk, Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2018, halaman vi-xviii).

 

   

Post a Comment for "Sepenggal Potret Batin dan Isu Sosial NTT dalam Puisi Esai"