Tentang Kau, Engkau, dan Anda
Apakah memang kata “kau”
merendahkan martabat anggota Dewan? Mengapa kata “kau” itu digunakan Gubernur
pada waktu itu? Bagaimana hubungan kata “kau” dengan kata “engkau” dan kata
“Anda” yang ketiganya punyai kedudukan sama sebagai jenis pronomina persona
kedua tunggal? Kata apa yang sebaiknya digunakan dalam situasi resmi termasuk
dalam Sidang Dewan agar tidak menimbulkan salah pengertian? Hal ini yang diangkat
dalam opini pendek ini.
Kata “kau” dan “engkau” mempunyai
kedudukan sama dalam bahasa Indonesia sebagai pronomina (kata ganti) persona
kedua tunggal, yang menunjukkan makna sebagai lawan bicara dari pronomina (kata
ganti) persona pertama tunggal “saya” atau “aku.” Bentuk “kau” merupakan penggalan
dari bentuk “engkau.” Bandingkan bentuk “pak” dan “kak” yang merupakan penggalan
dari bentuk “bapak” dan “kakak.” Baik kata “kau” maupun “engkau” merupaan kosakata
asli bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia kini.
Bagaimana kaidah/aturan penggunaan kata
“kau” dan “engkau” ini? Seturut buku Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi III, cetakan ke-5, tahun 2003, halaman 253),
kedua kata ini dipakai oleh (1) orang tua terhadap orang muda yang telah
dikenal dengan baik dan lama; (2) orang yang status sosialnya lebih tinggi; dan
(3) orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.
Ketiga kaidah pemakaian ini tentu saja dalam situasi normal.
Yang terjadi dalam Sidang Paripurna
DPRD NTT pada Senin, 17 September 2018 itu dalam situasi tidak normal. Situasi
tidak normal itu terjadi karena Gubernur Viktor Laiskodat merasa tersinggung
dengan tekanan interupsi anggota Dewan Noviyanto. Karena emosi, Gubernur
Laiskodat dengan kasar “membentak” Noviyanto: “Diam kau, jangan persalahkan
pemerintah dan gubernur!” Mungkin saja Gubernur merasa lebih tua atau lebih
tinggi status sosialnya dari Noviyanto sehingga merasa wajar saja kata itu
digunakan, meski dalam nada tinggi dan marah.
Karena situasi tidak normal pula,
anggota Dewan Noviyanto yang interupsi merasa harga dirinya direndahkan.
Mengapa? Karena selama ini tidak lazim seorang pejabat eksekutif membentak
anggota Dewan yang menjadi mitra sejajarnya. Anggota Dewan Noviyanto kaget
dibentak seorang pejabat eksekutif, menggunakan kata “kau” pula. Yang lazim
terjadi selama ini, anggota Dewan suka-suka membentak pejabat eksekutif. Kini
terjadi sebaliknya, dan ternyata anggota Dewan tidak siap menerima kemungkinan
baru oleh gubernur baru yang progresif. Padahal sesungguhnya bentak-membentak
dalam Sidang Dewan itu hal biasa, sebagai dinamika sidang. Yang penting bagi
rakyat NTT, muara dari bentak-membentak itu untuk kepentingan rakyat NTT, agar
NTT tidak lagi menjadi 5 besar provinsi termiskin di Indonesia, tidak lagi
menjadi 5 besar provinsi dengan kinerja
terburuk, dari 34 provinsi di Indonesia. Itu yang penting.
Ada banyak kasus perdata/pidana
dalam masyarakat kita yang muncul karena penggunaan kata “kau” yang tidak pada
tempatnya. Saya pernah diminta menjadi saksi ahli oleh Polres Ende dalam kasus penghinaan
(pencemaran nama baik) karena penggunaan kata “kau” dan kata-kata makian lain, seperti babi, anjing, dan puki mai, oleh
orang muda kepada orang lebih tua. Untung saja kasus itu tidak sampai di
pengadilan karena kedua belah pihak mau berdamai secara adat.
Kata sapaan apa sebaiknya digunakan
dalam situasi resmi, termasuk dalam Sidang Dewan? Sebaiknya menggunakan jenis pronomina
(kata ganti) persona kedua tunggal yang lain, yakni kata “Anda.” Kata “Anda”
mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan kata ganti you dalam bahasa Inggris. Kata “Anda”
adalah bentuk sapaan netral, bersifat demokratis, bermartabat, bebas dari kesan
feodal dan status sosial. Kata “Anda” disarankan untuk dilazimkan
penggunaannya.
Di samping kata “Anda,” dalam
Sidang Dewan juga bisa digunakan sapaan “bapak” atau “ibu.” Namun ingat, kalau
menggunakan kata “bapak” atau “ibu” diikuti dengan nama orang, bukan diikuti nama
jabatan. Misalnya, yang terhormat Bapak Viktor Laiskodat, atau Bapak Noviyanto.
Tidak bisa, misalnya, yang terhormat
Bapak Gubernur, atau, yang terhormat Bapak Ketua Dewan. Yang benar, yang
terhormat Gubernur NTT, atau, yang terhormat Ketua Dewan.
Dari dahulu sampai dengan sekarang penggunaan
kata “kau” dan “engkau” dinilai kurang sopan, kurang demokratis, kurang beradab,
dalam situasi resmi. Itulah sebabnya, sejumlah tokoh nasional sejak tahun
1950-an berusaha mencari kata sapaan baru yang dinilai sopan, demokratis, dan
beradab, sebagai pengganti kata “kau” dan “engkau.” Hasilnya, muncullah kata
baru, yakni kata “Anda.” Kata ini tidak ada dalam berbagai kamus bahasa Melayu.
Kata “Anda” disarankan untuk digunakan secara umum dan dalam situasi resmi,
termasuk dalam Sidang Dewan. Lihatlah
para pewawancara televisi, mereka biasa menggunakan sapaan “Anda” dengan
santai dan rileks.
Riwayat kelahiran kata “Anda” ini menarik
untuk diketahui. Menurut tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar, dalam bukunya Bahasa Jurnalistik Indonesia & Komposisi
(cetakan ke-5, tahun 2004, halaman 13-15), kata “Anda” dilahirkan/dicetuskan oleh
seorang perwira militer Angkatan Udara Indonesia (AURI) bernama Kapten Sabirin.
Sabirin membentuk kata “Anda” ini dengan mengambil bentuk “da” dari bahasa Kawi
(Jawa Kuno) yang mengandung arti “yang mulia.” Bentuk “da” ini ditambahkan dengan
bentuk “an-” sehingga menjadi “Anda.” Kata-kata lain yang sumbernya dari bentuk
“da” dan “an-” adalah kata ayahanda, ibunda, kakanda, dan adinda yang merupakan
kata sapaan akrab dan beradab dalam lingkungan keluarga.
Setelah dicetuskan Kapten Sabirin,
orang pertama yang memublikasikan kata “Anda” untuk masyarakat Indonesia adalah
Rosihan Anwar. Rosihan Anwar menggunakan kata “Anda” pertama kalinya pada
harian Pedoman yang dipimpinnya,
edisi Kamis, 28 Februari 1957. Dua minggu kemudian, lewat harian yang sama,
edisi Minggu, 14 April 1957, seorang ahli bahasa dan sastra Indonesia, Sutan
Takdir Alisjahbana (STA), menyatakan persetujuannya atas kata “Anda” sebagai
kata ganti orang kedua tunggal untuk “digunakan” secara resmi dalam bahasa
Indonesia.
Lebih lanjut STA mengusulkan agar penulisan
huruf awal kata “Anda” menggunakan huruf besar. Usulan STA itu diterima,
sehingga sejak 1957 sampai dengan saat ini, penulisan huruf awal kata “Anda”
adalah huruf besar. Jadi, hari lahir kata “Anda” adalah 28 Fabruari 1957. Pada
tahun 2018 ini kata “Anda” sudah berusia 61 tahun.
Dalam bukunya Indonesia in the Modernworld (1961), STA menjelaskan argumentasi
secara linguistik (ilmu bahasa) penerimaan kata “Anda” sebagai kata ganti orang
kedua tunggal dalam bahasa Indonesia. Kata “Anda” dinilai paling netral, demokratis,
beradab, menunjukkan rasa hormat, tidak membedakan jenis kelamin, status
sosial, umur, dan tidak bersifat feodal. *
Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,Universitas Flores, Ende
(Telah
dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang,
edisi Rabu, 3 Oktober 2018)
Post a Comment for "Tentang Kau, Engkau, dan Anda"