Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kasut Lusuh Pastor Fritz Meko, SVD

Dalam berbagai buku antologi puisi yang beredar, kita temui sejumlah buku puisi yang ada Prolog pada bagian awal buku, bahkan ada pula Epilog, pada bagian akhir buku. Biasanya, yang diminta menyusun Prolog dan Epilog adalah seorang ahli atau dinilai ahli atau dianggap ahli dalam bidang ilmu sastra atau kritik sastra. Penulis buku puisi (penyair) merasa perlu ada komentar atau bahkan rekomendasi dari seorang ahli terhadap buku puisinya sehingga bisa menjadi jembatan penyair kepada publik pembaca. Namun, ada pula buku puisi yang tidak ada Prolognya. Mungkin penyair merasa, biarkan puisi-puisi itu yang berbicara kepada publik pembaca tentang dirinya sendiri. Kedua pilihan penyair itu sah-sah saja. 

Karena penyair Pater Fritz Meko, SVD, pemilik buku antologi puisi ini, merasa perlu ada jembatan antara buku puisi Kasut Lusuh dengan publik pembaca, maka saya diminta untuk memberi Prolog. Tentu saja, saya was-was juga. Jangan sampai salah pilih. Sebab, menurut saya, keahlian itu terletak pada hasil karya, yakni tulisan yang dihasilkan, bukan sekadar yang dianggap ahli. Semoga Prolog yang saya berikan ini bisa menjadi jembatan antara Kasut Lusuh dengan para pembaca budiman. Sebagai jembatan, tentu saya berbicara apa adanya, sesuai dengan bobot isi dan bentuk puisi-puisi yang ada dalam buku ini, guna menghantar para pembaca menyelami buku ini. Untuk itu, marilah  kita menyelami buku puisi ini.

***
Buku antologi puisi Kasut Lusuh ini berisi 71 judul puisi. Ada puisi yang pendek, ada yang sedang, ada pula yang panjang. Secara keseluruhan, puisi-puisi ini merupakan refleksi keseharian seorang penyair dengan sesama, lingkungan, dan Tuhannya. Mungkin itulah tema yang bisa kita sarikan dari buku ini. Semua puisi dengan mudah ditangkap maknanya, termasuk pembaca awam sekalipun, karena penyair menggunakan kata-kata biasa yang tidak rumit. Memang inilah yang diinginkan penyair, agar para pembaca tidak hanya memahami isi buku ini dari perspertif sastra, tetapi juga dari perspektif spiritual. Maka, jadilah puisi-puisi dalam buku ini minim bahasa simbol dan metafora rumit yang susah dipahami. Penyair sepertinya punyai prinsip, apalah gunanya menulis puisi penuh bahasa simbol dan metafora yang rumit dan gelap yang ternyata tidak dipahami para pembaca? Meskipun minim bahasa simbol dan metafora, kadar buku ini sebagai karya sastra tidak berkurang. Ada banyak penyair Indonesia yang kurang peduli dengan bahasa simbol dan metafora dalam puisi-puisi mereka.

Dibagi dalam dua bagian. Bagian I, berjudul “Menakar Hidup dalam Peristiwa,” terdiri atas 36 puisi. Sebagian besar puisi merekam berbagai momen dan peristiwa manusiawi sehari-hari yang dialami penyair dalam menjalankan tugasnya, kemudian direfleksikan. Berbagai momen dan peristiwa itu dilihat penyair secara horisontal, ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Bagian II, berjudul “Melihat Hidup dari Langit,” terdiri atas 35 judul puisi. Sebagian besar puisi merekam berbagai momen dan peristiwa spiritual yang dialami penyair, terutama sebagai seorang biarawan. Penyair Fritz Meko, SVD adalah seorang biarawan Katolik dalam Kongregasi Serikat Sabda Allah, yang secara internasional dikenal dengan nama Sicietas Verbi Divini, disingkat SVD. Berbagai momen dan peristiwa itu dilihat penyair-biarawan ini secara vertikal, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Ke atas adalah ke langit Sang Khaliknya.

Semua puisi dalam buku ini dapat dilacak atau ditelusuri riwayat hidup dan proses kreatif penciptaannya, karena setiap puisi memiliki kolofon. Kolofon adalah keterangan yang tercantum pada bagian akhir setiap puisi yang berisi tempat dan tanggal penciptaan sebuah puisi. Berdasarkan data kolofon pada 71 puisi yang ada, tercatat sebagian besar puisi diciptakan penyair dalam empat tahun terakhir (2017-2020), sebanyak 52 judul puisi. Adapun perinciannya: tahun 2020 sebanyak 6 puisi, 2019 sebanyak 19 puisi, 2018 sebanyak 16 puisi, dan 2017 sebanyak 11 puisi. Tahun 2017-2020 adalah masa proses kreatif paling subur penyair kelahiran Manamas, Timor, NTT, pada 21 Juni 1963 ini. Selebihnya, sebanyak 19 puisi diciptakan pada 2010, 2007, 2006, 2005, 2004, 2002, 1999, 1998, 1997, 1996, dan 1995.

Tempat penciptaan karya puisi, paling banyak terjadi di dua tempat, yakni di Surabaya dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebanyak 23 puisi. Adapun perinciannya: Surabaya sebanyak 13 puisi,  Palangkaraya sebanyak 10 puisi. Hal itu dapat dimaklumi, karena penyair bertugas di Surabaya sejak 2009 sampai 2020 ini, dan di Palangkaraya selama 6 tahun (1993-1999). Selebihnya, sebanyak 48 judul puisi diciptakan di berbagai tempat sesuai dengan tugas pengabdian dan perjalanan penziarahan penyair ini, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Tempat-tempat itu adalah Irlandia, Jerman, Palestina, Yerusalem, Nasaret, Singapura, Dili, Malang, Timor, Ruteng, Nias, Kupang, Jakarta, Denpasar, Mataram, Palembang, dan lain-lain.

***
Mengapa penyair Fritz Meko, SVD memilih “kasut lusuh” untuk judul bukunya? Seperti dijelaskannya pada Pengantar buku, kasut adalah alas bagi kaki yang mengayun, melintasi area-area yang dapat dilalui dengan mudah dan tidak mudah. Ayunan “kaki berkasut” untuk menggapai apa yang menjadi tujuan, biasanya menyebabkan lelah dan penat pada kaki. Sementara itu, kasut dapat lusuh dan sobek karena terlalu sering “menatang” dua telapak kaki yang menjadi tumpuan beban badan.  Kasut lusuh juga, demikian penyair Fritz Meko menjelaskan lebih lanjut, adalah simbol ziarah yang senantiasa diwarnai pengalaman-pengalaman baru, yang perlahan akan menjadi ceritera lama (lusuh). Semua ceritera itu lalu akan menjadi “sejarah” yang dapat dituturkan pada setiap generasi. Kisah yang sudah menjadi sejarah, tentu akan mengandung banyak makna dan hikmah yang berguna.
 
Namun demikian, tetap ada pertanyaan yang menggantung. Mengapa memilih “kasut,” dan bukan “sepatu” yang sudah dikenal umum? Menurut saya, pilihan penyair bukan tanpa berdasar. Penyair dengan sengaja mengarahkan imajinasi pembaca ke Injil Yohanes (1: 26-27), tatkala orang-orang Farisi bertanya kepada Yohanes Pembaptis, tentang tugas yang tengah diembannya:  “Mengapakah engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” Yohanes menjawab mereka, katanya: “Aku membaptis dengan air, tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.” Kasut yang dicetak miring itulah yang diarahkan penyair Fritz Meko, kepada kita semua sebagai pembaca. Dan Dia yang dimaksudkan Yohanes Pembaptis adalah Yesus Kristus, Sang Juruselamat.

Setelah saya mencermati puisi “Kasut Lusuh” sebagai “merek dagang” buku puisi ini, yang ditempatkan penyair sebagai puisi kedua, ternyata “Kasut Lusuh” itu tidak sekadar alas kaki yang menatang dua telapak kaki yang menjadi tumpuan beban badan tuannya, juga bukan hanya simbol ziarah yang senantiasa diwarnai pengalaman-pengalaman baru, yang perlahan akan menjadi ceritera lama (lusuh), tetapi juga, menurut pembacaan saya, “Kasut Lusuh” adalah “gambaran kehadiran” sang tokoh “si aku lirik” dalam puisi ini. Siapakah tokoh si aku lirik itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah Fritz Meko, SVD sendiri. Sebagai seorang biarawan, sang penyair harus menakar hidupnya dalam berbagai peristiwa manusiawi dan spiritual dalam tugas pastoralnya di mana pun berada. Kasut lusuh hadir di sana sebagai tanggung jawab hidup membiara. Mari kita menyelami “Kasut Lusuh” Fritz Meko berikut ini.

Kasut Lusuh
Kepada: Kule Taeki Meko

Dia adalah lelaki perkasa berjalan ke arah segala 
Kasut lusuh menopang ayunan langkahnya
Sederet cita bertengger teduh di ubun-ubunnya.

Semakin melangkah semilir angin menerpa deras
pucuk-pucuk cemara
Ada janji manis dalam sejuknya angin lembah 
Ada rindu dendam dalam untaian harapan
Dia tersenyum, seakan cita hidupnya menjelang.

Wahai … tuan, lukiskan di lembah ini apa warna jiwamu 
Torehkan isi benakmu pada batu putih ini                                                                        
Karena setiap generasi adalah penutur kisahnya
Tapak-tapakmu akan menjadi cerita dalam rentangan

Derai keringatmu                                                                                                                        
Desah nafasmu                                                                                                                              
Linang air matamu

Menggotong raga dan citamu ke arah yang kau tuju
Memangnya engkau ini siapa? 
Kata leluhur Nai’Benu  
Engkau adalah sang pangeran    
Bertakhta damai di  Sonaf Baknime.
 
Apakah ziarahmu, ayunan langkah tanpa duri dan onak?
Apakah senyummu, jembatan terpendek tanpa hojatan?
Apakah cucuran keringatmu, harga tanpa perhitungan?
Apakah di puncak engkau berdiri tanpa taufan?
Ternyata engkau tegar berdiri di mata pedang
Sampai waktu menguburmu di pusara berbingkai perak. 

 *  Wini – Border Timor Leste, 14 November 2019 
·        Sonaf Baknime – Istana Kuno Kerajaan Meko
·        Nai’Benu – Suku yang tinggal di Oecusse dan Manamas
 
Tentang tempat kelahirannya di Kampung Manamas, Lembah Faunoem, Pulau Timor, NTT, penyair Fritz Meko, SVD menggambarkannya dalam puisi “Dalam Rahim Savana.” Puisi ini dipersembahkannya kepada Ibu Juliana Diaz da Costa. Berikut kutipannya.
 
Dalam Rahim Savana
Kepada: Ibu Juliana Diaz da Costa

Di savana sejauh mata memandang
Aku berdiri tertegun menikmati lenguhan sapi timor
Lengkingan seruling sang gembala 
menyayat batinku yang senyap
Di lembah Faunoem, sekawanan rusa timor 
mengendus rerumputan 
Di sudut kampung Manamas, kusaksikan jasad leluhur 
terbaring tanpa desah di dada.

Di sini, darah rahim bunda pernah tumpah
Tangisku merebak di julang harapan 
Untaian bahagia bergantung di dada bunda 
Seulas senyum tersungging di bibir ayah.

Aku merayap di tanah ini
Menikmati sejuknya bumi di dadaku
Nafasku merentang damai  
Gairahku menjulang tinggi 
Tatapanku menanjak naik 
Cita-citaku menggegas harap 
Ingin menggoda serumpun semak
menghamparkan naungannya.
 
Aku berteduh di sini 
Sampai hidup serentang usiaku
Ketika langkahku tertatih di jelang ajal
Ia yang memberi hidup tak dapat disogok 
untuk memperpanjang perjalananku 
Aku akan berbaring abadi di rahimnya 
Menjadi kisah pada tuturan setiap generasi 
Dalam rentangan ruas-ruas waktu yang terus bergulir.

*  Manamas - Timor, 14 November 2019  
*  Faunoem – Gunung di Timor Barat

***
Sebagian besar puisi dalam Kasut Lusuh disajikan penyair dalam bentuk monolog (komunikasi searah). Monolog siapa kepada siapa? Monolog “si aku lirik” (saya, aku, kami) dengan sesama, dengan masyarakat, dan dengan lingkungannya. Itu terlihat pada sebagian besar puisi yang terdapat pada Bagian I, “Manakar Hidup dalam Peristiwa.” Komunikasi satu arah si aku lirik itu berlangsung secara horisontal. Momen dan peristiwa yang terjadi bersifat manusiawi dalam kehidupan sehari-hari direkamnya dalam puisi setelah direfleksikan. Penyair mengakui dalam Pengantar buku: “Saya alami semua peristiwa sebagai seorang yang sepanjang hidup membaktikan diri bagi Allah (biarawan), tetapi tetap sebagai seorang manusia, yang mempunyai roh dan daging. Karena itu, sebagai seorang manusia saya “berhak” mengagumi, memesonai, jatuh cinta, bersalah dan keliru. Walau demikian adanya, saya tetap menyadari esensi pilihan hidupku. Saya harus setia dan “tahu diri” sampai akhir hayat.” Pada Bagian II, “Melihat Hidup dari Langit,” monolog berlangsung antara si aku lirik (saya, aku, kami) dengan Sang Khalik atau Tuhannya “di atas langit.” Monolog ini bersifat vertikal, antara si aku lirik dengan Sang Khlaik di langit. Tanpa ada dialog. Juga sebaliknya, antara Sang Khalik di langit dengan si aku lirik di bumi. Tanpa ada dialog. 

Sebagai seorang manusia, si aku lirik yang mempunyai roh dan daging, berhak mengagumi, memesonai, jatuh cinta, bahkan bersalah dan keliru. Itu diakui penyair. Walaupun demikian, dia menyadari pilihan hidupnya yang harus setia sampai akhir hayat. Dia tidak terhanyut dalam godaan manusiawi. Pilihan hidupnya membiara sampai mati, adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Tentang hal tersebut, penyair Fritz Meko yang ditahbiskan menjadi Pastor Katolik pada 29 September 1992 ini, melukiskannya dalam puisi berjudul “Perempuan di Lanting Mandi,” yang dikutip berikut ini.

Perempuan di Lanting Mandi
    
Pada lanting ulin itu engkau melepas segalanya, polos 
Mengguyur diri dengan sejuknya air sungai Rungan 
Langsat kulitmu membelalak sepasang mata
Sintal tubuhmu meliuk menikam imajinasiku. 

Si manis sungai Rungan
Mimpi apa semalam hingga menjumpaimu
di siang bolong ini?
Apakah engkau pun bermimpi tentang papasan indah ini?
Engkau menatapku dengan sepotong tanya 
Dan aku mencuri tatapanmu dengan selembar bayangan

Sementara klotok melaju di bibir gelombang sungai 
Aku memotret lekuk tubuhmu dengan angan memejam
Engkau menghadirkan sejuta mimpi malam tak terjamah
Rinduku tertambat pada senyumanmu
Hasratku bergantung pada tajamnya tatapanmu
 
Aku terus melaju 
Klotok yang menatang tubuhku seakan enggan ke hulu
Tiba-tiba pandanganku menggapai sepasang tupai
Sedang bergulat mesra di dahan ulin
Aku menggisar rosario menghalau kelamnya imajinasiku
 
Klotok terus melaju dan terlunta dalam riak gelombang 
Engkau semakin sayup dalam pandanganku
Engkau menjadi mimpi sejenak dalam pejaman mataku
Kapan lagi aku memapasi bayanganmu di lanting ini? 

* Tumbang Jutuh – KALTENG, 12 Juni 1998  
* Lanting – Tempat tambatan perahu 
* Ulin – Kayu besi 
* Klotok – Perahu  dari kayu
* Rosario – Tasbih orang Katolik

Penyair Fritz Meko cukup berhasil dalam melukiskan beragam keindahan alam dan lingkungan hidup bersama marga satwa yang memperkaya hidup dan spiritualitasnya. Marilah kita menyaksikan panorama  “Beranjaknya Senja” yang dilukiskan penyair Fritz Meko, berikut.

Beranjaknya Senja

Kupandang seekor bulbul terbang bertalu,
mengiringi senja beranjak membawa setumpuk kisah


Kucoba urai rasaku yang biru,  
bertanya tentang makna peristiwa ini
Tersimpul pesan dari langit

tentang sederet kisah sarat makna.

 Aku menatap senja beranjak pergi
dalam derap langkah sekawanan domba
Senja pergi meninggalkan rasa bimbang
tetapi harapan menjadi naungan untuk berteduh.
 
Ketika senja terkulum mega kelam
Malam membual dengan tawaran sederet mimpi
Semua kenangan mampir di beranda hatiku

Menyapa lirih dan merayu manja
Aku tertegun dan merenung tentang diriku  

Terlilit dalam angan malam 
dengan buaian semilir sejuk di tubuhku.

Aku tahu, aku bukan burung malam  
dengan melodi merdu menyayat jiwa
Aku bukan anjing padang melolong memekik telinga 

dan membelah lengang malam.   
Aku hanya seorang pemimpi, berbaring dalam kesenyapan
menanti fajar pagi menggengam tawaran sederet peristiwa.
 
Ketika fajar membelah rahim kelam di ujung hari 
Aku bangun mengayunkan langkah 
dengan rasa syukur bergantung di dadaku
Akan kujumpai setumpuk kisah berderet,
pada tepi hari baru sambil mengayak yang baik dan jahat. 

 * Sligo – Ireland, 26 Mei 2004

Dalam hubungannya dengan Sang Khaliknya, si aku lirik di bumi menggambarkannya dalam puisi “Membilas Jiwa.” Sedangkan dalam hubungan si aku lirik dengan Sang Khlaiknya di langit, penyair menggambarkannya dalam puisi “Dari Celah Pohon.” Berikut dikutip kedua puisi yang menunjukkan hubungan vertikal tersbut.

Membilas Jiwa

Sepasang bola mata memandang ke palung jiwaku
Sosok-Nya adalah kemilau cahaya tak terpandang
Dia membisu tapi memegang timbangan di tangan-Nya
Aku tahu Ia sedang menakar laku hidupku.

Suci dan dosanya hidupku ada dalam tatapan mata-Nya
Aku insaf, tak mungkin aku mengelak dan menjauh
Dari timbangan suci di tangan-Nya. 
                                                                      
Aku membilas jiwaku dengan sesal dan tobat   
hingga kinantan dalam pandangan-Nya
Dia sungguh sejuk bagi kerontangnya jiwaku  
Dan aku kembali pada-Nya tanpa merasa terhina. 
* Pontianak, 30 April 2002

Dari Celah Pohon

Aku memandang-Mu melalui cela pepohonan di lembah ini  
Pada cela-cela pohon ada jeda panjang  
Dalam jeda ada ajakan untuk menangkap
semua yang luput dari nalar dan rasaku.

Engkau ada dalam jeda dan aku mencoba 
membentur  wahyu langit, 
masuk dalam denyut nadi-Mu yang ajaib
Aku gemetar ketika memandang wajah-Mu
Kemilau memesona memulasi jiwaku.

Engkau membuat aku jatuh cinta pada jeda ini,  
tapi bingung memilih arah mana harus kutuju
Sungguh, Engkau penuh misteri
Tetapi aku begitu betah dan nikmat di pelataran-Mu.

*  Claket – Jawa Timur, 10 Mei 2017

Dalam menyapa Sang Khaliknya di langit itu, si aku lirik menggunakan bentuk sapaan “Engkau” (e huruf besar) dan “engkau” (e huruf kecil). Itu sangat bergantung pada momen dan peristiwa yang tengah berlangsung. Dalam suasana resmi, si aku lirik menyapa Tuhannya dengan Engkau, namun dalam situasi yang akrab dianggapnya sebagai orang tua, sahabat, atau teman dekat, disapanya dengan engkau. Dan dalam Bagian II “Melihat Hidup dari Langit” buku ini, banyak sekali puisi yang menunjukkan hal tersebut. Berikut dikutip dua bait puisi yang menunjukkan penggunaan Engkau dan engkau kepada Sang Khaliknya di langit. Yang pertama, adalah bait pertama dalam puisi “Aku Menunggumu.” Si aku lirik menyapa Tuhannya dengan Engkau. Sedangkan yang kedua, adalah bait kedua dalam puisi “Engkau Tak Bisa Dijebak.” Si aku lirik menyapa Tuhannya dengan engkau. Mari kita cermati penggunaan Engkau dan engkau dalam dua bait puisi berikut ini. 
 
 Aku Menunggumu

Di gapura ini aku menunggu-Mu
Kukira Engkau masih menunda rinduku
Menjulang membukit
Ternyata Engkau datang pada waktunya.

Engkau Tak Bisa Dijebak

Kukira engkau akan menarik cinta-Mu
Dari denyut jantung dan desah napasku
Ternyata engkau membiarkan banyak orang mengasihiku
Kukira engkau akan melukaiku yang berulang kali
Berdosa dan mengkhianati cinta-Mu
Ternyata engkau melimbah noda hidupku
Dengan sesal dan tobat yang tersimpan di hatiku.

Dalam buku puisi Kasut Lusuh ini ada beberapa puisi yang merupakan persembahan kepada tokoh publik yang berpengaruh besar pada bidang pengabdiannya masing-masing, yang sudah meninggal dunia. Para tokoh publik itu, antara lain Mgr. Carlos Filipe Ximenes Bello, SDB, Prof. Jozef Glinka, SVD, Clemens Cletus dan Cunha, SVD, Thoby M. Kraeng, SVD, dan Gerson Poyk. Nama yang disebutkan terakhir, Gerson Poyk (1931-2017), adalah seorang sastrawan kaliber Indonesia kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT). Gerson Poyk adalah orang NTT pertama yang tampil di panggung sastra nasional Indonesia. Dia adalah Perintis Sastra NTT. Berikut penggambaran penyair Fritz Meko, SVD, terhadap tokoh yang sering dijuluki sebagai Pendongeng dari Timur ini, dalam puisinya yang berjudul “Jiwa Sastra Anak Negeri.”


 Jiwa Sastra Anak Negeri
Kepada: Gerson Poyk
 
Alisjahbana, katakan padaku di mana engkau berpijak? 
Chairil, katakan padaku di mana engkau melayan
Pramudya, katakan padaku di mana engkau bersembunyi?
Rendra, katakan padaku di mana engkau berteduh? 
Gerson, katakan padaku di savana mana engkau merangkak?
Linus Suryadi, katakan padaku di mana engkau mengejar kata? 

Tahukah kamu
Di tanah air telah lahir banyak penyair
Dari kandungan damba nilai
Mereka menulis elok dengan untaian kata bernas 
Menggugah rasa selaksa jelata
Di tanah air telah lahir banyak cerpenis, prosais dan novelis 
Dari kandungan yang menyulam sederet rasa 
Mereka merangkai kata dengan ragam rasa yang memesona.

Sungguh, 
Kamu lahir lagi
Kamu hidup lagi
Kamu bangkit lagi
Mereka telah menunggang punggung inspirasimu
Imajinasimu menikam bumi dalam rentang usia kami
Langkahmu pendek merangkul jiwa anak bangsa
Penamu tajam tertancap pada jiwa yang menggelora.
 
Apa katamu tentang kami?
Apa warna doamu bagi kami?
Wahyukan semuanya dalam mimpi kami
Dan kami akan tahu,
Siapa sesungguhnya pesonamu bagi kami.

* Surabaya, 4 April 2018
                                                 
***
Pada bagian akhir Prolog ini, sebagai pengamat sastra NTT, saya merasa perlu untuk menempatkan posisi buku antologi puisi Kasut Lusuh karya penyair Fritz Meko, SVD ini dalam konstelasi sastra NTT masa kini. Telah bertahun-tahun saya melakukan inventarisasi, dokumentasi, dan kajian terhadap sastra NTT. Sejak orang NTT pertama menulis puisi tahun 1955, dan sejak orang NTT pertama menerbitkan buku antologi puisi tahun 1976. Dengan terbitnya buku puisi Kasut Lusuh ini, maka Kasut Lusuh adalah buku antologi puisi yang ke-84 dalam sastra NTT. Dan Fritz Meko, SVD, adalah penyair (sastrawan) NTT. Sebelum buku Kasut Lusuh ini, sudah terbit 83 judul buku antologi puisi dalam sastra NTT, karya puluhan penyair (sastrawan)  NTT. Ini data terbaru sampai 18 Mei 2020 ini, pada saat rolog ini disusun.  

Sekadar untuk diketahui lagi oleh para pembaca budiman, sastra NTT adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). Sastra NTT juga diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal NTT. Warna daerah atau warna lokal NTT itu terlihat pada latar atau seting, gaya pengucapan, aspirasi, amanat, tema, dan karakter kedaerahan yang khas NTT yang terkandung dalam karya sastra. Sastra NTT adalah bagian dari sastra nasional Indonesia. Sastra NTT dimulai sejak orang NTT pertama menulis karya sastra dan dipublikasi di tingkat nasional lewat media cetak nasional.

Berdasarkan hasil pelacakan saya terhadap jejak sejarah sastra NTT, ditemukan orang NTT pertama yang menulis karya sastra. Dia adalah Gerson Poyk (1931-2017). Karya sastra awal Gerson Poyk berupa puisi dimuat dalam majalah mingguan Mimbar Indonesia (MI). Adapun judul-judul puisi awal Gerson Poyk adalah (1) “Anak Karang” dalam MI Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19; (2) “Ulang Tahun” dalam MI Nomor 35, Tahun IX, 27 Agustus 1955, halaman 18; (3) “Sebelah Rumah” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18; (4) “Larut” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18. Konfirmasi terakhir atas data di atas saya lakukan pada 8 Juni 2018 pada waktu melakukan studi pustaka pada Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (PDS H.B. Jassin) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Setelah Gerson Poyk merintisnya, baru kemudian muncul penyair NTT lain, seperti Dami N. Toda, Umbu Landu Paranggi, dan John Dami Mukese.

Meskipun Gerson Poyk merintis penulisan puisi tahun 1955, namun yang merintis penerbitan buku puisi dalam sastra NTT adalah Dami N. Toda. Pada 1976, Dami N. Toda bersama beberapa penyair muda Indonesia lain, menerbitkan buku antologi puisi bersama, berjudul Penyair Muda di Depan Forum (1976), diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Inventarisasi dan dokumentasi buku-buku puisi dalam sastra NTT, saya lakukan mulai 1976 itu. Hasil inventarisasi dan dokumentasi saya terhadap buku-buku puisi dalam sastra NTT, sejak 1976 sampai 18 Mei 2020, saat Prolog ini disusun, sudah terbit 83 judul. Dengan terbitnya Kasut Lusuh, maka buku puisi dalam sastra NTT berjumlah 84 
judul karya puluhan penyair NTT. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
 
(Prolog dalam buku Kasut Lusuh: Kumpulan Puisi karya Fritz Meko, SVD, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2020, halaman 13-39).

 


Post a Comment for "Kasut Lusuh Pastor Fritz Meko, SVD"