16 Juni, Hari Sastra NTT
16 Juni, Hari Sastra NTT. Peringatan Hari Sastra NTT 16 Juni setiap tahun merupakan salah satu keputusan
dan rekomendasi Temu 2 Sastrawan NTT yang berlangsung di Universitas Flores
(Uniflor) Ende pada 8-10 Oktober 2015. Temu 2 Sastrawan NTT itu sendiri dibuka
resmi oleh Wakil Bupati Ende, Drs. Djafar H. Achmad, M.M. mewakili Gubernur
NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Wakil Bupati Ende Djafar H. Acmad membacakan
sambutan cukup panjang dari Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Sekitar 500 orang
yang hadir dalam acara pembukaan yang berlangsung di Auditorium H.J. Gadi Djou,
Uniflor, Ende.
Keputusan
dan rekomendasi penetapan Hari Sastra NTT 16 Juni itu ditandatangani sepuluh
orang tim perumus yang mewakili 60-an sastrawan NTT yang hadir pada waktu itu. Ke-10
orang penandatangan Keputusan dan Rekomenadi Temu 2 Sastrawan NTT adalah (1)
Dr. Yoseph Yapi Taum, (2) Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., (3) Mezra E. Pellondou,
S.Pd., M.Hum., (4) Drs. Yohanes Sehandi, M.Si., (5) Dra. M.M. Bali Larasati,
M.Hum., (6) Mario F. Lawi, S. IKom., (7) Christianto Senda, (8) A.N. Wibisana,
(9) Usman D. Ganggang, dan (10) Simon J.B. Sine.
Sebelumnya,
pada Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang pada 30-31 Agustus 2013, ada usulan agar
Provinsi NTT memiliki hari sastra sendiri sebagai bukti eksistensi kehidupan sastra
NTT sebagai warga sastra Indonesia. Sempat terjadi perdebatan. Pada waktu itu belum
disepakati karena masih perlu waktu lama untuk mengkaji secara lebih mendalam
urgensi Hari Sastra NTT. Setelah dikaji selama dua tahun, maka pada Temu 2
Sastrawan NTT di Ende 2015 ditetapkan Hari Sastra NTT. Maka jadilah 16 Juni
setiap tahun sebagai Hari Sastra NTT.
Apakah penting kita memiliki dan merayakan Hari
Sastra NTT dan memperingatinya setiap tahun? Jawabannya, penting. Pertama, sebagai kesempatan untuk
menanamkan rasa cinta dan bangga kepada warga masyarakat NTT bahwa kita
memiliki kekayaan kultural di bidang sastra dan budaya yang tidak kalah dengan
daerah lain di Indonesia. Kedua, sebagai
kesempatan untuk menanamkan kesadaran kepada warga masyarakat NTT tentang
pentingnya budaya literasi, budaya
membaca dan menulis, sebagai ciri peradaban modern dan pascamodern,
sebagai syarat untuk mengejar kemajuan dan meninggalkan ketertinggalan. Ketiga, sebagai kesempatan untuk
memasyarakatkan karya-karya para sastrawan NTT ke berbagai lembaga pendidikan
di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, dan PT. Keempat, sebagai kesempatan bagi pemerintah daerah di NTT, baik di
tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota di NTT, untuk menjadikan
karya para sastrawan NTT sebagai sarana diplomasi budaya NTT di tingkat
nasional dan internasional.
Di samping memiliki
Hari Sastra NTT, sebelumnya kita memiliki Hari Sastra Indonesia yang
diperingati pada 3 Juli setiap tahun. Hari Sastra Indonesia 3 Juli ditetapkan
pada 2012 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Hari Sastra Indonesia 3 Juli itu mengacu
pada tanggal kelahiran sastrawan Indonesia Abdoel Moeis yang lahir pada 3 Juli 1883 di Bukit Tinggi, meninggal dunia pada 17 Juni 1959 di Bandung. Karya sastra Abdoel Moeis yang cukup terkenal
adalah Salah Asuhan (1928), Pertemuan
Jodoh (1931), Pangeran Kornel
(1931), Surapati (1950), Hendak Berbakti (1951), dan Robert Anak Surapati (1953). Itu Hari Sastra Indonesia di tingkat Nasional.
Pada waktu merumuskan keputusan dan
rekomendasi Hari Sastra NTT pada Temu 2 Sastrawan NTT pada 2015 itu, tim
perumus mengacu pada tanggal lahir sastrawan Indonesia kelahiran NTT, Gerson
Poyk. Ini terkandung maksud sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat kepada
Gerson Poyk sebagai perintis sastra NTT, yakni orang NTT pertama yang menulis
dan memublikasikan karya sastra secara Nasional, terhitung sejak 1955.
Gerson Poyk menulis karya sastra sejak tahun
1955. Karya-karya awal Gerson berupa puisi. Puisi-puisi awalnya dimuat dalam majalah
mingguan Mimbar Indonesia (MI) yang
terbit 1947-1966 (hidup selama 19 tahun) yang redaktur sastranya H.B. Jassin
dan A.D. Donggo. Adapun judul puisi-puisi awal Gerson Poyk dalam MI adalah (1)
“Anak Karang” dalam MI Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19; (2) “Ulang
Tahun” dalam MI Nomor 35, Tahun IX, 27 Agustus 1955, halaman 18; (3) “Sebelah
Rumah” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18; (4) “Larut”
dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18, (5) “Tentang
Niskala Aermata dan Malaria” dalam MI Nomor 28, 9 Juli 1960. Meskipun karier
awalnya sebagai penyair, sampai dengan akhir hidupnya 2017, Gerson Poyk hanya
menerbitkan dua judul buku antologi puisi, yakni Anak Karang: Kumpulan Sajak 1955-1958 (Penerbit Lukman, Yogyakarta, 1985) dan Dari Rote ke Iowa (Penerbit
Kosa Kata Kita, Jakarta, 2016).
Setelah merintis kariernya dengan menulis
puisi, baru kemudian Gerson Poyk menulis cerpen. Cerpen-cerpen awal Gerson Poyk
ditemukan dalam majalah Mimbar Indonesia,
yakni (1) “Pertjakapan Selat” dalam MI Nomor 38-39, Tahun XIII, 10 Oktober
1959; (2) “Dalam Kecepatan 40” dalam MI Nomor 21, 21 Mei 1960. Cerpen awal
Gerson Poyk yang lain ditemukan dalam
majalah bulanan Sastra edisi Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961 berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” yang mendapat hadiah majalah Sastra sebagai cerpen terbaik pada 1961 itu. Majalah Sastra adalah majalah bulanan yang
khusus menerbitkan karya-karya sastra, terbit pertama kali tahun 1961, dipimpin
H.B. Jassin, M. Balfas, dan
D.S. Moeljanto. Cerpen Gerson berikutnya berjudul “Oleng-Kemoleng” dimuat dalam majalah sastra Horison tahun 1968 dan mendapat pujian
dari redaksi majalah sastra Horison
pada tahun
1968 itu. Majalah sastra Horison
(edisi bulanan 1966-2016, 2017-sekarang edisi tiga bulanan). Majalah sastra Horison (edisi bulanan) redakturnya
antara lain H.B. Jassin, Arief Budiman, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Goenawan
Mohammad, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Pada
tahun 1964 Gerson Poyk menerbitkan “buku
sastra” untuk pertama kalinya
berupa novel.
Novel pertama Gerson Poyk berjudul Hari-Hari Pertama (1964) diterbitkan Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta. Novel kedua berjudul Sang Guru (1971) diterbitkan Penerbit Pustaka
Jaya, Jakarta. Novel ketiga
berjudul Cumbuan Sabana (1979) oleh Penerbit Nusa Indah, Ende. Dengan
demikian, di samping sebagai perintis sastra NTT, Gerson Poyk juga sebagai perintis
penulisan puisi, penulisan cerpen, dan penulisan novel dalam sastra NTT.
Pada
1975 Gerson Poyk menerbitkan tiga buku antologi cerpen
sekaligus, yakni (1) Nostalgia Nusa Tenggara (1975); (2) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta
Aleksander Rajaguguk (1975, 1977); dan (3) Matias Akankari (1975). Ketiga buku antologi cerpen
ini diterbitkan oleh
Penerbit Nusa Indah, Ende, sebuah penerbit yang
berada di daerah, yang berjasa besar dalam mengangkat karier Gerson Poyk di bidang sastra.
Gerson
Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao,
Provinsi NTT. Meninggal dunia pada 24
Februari 2017 di Depok, Jawa Barat, dalam usia 86 tahun, dan dimakamkan di Kota
Kupang, NTT, pada 27 Februari 2017. Sejak 1955 sampai 2017 (selama 62 tahun) terus-menerus, Gerson Poyk berkarya sastra, mengangkat
citra Provinsi NTT dalam panggung sastra Indonesia modern. Gerson
Poyk mengabdikan seluruh hidupnya dalam dunia sastra, terutama penulisan novel
dan cerita pendek, di samping penulisan puisi, naskah drama, dan jurnalistik. Banyak pembaca karya sastra Indonesia modern dengan
sangat mudah menghubungkan karya-karya sastra Gerson Poyk dengan kondisi
alam lingkungan dan masyarakat dan budaya Provinsi NTT. Gerson Poyk juga sering
dijuluki sebagai pendongeng dari Timur.
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat
dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
(Telah dimuat dalam Majalah Pendidikan Cakrawala NTT.com, Terbitan Kupang, pada Selasa, 16 Juni 2020)
Post a Comment for "16 Juni, Hari Sastra NTT"