Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Asosiasi Tradisi Lisan Flores

Asosiasi Tradisi Lisan Flores (ATL Flores) terbentuk di Universitas Uniflor Ende pada Selasa, 22 Maret 2016. Pembentukan dilanjutkan dengan pelantikan pengurus ATL Flores periode 2016-2020 oleh Ketua Umum ATL Pusat Prof. Dr. Pudentia MPSS. Pelantikan berlangsung di Auditorium Uniflor, dihadiri sekitar 500 mahasiswa dan dosen Uniflor. Usai pelantikan dilanjutkan dengan kuliah umum tentang tradisi lisan oleh Pudentia. Kedua acara inti ini dibuka secara resmi oleh Rektor Uniflor Prof. Dr. Stephanus Djawanai.

Pengurus inti ATL Flores yang dilantik, Ketua: Dra. M. M. Bali Larasati, M.Hum, Wakil Ketua: Drs. Yohanes Sehandi, M.Si, Sekretaris: Imelda Oliva Wisang, S.Pd.,M.Pd, Bendahara: Yosephina Nirma Rupa, S.Pd.,M.Pd. Pengurus inti dilengkapi dengan enam bidang kajian dengan ketua bidang dan anggota-anggota bidang. ATL Flores diperkuat dengan pelindung: Prof. Dr. Stephanus Djawanai, Dr. Laurentius D. Gadi Djou, dan Dr. Simon Sira Padji. Sedangkan penasihat: Dr. Kanisius Rambut dan Dr. Petrus Pita. Seusai pelantikan pengurus ATL Flores, Pudentia memberikan kuliah umum tentang tradisi lisan kepada sekitar 500 mahasiswa dan dosen Uniflor, sebagian besar dari Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonseia (PBSI) dan Prodi Pendidikan Sejarah.

Dijelaskan, ATL dibentuk pada tahun 1996, dan Pudentia MPSS (lengkapnya: Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti) menjadi ketua umum sejak 1996 sampai sekarang. ATL adalah organisasi profesi yang telah lulus akreditasi Unesco (salah satu lembaga PBB). Tradisi lisan termasuk dalam warisan budaya takbenda yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi Unesco tahun 2003. ATL merupakan lembaga nirlaba yang menjadi wadah untuk menampung dan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bersifat akademik, seperti seminar, palatihan, penelitian yang berkaitan dengan tradisi lisan dan upaya memperkenalkan tradisi lisan kepada masyarakat umum dan dunia pendidikan. ATL juga memberikan beasiswa S-2 dan S-3.

Apa Itu Tradisi Lisan?

Secara sederhana, tradisi lisan diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dipelihara dan dijalankan oleh masyarakat pendukungnya dan dituturkan secara lisan dari satu generasi ke negerasi berikutnya. Tradisi lisan, sadar atau tidak, merupakan warisan budaya masyarakat yang mengandung berbagai nilai hidup dan kehidupan. Tradisi lisan, di samping mengandung kekayaan budaya masyarakat yang penuh dengan berbagai nilai, tradisi lisan juga sebagai identitas masyarakat pendukung dan pewaris budaya tersebut.

Pemahaman akan tradisi lisan tidak hanya berkisar tentang pemberian suatu ruang agar tradisi tersebut bisa digelar, tetapi secara tekstual dan kontekstual tradisi lisan tersebut harus dipahami. Tradisi lisan bisa menjadi semacam pintu masuk untuk memahami lebih jauh masyarakat dan budaya yang bersangkutan. Tujuannya agar nilai-nilai yang melekat dalam tradisi lisan tersebut bisa dipahami atau dilaksanakan, atau diberi nilai baru sesuai dengan konteks kemajuan masyarakat pada era sekarang ini.

Dalam sejumlah publikasi yang disebarkan oleh ATL Pusat, tradisi lisan tidak hanya menyangkut bahasa dan sastra lisan, seperti cerita rakyat, mite, legenda, hikayat, mantra, puisi, nyanyian, dan lain-lain, tetapi juga menyangkut sistem kognitif masyarakat, tuturan adat, adat-istiadat, sejarah etika, sistem genealogi, sistem pengetahuan, yang semuanya dituturkan secara lisan (oral) dari orang ke orang, dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.

Harkat suatu masyarakat antara lain ditentukan oleh budaya yang tumbuh dan berkembang jika didukung oleh masyarakat sebagai alih waris budaya tersebut. Dukungan itu sangat diperlukan agar terwujud sadar budaya bagi masyarakat sehingga meskipun masyarakat berada dalam gempuran budaya luar menggoda, masyarakat kita tetap mampu mempertahankan identitas budayanya yang khas dan tidak tercerabut dari akar budayanya.

Unesco dan Tradisi Lisan

Unesco, salah satu lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), selain memberi perhatian pada warisan budaya benda (tangible), juga pada warisan dunia takbenda (intangible) atau warisan budaya (cultural heritage) yang salah satunya tradisi lisan. Pada 2003 Indonesia telah meratifikasi Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage yang kemudian disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007. Dampak positif kebijakan ini, di samping dilakukan inventarisasi dan identifikasi tradisi lisan, sebagian karya budaya Indonesia telah ditetapkan statusnya sebagai warisan budaya takbenda Indonesia oleh Mendikbud bedasarkan rekomendasi tim ahli waris budaya takbenda Indonesia (Ayu Sutarto, 2015). 

Warisan budaya takbenda Indonesia yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi Unesco tahun 2003 meliputi (1) tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda, (2) berbagai jenis seni pertunjukan, (3) berbagai jenis adat-istiadat masyarakat, ritus-ritus, da perayaan-perayaan, (4) pengetahuan dan kebiasaan tentang alam semesta dan lingkungan, dan (5) berbagai jenis pengetahuan tentang kerajinan tradisional. Unesco mempunyai program khusus yang disebut World Heritage Center yang berusaha mendokumentasikan berbagai warisan budaya, warisan alam, dan warisan saujana, serta penetapannya sebagai warisan dunia. Warisan budaya dan warisan alam adalah aset tak ternilai dan tak tergantikan, bukan hanya bagi sebuah masyarakat, bangsa, dan negara, melainkan bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Asosiasi Tradisi Lisan Flores

Pembentukan ATL Flores yang berpusat di Uniflor Ende memberikan harapan akan masa depan tradisi lisan masyarakat Flores yang makin tergerus arus zaman. Masyarakat Flores di sini termasuk masyarakat di Lembata, Adonara, Solor, Palue, Komodo, Rinca, dan pulau kecil lain. ATL Flores diharapkan membuat perencanaan akan apa yang bisa dan penting dilaksanakan.

Masyarakat Flores memiliki warisan tradisi lisan yang sangat kaya dan beragam, yang merupakan warisan leluhur nenek moyangnya, sekaligus menunjukkan identitas masyarakatnya. Kekhasan identitas itulah yang membedakan masyarakat Flores yang satu dengan yang lainnya. Etnis Manggarai punyai perbedaan dengan etnis Ngada dan Nagekeo, misalnya. Etnis Ende-Lio  punyai perbedaan dengan etnis Sikka dan Lamaholot.

Kita masyarakat Flores memiliki banyak dan beragam cerita rakyat tentang berbagai hal yang menyangkut pelbagai aspek kehidupan masyarakat. Ada mite, legenda, dan sage. Masyarakat kita mempunyai banyak mitos, yakni cerita tentang dewa/dewi dan pahlawan zaman dahulu, cerita tentang asal-usul manusia dan semesta alam. Juga cerita tentang asal-usul dan terjadinya sebuah danau, sebuah gunung, mata air, dan tempat-tempat keramat yang dinilai bersejarah. Orang Komodo mempunyai cerita asal-usul ora (binatang Komodo). Orang Ende mempunyai cerita tentang terjadinya danau Kelimutu, gunung Meja, dan gunung Wongge.

Setiap etnis di Flores mempunyai pahlawan zaman purba yang menjadi panutan, ditakuti, punyai ilmu putih dan ilmu hitam. Pahlawan dalam masyarakat kita tidak hanya di dalam mitos dan dongeng, tetapi juga dalam zaman kerajaan, kedaluan, dan gelarang. Pahlawan-pahlawan ini juga muncul juga pada masa kolonial dan masa kemerdekaan.  Kita mengenal tokoh Motang Rua, Nipa Do, Marilonga, Raja Centis, dan lain-lain.

Masyarakat kita di Flores sangat kaya akan tuturan adat dan ritus-ritus unik yang diyakini mengandung kekuatan gaib. Tuturan adat dan ritus pada waktu membuka kebun baru, waktu menanam, memanen dan syukuran setelah panen. Tuturan adat dan ritus terjadi pada waktu meminang dan pernikahan adat. Tuturan adat dan ritus juga pada acara penguburan mayat, acara malam ketiga/keempat, dan seterusnya. Masih banyak lagi jenis tuturan adat dan ritus-ritus menarik dalam masyarakat kita.

Sejumlah tradisi lisan yang disebutkan di atas hanyalah sekadar contoh. Sebagian besar tradisi lisan ini kini kurang diketahui oleh generasi muda kita. Ada tradisi lisan yang hilang begitu saja. Ada yang masih dilaksanakan, tetapi sebagian besar tidak dilaksanakan. Ada nilai tradisi lisan yang merosot karena tidak diberi nilai baru oleh masyarakatnya. Akibatnya, generasi muda kita lebih tahu cerita Malin Kundang (Sumatera Barat), Roro Jonggrang (Jawa Tengah), dan cerita Bawang Merah dan Bawang Putih (Yogyakarta), dibandingkan dengan cerita rakyat yang tidak kalah menarik yang ada di tanah leluhurnya, Flores. *


Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasadan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat dalam majalah Warta Flobamora, terbitan Surabaya, pada edisi Nomor 40, Mei 2016)


1 comment for "Asosiasi Tradisi Lisan Flores"

  1. Senang ternyata sudah terbentuk asosiasi ini.....banyak tradisi lisan yang kalau tidak terselamatkan maka akan punah

    ReplyDelete