Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wawancara Harian Pos Kupang dengan Yohanes Sehandi

Yohanes Sehandi:
Menggali  Sastra NTT untuk Pendidikan Karakter

Catatan Redaksi

BEBERAPA tahun terakhir ini nama Yohanes Sehandi dikenal luas di Provinsi NTT karena ketekunan dan keseriusannya melakukan dokumentasi dan publikasi sastra NTT lewat berbagai tulisan di media massa dan lewat buku-buku yang diterbitkannya. Sebelumnya beliau dikenal sebagai politisi PDI Perjuangan dan pernah menjadi anggota DPRD Provinsi NTT selama dua periode (1999-2009). Bahkan pernah menjadi Calon Bupati Manggarai Barat tahun 2005. Beberapa tahun terakhir beralih dari politisi menjadi pengamat dan kritikus sastra NTT. 
 
Sejak mundur dari dunia politik praktis tahun 2010 dan menjadi dosen di Universitas Flores, sepertinya menemukan habitatnya sebagai seorang akademisi. Dunia literasi, dunia membaca dan menulis, adalah aktivitas hariannya. Dia kembali menekuni dunia sastra, termasuk sastra NTT, sebuah dunia yang sudah lama diakrabinya sejak kuliah di IKIP Negeri Semarang (kini Universitas Negeri Semarang, Unes) 1980-an. Hasil penggaliannya terhadap sastra NTT telah dipublikasikan lewat berbagai tulisan di media massa dan dalam bentuk buku yang mendapat apresiasi di tingkat nasional. 
 
Wartawan Pos Kupang Biro Ende, Romualdus Pius, mewawancarai Pak Yan Sehandi, panggilan akrabnya, di Kampus Universitas Flores, pada Rabu, 9 Januari 2019. Berikut petikannya.

Selamat siang Pak Yan. Terima kasih atas kesediaan untuk diwawancarai. Tolong ceritakan sedikit latar belakang kecintaan pada dunia literasi, dunia membaca dan menulis.

Saya jatuh cinta pada dunia literasi agak terlambat, tidak dimulai sejak SD atau SMP, tetapi sejak SMA. Saya lahir di Dalong dekat Labuan Bajo, Manggarai Barat, dari kedua orang tua yang tidak sekolah. Jadi, tidak ada bahan bacaan di rumah. Waktu SD di Dalong dan SMP di Rekas, keduanya di Manggarai Barat, bahan bacaan juga sulit diperoleh. 

Pada waktu masuk SPP/SPMA Sint Isidorus Boawae (Sekolah Pertanian) di Nagekeo tahun 1977-1980, baru saya mengenal dunia literasi dan langsung akrab. Di sekolah ini disediakan banyak buku pertanian. Saya membeli banyak buku pertanian yang dijual sekolah, sebagian besar kini masih ada di perpustakaan keluarga. Di sinilah saya mengenal majalah Dian terbitan Ende dan majalah Trubus (pertanian) terbitan Jakarta. 

Lewat dua majalah ini pula saya kenal nama-nama penulis dari Flores, seperti Pater Alex Beding, Ignas Kleden, Ben Oleona, Thom Wignyata, Marcel Beding, Vales Doy, Nico Ladjadjawa, Stephie Kleden-Beets, Don Bosco Blikololong, Dami N. Toda, dan John Dami Mukese. Penulis dari Timor saya kenal nama Anton Bele dan Yohanes Lake. Dari Sumba saya kenal Frans W. Hebi, Yosef Pati Wenge, dan David Siwa Balla.

Apakah ada faktor khusus sehingga Bapak menggeluti dunia tulis-menulis itu?

Ya, ada. Saya menggeluti dunia tulis-menulis ini dengan penuh kesadaran, sejak kuliah di IKIP Semarang pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahun 1981-1985. Minimal ada dua faktor pendorong. Pertama, saya ingin agar mempunyai nilai lebih, tidak sekadar menjadi sarjana saja setelah kuliah. Saya mengukur diri bahwa saya tidak mempunyai bakat khusus, misalnya di bidang olahraga atau bidang menyanyi. Saya hanya punyai bakat khusus membaca. Inilah modal dasar saya untuk menulis dan bercita-cita kelak menjadi penulis. Nilai kuliah saya biasa-biasa saja, karena saya lebih banyak belajar untuk  menulis, dibandingkan belajar untuk mendapatkan nilai ujian.  

Kedua, menulis untuk mencari uang. Dorongan ini sangat kuat karena kuarng uang. Waktu ke Semarang tahun 1981, saya hanya bawa Rp 550 ribu, hasil jual beras dan kerbau orang tua. Sampai tamat kuliah tidak ada kiriman lagi dari kampung. Waktu tulisan dimuat di sejumlah koran,  ternyata ada honornya, dan lumayan untuk menutupi kebutuhan seorang mahasiswa. Tahun 1980-an itu satu tulisan diberi honor Rp 5 ribu sampai 20 ribu. Lumayan. Uang SPP saja waktu itu Rp 36 ribu per semester. Uang tulisan saya gunakan untuk bayar SPP dan beli buku baru. Buku baru itu saya buat resensinya, kirim ke koran dan dimuat, maka dapat honorarium. Selama kuliah hal itu saya lakukan terus-menerus. Sampai kini saya memiliki koleksi buku lumayan banyak, sebagian besar hasil dari menulis. Buku-buku milik pribadi inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi untuk menulis.

Apakah ada tokoh idola yang menjadi inspirasi Bapak dalam menulis?

Ya, ada. Saya harus jujur mengakui, ada dua penulis terkenal kelahiran NTT sebagai sumber inspirasi, yakni Dami N. Toda dan Ignas Kleden. Waktu kuliah saya banyak membaca tulisan Dami  Toda dan Ignas Kleden di harian Kompas dan majalah Tempo, dan di berbagai media cetak lain. Cita-cita menjadi penulis langsung terhubung dengan dua sosok penulis hebat ini. 

Sekadar cerita, pada awal tahun 1982, di beberapa jalan utama di Kota Semarang terpasang sejumlah spanduk besar yang bunyinya kurang-lebih seperti ini: “Selamat Datang Dami N. Toda, Kritikus Sastra Indonesia, di Kampus Universitas Diponegoro.” Saya kaget dan terharu membaca spanduk itu, karena saya tahu Dami Toda orang saya dari Manggarai. Dia diundang di Undip untuk memberi ceramah tentang novel-novel Iwan Simatupang. Dalam hati saya bertanya, orang dari pelosok di Manggarai bisa menjadi terkenal di sini. Jawabannya, karena dia penulis. Sejak itu saya menggandrungi tulisan-tulisan Dami Toda, baik di surat kabar dan majalah, maupun lewat bukunya.  Hampir semua buku karya Dami Toda saya miliki, meskipun belum pernah bertemu langsung.  

Selanjutnya tentang Ignas Kleden. Saya mulai kenal tulisan beliau sejak tahun 1983. Pada suatu waktu saya membaca majalah Tempo di perpustakaan kampus. Saya terperangah melihat foto Ignas Kleden dengan esai pendeknya di majalah itu. Dia tulis esai itu dari Jerman. Saya ingat betul judul esainya, hanya satu kata, “Surat.” Sungguh saya bangga karena saya tahu dia orang Flores Timur. Esai pendek itu ditulis dalam gaya filsafat. Seninya menulis tercermin betul dalam esai pendek itu. 

Pada bulan Oktober 2013, artinya 30 tahun kemudian, saya baru pertama kali bertemu Ignas Kleden di Uniflor waktu beliau membawakan ceramah tentang Sumpah Pemuda. Saya ceritakan kesaksian saya tahun 1983 atas tulisannya di Tempo berjudul “Surat.” Dia kaget, karena dia sudah lupa tulisan itu, sementara saya masih merasakan nikmatnya membaca sebuah esai pendek karya Ignas Kleden yang ikut mendorong saya menggeluti dunia tulis-menulis.

Sejak kapan Bapak menulis tentang sastra NTT?

Setelah saya mundur dari politik praktis tahun 2010, saya masuk kampus Universitas Flores, ditempatkan di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya menemukan kembali habitat saya sebagai akademisi. Saya membaca lagi buku-buku sastra yang saya kumpulkan puluhan tahun, kemudian coba melacak perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT. 

Saya melihat, karya sastra Indonesia di NTT berserakan, sastrawan NTT ada, namun tidak didatakan dengan baik. Akibatnya di tingkat nasional sastra NTT tidak dikenal. Pertanyaannya, mengapa sastra dan sastrawan NTT tidak dikenal? Jawabannya, karena tidak ada pengamat dan kritikus sastra yang memberi perhatian khusus pada sastra NTT. 

Akhirnya saya terpanggil untuk mengumpulkan berbagai informasi dan dokumen tentang sastra dan sastrawan NTT. Tahun 2011 saya mulai mempublikasikan sastra NTT lewat Pos Kupang, Flores Pos, dan Victory News. Tulisan-tulisan  itu kemudian saya unggah ke Blog saya. Setelah membaca tulisan-tulisan itulah rupanya orang mulai mengenal sastra dan sastrawan NTT. Tulisan-tulisan itu kemudian saya kumpul dan sempurnakan, maka lahirlah buku pertama tentang sastra NTT, berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Peredaran buku ini cukup luas karena dipasarkan toko buku Gramedia. Di luar dugaan, buku ini mendapat sambutan hangat, baik yang pro maupun kontra. Ada yang puji ada yang hujat. Saya jalan terus. 

Tahun 2015 saya terbitkan lagi buku yang kedua berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) juga diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma. Buku kedua ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan buku pertama. Pada tahun 2017 saya terbitkan lagi buku ketiga berjudul Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (2017) diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta. Jadi, sudah terbit tiga judul buku tentang sastra dan sastrawan NTT.

Apakah hasil kerja keras Bapak mengangkat kekayaan NTT dalam bidang sastra mendapat perhatian pemerintah di NTT, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota?

Sama sekali tidak ada. Pada waktu terbit buku pertama tahun 2012, saya mengirim buku itu disertai dengan surat pengatar ke Gubernur NTT dan semua Bupati sedaratan Flores dan Lembata. Saya minta tanggapan terhadap buku itu. Tidak ada satu pun yang memberi respons, padahal saya mengirimkan juga amplop kosong lengkap dengan perangko untuk dikirim balik ke saya. Sampai kini tidak ada respons dari pejabat manapun. Terakhir saya menulis opini di Pos Kupang edisi Selasa, 4 Desember 2018, berjudul “Catatan Sastra untuk Gubernur Viktor Laiskodat.” Saya tidak tahu, apakah opini itu dibaca atau tidak oleh Gubernur Viktor Laiskodat.  

Meskipun di NTT tidak mendapat perhatian, di tingkat pusat sebaliknya. Buku pertama Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) pada tahun 2014 mendapat hadiah buku insentif untuk dosen diberikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud RI. Buku kedua Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) lolos seleksi Badan Bahasa, Kemendikbud RI sehingga saya menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia II (Munsi II) pada 18-20 Juli 2017 di Jakarta. Dan artikel saya yang berjudul “Melacak Jejak Sastra Indonesia di Provinsi NTT” lolos seleksi Badan Bahasa, Kemendikbud RI sehingga menjadi pemakalah/peserta pada Kongres Bahasa Indonesia XI (KBI XI) pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta. 

Di samping Badan Bahasa, Program Pascasarjana Undana Kupang memberi perhatian khusus atas hasil penelitian saya tentang sastra NTT. Pertama, pada 9 September 2016, saya diundang menjadi salah satu pemakalah bersama belasan pemakalah lain dalam Seminar Internasioal bertema “Bahasa, Budaya, dan Masyarakat.” Saya membawakan makalah berjudul “55 Tahun Orang NTT di Panggung Sastra.” Kedua, pada 3 Desember 2018 saya dipercayakan memberi kuliah umum dengan judul “Melacak Jejak Sastra Indonesia di Provinsi NTT.” Ketiga, pada 4 Desember 2018, saya diundang menjadi salah satu pemakalah dari 8 pemakalah lain dalam Seminar Nasional yang bertema “Pengembangan Iptek dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan.” Makalah yang saya bawakan berjudul “Pengembangan Potensi Sastra NTT dalam Pembentukan Karakter Bangsa.”

Mungkin bisa digambarkan secara singkat tentang potensi sastra NTT dalam pembentukan karakter bangsa di Provinsi NTT.

Potensi karya sastra dalam pembangunan karakter bangsa sangat strategis. Peran sastra ibarat garam yang dilarutkan dalam air, tak terlihat garamnya, namun terasa asinnya. Dia nyata, namun sulit ditunjukkan wujudnya. Peran sastra juga bagaikan bumbu masakan yang membuat masakan terasa lezat, gurih, dan bergairah. Pendidikan sastra adalah khas dan unik karena menumbuhkan kesadaran dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar seperti berbagai mata pelajaran di sekolah. 

Sastra NTT memiliki potensi besar dalam pembangunan karakter anak bangsa di NTT. Sastra NTT yang merupakan hasil karya para sastrawan NTT, mengandung unsur lokal kedaerahan NTT, memiliki kekhasan NTT dibandingkan dengan sastra Indonesia yang lain. Karakter tokoh-tokoh dalam sastra NTT dapat menjadi contoh, idola, dan teladan dalam pembangunan karakter bangsa orang-orang NTT, misalnya tokoh-tokoh dalam sastra NTT berikut ini.  

Pertama, tokoh Rosa Dalima, seorang bidan desa kelahiran Bajawa, yang terdapat dalam novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015) karya Dr. Maria Matildis Banda. Rosa Dalima adalah bidan desa teladan yang tekun, tabah, kerja keras, dan profesional, dia bisa menjadi idola. Kedua, tokoh Enu Molas kelahiran Borong dan suaminya Dr. Paul Putak kelahiran Rote dalam novel Enu Molas di Lembah Lingko (2015) karya Gerson Poyk. Kedua tokoh ini berhasil membangun kampung adat wisata di dataran Labuan Bajo berbentuk lodok-lingko yang unik dan spektakuler. Ketiga, tokoh Cendana dalam novel Perempuan dari Lembah Mutis (2012) karya Mezra E. Pellondou. Tokoh ini sukses menjadi teknisi perusahaan satelit terbesar dunia dan kembali membangun kampung halaman.

Adakah rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi NTT dalam pengembangan sastra NTT?  

Ada empat rekomendasi saya. Pertama, gencarkan terus program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang kini tengah berlangsung. Buku-buku yang dibaca dalam GLS adalah buku-buku sastra karya para sastrawan NTT. Kedua, Pemprov NTT menyiapkan anggaran untuk membeli buku-buku sastra karya para sastrawan NTT dan dibagikan secara gratis ke semua perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah di seluruh NTT. Ketiga, Pemprov NTT menyelenggarakan berbagai kegiatan festival sastra, perlombaan penulisan sastra, pementasan drama, atau lomba resensi buku-buku sastra. Keempat, Pemprov NTT menyiapkan anggaran untuk menggubah karya sastra NTT ke layar lebar, misalnya novel, cerita pendek, atau cerita rakyat, digubah ke dalam bentuk film, sinetron, dan drama. 

Pemprov NTT perlu meniru langkah cerdas Pemprov Bangka Belitung beberapa tahun lalu yang menyiapkan anggaran khusus untuk menggubah (mengalihkan) novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata menjadi film Laskar Pelangi yang sangat sukses di pasaran. Pulau Belitung yang menjadi latar/seting novel itu akhirnya menjadi sasaran napak tilas para wisatawan yang berkunjung ke Bangka Belitung. Kini Bangka Belitung menjadi salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia. *

Biodata:
Nama                  : Yohanes Sehandi
Tempat Lahir      : Dalong, Labuan Bajo, 12 Juli 1960
Pekerjaan            : Dosen Universitas Flores, Ende
Nomor Hp/WA   :  081339004021
Istri                     : Christiana Sri Murni
Pendidikan:
SDK Dalong (1968-1973) di Dalong, Manggarai Barat.
SMPK Mutiara Rekas (1974-1976) di Rekas, Manggarai Barat.
SPP/SPMA Boawae (1977-1980) di Boawae, Nagekeo.
Sarjana di IKIP Semarang (1981-1985) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Magister di Fakultas Pascasarjana UMM Malang (2002-2003) Jurusan Sosiologi.
Pekerjaan:
Dosen Bahasa Indonesia di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UKSW Salatiga (1985-1989).Editor Bidang Bahasa dan Sastra Indonesia pada Penerbit Nusa Indah, Ende (1989-1999).
Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (Stipar) Ende (1990-1999).
Dosen Bahasa Indonesia di STFK Ledalero, Maumere (1995-1999).
Anggota DPRD Provinsi NTT dua periode (1999-2009) Fraksi PDI Perjuangan.
Dosen Universitas Flores (2010-sekarang) pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Karya Tulis  
Menerbitkan 7 judul buku bidang bahasa dan sastra Indonesia dan sastra NTT.
Menerbitkan 6 judul buku sebagai editor tunggal dan editor bersama. 
Menerbit 11 judul artikel ilmiah yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah.
Menerbitkan 6 artikel ilmiah dalam buku prosiding (antologi) bersama penulis-penulis lain.
Menerbitkan 370-an artikel opini pada 30-an surat kabar dan majalah.

Catatan:
Wawancara ini dilakukan pada 9 Januari 2019 dan dimuat dalam rubrik “Tamu Kita” dalam harian Pos Kupang, terbitan Kupang, edisi Minggu, 20 Januari 2019.

 

Post a Comment for "Wawancara Harian Pos Kupang dengan Yohanes Sehandi"