Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mutiara di Tengah Sawah, Salah Satu Cerpen Awal Gerson Poyk

Salah satu cerita pendek (cerpen) awal Gerson Poyk yang impresif dan menunjukkan warna daerah atau warna lokal Provinsi NTT dalam sastra Indonesia adalah cerpen berjudul “Mutiara di Tengah Sawah.” Cerpen ini dimuat dalam majalah Sastra edisi Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961, dan mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik majalah Sastra tahun 1961 itu.
Gerson Poyk (1931-2017)

Cerpen ini bercerita tentang kehidupan seorang guru sekolah rakyat (SR) di desa terpencil. Ia hidup serba kekurangan dengan gaji kecil. Gaji diterima sekali dalam setahun, bahkan sekali dalam dua atau tiga tahun. Untuk menuju ke sekolah, Pak Guru melewati sungai. Kalau sedang banjir, dia menyeberang sungai dengan menjunjung tas dan celana panjang di atas kepala. Sesampai di seberang kali, celana panjang dipakai lagi, sedangkan celana dalam yang basah, dijemur di atas bebatuan, diambil sewaktu pulang sekolah. Dia menjalani kehidupannya bertahun-tahun, tanpa mengeluh, penuh pengabdian dan tawakal.

Pada suatu waktu, dalam keadaan uang habis, dia kaget, namun bergembira. Di dalam saku celananya ditemukan sejumlah uang. Uang itu dari mana? Karena tidak ditemukan asalnya, dia berpikir, mungkin uang itu miliknya sendiri, yang terselip dalam celana panjang. Dengan uang itu, dia membayar utang dan bon yang belum terbayar kepada warga desa.

Kehidupan serba kurang guru desa itu, membuat iba seorang gadis desa yang setiap hari bekerja menyiangi sawah orang tuanya di seberang kali tempat Pak Guru lewat. Sudah berbulan-bulan si gadis desa memperhatikan Pak Guru yang dengan setia ke sekolah memakai sandal kumal, dengan celana panjang yang itu-itu saja, juga sudah kumal. Kalau celananya basah sewaktu melewati sungai, Pak Guru menunggu celananya kering di atas bebatuan, baru lanjutkan perjalanan ke sekolah. Meskipun sang gadis lugu anak orang miskin, tergerak hatinya untuk membantu Pak Guru. Tetapi, bagaimana caranya? 

Suatu pagi, sewaktu Pak Guru melewati sawah seberang kali, dia melihat si gadis desa tengah bingung mencari-cari sesuatu di atas pematang sawah. Pak Guru bertanya, apa yang dicari, Non? Dijawab, dia sedang mencari uangnya yang hilang. Pak Guru ikut mencari uang itu, tetapi sia-sia. Pak Guru merasa kasihan kepada si gadis desa lugu yang kehilangan uang. Kasihan, bisiknya dalam hati. Karena belas kasihan, muncul ide, bahwa dialah yang mengambil uang si gadis, dan berencana besok dia minta maaf dan menyerahkan uang itu kepada si gadis. 
Keesokan paginya, sewaktu ke sekolah, dia mendapati sang gadis di sawahnya. Pak Guru minta maaf, bahwa dialah yang mengambil uang si gadis, dan mau mengembalikannya. Si gadis tidak mau menerima, karena, kata si gadis, bukan Pak Guru yang mengambil uangnya. Pak Guru bersikeras bahwa dialah yang mengambilnya. Si gadis juga bersikeras menolaknya.

Karena gagal meyakinkannya, Pak Guru sepulang sekolah pergi menemui orang tua si gadis untuk kembalikan uang si gadis, dan meminta maaf. Di hadapan orang tuanya, si gadis desa bersikeras menolak uang Pak Guru itu. Alasannya, dia tidak pernah kehilangan uang. Dia cari uang di pematang sawah hanya pura-pura. Giliran Pak Guru yang kaget setengah mati. Dia terenyuh, ternyata uang yang ditemukan dalam saku celananya adalah uang si gadis desa itu, yang karena belas kasihan, diam-diam selipkan uang dalam saku celana Pak Guru yang sedang dijemur di atas bebatuan pinggir sungai.

Kira-kira seperti itulah isi singkat cerpen “Mutiara di Tengah Sawah.” Pada waktu membaca pertama kali cerpen ini tahun 1983, ingatan saya pada waktu itu langsung ke kampung halaman di Manggarai, Flores. Pengabdian yang tulus seorang guru desa, menjadi cerita umum di kampung-kampung kita seluruh wilayah NTT tahun 1960-an. Gerson Poyk mengangkat cerita nyata seperti ini ke dalam karya sastranya. Kita dibawanya untuk menjelajahi wilayah NTT. Akar imajinasi Gerson Poyk pada masyarakat dan daerah NTT. Dia sering dijuluki sebagai Pendongeng dari Timur.

Cerita-cerita Gerson Poyk sederhana, unik, lucu, memikat, terkadang mengejutkan, namun tetap terselip nilai moral kemanusiaan universal. Konteks ceritanya bukan di kota, tetapi di daerah-daerah, bahkan desa-desa terpencil. Kalaupun latarnya kota, tetapi tokoh-tokoh yang terlibat dalam ceritanya mempunyai masa lalunya di desa atau di daerah, yang muncul di kota karena terhanyut urbanisasi.

Isi cerita Gerson tentang kampung, hutan, kebun, sawah, air pegunungan, padang ilalang, sabana, iris tuak, pikul kayu bakar, masak air nira, buat jerat babi hutan, buat gubuk pakai daun lontar, tentang kebun kopi, kerja sawah, dagang kerbau, main judi, pesta rakyat, buka kebun baru, dan berbagai cerita khas masyarakat desa, yang dengan gampang dihubungkan dengan sifat dan kebiasaan orang-orang NTT. Bagi saya,  membaca Gerson Poyk adalah membaca NTT. *
Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat majalah Warta Flobamora, Terbitan Surabaya, Edisi 80, Tahun ke-8, 2020, halaman 48)

 

 

Post a Comment for "Mutiara di Tengah Sawah, Salah Satu Cerpen Awal Gerson Poyk"