Sastra NTT Memperkaya Khazanah Sastra Indonesia
Sejak
otonomi daerah berlaku pada awal tahun 2000 dan kegiatan pemerintahan tidak
lagi sentralistik, kehidupan sosio-kultural di pelosok Tanah Air niscaya lebih
membumi dan kembali pada kultur kedaerahan. Problem lokalitas daerah menjadi
salah satu tema sentral karya-karya sastra Indonesia bagi sastrawan yang berasal
dari daerah atau yang tinggal di daerah. Sastra Indonesia yang kembali ke
kultur kedaerahan inilah yang disebut pengamat sastra Jakob Sumardjo (1982) sebagai
sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal. Menurutnya, semua karya sastra
warna daerah yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah karya sastra Indonesia.
Pengamat sastra yang lain, Mursal Esten (1988), menyebut sastra Indonesia yang kembali
ke kultur kedaerahan adalah sastra Indonesia jalur kedua. Menurutnya, sastra
Indonesia jenis ini tersebar di seluruh Nusantara, berpeluang besar untuk
berkembang di masa mendatang.
Salah
satu sastra Indonesia warna daerah atau sastra Indonesia jalur kedua adalah
sastra NTT. Sastra NTT (Nusa Tenggara Timur) yang dimaksudkan di sini adalah
sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT. Sastra NTT juga
bisa diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal NTT.
Sastra NTT ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sastra NTT bagian dari sastra Indonesia, memperkaya khazanah warna
daerah sastra Indonesia.
Kalau
ada sastra NTT, tentu ada sastrawan NTT. Siapa sastrawan NTT? Sastrawan NTT
adalah penulis karya sastra dalam bahasa Indonesia yang berasal dari NTT atau
keturunan orang NTT. Berasal dari NTT maksudnya, sastrawan itu bisa lahir dan
tinggal di NTT, misalnya Felix K. Nesi, bisa pula lahir di NTT, tetapi tinggal
di luar NTT, misalnya Yoseph Yapi Taum. Sedangkan sastrawan NTT yang merupakan
keturunan orang NTT maksudnya, sastrawan itu, meskipun lahir di luar NTT, tetapi dari orang
tua keturunan (berdarah) NTT. Misalnya, Fanny J. Poyk, lahir di Bima (NTB) dari
orang tua (berdarah) NTT, Gerson Poyk.
Gerson
Poyk (1931-2017) adalah perintis sastra
NTT yang menulis karya sastra di berbagai media
cetak nasional sejak 1955. Karya pertamanya berupa puisi berjudul “Anak
Karang” dimuat majalah Mimbar Indonesia
Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955,
halaman 19.
Dengan
terbentuknya Provinsi NTT 1958, maka adat-istiadat, kebiasaan, dan kultur dari
puluhan etnis yang ada di wilayah kepulauan NTT dipertemukan karena interaksi
dan interelasi pemerintahan dan masyarakatnya. Puluhan etnis yang mendiami tiga
wilayah pulau besar di NTT yang dikenal dengan nama Flobamora (Flores, Sumba,
Timor, dan Alor) makin lama makin mendekat, mencair, dan saling mempengaruhi, kemudian
membentuk karakter dan kultur khas masyarakat NTT. Sejumlah faktor yang
memudahkan bersatunya karakter dan kultur etnik di NTT, antara lain karena
kesamaan watak sebagai masyarakat kepulauan, geografi dan topografi yang kering
dan tandus, kesamaan adat-istiadat dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Karakter dan kultur kedaerahan NTT yang khas inilah yang tercermin dalam
karya-karya para sastrawan NTT.
Sumbangan penting sastra NTT bagi perkembangan sastra
Indonesia adalah memperkaya khazanah warna daerah sastra Indonesia. Warna daerah
NTT ini tercermin dalam latar atau seting daerah/masyarakat NTT dalam cerita,
tema khas masyarakat dan daerah NTT yang agraris dengan adat-istiadat yang
beragam di puluhan pulau yang tersebar dalam wilayah kepulauan NTT. Kalau
sebelumnya, warna daerah khas NTT ini hanya diusung Gerson Poyk dalam novel-novel
dan cerpen-cerpennya, kini diangkat oleh sebagian besar sastrawan NTT. Tentu
ini merupakan sumbangan besar sastra NTT untuk memperkaya khazanah sastra
Indonesia.
Era kebangkitan sastra dan sastrawan NTT terhitung sejak
tahun 2011. Sebelumnya, pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT, biasa-biasa
saja, bahkan monoton. Tentang era kebangkitan sastra NTT sejak 2011 ini, saya
telah membahasnya dalam buku Sastra
Indonesia Warna Daerah NTT (2015) diterbitkan Penerbit Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Tahun 2011-2020 boleh dikatakan sebagai era kebangkitan
sastra dan sastrawan NTT.
Sebagian sastrawan
NTT pada momen Temu 2 Sastrawan NTT di Uniflor Ende, pada 5-10
Oktober 2015.
Ada sejumlah indikator kebangkitan
sastra dan sastrawan NTT. Pertama,
banyaknya jumlah penerbitan buku sastra NTT dalam dekade terakhir ini
dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya. Kedua, maraknya pemuatan puisi dan cerpen serta opini/esai/kritik
sastra di berbagai surat kabar yang terbit di NTT, yakni Pos Kupang, Victrory News, Timor Express, dan Flores Pos. Ketiga, terselenggaranya sejumlah pertemuan sastrawan
NTT, yakni Temu 1 Sastrawan NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Kupang dan Temu 2
Sastrawan NTT pada 8-10 Oktober 2015 di Universitas Flores, Ende. Temu 2
sastrawan NTT 2015, antara lain menyepakati Hari Sastra NTT 16 Juni, bertepatan
dengan HUT perintis sastra NTT, Gerson Poyk. Keempat, maraknya kehidupan komunitas sastra di NTT, antara lain Komunitas
Sastra Dusun Flobamora di Kupang yang menerbitkan Jurnal Sastra Santarang, Komunitas Kahe di Maumere yang menerbitkan
Jurnal Sastra Dala ‘Ela, Komunitas
Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang yang menerbitkan Jurnal Filokalia, dan Komunitas Rumah
Sastra Kita (RSK) NTT yang menerbitkan beberapa buku antologi puisi dan cerpen
karya para sastrawan NTT. *
Yohanes Sehandi
Pengamat
dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
(Telah dimuat majalah Warta Flobamora, Terbitan Surabaya, Edisi 80, Tahun ke-8, 2020, 54)
Post a Comment for "Sastra NTT Memperkaya Khazanah Sastra Indonesia"