Belajar dari Kritikus Sastra HB Jassin
HB Jassin
(Hans Bague Jassin) adalah tokoh legendaris dalam dunia kritik sastra dan dokumentsi sastra Indonesia. Beliau lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917, meninggal dunia
di Jakarta pada 11 Maret 2000, dalam usia 83 tahun. HB Jassin dikenal luas sebagai Paus Sastra Indonesia. Julukan Paus Sastra Indonesia diberikan
Gayus Siagian dalam sebuah simposium sastra (1965). Pada awalnya sekadar sebagai guyonan, lama-kelamaan menjadi kenyataan dan diakui banyak kalangan.
Seperti
gajah meninggalkan gading, HB Jassin pun meninggalkan nama besar dan tenar sebagai
kritikus dan sebagai dokumentator sastra Indonesia. Sebagai kritikus merangkap
sebagai dokumentator sastra itulah yang menyebabkan kedudukan HB Jassin
bersifat legendaris, yang tak tergantikan sampai dengan saat ini. Ada sejumlah
nama besar kritikus setelah HB Jassin meninggal, namun tidak merangkap sebagai
dokumentator sastra yang handal dan tangguh.
HB
Jassin menempuh pendidikan formal di HIS Gorontalo (1932), MBS-B di Medan
(1939), Fakultas Sastra UI (1957), dan Yale University, Amerika Serikat (1958-1959)
bidang Studi Ilmu Perbandingan Kesusasteraan. Dosen luar biasa di Fakultas
Sastra UI (1953-1959, 1961-1975). Pernah dipecat dari UI karena terlibat dalam
penandatanganan Manifes Kebudayaan pada masa Demokrasi Terpimpin era Presiden
Soekarno. HB Jassin pernah bekerja di Lembaga Bahasa dan Budaya (1954-1973) yang
kini bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI. Pada 24
Agustus 1970 Gubernur DKI Ali Sadikin mengangkat HB Jassin sebagai anggota
Akademi Jakarta yang diketuai Sutan Takdir Alisjabana, keanggotaan Jassin
berlaku seumur hidup. Pada tahun 1975 HB Jassin mendapat anugerah Doktor
Honoris Causa (Dr. HC) dari UI, dengan orasi berjudul “Sastra Indonesia sebagai
Warga Sastra Dunia.”
Sejumlah
kritikus sastra akademik aliran Rawamangun (tempat Fakultas Sastra UI pada
waktu itu) yang mendapat bimbingan langsung dari HB Jasin, antara lain Boen S.
Oemarjati, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, dan Bahrum Rangkuti.
HB Jassin dianugerahi 11 penghargaan dan tanda jasa, antara lain Satyalencana
Kebudayaan dari Pemerintah RI (1969) atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan,
dan hadiah Martinus Nijhof (1973) dari Prins Bernhard Fonds di Den Haag (Belanda)
atas terjemahan novel Max Havelaar
karya Multatuli. Menerima hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay Filipinan
(1987), dan anugerah Bintang Mahaputera Nararaya oleh Pemerintah RI (1994).
Awal
karier cemerlangnya pada tahun 1940, di mana HB Jassin mengambil keputusan meningalkan
tanah kelahiran Gorontalo hijrah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka (1940-1942)
atas permintaan Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994). Pada waktu tinggal di
Jakarta dalam usia 23 tahun itulah HB Jassin mulai melakukan kegiatan dokumentasi
sastra Indonesia sampai wafanya tahun 2000. Jadi, beliau melakukan kegiatan
dokumentasi sastra Indonesia selama 60 tahun, dari tahun 1940 sampai 2000.
Hasilnya adalah Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDS HB Jassin) yang kini berpusat
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. PDS HB Jassin adalah pusat dokumentasi sastra
terbesar di Indonesia, diresmikan 28 Juni 1976.
Di
samping bekerja di Balai Pustaka, HB Jassin juga menjadi redaktur majalah Pudjangga Baroe (1940-1942), majalah Pandji Poestaka (1945-1947), majalah Pantja Raja (1945-1947), dan majalah Mimbar Indonesia (1947-1966). Akhirnya,
hampir semua penerbitan majalah sastra dan budaya di Indonesia pada pertengahan
abad XX tidak luput dari sentuhan tangan dingin HB Jassin, antara lain: Zenith,
Kisah, Sastra, Bahasa dan Budaja, Seni, Buku Kita, Bahasa dan Sastra, dan
Horison. Di samping penerbitan majalah, penerbitan buku-buku sastra pun mendapat
campur tangan HB Jassin: Balai Pustaka, Gapura, Gunung Agung, Nusantara,
Pembangunan, dan Pustaka Jaya (Puji Santosa, 2017).
Jenis
kritik sastra HB Jassin khas, bersifat impresif, bertujuan mendidik, teori
kritik sastra digunakan seperlunya saja. Sebagai kritikus sastra, HB Jassin
telah menerbitkan minimal 65 judul buku, dengan perincian sebagai berikut. Pertama, sebagai penulis asli, Jassin
telah menerbitkan 14 judul buku, antara lain berjudul Tifa Penyair dan
Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (4 Jilid,
1954, 1955, 1962, 1967), Heboh Sastra 1968 (1970). Kedua, sebagai editor buku-buku sastra, Jassin telah menerbitkan 26
judul buku, antara lain berjudul Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (1948),
Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948), Pujangga Baru: Prosa dan Puisi
(1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968). Ketiga, sebagai penerjemah, Jassin telah menerbitkan 25 judul buku,
antara lain berjudul Al Quran Bacaan Mulia (1978) terjemahan puitis atas Kita
Suci Al Quran dan novel Max Havelaar (1972) karya Multatuli seorang novelis
kelahiran Belanda.
Pada
tahun 1968 HB Jassin terlibat kasus pidana penodaan agama karena memuat cerpen berjudul
“Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin dalam majalah Sastra Nomor 8, Agustus 1968. Pemuatan cerpen ini menyulut
peristiwa yang dikenal dengan nama Heboh
Sastra 1968. Terjadi perdebatan panas di kalangan sastrawan, pengamat dan
kritikus sastra, serta alim ulama, karena cerpen itu dianggap menistakan agama
Islam. Karena banyak kalangan yang menentang isi cerpen itu, maka pada 22
Oktober 1968 Kipanjikusmin (nama samara yang sampai kini tidak diketahui siapa
nama aslinya) meminta maaf kepada publik dan menyatakan mencabut cerpen
tersebut dari majalah Sastra dan menganggap
cerpen itu tidak pernah ada.
Namun
demikian, HB Jassin sebagai redaktur majalah Sastra yang bertanggung jawab atas pemuatan cepen tersebut tetap
berurusan dengan pengadilan karena HB Jassin tidak mau membuka identitas asli
penulis Kipanjikusmin. Jassin bersikukuh mempertahankan pendapatnya bahwa karya
sastra adalah urusan imajinasi, bersifat fiktif. Kebenaran karya sastra adalah
kebenaran keyakinan, bukan kebenaran faktual yang bersifat objektif. Jassin pun
menjalani masa-masa persidangan lebih dari satu tahun, sejak 30 April 1969
sampai 28 Oktober 1970. Pada 28 Oktober 1970 HB Jassin divonis satu tahun
penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Mengapa
HB Jasin bersikukuh membela cerpen “Langit Makin Mendung” dan penulisnya
Kipanjikusmin? Menurut Bagus Takwin dalam tulisan “Hasrat dan Semesta Sastra HB
Jassin” (2011), ada empat dimensi dalam hasrat sastrawi HB Jassin yang
membuatnya teguh membela karya sastra dan sastrawan, yakni untuk kemajuan/kebaruan
sastra, sastra mempunyai daya pikat luar biasa, sastra bersifat universal, dan perjuangan
di bidang sastra penuh resiko. *
Oleh Yohanes Sehandi
Penulis Buku Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai.
(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Selasa, 31 Juli 2018)
Post a Comment for "Belajar dari Kritikus Sastra HB Jassin"