Seruling Perdamaian dari Bumi Flobamora
Penggalan puisi yang dikutip di atas adalah bait pertama puisi berjudul “Mencari Damai yang Terasing” karya Jhoni Lae, mahasiswa Semester IV Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira Kupang. Jhoni Lae juga seorang calon imam projo yang kini sedang menjalani masa formasi di Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang.
Puisi “Mencari Damai yang Terasing” adalah salah satu dari 225 puisi yang terdapat dalam buku antologi puisi berjudul Bulan Peredam Prahara (2019) yang akan diulas dalam tulisan ini. Buku puisi ini memuat karya 53 penyair/penulis NTT dengan tebal buku 328 halaman. Diterbitkan oleh Komunitas Rumah Sastra Kita (Komunitas RSK) bekerja sama dengan Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, dengan editor buku Alfred B. Jogo Ena. Kurator yang menyeleksi puisi-puisi yang diterbitkan dalam buku adalah sastrawan Mezra E. Pellondou, Yoseph Yapi Taum, dan Julia Daniel Kotan.
Adapun Komunitas RSK adalah sebuah komunitas sastra orang-orang NTT yang bergabung dalam grup media sosial WhatsApp (WA). Komunitas RSK dibentuk pada 1 Januari 2018 dengan Ketuanya Dr. Yoseph Yapi Taum, dosen sastra pada Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pada tahun 2017 Yoseph Yapi Taum yang kelahiran Lembata ini menerima penghargaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebagai Dosen Teladan I Tingkat Nasional dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora.
Di samping menerbitkan buku puisi Bulan Peredam Prahara, tahun 2018 Komunitas RSK juga menerbitkan buku antologi cerpen berjudul Perempuan dengan Tiga Senyuman (2018). Kedua buku ini diterbitkan RSK untuk memperingati Hari Sastra NTT yang jatuh pada 16 Juni 2018 lalu. Karena penerbitan kedua buku ini terlambat, peluncurannya tidak pada 16 Juni, tetapi pada 10 November 2018 di Kupang bekerja sama dengan Kantor Bahasa NTT.
Kedua buku antologi RSK ini mengemban tema dan pesan perdamaian: “dari Bumi Flobamora untuk Nusantara.” Sebagian besar puisi dan cerpen dalam kedua buku antologi ini mengajak segenap warga bangsa ini untuk menjalin kebersamaan dan mengubur perpecahan, menebar perdamaian dan meredam kebencian, dimulai dari Provinsi NTT sebagai provinsi toleran di Indonesia.
Mengapa mengambil tema pesan perdamaian? Karena tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik nasional menuju Pemilu dan Pilpres 17 April 2019. Dalam tahun politik ini dinamika sosial politik Indonesia masyarakat sangat fluktuatif, terutama karena muncul wacana provokatif yang menjadikan pesta demokrasi lima tahunan ini sebagai perang, perang antara para pendukung.
Pada era digital sekarang ini, lewat berbagai jenis media sosial, tak terbendung munculnya permusuhan, ujaran kebencian, dan berita bohong yang dipakai sebagai senjata ampuh menyerang kelompok yang berbeda pilihan politik. Akibatnya, modal sosial masyarakat berupa persatuan, kebersamaan, kerukunan, toleransi, gotong royong, dan perdamaian yang dibangun dengan susah payah puluhan tahun, menjadi terancam. Untuk itu, dalam memperingati Hari Sastra NTT 2018, anggota Komunitas RSK mengambil prakarsa “meniupkan seruling perdamaian” dari Bumi Flobamora untuk Indonesia lewat karya sastra. Itulah latar belakang RSK memilih tema perdamaian dalam penerbitan dua buku ini.
Dari 53 nama penyair yang ada dalam buku ini, ada banyak nama baru yang muncul ke permukaan. Memang ada yang sudah senior. Ada pula yang dikenal luas di media sosial, baik karena puisinya maupun karena ketokohannya. Para penyair itu, antara lain Agustinus Thuru, Alfred Jogo Ena, Aster Bilibora, Bernadus Barat Daya, Ian CK, Dokter Sahadewa, Ignas Kaha, Julia Daniel Kotan, Mario D.E. Kali, Milla Lolong, Nikolaus Loy, Paulus Heri Hala, Usman D. Ganggang, Yandris Tolan, dan lain-lain.
Dalam tahun politik 2018 dan 2019 ini segenap warga bangsa dipenuhi rasa was-was atas sepak terjang dan perilaku para politisi yang berkeliaran. Mereka kini sulit dibedakan, mana malaikat, mana setan. Agustinus Thuru dalam puisinya yang berjudul “Kepada Presidenku” (halaman 44), menulis: //Beri aku hari-hari yang indah/ Tanpa bayang-bayang wajah para pemusnah/ Yang berkeliaran di balik topeng berwajah malaikat/ Beri aku negeri berwajah kemanusiaan/ Agar tak ada darah yang tertumpah sia-sia//.
Herisanto Boaz percaya bahwa lewat kekuatan puisinya ia bias menebar perdamaian di tahun politik ini. Dalam puisi “Di Pantai Puisi Damai” (halaman 130-131) dia menulis: //di lubuk terdalam, layarku tercenung dan berisik/ “wajah politik ini niatnya baik, tapi caranya berisik”/ maka kubentangkan layar puisiku, semakin asyik/ dengan damai kuteriakan, “terbanglah puisiku/ seperti merpati perdamaian ini, terbanglah tinggi/ “hinggaplah tenang di tiap hati yang berpuisi”/.
Dengan terbitnya buku Bulan Peredam Prahara ini maka sudah terbit lima buku kumpulan puisi karya para penyair NTT sampai tahun 2019 ini. Sebelumnya sudah terbit empat judul buku, yakni Senja di Kota Kupang (2013), Ratapan Laut Sawu (2014), Nyanyian Sasando (2015), dan Nusa Puisi (2016). Dilihat dari segi banyaknya penyair dan banyaknya puisi yang terhimpun di dalamnya, kelima buku antologi puisi ini bisa dinilai sebagai “representasi” karya para penyair NTT yang berkiprah di panggung sastra Indonesia.
Pertama, buku puisi Senja di Kota Kupang (2013), tebal 219 halaman. Buku ini menghimpun 104 judul puisi karya 33 penyair NTT. Diluncurkan pada Temu 1 Sastrawan NTT di Kupang pada 30-31 Agustus 2013. Sebagian besar penyair yang karyanya terhimpun dalam buku ini hadir pada Temu 1 Sastrawan NTT tersebut.
Kedua, buku puisi Ratapan Laut Sawu (2014) diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dengan Editor Yoseph Yapi Taum, tebal 308 halaman. Buku ini memuat 261 judul pusi karya 43 penyair NTT. Di samping menyusun Kata Pengantar, Yapi Taum juga menyusun Prolog, sedangkan Pater Paul Budi Kleden menyusun Epilog.
Ketiga, buku puisi Nyanyian Sasando (2015), tebal 207 halaman. Buku ini memuat 153 judul puisi karya 32 penyair NTT. Diluncurkan pada Temu 2 Sastrawan NTT di Universitas Flores, Ende, pada 8-10 Oktober 2015. Editor buku Yoseph Yapi Taum dan Maria Matildis Banda, yang juga bertindak sebagai kurator puisi untuk buku ini. Yoseph Yapi Taum menulis Prolog, Maria Matildis Banda menulis Epilog.
Keempat, buku puisi Nusa Puisi (2016) tebal 209 halaman. Buku ini memuat 75 judul puisi karya 58 penyair NTT. Diterbitkan Penerbit Kandil Semesta Bekasi. Editor buku Julia Daniel Kotan. Dewan kurasi Joko Pinurbo, Alexander Aur Apelaby, dan Dhenok Kristianti. Prolog disusun Pater Paul Budi Kleden, Dosen Filsafat STFK Ledalero, dan Epilog disusun Alexander Aur, Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan, Jakarta. *
Oleh Yohanes Sehandi
Penulis Buku Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai
(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan (Ende, pada Rabu, 13 Maret 2019)
Post a Comment for "Seruling Perdamaian dari Bumi Flobamora"