Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Sastra untuk Gubernur Viktor Laiskodat

Sepak terjang dan gebrakan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, sering menjadi berita viral di berbagai media sosial, setelah dilantik menjadi Gubernur NTT tahun 2018. Gubernur yang berasal dari Partai Nasdem (Nasional Demokrat) ini memang termasuk salah satu gubernur berwatak keras di Indonesia. Dia berani bersikap tegas bahkan menentang arus. Terkadang nekad. Tidak malu mengaku  dirinya seorang preman, bahkan professor preman, dan bukan mantan preman. Dia menerjang kiri dan kanan demi tekadnya yang besar membangun sumber daya manusia (SDM) NTT agar keluar dari stigma buruk Provinsi NTT sebagi provinsi terbelakang, miskin, dan bodoh.  

Banyak pernyataan dan sikapnya lewat berbagai sambutan, pidato, wejangan, pengarahan, kuliah umum, dan keterangan pers, juga sikap tegasnya mengganti, menggeser, dan memecat sejumlah pejabat yang tidak becus dalam lingkup Pemprov NTT, menunjukkan Gubernur Laiskodat sedang berjibaku membangun SDM NTT agar sejajar dengan SDM provinsi-provinsi lain di Indonesia.


Viktor Bungtilu Laiskodar

Dalam merancang dan melaksanakan pembangunan NTT selama masa kepemimpinannya, sebagai pengamat sastra NTT, saya ingin memberikan Catatan Sastra untuk Gubernur Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Joseph Nae Soi. Catatannya adalah bangunlah Provnsi NTT secara berimbang, antara pembangunan fisik-material (jasmani) dan pembangunan mental-spiritual (jiwa). Pembangunan mental-spiritual adalah pembangunan karakter anak bangsa di Provinsi NTT. Bangunlah karakter anak bangsa di Provinsi NTT dengan mengembangkan potensi sastra NTT karya sastrawan NTT. Peran dan fungsi sastra dalam pembangunan ibarat garam yang dilarutkan dalam air, atau sumbu masakan yang membuat masakan menjadi enak, lezat, dan bergairah.

Pembangunan karakter adalah pembangunan jiwa yang mengintegrasikan persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Unsur-unsur jiwa yang harus dibangun itu adalah: pikiran, perasaan, kehendak, dan angan-angan. Adapun karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.

Syair lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya,” telah memberi isyarat tegas kepada para petinggi/pejabat negeri ini: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Bangunlah jiwanya adalah bangun mental-spiritual (karakter), bangunlah badannya adalah bangun fisik-material, seperti sarana dan prasarana. Keduanya harus dibangun berimbang dan berkelanjutan. Kalau tidak berimbang, maka perilaku barbar anak bangsa terus menghantui kita: ujaran kebencian, tawuran, persekusi, korupsi, pembunuhan, terorisme, tidak beradab, hoaks, dan berbagai perilaku barbar yang lain.

Pembangunan karakter anak bangsa dapat dilakukan antara lain melalui pengembangan potensi sastra. Sastra yang dimaksudkan di sini adalah sastra kreatif dengan berbagai jenis (genre). Adapun jenis-jenisnya karya sastra adalah (1) prosa (novel, novelet, cerita pendek, cerita rakyat, dongeng, hikayat, mitos, legenda, fabel, dan lain-lain yang ciri khasnya bercerita/narasi), (2) puisi (syair, pantun, gurindam, pribahasa, bidal, tuturan adat, doa, balada, dan lain-lain yang ciri khasnya pemadatan makna kata/ungkapan), dan (3) drama (teater, pementasan, sinetron, film, monolog/dialog, dan lain-lain yang bersifat pertunjukan seni panggung).

Peran karya sastra dalam pembangunan karakter bangsa ibarat garam yang dilarutkan dalam air, tak terlihat garamnya, namun terasa asinnya. Dia nyata, namun sulit ditunjukkan wujudnya. Peran sastra juga bagaikan bumbu masakan yang membuat masakan terasa lezat, gurih, dan bergairah. Pendidikan sastra adalah khas dan unik karena menumbuhkan kesadaran dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar seperti berbagai mata pelajaran di sekolah.

Sastra NTT memiliki potensi besar dalam pembangunan karakter anak bangsa di NTT. Sastra NTT yang dimaksudkan di sini adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra NTT merupakan hasil karya para sastrawan NTT, mengandung unsur lokal kedaerahan NTT, dan memiliki kekhasan dibandingkan dengan sastra Indonesia di provinsi lain di Indonesia.  

Selama delapan tahun terakhir ini saya melakukan penelitian khusus tentang sastra dan sastrawan NTT. Sudah tiga judul buku telah saya terbitkan, yakni (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012), (2) Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015), (3) Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (2017).

Berdasarkan hasil penelitian itu, ditemukan bahwa sejak 1955 orang NTT telah menulis dan mempublikasikan karya sastranya lewat berbagai media cetak bertaraf nasional. Orang NTT pertama itu adalah Gerson Poyk (1931-2017). Sampai dengan akhir hayatnya 2017 Gerson Poyk telah menerbitkan minimal 30 judul buku sastra.

Bila dihitung sejak 1955, maka tahun 2018 ini sastra NTT sudah berusi 63 tahun.  Dalam kurun waktu 63 tahun itu telah terbit minimal 176 judul buku sastra (pendataan sampai pertengahan 2018) karya para sastrawan NTT. Adapun perinciannya: 72 judul buku novel, 46 judul buku kumpulan cerpen, dan 58 judul buku puisi. Jumlah sastrawan NTT yang dapat diidentifikasi lebih dari 40 orang, baik yang tinggal di NTT maupun di luar NTT.

Sastra NTT memiliki potensi besar dalam pembangunan karakter bangsa. Karakter tokoh-tokoh dalam karya sastra NTT dapat menjadi contoh, idola, teladan, pedoman, panduan dalam pembangunan karakter bangsa. Berikut diberikan sejumah contoh tokoh berkarakter dalam sastra NTT yang bisa menjadi idola/panutan.

Pertama, tokoh Rosa Dalima, seorang bidan desa kelahiran Bajawa, yang terdapat dalam novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015) karya Dr. Maria Matildis Banda. Bidan Rosa adalah bidan desa berusia muda berkarakter, tabah, sopan, cerdas, ulet, beriman, dan profesional. Dia berpegang teguh pada filosofi bunga “wijaya kusuma” (lambang bakti husada). Ia berhasil menyelamatkan banyak nyawa ibu hamil dari kematian sia-sia. Ia mampu menyadarkan kaum pria dan wanita di wilayah Lio bagian Timur Kabupaten Ende, tentang pentingnya memeriksa ibu hamil dan melahirkan anak di fasilitas kesehatan, bukan periksa ke dukun beranak. Atas prestasinya itu Bidan Ros berhasil meraih penghargaan sebagai Bidan Desa Teladan Tingkat Provinsi NTT.

Kedua, tokoh Enu Molas kelahiran Borong dan suaminya Dr. Paul Putak kelahiran Rote dalam novel Enu Molas di Lembah Lingko (2015) karya Gerson Poyk. Dua tokoh utama novel ini  berkarakter kuat, mempunyai visi jauh ke depan membangun pariwisata khas NTT. Suami-istri ini sukses membangun kampung wisata berbasis budaya dan kearifan lokal di sebuah dataran rendah di dekat Labuan Bajo, Menggarai Barat. Kampung wisata didesain berbentuk lodok-lingko, seperti jaring laba-laba, sistem perladangan orang Manggarai. Kampung wisata ini dikelilingi jalan melingkar yang indah dan unik, diapit dengan restoran dan kafe, diisi dengan kuliner lokal NTT. Kampung wisata adat ini menyerap ribuan sarjana pengangguran lulusan perguruan tinggi di NTT.

Ketiga, tokoh Cendana dalam novel Perempuan dari Lembah Mutis (2012) karya Mezra E. Pellondou. Cendana adalah seorang gadis yatim piatu penggembala sapi di lembah Gunung Mutis dataran sungai Benanain, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Meskipun anak peternak miskin, dia punyai cita-cita setinggi langit. Berkat keuletan dan gemar membaca koran/buku bekas hangutan sungai Benanain, Cendana meraih prestasi gemilang dari SD sampai SMA mengantarnya menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB Bandung, beasiswa dari Pemda. Cita-citanya dari kecil tercapai menjadi tenaga teknisi perusahaan satelit terbesar di Indonesia. Meskipun sukses besar di kota, dia tidak lupa membangun kampungnya. Dia membuka cabang perusahaan satelit, mendirikan sekolah, dan membangun SDM masyarakat di lembah Gunung Mutis.

Bagaimana mengembangkan sastra NTT untuk pembangunan karakter anak bangsa di Provinsi NTT? Berikut sejumlah tawaran kepada Gubernur Laiskodat untuk pengembangannya.

Pertama, gencarkan terus program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang kini tengah berlangsung. Program GLS harus dikendalikan langsung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT. Buku-buku yang dibaca dalam GLS adalah buku-buku sastra karya para sastrawan NTT.

Kedua, Pemprov NTT menyiapkan anggaran untuk membeli buku-buku sastra karya para sastrawan NTT dan dibagikan gratis ke semua perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah di seluruh wilayah NTT.

Ketiga, Pemprov NTT sering menyelenggarakan berbagai kegiatan festival sastra, perlombaan penulisan karya sastra, lomba pementasan drama, atau lomba resensi buku-buku sastra.       \

 Keempat, Pemprov NTT menyiapkan anggaran untuk menggubah karya sastra NTT ke layar lebar, misalnya novel, cerita pendek, atau cerita rakyat, digubah ke dalam bentuk film, sinetron, dan drama. Perlu ditiru langkah cerdas Pemprov Bangka Belitung beberapa tahun lalu yang menyiapkan anggaran khusus menggubah cerita novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata menjadi film Laskar Pelangi yang sangat sukses di pasaran. Pulau Belitung yang menjadi latar novel akhirnya menjadi sasaran napak tilas para wisatawan yang berkunjung ke Bangka Belitung. Kini Bangka Belitung menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia. *


Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende

(Telah  dimuat  harian  Pos  Kupang, terbitan Kupang, edisi  Selasa,  4 Desember  2018)

 

1 comment for "Catatan Sastra untuk Gubernur Viktor Laiskodat"

  1. Mantap Ulasannya Pak, NTT butuh sentuhan lembut karena itu sastralah ladangnya

    ReplyDelete