Taman Budaya Gerson Poyk
Salah satu bentuk penghargaan dan rasa hormat Pemprov NTT terhadap sastrawan dan jurnalis senior Indonesia kelahiran NTT, Gerson Poyk, adalah dengan mengubah nama Taman Budaya NTT yang sudah ada, menjadi Taman Budaya Gerson Poyk. Pemberian nama itu, kata Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, agar nama almarhum dikenang generasi ke generasi NTT bahwa Gerson Poyk adalah tokoh sastra Indonesia (Pos Kupang, 26/2/2017).
Sejak Gerson Poyk meninggal dunia di RS Hermina, Depok, Jawa Barat, pada Jumat (24/2/2017), beredar luas sebuah petisi yang sampai dengan Sabtu (25/2/2017) ditandatangani sekitar 200 tokoh NTT dari berbagai elemen masyarakat. Petisi berisi dua tuntutan menonjol, yakni (1) Gerson Poyk harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Dharmaloka, Kupang, (2) Pemprov NTT harus mendirikan Perpustakaan Gerson Poyk di Kupang.
Tuntutan yang pertama tidak terpenuhi saat ini oleh Pemprov NTT karena prosedur dan persyaratannya tidak sederhana. Yang bisa dilakukan Pemprov NTT adalah dengan memberi nama Taman Budaya Gerson Poyk. Sedangkan tuntutan kedua, yakni membangun Perpustakaan Gerson Poyk di Kupang, sampai kini belum mendapat jawaban Pemprov NTT.
Taman Budaya yang Hidup
Kita berterima kasih kepada Pemprov NTT yang telah memberi penghargaan dalam bentuk nama Taman Budaya Gerson Poyk setelah beliau meninggal dunia. Ini sebuah kemajuan cara pandang yang patut diapresiasi, meskipun terlambat. Sepanjang hidupnya, artinya sebelum Gerson Poyk meninggal dunia, belum pernah mendapat penghargaan apapun dari Pemerintah Daerah, baik dari Pemprov NTT maupun dari Pemkab/Pemkot di NTT.
Sikap Pemerintah Daerah di NTT itu disayangkan Fanny Jonathan Poyk, anak sulung Gerson Poyk yang selalu mendampingi beliau selama hidupnya (Pos Kupang, 27/2/2017). Fanny Jonathan tentu merasakan betul kesulitan biaya hidup dan biaya sakit ayahnya selama ini, akibat prinsip hidup Gerson Poyk yang teguh: menolak tunduk didikte oleh paham materialisme dan bekerja demi kemanusiaan. Kehidupan keluarga jadinya memang melarat.
Ya, mau bagaimana lagi. Meskipun terlambat, yang penting sudah ada perubahan cara pandang Pemprov NTT yang patut diapresiasi. Orang-orang NTT kini sudah tahu bahwa ada Taman Budaya Gerson Poyk. Yang kini harus dipikirkan bersama oleh berbagai elemen masyarakat NTT, terutama Pemprov NTT yang bertanggung jawab atas pengelolaan Taman Budaya Gerson Poyk ini, adalah bagaimana strategi pengelolaan yang dilakukan agar ke depan Taman Budaya Gerson Poyk ini hidup, bergairah, dan kreatif, tidak sebaliknya menjadi Taman Budaya Gerson Poyk yang mati atau setengah mati atau hidup enggan mati tak mau. Pola pengelolaan Taman Budaya NTT sebelumnya yang kurang kreatif, kini harus dirombak.
Gubernur Frans Lebu Raya perlu menempatkan seorang figur kuat yang cocok untuk memimpin UPT Taman Budaya Gerson Poyk. Pilihlah tokoh yang memiliki tingkat kecerdasan khusus, mempunyai semangat hidup, bergairah, kreatif, mau berkorban, tidak materialistik seperti sikap hidup Gerson Poyk, demi kemajuan peradaban di provinsi ini. Figur itu harus mampu menciptakan event-event (momen-momen) kegiatan seni sastra dan budaya yang menggairahkan generasi muda NTT.
Yang tidak kalah pentingnya adalah Pemprov NTT jangan menyamakan UPT Taman Budaya Gerson Poyk ini seperti UPT-UPT yang lain yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Lembaga kebudayaan dan lembaga agama (juga lembaga pendidikan) bukanlah sumber uang untuk PAD. Dana harus disiapkan dalam APBD Provinsi NTT atau dana dekonsentrasi. Lembaga-lembaga benteng penjaga nilai dan moral ini memiliki tugas khusus untuk memberi roh atau semangat hidup, menanamkan nilai-nlai kemanusiaan, membangun moral peradaban, dengan cara-cara yang etis, estetis, dan kreatif.
Syair lagu kebangsaan Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,” adalah syair lagu dengan pendasaran filosofis kuat membangun peradaban bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang beradab, dimulai dengan membangun jiwanya (pikiran, perasaan, dan kehendak) anak-anak bangsa, baru kemudian membangun badannya (sandang, pangan, papan, dan kebutuhan jasmani yang lain).
Lembaga kebudayaan dan lembaga agama (juga lembaga pendidikan) bertugas membangun jiwa anak bangsa, jangan dibebani mencari uang untuk PAD. Kalau lembaga kebudayaan dibebani mencari uang, yang dikembangkannya adalah produk budaya picisan, murahan, dan rongsokan, bukan produk budaya adiluhung bernilai tinggi. Demikianpun lembaga agama, kalau dibebani mencari uang, lembaga ini akan menjadi pedagang agama, ayat-ayat kitab suci diperdagangkan untuk mendapatkan uang. Kasus Pilkada DKI Jakarta adalah sebuah contoh, bagaimana agama diperdagangkan sesuai order untuk kepentingan mendapatkan uang oknum-oknum tertentu.
Pusat Dokumentasi Sastra NTT
Di dalam Taman Budaya Gerson Poyk perlu dibangun Pusat Dokumentasi Sastra NTT. Di sinilah semua karya sastra dan karya jurnalistik Gerson Poyk dipajang dan didokumentasikan untuk dipelajari berbagai kalangan. Dalam data dan koleksi pribadi saya, karya sastra Gerson Poyk yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku minimal 29 judul buku, dengan perincian 13 judul buku novel, 14 judul buku kumpulan cerpen, satu judul buku kumpulan puisi, dan satu judul buku karya jurnalistik bergaya sastra. Sedangkan karya sastra Gerson Poyk yang belum dibukukan, berupa cerpen, puisi, naskah drama, esai sastra, kritik sastra, dan ulasan sastra, jumlahnya bisa mencapai ribuan judul, tersebar di puluhan bahkan ratusan media cetak di Indonesia. Beliau sendiri menyebut jumlahnya sekitar 2-3 karung.
Di gedung Pusat Dokumentasi Sastra NTT ini pula, karya-karya para sastrawan NTT atau karya-karya sastra tentang NTT dipajangkan dan didokumentasikan untuk dipelajari berbagai kalangan. Dalam data dan koleksi pribadi saya, sampai dengan pertengahan tahun 2016 lalu, para sastrawan NTT yang tersebar di NTT dan di luar NTT, minimal telah menerbitkan 157 judul buku sastra. Adapun perinciannya, 64 judul buku novel, 41 judul buku kumpulan cerpen, dan 52 judul buku kumpulan puisi. Di gedung ini pula orang-orang NTT atau luar NTT atau luar negeri dapat melakukan studi atau kajian terhadap karya-karya Gerson Poyk dan karya-karya para sastrawan NTT yang kini jumlahnya lebih dari 40 orang.
Upaya melakukan pendataan dan dokumentasikan karya-karya sastra NTT mendesak untuk dilakukan agar puluhan atau ratusan tahun ke depan, anak-anak NTT tidak perlu mencarinya di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta atau harus terbang ke Leiden, Belanda, untuk mempelajari karya-karya Gerson Poyk dan karya-karya para sastrawan NTT yang lain. Kalau hal itu sampai terjadi, yang dinilai gagal adalah generasi NTT yang ada sekarang. Hal itu tentu dapat dicegah dari sekarang ini. Oleh siapa? Oleh para pejabat kita yang bekerja di Provinsi NTT sekarang ini. Kepada mereka kita menaruh harapan besar. *
Oleh: Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende
(Telah dimuat hari Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Rabu, 8 Maret 2017)
Terima kasih Bp, sudah menegaskan sekaligus menggugah masyarakat NTT tentang eksistensi sastra dan sastrawan NTT lewat tulisan ini. Kita berharap dari hari ke hari makin tumbuh dan berkembang apresiasi terhadap sastra di NTT. Tanpa disadari sastra memang selalu menyimpan kekuatan tersendiri untuk terus berjalan dan sebagai jalan untuk - meminjam kata-kata sahabat saya Eko Prasetyo, "memeluk kebenaran"
ReplyDeleteBetul Ase, terima kasih. Kita pupuk terus kekayaan regional NTT meskipun belum banyak disadari orang banysk
ReplyDeleteItylah salah satu tugas dan fungsi kritikus sastra. Menjembatani karya pengarang dgn khalayaknya. Sekalipun pengarangnya sdh tiada tapi berkat kritokus karyanya selalu hidup diulas dan diteguhkan nmnya dlm berbagai wujud penghargaan. Selamat untuk Taman Budaya Gerson Poyk. Selamat untuk kritikus Bapak Yohannes Sehandi.
ReplyDeleteHao menyenangkan, Dr. Sastri Sunarti, orang penting di Badan Bahasa, ikut memberi penguatan. Trims ya Sastri. Salam dari Ende Kota Pancasila. Hehe
ReplyDelete