Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra Indonesia di NTT (Juni 1955 -- September 2020)

 

Oleh Yohanes Sehandi
Peneliti dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

 

Catatan: 
Makalah ini dipresentasikan pada Forum Webinar (Diskuisi Daring) Nasional diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbud RI,  pada Senin, 28 September 2020, pukul 13.00-15.00 WIB, bertema: “Regionalistas Sastra: Perkembangan Sastra di Indonesia Timur dan Indonesia Barat,” dengan dua narasumber, yakni Drs. Yohanes Sehandi,  M.Si. dari Universitas Flores, Ende, dan Sudarmoko, M.A. dari Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat.

Pendahuluan

Sejak kapan sastra Indonesia ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? Ini pertanyaan awal untuk bisa membuka tabir sejarah sastra Indonesia di Provinsi NTT. Usaha menelusuri sejarah sastra Indonesia di Provinsi NTT yang kini dikenal sebagai “sastra NTT,” tidak gampang. Ini merupakan kerja idealisme sekaligus tanggung jawab terhadap sejarah. Pertanyaan di atas muncul dalam hati saya sejak tahun 2010 pada waktu saya kembali ke habitat menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores (Uniflor) Ende. Saya kembali sebagai orang kampus setelah bergerak di bidang politik praktis jadi anggota DPRD Provinsi NTT Fraksi PDI Perjuangan dua periode (1999-2009).    

Menjawab pertanyaan awal di atas ternyata tidak gampang. Kendala utama adalah tidak tersedianya buku-buku atau dokumen-dokumen tertulis sebagai referensi, dari siapapun dan dari manapun. Di Provinsi NTT sendiri sulit ditemukan bahan-bahan tertulis. Namun, saya tetap melangkah dengan dokumen-dokumen terjangkau. Semuanya dilakukan secara mandiri tanpa mendapat bantuan dana dari manapun, dengan membangun komunikasi dengan para penulis NTT. Jawaban atas pertanyaan awal di atas tentu saja beragam bagi banyak orang bergantung pada cara pandang masing-masing. Jangankan sastra Indonesia di NTT, pertanyaan sejak kapan sastra Indonesia lahir saja, jawabannya sampai kini juga masih beragam dan tidak selesai-selesai (bdk. Ajib Rosidi dalam buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?, 1964). Meskipun tidak gampang, pertanyaan awal di atas harus dijawab untuk mendapat kepastian sejarah perjalanan sastra Indonesia di NTT, minimal sebagai jalan setapak untuk mendapatkan kepastian sejarah. Kata orang, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi yang melakukannya.

Setelah mempelajari berbagai dokumen yang terjangkau akhirnya saya memutuskan titik awal sebagai pangkal tolak sejarah sastra Indonesia di NTT. Adapun titik awal itu dimulai sejak orang NTT menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan secara nasional. Maka, yang perlu dilacak adalah siapa orang NTT pertama itu dan apa nama media cetak yang memuat karya sastra orang NTT tersebut. Karena pada masa awal itu di NTT tidak ada media cetak, atau kalaupun ada, namun tidak memiliki rubrik sastra dan budaya yang memuat berbagai genre karya sastra. Maka, yang harus dilacak adalah berbagai media cetak yang terbit di luar NTT atau yang terbit di Jawa khususnya Jakarta.

Sejarah Awal Sastra Indonesia di NTT

Setelah melacak berbagai media massa cetak ditambah dengan berbagai informasi yang terjangkau, baik di NTT maupun di luar NTT, akhirnya saya menemukan orang NTT yang pertama kali menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan karyanya dipublikasikan secara nasional. Dia adalah Gerson Poyk (1931-2017). Gerson Poyk menulis dan mempublikasikan karya-karya sastra awalnya lewat berbagai media massa cetak bertaraf nasional sejak tahun 1955.

Dalam sejumlah biografi (riwayat hidup) Gerson Poyk yang tertera pada buku-buku karyanya, terungkap bahwa beliau mulai  menulis karya sastra sebelum menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (Maluku Utara) tahun 1956-1958 dan di Bima (Nusa Tenggara Barat) tahun 1958-1963. Disebutksan ada sejumlah media cetak yang memuat karya-karya sastranya, antara lain majalah mingguan Mimbar Indonesia (1947-1966) majalah bulanan Sastra (1961-1964, 1967-1969), dan majalah bulanan Tjerita. Hasil pelacakan saya, ditemukan karya Gerson Poyk dalam majalah Mimbar Indonesia dan majalah Sastra, tidak ditemukan dalam majalah Tjerita.

Dalam majalah mingguan Mimbar Indonesia (MI) yang terbit 1947-1966 (hidup selama 19 tahun) yang redaktur sastranya H.B. Jassin dan A.D. Donggo, ditemukan karya-karya awal Gerson Poyk berupa puisi. Adapun puisi-puisi awal Gerson Poyk berjudul (1) “Anak Karang” dalam MI Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19; (2) “Ulang Tahun” dalam MI Nomor 35, Tahun IX, 27 Agustus 1955, halaman 18; (3) “Sebelah Rumah” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18; (4) “Larut” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18, (5) “Tentang Niskala Aermata dan Malaria” dalam MI Nomor 28, Juli 1960.

Dengan demikian, pertanyaan awal di atas, kapan sastra Indonesia di Provinsi NTT dimulai dan siapa perintisnya, terjawab sudah. Sastra Indonesia di NTT dimulai sejak tahun 1955, sejak orang NTT pertama Gerson Poyk menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan lewat media massa tingkat nasional. Adapun karya sastra pertama Gerson Poyk berupa puisi, berjudul “Anak Karang” dimua dalam majalah mingguan Mimbar Indonesia (MI) Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19. Adapun perintisnya adalah Gerson Poyk. Dialah perintis sastra NTT. Nama-nama orang NTT lain baru muncul kemudian setelah Gerson Poyk memulainya tahun 1955 itu.



Gerson Poyk (1931-2017)

Setelah menulis puisi, Gerson Poyk menulis cerita pendek (cerpen). Cerpen-cerpen awal Gerson Poyk ditemukan dalam majalah Mimbar Indonesia, yakni (1) “Pertjakapan Selat” dalam MI Nomor 38-39, Tahun XIII, 10 Oktober 1959; (2) “Dalam Kecepatan 40” dalam MI Nomor 21, 21 Mei 1960. Cerpen awal Gerson Poyk yang lain ditemukan dalam majalah bulanan Sastra edisi Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961 berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” yang mendapat hadiah majalah Sastra sebagai cerpen terbaik pada 1961 itu. Majalah Sastra adalah majalah bulanan yang khusus menerbitkan karya-karya sastra, terbit pertama kali tahun 1961, dipimpin H.B. Jassin, M. Balfas, dan D.S. Moeljanto.

Gerpen Gerson berikutnya berjudul “Oleng-Kemoleng” dimuat dalam majalah bulanan sastra Horison tahun 1968 dan mendapat pujian dari redaksi majalah sastra Horison pada tahun  itu. Majalah sastra Horison (edisi bulanan 1966-2016, sedangkan mulai 2017-sekarang edisi tiga bulanan). Majalah sastra Horison (edisi bulanan) redakturnya, antara lain H.B. Jassin, Arief Budiman, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Goenawan Mohammad, dan Sutardji Calzoum Bachri.

Setelah menulis puisi dan cerpen, Gerson Poyk merambah menulis novel. Pada tahun 1964 Gerson Poyk menerbitkan buku sastra untuk pertama kalinya berupa novel berjudul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta,1964, 1968). Novel Gerson yang kedua berjudul Sang Guru terbit 1971 oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. Novel yang ketiga berjudul Cumbuan Sabana terbit 1979 oleh Penerbit Nusa Indah, Ende. Dengan demikian, di samping sebagai perintis sastra NTT, Gerson Poyk juga sebagai perintis penulisan puisi, penulisan cerpen, dan penulisan novel dalam sastra NTT.

Pada tahun 1975 Gerson Poyk baru menerbitkan buku kumpulan cerpennya. Tiga buku antologi cerpen Gerson Poyk diterbitkan serentak, yakni (1) Nostalgia Nusatenggara (1975, 1977); (2) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk (1975, 1977); dan (3) Matias Akankari (1975). Ketiga buku antologi cerpen ini diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, penerbit yang ikut berjasa dalam mengangkat karier Gerson Poyk di bidang sastra.

Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT, meninggal dunia pada 24 Februari 2017 di Depok, Jawa Barat, dan dimakamkan di Kota Kupang dalam usia 86 tahun. Sejak tahun 1955 sampai tahun 2017 (selama 62 tahun) terus-menerus, Gerson Poyk berkarya sastra, yang terlacak sebanyak 30-an judul buku sastra. Karya-karyanya mengangkat citra Provinsi NTT dalam panggung sastra Indonesia modern. Gerson Poyk mengabdikan seluruh hidupnya dalam dunia tulis-menulis karya sastra, terutama penulisan novel dan cerita pendek, di samping menulis puisi, naskah drama, dan jurnalistik. Banyak pembaca karya sastra Indonesia modern dengan sangat mudah menghubungkan karya-karya sastra Gerson Poyk dengan kondisi alam lingkungan dan sosial budaya Provinsi NTT. Gerson Poyk juga sering dijuluki sebagai pendongeng dari Timur. Atas jasa-jasanya itu, pada hari penguburannya di Kupang pada 27 Februari 2017, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mengubah nama Taman Budaya NTT yang sudah ada di Kota Kupang menjadi Taman Budaya Gerson Poyk. Ini salah satu bentuk penghargaan kepada Perintis Sastra NTT ini.

Sastrawan NTT berikutnya yang mengikuti jejak Gerson Poyk menulis puisi, cerpen, dan novel adalah Dami N. Toda, Ris Therik, Virga Belan, A. G. Hadzarmawit Netti, Umbu Landu Paranggi, Julius R. Sijaranamual, Willem B. Berybe, John Dami Mukese, Leo Kleden, Usman D. Ganggang, Agust Dapa Loka, Willy A. Hangguman, Bernard Tukan, Maria Matildis Banda, Yoss Gerard Lema, Fanny J. Poyk, Marsel Robot, Vincentcius J. Boekan, Yoseph Yapi Taum, Petrus Kembo, Buang Sine, Imelda Oliva Wisang (Sr. Wilda), Mezra E. Pellondou, Sipri Senda, Alexander Aur, Robert Fahik, Bara Pattyradja, Pion Ratuloly, Christian Dicky Senda, Unu Ruben Paineon, Christo Ngasi, Mario F. Lawi, Erlyn Lasar, Felix K. Nesi, dan lain-lain.

Apa dan siapa sastrawan NTT itu? Sastrawan NTT adalah penulis karya sastra kreatif dalam bahasa Indonesia yang berasal dari NTT atau keturunan orang NTT. Berasal dari NTT maksudnya, sastrawan itu bisa lahir dan tinggal di NTT, bisa pula lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT. Sastrawan yang lahir dan tinggal di NTT, misalnya Mezra E. Pellondou, lahir di Kupang (NTT) pada 21 Oktober 1969 dan tinggal di NTT sampai dengan saat ini. Sastrawan yang lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT, misalnya Dami N. Toda, lahir di Cewang, Pongkor, Manggarai (NTT) pada 29 September 1942, tetapi tinggal di Yogyakarta, kemudian Jakarta, kemudian di Hamburg (Jerman) sampai ia meninggal dunia pada 10 November 2006. Baik Mezra E. Pellondou maupun Dami N. Toda adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional keduanya masuk dalam jajaran sastrawan Indonesia.

Sedangkan sastrawan NTT yang merupakan keturunan orang NTT maksudnya, sastrawan itu meskipun lahir di luar NTT, tetapi dari orang tua keturunan (berdarah) NTT. Misalnya, sastrawan Fanny J. Poyk, lahir di Bima (NTB) pada 18 November 1960 dari orang tua (berdarah) NTT, Gerson Poyk. Gerson Poyk adalah seorang sastrawan, lahir di Namodale, Rote (NTT) pada 16 Juni 1931, pernah tinggal di Bima, Maluku, Bali, Surabaya, dan Jakarta. Berdasarkan kriteria keturunan orang NTT di atas, Fanny J. Poyk yang kini tinggal di Jakarta adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional Fanny J. Poyk juga adalah sastrawan Indonesia.

Kebangkitan Sastra NTT 2011

Dalam penelusuran saya, sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 2010, pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT biasa-biasa saja. Nama-nama sastrawan yang disebut dan dikenal adalah nama-nama lama yang sudah mapan di bidang sastra pada level nasional, seperti Gerson Poyk, Ris Therik, Virga Bela, Julius Sijaranamual, Umbu Landu Paranggi, Dami N. Toda, Ignas Kleden, dan lain-lain, sebagian besar tinggal di Jakarta.

Saya mencatat, awal kebangkitan sastra Indonesia di Provinsi NTT terhitung sejak tahun 2011. Ada sejumlah indikator yang menunjukkan tahun 2011 sebagai tahun kebangkitan sastra NTT. Pertama, jumlah penerbitan buku sastra NTT tahun 2011 jauh melampaui jumlah penerbitan buku sastra tahun-tahun sebelumnya, bahkan setelah tahun 1955. Kedua, jumlah artikel telaah sastra (esai, opini, dan kritik sastra) di media cetak NTT tahun 2011 jauh melampaui jumlah artikel telaah sastra tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, jumlah cerpen dan puisi yang dimuat dalam sejumlah media cetak (harian) yang terbit di NTT terutama edisi hari Minggu jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Adapun sejumlah media cetak di NTT yang berjasa besar ikut mendorong kebangkitan sastra NTT yang kemudian menguat pada tahun 2011 adalah Pos Kupang (Kelompok Kompas-Gramedia), Timor Express (Grup Jawa Pos), Victory News  (Media Grup), dan  Flores Pos (milik SVD) yang terbit di Ende, Flores.

Kebangkitan sastra NTT juga ditandai dengan bergiatnya sejumlah komunitas sastra di NTT, antara lain sebagai berikut. Pertama, Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang yang menerbitkan Jurnal Sastra Santarang; Kedua, Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang yang menerbitkan Jurnal Filokalia; Ketiga, Komunitas KAHE di Maumere yang menerbitkan Jurnal Sastra Dala ‘Ela; Keempat, Komunitas Uma Kreatif Inspirasi Mezra (UKIM) di Kupang; Kelima, Komunitas Puisi Jelata di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Flores, Ende; Keenam, Komunitas Sastra Sandal Jepit di STFK Ledalero, Maumere; Ketujuh, Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK) NTT, sebuah komunitas sastra orang-orang NTT yang bergabung dalam grup media sosial WhatsApp (WA) yang menerbitkan antologi puisi, yakni Bulan Peredam Prahara (2018) dan Kepada Pedang dan Nyala Api (2020), dan antologi cerpen, yakni Perempuan dengan Tiga Senyuman (2018) dan Narasi Rindu (2019).  Masih banyak komunitas lain yang tersebar di Flores, Timor, dan Sumba.

Komunitas intelektual, seperti Forum Academia NTT (FAN) dan Komunitas Blogger Flobamora, juga memberikan kontribusi besar dalam partumbuhan dan perkembangan sastra NTT. Sastra NTT juga sudah memasuki kampus-kampus perguruan tinggi (PT) di NTT, antara lain di Undana Kupang, Unika Widya Mandira, Unkris Artha Wacara, Seminari Tinggi Santu Mikhael Kupang, Seminari Tinggi Ledalero, Seminari Tinggi Ritapiret, STFK Ledalero di Maumere, dan Universitas Flores (Uniflor) di Ende. Hal ini terpublikasikan lewat sejumlah media massa yang terbit di NTT.

Temu 1 Sastrawan NTT 2013

 

Kebangkitan sastra NTT tahun 2011 terus berlanjut pada tahun 2012 dan 2013 bahkan sampai saat ini dengan tiga indikator yang sama sebagaimana telah disebutkan di atas. Pada tahun 2013 jatidiri sastra dan sastrawan NTT terbentuk dan terkonsolidasi. Terkonsolidasinya sastra dan sastrawan NTT ini berkat terobosan yang dilakukan Kantor Bahasa Provinsi NTT (instansi vertikal Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) pimpinan M. Luthfi Baihaqi dengan melakukan berbagai kegiatan dan perlombaan di bidang bahasa dan sastra Indonesia untuk masyarakat NTT, termasuk di sekolah-sekolah, mulai dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, sampai PT.

Sebagian Peserta Temu 1 Sastrawan NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Kupang

 

Terobosan Kantor Bahasa NTT yang patut dicatat sejarah sastra Indonesia di NTT adalah diselenggarakannya Temu 1 Sastrawan NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Taman Budaya NTT (sejak 27 Februari 2017 nama taman ini menjadi Taman Budaya Gerson Poyk) di Kupang. Lebih dari 40 sastrawan NTT yang mengikuti pertemuan. Inilah untuk pertama kalinya sebagian sastrawan NTT bertemu, berdiskusi, membagi pengalaman, saling meneguhkan, dan menyatukan tekad bersama membangun sastra NTT ke depan yang lebih baik.

 

Ada dua judul buku yang diluncurkan pada Temu 1 Sastrawan NTT ini, yakni (1) Senja di Kota Kupang: Antologi Puisi Sastrawan NTT (2013) tebal buku 219 halaman, menghimpun 104 judul puisi karya 33 penyair NTT, (2) Kematian Sasando: Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT (2013) tebal buku 230 halaman, memuat 31 cerpen karya 31 cerpenis NTT. Sebagian besar penulis kedua buku tersebut adalah peserta Temu 1 Sastrawan NTT. Ada sejumlah kesepakatan dan rekomendasi yang dihasilkan, termasuk kesepakatan untuk menyelenggarakan temu sastrawan NTT secara berkala sekali dalam dua tahun, tahun 2015 berlangsung di Kota Ende untuk Temu 2 Sastrawan NTT, dan tahun 2017 direncanakan berlangsung di Sumba, dengan penyelenggara Kantor Bahasa NTT.

  

Temu 2 Sastrawan NTT 2015

Setelah sukses menyelenggarakan Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang pada 30-31 Agustus 2013, Kantor Bahasa Provinsi NTT di bawah pimpinan M. Luthfi Baihaqi menyelenggarakan Temu 2 Sastrawan NTT yang berlangsung di Universitas Flores (Uniflor), Ende. Kalau pada Temu 1 sekitar 40 orang sastrawan NTT yang hadir, pada Temu 2 ini lebih dari 60 sastrawan NTT yang hadir.

Temu 2 Sastrawan NTT di Uniflor merupakan tindak lanjut rekomendasi Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang. Kantor Bahasa Provinsi NTT menjadi penyelenggara bersama Universitas Flores. Temu 2 Sastrawan NTT tahun 2015 disatukan dengan festival sastra, sehingga nama besar hajatan ini adalah “Festival Sastra dan Temu 2 Sastrawan NTT.” Dilaksanakan selama satu minggu, 5-10 Oktober 2015. Ada empat jenis kegiatan, yakni perlombaan sastra yang melibatkan 200-an siswa dan mahasiswa, bengkel (pelatihan) penulisan karya sastra (cerpen, novel sejarah, kritik sastra) yang melibatkan 300-an peserta, temu 2 sastrawan NTT, dan safari sastra para sastrawan NTT.        



Sebagian Peserta Temu 2 Sastrawan NTT pada 8-10 Oktober 2015 di Ende

Tujuh mata perlombaan sastra berupa (1) lomba membaca puisi bagi siswa SD/MI, (2) lomba menulis opini/esai sastra bagi siswa SMA/MA/SMK, (3) lomba bercerita cerita rakyat bagi siswa SMP/MTs, (4) lomba mendongeng bagi guru TK/PAUD/SD/MI, (5) lomba musikalisasi puisi bagi siswa SMP/MTs dan siswa SMA/MA/SMK, (6) lomba majalah dinding bagi siswa SMA/MA/SMK, dan (7) lomba menulis kritik cerpen bagi mahasiswa. Para pemenang tujuh mata lomba ini akan mendapatkan hadiah uang tunai, tropi, dan setifikat dari Kantor Bahasa Provinsi NTTyang nilainya sekitar Rp 50 juta.

Kegiatan pelatihan (bengkel) penulisan sastra meliputi penulisan cerita pendek (bersama Gerson Poyk dan Fanny J. Poyk), penulisan kritik sastra (A.S. Laksana dan Yoseph Yapi Taum), dan penulisan novel sejarah (Tasaro GK dan Seno Gumira Adjidarma). Pada malam hari diisi dengan diskusi sastra dan peluncuran buku sastra.

Ada dua judul buku yang diluncurkan, yakni (1) Nyanyian Sasando: Antologi Puisi Sastrawan NTT (2015) tebal buku 207 halaman, memuat 153 judul puisi karya 32 penyair NTT, (2) Cerita dari Selat Gonsalu: Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT (2015) tebal buku 327 halaman, memuat 45 cerpen dari 27 cerpenis NTT. Sebagian besar penulis kedua buku antologi tersebut adalah peserta Temu 2 Sastrawan NTT. Diluncurkan pula buku Yohanes Sehandi berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015).

 

Temu 2 Sastrawan NTT itu sendiri dibuka resmi oleh Wakil Bupati Ende, Drs. Djafar H. Achmad, M.M. mewakili Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Wakil Bupati Ende Djafar H. Acmad membacakan sambutan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Sekitar 500 orang yang hadir dalam acara pembukaan yang berlangsung di Auditorium H.J. Gadi Djou, Uniflor, Ende.

Para narasumber pada Temu 2 Sastrawan NTT ini adalah Mahsun (Kepala Badan Bahasa Kemendikbud RI), Stephanus Djawanai, (Rektor Uniflor), Yoseph Yapi Taum (kritikus/pakar sastra dari Universitas Sanata Dharma), Cecep Samsul Hari (pakar sastra digital), Hermin Y. Kleden (redaktur budaya Tempo Media Grup), dan Narudin Pituin (sastrawan dan kritikus sastra). Hari terakhir Sabtu safari sastra para sastrawan di Danau Tiga Warna Kelimutu, Situs Bung Karno, dan Taman Renungan Bung Karno di Kota Ende. Para sastrawan NTT akan menulis tentang kekayaan alam, lingkungan, dan keunikan budaya Kabupaten Ende.

Hari Sastra NTT 16 Juni

 

Salah satu keputusan Temu 2 Sastrawan NTT yang berlangsung di Uniflor Ende pada 8-10 Oktober 2015 menetapkan tanggal 16 Juni sebagai Hari Sastra NTT. Pada waktu merumuskan keputusan dan rekomendasi Hari Sastra NTT itu, tim perumus mengacu pada tanggal lahir Gerson Poyk, 16 Juni. Ini terkandung maksud sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat kepada Gerson Poyk sebagai perintis sastra NTT, yakni orang NTT pertama yang menulis dan memublikasikan karya sastra secara Nasional, terhitung sejak 1955.

 

Keputusan dan rekomendasi penetapan Hari Sastra NTT 16 Juni itu ditandatangani sepuluh orang tim perumus mewakili 60-an sastrawan NTT yang hadir waktu itu. Ke-10 orang penandatangan Keputusan dan Rekomenadi Temu 2 Sastrawan NTT adalah (1) Dr. Yoseph Yapi Taum, (2) Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., (3) Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum., (4) Drs. Yohanes Sehandi, M.Si., (5) Dra. M.M. Bali Larasati, M.Hum., (6) Mario F. Lawi, S. IKom., (7) Christianto Senda, (8) A.N. Wibisana, (9) Usman D. Ganggang, dan (10) Simon J.B. Sine.

 

Sebelumnya, pada Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang pada 30-31 Agustus 2013, ada usulan agar Provinsi NTT memiliki hari sastra sendiri sebagai bukti eksistensi kehidupan sastra NTT sebagai warga sastra Indonesia. Sempat terjadi perdebatan. Pada waktu itu belum disepakati karena masih perlu waktu lama untuk mengkaji secara lebih mendalam urgensi Hari Sastra NTT. Setelah dikaji selama dua tahun, maka pada Temu 2 Sastrawan NTT di Ende 2015 ditetapkan Hari Sastra NTT. Maka jadilah 16 Juni setiap tahun sebagai Hari Sastra NTT.

Apakah penting kita memiliki dan merayakan Hari Sastra NTT dan memperingatinya setiap tahun? Jawabannya, penting. Pertama, sebagai kesempatan untuk menanamkan rasa cinta dan bangga kepada warga masyarakat NTT bahwa kita memiliki kekayaan kultural di bidang sastra dan budaya yang tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia. Kedua, sebagai kesempatan untuk menanamkan kesadaran kepada warga masyarakat NTT tentang pentingnya budaya literasi, budaya membaca dan menulis, sebagai ciri peradaban modern dan pascamodern, sebagai syarat untuk mengejar kemajuan dan meninggalkan ketertinggalan. Ketiga, sebagai kesempatan untuk memasyarakatkan karya para sastrawan NTT ke berbagai lembaga pendidikan di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, dan PT. Keempat, sebagai kesempatan bagi pemerintah daerah di NTT, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di NTT, untuk menjadikan karya para sastrawan NTT sebagai sarana diplomasi budaya NTT di tingkat nasional dan internasional.

Di samping memiliki Hari Sastra NTT, sebelumnya kita memiliki Hari Sastra Indonesia yang diperingati pada 3 Juli setiap tahun. Hari Sastra Indonesia 3 Juli ditetapkan pada 2012 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Hari Sastra Indonesia 3 Juli mengacu pada tanggal lahir sastrawan Indonesia Abdoel Moeis yang lahir pada 3 Juli 1883 di Bukit Tinggi, meninggal dunia pada 17 Juni 1959 di Bandung. Karya sastra Abdoel Moeis yang cukup terkenal adalah Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1931), Pangeran Kornel (1931), Surapati (1950), Hendak Berbakti (1951), dan  Robert Anak Surapati (1953). Itu Hari Sastra Indonesia di tingkat Nasional.

Penyair NTT dalam Buku Apa & Siapa Penyair Indonesia                                             

Buah dari pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT sejak awal mula tahun 1955 sampai dengan sekarang ini, sebanyak 25 orang penyair NTT yang masuk dalam buku babon Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017, 2018) yang diterbitkan Penerbit Yayasan Hari Puisi Indonesia, Jakarta. Editor buku tebal ini adalah Maman S. Mahayana, dan Tim Kurator adalah Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Rida K. Liamsi, Ahmadun Y. Herfanda, dan Hasan Aspahani. Adapun kurator dan kontributor untuk para penyair di Provinsi NTT adalah Yohanes Sehandi dan Julia Daniel Kotan.

Ke-25 penyair NTT yang masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia itu (sesuai abjad) adalah Agust Dapa Loka, Alexander Aur, Amanche Franck Oe Ninu, Bara Pattyradja, Bernard Tukan, Christian Dicky Senda, Dami N. Toda, Erich Langobelen, Fanny J. Poyk, Frid da Costa, Gerson Poyk, Jefta Atapeni, John Dami Mukese, Kristopel Bili, Mario F. Lawi, Marsel Robot, Mezra E. Pellondou, Paulus Heri Hala, Santisima Gama, Suster Wilda (Imelda Oliva Wisang), Umbu Landu Paranggi, Usman D. Ganggang, Willy A. Hangguman, Yoseph Yapi Taum, dan Yoss Gerard Lema.

Sumbangan penting sastra dan sastrawan NTT bagi perkembangan sastra Indonesia adalah sastra NTT menampilkan “warna lokal” atau daerah NTT dalam konstelasi sastra nasional Indonesia. Warna lokal atau warna daerah NTT itu tercermin dalam latar atau seting daerah/masyarakat NTT dalam cerita, tema khas masyarakat dan daerah NTT yang agraris dengan adat-istiadat yang beragam tersebar di empat pulau besar, yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora). Kalau sebelumnya, warna lokal atau warna daerah khas NTT ini hanya diusung oleh Gerson Poyk seorang diri, kini tema besar NTT itu diangkat oleh sebagian besar sastrawan NTT, baik yang senior maupun yang yunior. Ini tentu sumbangan besar sastra NTT untuk memperkaya tema dan kekhasan sastra nasional Indonesia.

Kinerja Sastrawan NTT Sampai September 2020

Seperti apa kinerja sastrawan NTT sampai dengan saat ini? Sebagai pengamat dan peneliti sastra NTT, saya coba memberi gambaran umum tentang kinerja sastrawan NTT sampai dengan saat ini. Adapun kinerja para sastrawan NTT dapat dilihat pada jumlah penerbitan buku sastra NTT, yang meliputi penerbitan buku puisi, cerpen, novel, dan drama, Berdasarkan hasil penelitian saya, secara keseluruhan, karya para sastrawan NTT yang diterbitkan dalam bentuk buku, sejak dimulainya tradisi penerbitan buku sastra NTT sampai dengan saat ini, sebanyak 253 judul buku sastra NTT. Adapun perinciannya, jumlah buku antologi puisi sebanyak 110 judul, buku antologi cerpen sebanyak 59 judul, buku novel sebanyak 79 judul, dan buku antologi drama sebanyak 5 judul.

Pertama, buku antologi puisi sebanyak 110 judul. Penerbitan buku antologi puisi dihitung sejak buku antologi puisi pertama kali diterbitkan sastrawan NTT. Meskipun Gerson Poyk perintis penulisan puisi, namun yang pertama kali menerbitkan buku antologi puisi dalam sastra NTT adalah Dami N. Toda. Pada tahun 1976, Dami N. Toda bersama beberapa penyair muda lain, menerbitkan buku antologi puisi berjudul Penyair Muda di Depan Forum (1976) diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Jakarta. Itulah buku puisi nomor 1, sedangkan buku puisi nomor ke-110 (terbaru) dalam sastra NTT berjudul Senandung Pengembara (2020) karya Ignas Kaha, diterbitkan Penerbit Carol Maumere (CPM), Maumere.

Kedua, buku antologi cerpen sebanyak 59 judul. Buku antologi cerpen dihitung sejak buku cerpen pertama kali diterbitkan sastrawan NTT. Sastrawan NTT yang pertama kali menerbitkan buku cerpen adalah Gerson Poyk. Pada tahun 1975, Gerson Poyk menerbitkan buku antologi cerpen pertama berjudul Nostalgia Nusa Tenggara (1975) diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende. Itulah buku cerpen nomor 1, sedangkan buku cerpen nomor ke-59 (terbaru) dalam sastra NTT berjudul Makhpela (2020) karya Mezra E. Pellondou diterbitkan GMBI Kerja Sama Kekata Publisher dan Balai Bahasa Jateng, Surakarta.

Ketiga, buku novel sebanyak 79 judul. Buku novel dihitung sejak buku novel pertama kali diterbitkan sastrawan NTT. Sastrawan NTT yang pertama kali menerbitkan buku novel adalah Gerson Poyk. Pada tahun 1964, Gerson Poyk menerbitkan buku novel pertama berjudul Hari-Hari Pertama (1964) diterbitkan Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta. Itulah buku novel nomor 1, sedangkan buku novel ke-79 (terbaru) dalam sastra NTT berjudul Wanita Bermata Gurita karya Jemmy Piran, diterbitkan Penerbit Laksana, Yogyakarta.  

Keempat, buku antologi drama sebanyak 5 judul. Buku antologi drama dihitung sejak buku drama pertama kali diterbitkan sastrawan NTT. Sastrawan NTT yang pertama kali menerbitkan buku drama adalah Marianus Mantovanny Tapung dan Rm. Beben Gaguk, Pr. dengan judul Pastoral Panggung: Bunga Rampai Drama Teater (2012) diterbitkan Penerbit Parrhesia Institut, Jakarta. Itulah buku drama nomor 1, sedangkan buku drama ke-5 (terbaru) dalam sastra NTT berjudul Di Batas Kesangsian & Petualangan di Lembah Digital (2020) karya Marselinus Aluken, diterbitkan Penerbit Gerbang Media, Yogyakarta. *

 
Yohanes Sehandi

Lahir di Dalong, Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 12 Juli 1960. Menyelesaikan Sarjana (S-1) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Semarang (1981-1985) dan Magister (S-2) bidang Sosiologi di UMM Malang (2001-2003). Kini menjadi dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores (Uniflor) Ende (2010-sekarang). Mengasuh mata kuliah Teori Sastra, Dasar-Dasar Menulis, Menulis Kritik dan Esai, Menulis Karya Ilmiah, dan Jurnalistik.

Pernah menjadi dosen Bahasa Indonesia di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga; Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero) Maumere, Flores; Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (Stipar) Ende, Flores. Pernah menjadi editor pada Penerbit Nusa Indah, Ende (1989-1999). Pernah menjadi editor pada Penerbit Nusa Indah Ende (1989-1999). Pernah menjadi anggota DPRD Provinsi NTT Fraksi PDI Perjuangan selama dua periode (1999-2009).

Menulis telaah sastra berupa esai, opini, dan kritik sastra di berbagai surat kabar dan majalah, baik tingkat regional NTT maupun tingkat nasional. Selama sepuluh tahun terakhir melakukan kajian khusus tentang sastra NTT, yakni sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT.

Telah menerbitkan sejumlah judul buku bidang sastra, antara lain (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012), (2) Mengenal 25 Teori Sastra (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014), (3) Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015), (4) Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2017).

Menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2 (Munsi 2) pada 18-20 Juli 2017 di Jakarta, menjadi peserta Kongres Bahasa Indonesia XI pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta, dan terpilih menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3) pada 2020.

Alamat kantor: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende. Email: yohanessehandi@gmail.com; Facebook: Yohanes Sehandi; WA/Hp: 081339004021; Blog: www.yohanessehandi.blogspot.com.

 

1 comment for "Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra Indonesia di NTT (Juni 1955 -- September 2020)"