Jejak Cerita Pendek dalam Sastra NTT
Esai ini bertujuan utama untuk menelusuri jejak sejarah cerita pendek (cerpen) dalam sastra NTT. Sastra NTT yang dimaksudkan di sini adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). Sastra NTT juga bisa diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal Provinsi NTT. Warna daerah atau warna lokal NTT itu terlihat pada latar atau seting, gaya pengucapan, aspirasi, tema, dan karakter kedaerahan yang khas NTT. Sastra NTT adalah warga sastra nasional Indonesia.
Kalau ada sastra NTT, tentu ada sastrawan NTT. Apa dan siapa sastrawan NTT? Sastrawan NTT adalah penulis karya sastra kreatif dalam bahasa Indonesia yang berasal dari NTT atau keturunan orang NTT. Berasal dari NTT maksudnya, sastrawan itu bisa lahir dan tinggal di NTT, bisa pula lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT. Sastrawan yang lahir dan tinggal di NTT, misalnya Mezra E. Pellondou, lahir di Kupang (NTT) pada 21 Oktober 1969 dan tinggal di NTT sampai dengan saat ini.
Sastrawan yang lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT, misalnya Dami N. Toda, lahir di Cewang, Pongkor, Manggarai (NTT) pada 29 September 1942, tetapi tinggal di Yogyakarta, kemudian Jakarta, kemudian di Hamburg (Jerman) sampai ia meninggal dunia pada 10 November 2006. Baik Mezra E. Pellondou maupun Dami N. Toda adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional keduanya masuk dalam jajaran sastrawan Indonesia.
Sedangkan sastrawan NTT yang merupakan keturunan orang NTT maksudnya, sastrawan itu meskipun lahir di luar NTT, tetapi dari orang tua keturunan (berdarah) NTT. Misalnya, sastrawan Fanny J. Poyk, lahir di Bima (NTB) pada 18 November 1960 dari orang tua (berdarah) NTT, Gerson Poyk. Gerson Poyk adalah seorang sastrawan, lahir di Namodale, Rote (NTT) pada 16 Juni 1931, pernah tinggal di Bima, Maluku, Bali, Surabaya, dan Jakarta. Berdasarkan kriteria keturunan orang NTT di atas, Fanny J. Poyk yang kini tinggal di Jakarta adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional Fanny J. Poyk juga adalah sastrawan Indonesia.
***
Esai ini coba melacak jejak cerita pendek (cerpen) dalam sastra NTT. Pertanyaannya, sejak kapan orang NTT menulis cerita pendek? Siapa perintisnya? Siapa saja cerpenis NTT yang kini tampil di panggung sastra Indonesia? Ketiga pertanyaan inilah yang menantang siapa saja yang peduli pada pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di NTT.
Ketiga pertanyaan ini pula yang mengganggu pikiran saya sejak 2010 sewaktu saya kembali menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende, setelah menggeluti dunia politik menjadi anggota DPRD Provinsi NTT selama dua periode (1999-2009).
Sejak 2010 saya coba melacak jejak orang NTT yang berkiprah di panggung sastra Indonesia, termasuk panggung cerita pendek. Setelah melacak berbagai dokumen, baik di dalam buku maupun di media cetak, ditambah dengan sejumlah informasi terkait, baik di NTT maupun di luar NTT, akhirnya saya menemukan orang NTT yang pertama kali menulis karya sastra jenis cerpen dalam bahasa Indonesia dan karyanya dipublikasikan secara nasional.
Orang NTT yang berjasa itu bernama Gerson Poyk (1931-2017). Gerson Poyk adalah orang NTT pertama yang menulis cerpen dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan lewat media massa tingkat nasional.
Dalam pelacakan saya, cerpen-cerpen awal Gerson Poyk dimuat dalam majalah mingguan Mimbar Indonesia, majalah bulanan Sastra, dan majalah bulanan Horison. Konfirmasi terakhir atas pelacakan ini saya lakukan pada 8 Juni 2018 pada waktu melakukan studi pustaka di Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin di Jakarta. Berdasarkan data yang ada, Gerson Poyk mulai menulis cerpen sejak 1959.
Cerpen awal Gerson Poyk ditemukan dalam Mimbar Indonesia (MI) berjudul: “Pertjakapan Selat” (MI Nomor 38-39, Tahun XIII, 10 Oktober 1959) dan “Dalam Kecepatan 40” (MI Nomor 21, 21 Mei 1960). Cerpen awal Gerson poyk yang lain ditemukan dalam majalah bulanan Sastra (Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961) berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” yang mendapat hadiah majalah tersebut sebagai cerpen terbaik pada 1961. Cerpen Gerson Poyk berikutnya berjudul “Oleng-Kemoleng” dimuat dalam majalah bulanan sastra Horison tahun 1968 dan mendapat pujian dari redaksi majalah sastra Horison pada 1968 itu.
Berdasarkan hasil temuan di atas, maka terjawablah pertanyaan awal esai ini, sejak kapan orang NTT menulis cerita pendek? Jawabannya, sejak tahun 1959. Siapa perintisnya? Perintisnya adalah Gerson Poyk. Cerpen pertama Gerson Poyk berjudul “Pertjakapan Selat” dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia. Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, NTT, dan meninggal dunia pada 24 Februari 2017, dimakamkan di Kupang, NTT.
***
Salah satu cerpen awal Gerson Poyk yang sangat berkesan
dan menunjukkan warna daerah atau warna lokal Provinsi NTT dalam sastra
Indonesia adalah cerpen Gerson Poyk yang berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”
(dalam majalah Sastra edisi Nomor 6,
Tahun I, Oktober 1961).
Isi cerpen ini bercerita tentang kehidupan seorang guru sekolah rakyat (SR) mengajar di desa terpencil. Ia hidup serba kekurangan dengan gaji kecil. Tidak hanya kecil, gaji juga diterima sekali dalam satu tahun, bahkan sekali dalam dua atau tiga tahun. Untuk menuju ke sekolah, beliau melewati sungai. Kalau sedang banjir, dia menyeberang sungai dengan menjunjung tas dan celana panjang di atas kepala. Sesampai di seberang kali celana panjang dipakai lagi, sedangkan pakaian dalam yang basah dijemur di atas batu, diambil sewaktu pulang sekolah.
Pak Guru menjalani kehidupannya bertahun-tahun seperti apa adanya. Meski hidup sengsara di desa terpencil, Pak Guru menjalaninya dengan penuh pengabdian dan tawakal. Suatu saat dia gembira meski sempat kaget, di dalam saku celananya ditemukan sejumlah uang. Uang itu dari mana? Karena tidak ditemukan asalnya, dia berpikir mungkin uang-uang itu miliknya sendiri yang terselip di saku celana dan lupa diambil. Dengan uang itu dia membayar banyak utang dan bon yang belum dibayar kepada warga masyarakat.
Kehidupan sehari-hari Pak Guru membuat iba seorang gadis desa yang setiap hari bekerja menyiangi sawah orang tuanya di seberang kali tempat Pak Guru lewat setiap hari ke sekolah. Sudah berbulan-bulan si gadis desa memperhatikan Pak Guru yang dengan setia ke sekolah memakai sandal kumal, dengan celana panjang yang itu-itu saja, yang juga sudah kumal. Kalau celananya basah sewaktu melewati sungai, Pak Guru menunggu celananya kering di atas bebatuan, baru lanjutkan perjalanan ke sekolah. Meskipun sang gadis anak orang miskin, ia berniat tulus untuk membantu Pak Guru. Tetapi bagaimana caranya?
Suatu pagi, sewaktu Pak Guru melewati sawah seberang kali, dia melihat si gadis desa tengah bingung mencari-cari sesuatu di atas pematang sawah. Pak Guru bertanya, apa yang dicari, Non? Dijawab, dia sedang mencari uangnya yang hilang dan diperkirakan jatuh di sekitar pematang sawah. Pak Guru ikut mencari uang itu, tetapi sia-sia. Pak Guru merasa kasihan kepada si gadis desa yang lugu yang kehilangan uang. Karena belas kasihan, tiba-tiba muncul idenya bahwa dialah yang mengambil uang si gadis, dan berencana besok dia minta maaf dan menyerahkan uang itu kepada sang gadis.
Keesokan paginya, sewaktu ke sekolah, dia mendapati sang gadis dan menyerahkan uangnya, bahwa dialah yang mengambil uang si gadis. Si gadis tidak mau menerima, karena bukan Pak Guru yang mengambil uangnya, kata si gadis. Pak Guru bersikeras bahwa dialah yang mengambilnya. Si gadis juga bersikeras menolaknya.
Karena gagal meyakinkannya, Pak Guru sepulang sekolah pergi menemui orang tua sang gadis untuk kembalikan uang yang diambilnya, dan minta maaf bahwa dialah yang mengambil uang yang hilang itu. Gadis desa itu bersikeras menolak uang itu. Alasannya dia tidak pernah kehilangan uang. Giliran Pak Guru kaget. Dia terenyuh, ternyata uang yang ditemukan dalam saku celananya adalah uang si gadis desa itu, yang diam-diam karena belas kasihan, dia selipkan dalam saku celana Pak Guru yang sedang dijemur di atas batu pinggir sungai.
Kira-kira seperti itulah isi singkat cerpen “Mutiara di Tengah Sawah.” Membaca karya-karya Gerson, ingatan kita langsung ke wilayah Timur Indonesia, yakni ke Provinsi NTT. Kita sebagai pembaca dibawa menjelajahi wilayah dan masyarakat NTT. Akar imajinasi Gerson Poyk ada pada masyarakat dan daerah NTT. Cerita-cerita Gerson sederhana, unik, lucu, memikat, terkadang mengejutkan, namun tetap terselip nilai pendidikan dan moral kemanusiaan universal. Gerson Poyk sering pula dijuluki sebagai Pendongeng dari Timur.
Konteks cerita Gerson Poyk dalam karya-karyanya bukan di kota, tetapi di daerah-daerah, bahkan daerah-daerah terpencil. Kalaupun latarnya kota, tetapi tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mempunyai masa lalunya di daerah, yang muncul di kota karena terhanyut urbanisasi.
Tema ceritanya tentang kampung, hutan, kebun, sawah, air pegunungan, padang ilalang, sabana, tentang orang desa, pengalaman iris tuak, pikul kayu, masak air nira, buat jerat babi hutan, buat gubuk pakai daun lontar, tentang kebun kopi, kerja sawah, dagang kerbau, main judi, pesta rakyat, buka kebun baru, dan berbagai cerita khas masyarakat desa, yang dengan gampang dihubungkan dengan kekhasan orang-orang NTT.
Membaca Gerson adalah membaca orang NTT. Kalau pun bukan orang NTT, tentu saja orang Maluku atau NTB, dua provinsi di mana Gerson pernah menjadi guru, yakni guru SMP Negeri dan SGA Negeri di Ternate (1956-1958) dan guru SMP Negeri dan SGA Negeri di Bima (1958-1963).
***
Bagaimana kiprah cerpenis NTT yang lain setelah Gerson Poyk merintisnya tahun 1959? Cerpenis NTT yang lain bermunculan setelah Gerson Poyk merintisnya. Sejumlah nama yang dapat disebutkan, antara lain Julius R. Sijaranamual, Usman D. Ganggang, Maria Matildis Banda, Fanny J. Poyk, Buang Sine, Mezra E. Pellondou, Sipri Senda, Pion Ratulolly, Steph Tupeng Witin, Dicky Senda, Mario F. Lawi, Felix K. Nesi, Alexander Aur, Erlyn Lasar, Sandra Oliva Frans, Jefta H. Atapeni, Anaci Tnunay, Djho Izmail, Christo Ngasi, Hans Hayon, Kopong Bunga Lamawuran, Alfred B. Jogo Ena, Walter Arryanto.
Tradisi penerbitan buku cerpen dalam sastra NTT dimulai 1975 ditandai dengan penerbitan serentak terbitnya tiga judul buku cerpen karya Gerson Poyk oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, yakni Nostalgia Nusa Tenggara (1975), Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk (1975), dan Matias Akankari (1975). Dalam catatan dan koleksi pribadi saya, sampai dengan tahun 2020 ini, tidak kurang dari 60 judul buku cerpen karya para cerpenis NTT yang telah diterbitkan. Dari 60 judul buku tersebut, 17 judul adalah karya Gerson Poyk. Tentu saja masih banyak buku cerpen yang luput dari pencatatan saya, karena ada buku yang dicetak terbatas, ada pula yang tidak dijual secara bebas. *
Lahir di Dalong, Labuan Bajo, Flores, pada 12 Juli 1960. Menyelesaikan Sarjana (S-1) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang, Unes, 1985), Magister (S-2) bidang Sosiologi di UMM Malang (2003). Kini dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Flores (Uniflor) Ende. Mengasuh mata kuliah Teori Sastra, Dasar-Dasar Menulis, Menulis Karya Ilmiah, Menulis Kritik dan Esai, dan Jurnalistik. Menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2 (Munsi 2) pada 18-20 Juli 2017 di Jakarta dan menjadi pemakalah/peserta dalam Kongres Bahasa Indonesia XI pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta. Telah menerbitkan sejumlah buku telaah, esai, dan kritik sastra, antara lan Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012), Mengenal 25 Teori Sastra (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014), Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015), dan Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2017). Alamat: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende, Jln. Sam Ratulangi, Ende. Nomor Hp/WA: 081339004021, Email: yohanessehandi@gmail.com, Blog: www.yohanessehandi.blogspot.com.
Terima kasih pa Yan atas
ReplyDeletePenyampaian informasi
Pertumbuhan dan perkem
bangan karya sastra daerah NTT. Ini memberi tambahan
pengetahuan sastra khusus
nya sastra daerah NTT yg di
tulis oleh sastrawan NTTdan mendapat apresiasi dan peng
hargaan secara nasional.
Dunia sastra, putra daerah kita
juga terbukti memiliki kemam
puan daya imajinasi untuk
mengangkat perikehidupan
masyarakat daerah NTT yg
petani, lugu, sederhana dan
polos ke dunia sastra. Sangat
bermakna dan menarik.
Maju terus sastra daerah
NTT..Mati satu tumbuh seribu