Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Virgin, di Manakah Perawanmu?

Virgin … itulah mahkota para gadis
Tapi, Virgin sahabatku bermandi duka
Janji pada kekasih musnah terkubur aib
Meratapi peluh tubuh karena ternoda
Oleh lelaki biadab buta moral

(Santisima Gama)

Puisi yang dikutip di atas merupakan salah satu bait puisi penyair Santisima Gama yang terdapat dalam buku antologi puisi berjudul vulgar dan menantang: Virgin, di Manakah Perawanmu? Buku tipis dengan format kecil ini diterbitkan Penerbit Karmelindo, Malang, tahun 2012. Diberi Pengantar oleh Adrianus Pristio, O.Carm, dengan endorsemen oleh Lusia Adinda Lebu Raya, Maria Matildis Banda, dan Hengky Ola Sura.

Buku antologi puisi setebal 87 halaman ini memuat 50 judul puisi Santisima dengan beragam tema, antara lain, tema sosial, politik, ideologi, hukum, moral, dan religius. Di bagian akhir setiap puisi dicantumkan peristiwa/momen tertentu, tempat, dan/atau tanggal kelahiran atau penulisan puisi. Seolah menunjukkan kepada pembaca bahwa peristiwa/momen itulah yang memicu penyair untuk menulis puisi tersebut. Sejarah kelahiran sebuah puisi akhirnya bisa dilacak. Kita jadinya memaklumi bahwa puisi-puisi dalam buku antologi ini  adalah potret realitas sosial yang tercerap panyair. Santisima adalah salah satu contoh penyair NTT yang terlibat dalam realitas sosial masyarakat lingkungannya.

Dari sekian banyak tema yang diangkat Santisima, tema penindasan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan cukup menarik untuk disimak dan dibahas. Tema itu diangkat dalam beberapa puisi yang tentu bertolak dari kasus atau realitas sosial yang terjadi di Provinsi NTT atau di Indonesia  umumnya, seperti kasus pemerkosaan, kasus perdagangan orang (human trafficking), kasus eksekusi TKI Ruyati, kasus TKI Nirmala Bonat dan Darsem, dan kasus penindasan yang lain.


Santisima Gama

Terhadap kasus perdagangan orang, penyair Santisima mengangkatnya dalam puisi “Pahlawan Devisa” (halaman 19). Santisima menulis: //Bukan pahlawan tanpa tanda jasa/ Ada kiasan sastra terpampang di pundak/ Engkaulah pahlawan devisa memikul penat/ Mengais rezeki di negeri orang cerdik/ Menuai badai dalam bara nestapa//Dari Nirmala Bonat hingga Ruyati/ Lagi-lagi kaum hawa teraniaya/ Tragedi Nirmala menjadi kisah awal/ Tragedi Ruyati menjadi harapan terakhir/ Hapus kekerasan terhadap insan lemah//.

Sebagaimana puisi realitas sosial yang lain, lewat puisi Santisima juga melakukan protes sosial: //Penguasa bangsaku jangan berdiam diri/ Pikirkan tangan-tangan para penjual tenaga/ Mereka tak punya daya di tanah seberang/ Lari bersembunyi tanpa kemah perlindungan/ Ini bukan salah mereka!//. Gugatan lain Santisima dalam bait keempat puisi “Perempuan Perkasa” (halaman 56) berbunyi: //Kuberlindung dalam rahim ibu pertiwi/ Mengetuk hati para pejabat berdasi/ Secuil harapan berlabuh di pundak bangsa/ Bebaskan diriku dari cambuk belenggu maut/ Kutatap Indonesiaku … masih punya hati nurani/.

Terhadap gadis belia korban kekerasan seksual yang dilukiskan dalam puisi “Virgin, di Manakah Perawanmu?” (halaman 38) Santisima memberi hiburan meski dalam kepasrahan: //Maafkan aku Virgin/ Tak menemanimu kala itu/ Aku tahu kau merasa terpuruk/ Menatap impian tanpa senyum/ Namun, tegarlah bersamaku/ Meniti hari esok lebih cerah//.

Menikmati 50 judul puisi dalam buku ini menghadirkan kesan betapa cermatnya Santisima menyusun puisi-puisinya. Santisima dengan cermat menyusun bait-bait dan baris-baris puisinya. Sebagian besar puisinya terdiri atas empat bait, dan setiap bait terdiri atas empat baris. Hanya beberapa puisi yang terdiri atas tiga, lima, dan enam bait/baris. Setiap bait pun diakhiri dengan tanda titik, dan setiap baris puisi diawali dengan huruf besar. 

Membaca puisi-puisi Santisima mirip membaca karya prosa. Membaca bait puisi mirip membaca sebuah paragraf, membaca baris puisi mirip membaca sebuah kalimat. Ini dilakukan penyair dengan penuh kesadaran dan perhitungan. Tentu tidak banyak penyair melakukan hal seperti itu.

Memahami puisi-puisi Santisima dalam buku ini tidaklah sulit. Tidak membutuhkan imajinasi untuk menafsirkannya. Menurut saya, puisi-puisi Santisima masuk dalam kelompok aliran realisme, sebuah aliran dalam teori sastra yang berusaha melukiskan atau menceritakan sesuatu sebagaimana adanya, sesuai dengan kenyataan. Puisi-puisinya ada dalam kenyataan, bisa dibuktikan kebenarannya. Semua puisi dalam buku antologi ini menunjukkan karakter yang sama, dan itu memang ciri khas penyair Santisima. Kualitas puisi Santisima diukur dari ketajaman mata hatinya dalam mengangkat realitas sosial ke dalam ketajaman formulasi mata pena karya-karya sastranya.

Penilaian tentu saja berbeda antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lain. Pembaca realis, yang ingin menjadikan sastra sebagai sarana perjuangan, tentu menikmati betul puisi-puisi Santisima. Pembaca bukan realis tentu saja berbeda penilaiannya. Sebagai pembaca dan pengamat sastra, saya memiliki perangkat penilaian sendiri terhadap sebuah puisi, yang tentu bisa berbeda dengan pembaca dan pengamat sastra yang lain. Seperti pernah saya kemukakan dalam opini “Puisi yang Baik dan yang Buruk” (Pos Kupang, Selasa, 13/9/2016) dan opini “Menafsirkan Makna Sebuah Puisi” (Pos Kupang, Rabu, 28/9/2016), saya berpendapat bahwa puisi yang baik, yang berbobot literer, adalah puisi yang berada antara dua dunia atau dua realitas, yakni realitas faktual (fakta) dan realitas fiksi (imajinasi).

Puisi yang baik selalu berada dalam arus ketegangan antara dua realitas itu. Realitas faktual adalah realitas yang diangkat penyair yang dengan mudah tercerap oleh pancaindra, ada dalam kenyataan, kebenarannya adalah kebenaran faktual. Sedangkan realitas fiksi adalah realitas imajinasi, hanya ada dalam pikiran dan perasaan penyair, namun seolah-olah ada dan terjadi di mata hati pembaca, kebenaranya adalah kebenaran keyakinan. Puisi-puisi Santisima dalam buku antologi ini lebih kuat berada pada realitas faktual dibandingkan realitas fiksi.

Santisima Gama adalah salah seorang dari sedikit perempuan NTT di panggung sastra. Dalam buku saya terakhir Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015), Santisima Gama masuk dalam jajaran 44 sastrawan NTT. Lahir pada 11 Juni 1982 di Maumere, Kabupaten Sikka. Meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere. Pada saat ini Santisima sedang menyelesaikan Magister pada Fakultas Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Selain menulis puisi, Santisima juga suka menulis artikel opini tentang perempuan dan anak-anak di berbagai media massa cetak yang tersebar. Mempunyai minat khusus pada masalah perempuan dan anak-anak. Dua buku biografi tokoh di NTT yang ditulisnya dalam gaya sastra telah diterbitkan, yakni buku Kutunjuk Binangku, Biografi Drs. Daniel Woda Palle (2011) dan Perempuan Tangguh, Biografi Lusia Adinda Lebu Raya (2015), keduanya diterbitkan Penerbit Ledalero, Maumere. *


Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Kamis, 30 Maret 2017)

           

3 comments for "Virgin, di Manakah Perawanmu?"

  1. Selamat untuk kak Santisima atas buku terbaru ini; semakin menambah kasanah sastra khususnya NTT, sekaligus motivasi bagi generasi muda untuk terus membangun NTT dengan berbagai potensi yang dimiliki termasuk sastra. Selamat dan apresiasi yang tinggi juga utuk Bapak Yan Sehandi yang dengan caranya selalu mengikuti, mengamati, dan mengapresiasi setiap karya yang lahir dari anak-anak NTT.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih Ase R. Fahik penulis novel "Likurai untuk Sang Mempelai"

    ReplyDelete
  3. Makasih ulasannya....saya kebetulan penasaran dengan penulis yang satu ini

    ReplyDelete