Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjaga Mata Pisau Sapardi Djoko Damono

Mata Pisau

 

mata pisau itu tak berkejap menatapmu;

kau yang baru saja mengasahnya

berpikir: ia tajam untuk mengiris apel

yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

 

(Sapardi Djoko Damono)

           

Marilah kita menikmati puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Mata Pisau.” Sapardi seorang penyair besar Indonesia. Lahir pada 20 Maret 1940. Ia menulis puisi sejak 1957 ketika masih duduk di bangku SMA. Tahun 1969 menerbitkan buku puisi pertamanya berjudul Duka-Mu Abadi. Sapardi dikenal sebagai penyair serius dengan mengandalkan kekuatan kata-kata (tergantung pada kata-kata) dalam membangun puisi-puisinya.

 

Sapardi adalah guru besar (profesor) bidang sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Puisi “Mata Pisau” ini saya kutip dari buku kumpulan puisi lengkap Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni (Gramedia, Jakarta, cetakan ke-7, Maret 2016, halaman 53). Puisi ini ditulis pada 1971 dan dimuat pertama kali dalam buku antologi puisi Sapardi berjudul Mata Pisau (1974).

Mari kita cermati bersama puisi pendek dan sederhana ini. Puisi disusun dalam satu bait. Terdiri atas enam baris atau larik. Kalau dihitung, jumlah kata yang dipakai penyair hanya 32 kata. Semua  kata ditulis dengan huruf kecil. Semuanya juga gampang dimengerti. Ditambah dengan dua kata pada judul puisi, totalnya jumlah kata puisi ini menjadi 34 kata. 

 

Sapardi Djoko Damono 

Tanda baca yang digunakan penyair dalam puisi ini hanya dua, yakni tanda titik koma (;) ada dua, dan tanda titik dua (:) ada satu. Kalau kita cermati penempatan tanda baca titik koma (;), maka puisi ini sebetulnya terdiri atas tiga bagian, yang dipisahkan dengan tanda titik koma tersebut. Berikut ditunjukkan secar singkat ketiga bagian puisi tersebut.

Bagian (1) berbunyi: //mata pisau itu tak berkejab menatapmu//, bagian (2) //kau yang baru saja mengasahnya berpikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam//, bagian (3) //ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu//.

Setiap kita sebagai pembaca tentu memiliki penafsiran atas puisi pendek dan sederhana ini. Mungkin di antara kita ada penafsiran yang sama, mungkin mirip, mungkin pula berbeda. Semua itu sah-sah saja, karena hakikat puisi bersifat multi tafsir, multi interpretasi. Bahkan menurut teori persepsi yang dikembangkan Wilhelm Wundt (1832-1920) dan teori resepsi yang dikembangkan Hans Robert Jauss (19211997) di mana kedua teori ini bersumber pada pendekatan pragmatik seturut kerangka teoretikus sastra M. H. Abrams, makna puisi hanya bisa ditentukan oleh persepsi dan resepsi pembaca. Sepuluh orang pembaca sebuah puisi, bisa jadi menghasilkan sepuluh penafsiran. Makin banyak penafsiran, makin baiklah puisi itu.

Menurut hemat saya, puisi “Mata Pisau” ini termasuk puisi berbobot literer. Puisi yang berbobot literer adalah puisi yang bernilai sastra. Puisi ini memancarkan nilai kehidupan, kalau kita mampu menguaknya. Nilai sastra puisi ini terletak pada bagian (1) dan bagian (3). Bagian (2) hanya sebagai pengantar melengkapi unsur intrinsik sebuah puisi.

Bagian (2) disebut sebagai pengantar melengkapi unsur intrinsik sebuah puisi, karena hanya berisi berita atau informasi, bahwa ada sebuah pisau tajam yang baru saja diasah, yang akan dipakai untuk mengiris buah apel di atas meja, sehabis makan malam. Ini yang dalam ilmu sastra disebut sebagai realitas faktual (fakta), sesuatu yang benar ada dan terjadi, dapat dibuktikan dengan pancaindra. Jadi, bagian (2) ini tidak bernilai sastra.

Bagian (1) dan (3) puisi ini yang menurut saya, bernilai sastra. Kita diajak penyair untuk memasuki dunia baru, dunia yang tidak sekadar realitas faktual. Dunia baru inilah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai realitas fiksi (realitas imajiner). Realitas fiksi adalah realitas yang seolah-olah ada dan terjadi. Berkat imajinasi penyair yang tajam dan khas, realitas fiksi itu hadir dalam pikiran dan perasaan kita sebagai pembaca, seolah-olah ada dan terjadi, padahal sebetulnya tidak ada. Bila realitas fiksi (imajiner) dikaitkan dengan realitas faktual (fakta) dalam kehidupan sehari-hari, maka akan menghadirkan berbagai nilai, memancarkan pesan dan amanat, memberi peringatan dan awasan, kepada kita semua sebagai pembaca, untuk sudi merenungkannya dalam hidup dan kehidupan ini.

Para pencinta puisi yang budiman. Marilah kita membayangkan sebuah pisau beserta matanya yang tajam. Untuk apa kita gunakan pisau yang tajam? Tidak lain dan tidak bukan, untuk membantu kita dalam berbagai keperluan: untuk iris buah apel dan mangga, kupas bawang putih dan merah, potong sayur-mayur dan iris daging, dan keperluan rumah tangga lain. Makin tajam mata pisau itu, makin bagus dan mempercepat pekerjaan kita. Tetapi ingat, hai para pembaca budiman, kalau kita salah menggunakan pisau yang tajam, kita akan terluka. Luka karena tidak hati-hati menggunakannya. Pisau yang tajam, bisa pula disalahgunakan, misalnya untuk bunuh diri atau bunuh orang lain. Bila digunakan dengan baik, pisau tajam sangat membantu memperlancar pekerjaan kita. Sebaliknya, bila pisau tajam tidak dijaga atau disalahgunakan, mata pisau yang tajam akan mendatangkan celaka, menimbulkan malapetaka pada diri kita sendiri sebagai pemakainya.

Setiap kita tentu memerlukan pisau untuk memudahkan pekerjaan kita. Kita gunakan setiap saat sesuai dengan keperluan kita. Mata pisau ada di mana-mana. Mata pisau ada dalam keluarga. Mata pisau ada di sekolah. Ada di perguruan tinggi. Ada di perusahaan swasta. Ada di lembaga agama. Ada di dinas atau OPD (Organisasi Perangkat Daerah), dan lain-lain.

Marilah kita ambil contoh mata pisau yang ada dalam sebuah dinas atau OPD pemerintah. Kepala dinas tentu memiliki dan memerlukan banyak mata pisau untuk membantunya memperlancar berbagai pekerjaan kantor. Makanya, ada mata pisau sebagai bendahara dinas untuk mengurus keuangan, ada mata pisau sekretaris mengurus administrasi, ada mata pisau kepala subdinas, ada mata pisau pimpro, ada pula mata pisau pejabat pembuat komitmen sebuah proyek, dan lain-lain. Sekian banyak mata pisau dalam sebuah dinas, bukanlah benda mati, mereka berhitung dan mengawasi Anda sebagai kepala dinas. Bagian (1) puisi ini menggambarkan berbagai mata pisau yang terus memantau dan mengawasi Anda sebagai kepala dinas: //mata pisau itu tak berkejab menatapmu//. Tak berkejab artinya tak berkedip. Mata pisau itu seolah-olah menjadi manusia, karena hanya manusialah yang bisa berkedip. Inilah yang disebut sebagai realitas fiksi dalam karya sastra. Mata pisau seolah-olah manusia.


Anda sebagai kepala dinas tentu harus bisa menjaga dan membangun kerja sama dengan berbagai mata pisau yang menduduki jabatan itu. Untuk apa? Untuk memperlancar kinerja Anda sebagai kepala dinas. Kalau Anda mampu menjaga dan mensinergikan kekuatan sejumlah mata pisau yang ada, maka kinerja Anda dan instansi Anda akan terangkat dan terpuji, sukses.

Sebaliknya, kalau Anda tidak mampu menjaga dan membangun kerja sama dengan berbagai mata pisau yang menduduki sejumlah jabatan penting dalam dinas Anda, misalnya sering cekcok, bertengkar, berkelahi, saling mencurigai, memfitnah, saling menjegal satu sama lain, maka sebagai kepala dinas Anda siap menerima resiko, senjata makan tuan. Mata pisau akan berbalik arah, menjerat Anda sebagai kepala dinas.

Kalau mata pisau bendahara salah menghitung uang kantor dan uang proyek, mata pisau sekretaris lalai menertibkan administrasi, mata pisau pimpro berkolusi dengan kontraktor nakal dan tamak, mata pisau tajam yang telah Anda asah bertahun-tahun akan berbalik arah menikam Anda. Berbalik menjerat Anda dalam kasus pidana dan kasus-kasus lain. Itu terjadi karena Anda tidak piawai menjaga mata pisau yang Anda miliki. Baris terakhir puisi  ini menusuk kesadaran kita. Jantung kita seolah berhenti berdenyut. Aliran darah terkesiap membanyangkan malapetaka: //ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu//. *


Oleh Yohanes Sehandi

Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

 
(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Jumat, 4 November 2016)


6 comments for "Menjaga Mata Pisau Sapardi Djoko Damono"

  1. Terima kasih pak yohanes sehandi atas ulasan puisi mata pisau karya supardi djoko damono.

    ReplyDelete
  2. Trma ksih Pak...bahan refleksi jga nih...rasanya mmang antara kepercayaan n resiko kesalahan beda seinci saja...Smga Mata Pisau terbesar bisa mngtur smuanya😄😄😄😄

    ReplyDelete
  3. Terima kasih pak nutrisi yang baik untuk otak🙏

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bapak, sudah mengupas karya Supardi dengan mata pisau pikiran bernas sehingga saya dapat menikmati dengan renyah.

    ReplyDelete
  5. Keren bapak, bangun pagi dan disuguhkan tulisan ini. Sarapan yg cocok untuk beraktivitas hari ini. Terima kasih telah mengirimkan link ini ke saya.

    ReplyDelete