Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wanita Muda dan Ular Itu

Di Kebun Binatang

Seorang wanita muda berdiri terpikat 
    memandang ular yang melilit sebatang pohon 
    sambil menjulur-julurkan lidahnya; 
    katanya kepada suaminya: 
    “Alangkah indahnya kulit ular itu 
    untuk tas dan sepatu!”  
Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, 
    cepat-cepat menarik lengan istrinya, 
    meninggalkan tempat terkutuk itu.  

(Sapardi Djoko Damono, 1973)   

Para pencinta puisi yang budiman. Marilah kita menikmati puisi berjudul “Di Kebun Binatang” karya penyair legendaris Indonesia, Sapardi Djoko Damono.

Puisi ini dikutip dari buku kumpulan puisi Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2013, halaman 64). Sebelumnya puisi pendek "Di Kebun Binatang" ini termuat dalam buku kumpulan puisi Sapardi yang jauh sebelumnya berjudul Akwarium yang terbit pada tahun 1974.

 
Sapardi Djoko Damono (1940-2020)

Puisi ini hanya terdiri atas satu bait. Seperti puisi-puisi Sapardi yang lain, baris-baris puisinya disusun begitu saja, tidak disusun secara teratur.

Kalau kita cermati dari segi tipografi atau susunan baris puisi, puisi Sapardi ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dimulai dengan baris pertama //Seorang wanita muda berdiri terpikat/. Bagian kedua dimulai dengan baris ke tujuh //Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu/.

Puisi ini disajikan dalam bentuk cerita. Cerita biasa yang sering kita saksikan dalam kehidupan nyata. Cerita pada waktu bertamasya. 

Sepasang suami-istri bertamasya di kebun binatang. Si istri (wanita muda) terpikat pada seekor ular. Warna kulit ular itu begitu memukaunya. Begitu terpukaunya, hasrat duniawinya wanita muda itu muncul. Dia bayangkan, seandainya kulit ular yang berwarna-warni itu dijadikan tas dan sepatu. Pada waktu disampaikan kepada suaminya (lelaki muda), suaminya seperti teringat sesuatu. Cepat-cepat ditariknya lengan istrinya, meninggalkan tempat terkutuk itu.

Para pencinta puisi yang budiman. Kandungan makna dan nilai sebuah puisi terletak pada kata-kata yang membentuknya. Sapardi Djoko Damono termasuk salah seorang penyair Indonesia, di samping Goenawan Mohammad dan WS Rendra, sekadar menyebut dua nama,  yang membangun makna dan nilai puisi-puisinya dengan mengandalkan kekuatan kata atau “tergantung pada kata” meminjam istilah A. Teeuw dalam bukunya Tergantung pada Kata (Jakarta, Gramedia, 1980). 

Kredo atau kepercayaan “tergantung pada kata” ini berbeda dengan kredo penyair yang lain, misalnya kredo penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, sekadar menyebut dua nama, yang mengandalkan kekuatan “bunyi bahasa dan suasana” dalam membangun  makna dan nilai puisi-puisi yang diciptakannya.    

Mari kita cermati baris-baris puisi Sapardi di atas. Baris pertama sampai baris keenam, puisi itu belum berbicara apa-apa kepada kita. Enam baris itu hanyalah bercerita tentang peristiwa biasa, tentang seorang wanita muda di kebun binatang yang terpikat pada kulit seekor ular. Peristiwa inilah yang disebut sebagai realitas fakta, realitas yang terjadi dalam kenyataan, dalam kehidupan sehari-hari.

Tiga baris baris terakhir, yakni baris ke tujuh, delapan, dan sembilan, barulah puisi ini berbicara banyak kepada kita. Dalam tiga baris itu kita diajak penyair untuk memasuki dunia baru. Dunia baru inilah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai dunia fiksi atau realitas fiksi, realitas yang seolah-olah ada dan terjadi.  

Tatkala realitas fiksi dikaitkan dengan realitas fakta, maka karya sastra itu akan menampakkan nilai, menunjukkan makna, membawa pesan atau amanat yang harus kita renungkan. Renungan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan ini. Di sinilah letak kekuatan sebuah karya sastra, yang berbeda dengan karya lain yang bukan sastra.

Mari kita baca tiga baris terakhir itu: //Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu/, /cepat-cepat menarik lengan istrinya/, meninggalkan tempat terkutuk itu//. Yang perlu diberi perhatian  khusus di sini adalah makna kata-kata “teringat sesuatu” dan “tempat terkutuk itu.” 

Kata-kata “teringat sesuatu” menunjukkan sesuatu yang samar-samar, yang jauh, bahkan sangat jauh, namun sangat penting. Sedangkan kata-kata “tempat terkutuk itu” menunjukkan arti bahwa “kebun binatang” yang ada ularnya itu adalah tempat terkutuk yang harus dihindari, harus dijauhi, harus ditinggalkan. Dua baris terakhir inilah yang membangun realitas fiksi pada puisi Sapardi ini yang membuat puisi bernilai literer.

Apakah pernah terlintas dalam pikiran dan perasaan Anda bahwa lewat puisi ini penyair Sapardi mau membawa kita untuk merenungkan kembali sejarah awal umat manusia yang terjadi pada 2000-an tahun yang lampau? Masihkah Anda ingat sejarah awal manusia yang bermula pada sebuah kebun yang penuh dengan kemewahan dan kenikmatan? Masihkah Anda ingat bahwa dua orang penghuninya diusir keluar dari kebun itu karena terjebak godaan seekor ular?  

Konon diceritakan para nenek moyang kita secara turun-temurun, bahwa pada suatu masa dahulu kala, ada sebuah kebun besar bernama Kebun Firdaus atau Taman Eden. Di dalam Taman Eden itu hidup sepasang suami-istri, Adam dan Hawa. Mereka leluasa menikmati kemewahan dalam kebun itu. Hanya satu hal yang tidak boleh mereka lakukan, yakni makan buah terlarang. “Kalau melanggar, kamu keluar dari kebun ini,” kata pemilik dan penguasa kebun besar itu yang bernama Yahwe.

Pada suatu siang, godaan maut itu datang. Seekor ular muncul di kebun itu melilit sebatang pohon yang berbuah lebat. Sambil menjulur-julurkan lidahnya, ular menggoda si wanita muda, Hawa, untuk makan buah terlarang. Hawa termakan godaan ular yang menjulur-julurkan lidahnya. Hasrat duniawi si perempuan muda itu menguasainya.  Dia makan buah terlarang. Malapetaka pun terjadi. Hawa diusir keluar dari Kebun Firdaus. Adam pun terpaksa ikut terusir karena tidak tega membiarkan istrinya terlunta-lunta di luar kebun.  

Inilah sejarah tragis umat manusia awal melawan Yahwe Sang Penciptanya. Sejarah tragis itu terjadi di Kebun Firdaus.  Dosa melawan Tuhan ini terus diwariskan kepada semua keturunan Adam dan Hawa, yang disebut dosa asal. Dosa asal ini diyakini umat manusia yang beragama sampai dengan saat ini.

Sejarah tragis manusia awal ini disebabkan oleh ular. Godaan dan jebakan ularlah yang membuat manusia jatuh dalam dosa. Sejak zaman Adam dan Hawa sampai dengan saat ini, ular adalah sebuah fakta, yakni sejenis binatang melata yang licik, berbisa, penuh racun yang mematikan. 

Sejak zaman Adam dan Hawa pula sampai dengan saat ini, ular adalah sebuah lambang atau simbol manusia (orang) yang suka menjebak dan menjerumuskan manusia (orang) lain  jatuh ke dalam dosa, ke dalam tindakan kejahatan, tindakan penyalahgunaan kekuasaan, terlibat perilaku amoral, terlibat korupsi dan kolusi, dan pelbagai tindakan pidana kemanusiaan lain

Kemiskinan dan kemelaratan masyarakat kita di negeri ini dan di daerah ini, antara lain karena kelicikan manusia ular yang adalah sesama kita. Manusia-manusia ular ini merusak aturan dan ketentuan yang berlaku. Merusak moral, merusak peradaban, merusak kelestarian alam dan lingkungan hidup. Korupsi yang kini menjadi kejahatan luar biasa  di negeri ini dan di daerah ini karena godaan dan kejahatan manusia ular. Ular-ular itu tidak hanya ada di kebun binatang, di lubang batu, di gua-gua, dan di hutan-hutan, tetapi bergentayangan di sekitar kita.  

Kontraktor yang mengerjakan proyek pemerintah (APBN, APBD, Dekosentrasi, dan lain-lain) dengan mengeruk keuntungan besar yang tidak wajar yang mengakibatkan mutu proyek rendah dan cepat hancur, adalah manusia ular masa kini. Ular kontraktor ini menggoda dan menjebak panitia lelang proyek pemerintah dan pejabat pembuat komitmen, melakukan penggelembungan biaya, kelebihan bayar, keuntungan besar diperoleh, mutu proyek hancur.

Tim sukses Pilkada, baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, yang melancarkan aksi kolusi dan nepotisme (persekongkolan) dengan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dengan menggaruk uang rakyat untuk kepentingan pribadi sebagai balas jasa dalam pemenangan Pilkada, tidak lain dan tidak bukan adalah manusia ular. 

Tim sukses Pilkada memang mutlak perlu, tetapi tujuan utamanya untuk mendukung Gubernur atau Bupati/Walikota agar sukses menjalankan tugas dalam jabatannya, bukan untuk menjerumuskan Gubernur atau Bupati/Walikota untuk makan uang rakyat, termasuk makan dana bantuan sosial (Bansos). Dana Bansos akhirnya dikorupsi di mana-mana oleh para pejabat dan politisi, dari tingkat Pusat, Provinsi sampai tingkat Kabupaten/Kota. 

Anggota keluarga dekat Gubernur dan Bupati/Walikota yang menjadi cukong dan calo proyek pemerintah untuk kepentingan pribadi, kepentingan anggota keluarga, sanak-familih, dan sahabat-kenalan, adalah manusia ular masa kini. Anggota DPR/DPRD yang mengerjakan proyek pemerintah yang seharusnya tugas mereka adalah mengontrol (mengawasi) pelaksanaan proyek-proyek itu, tidak lain adalah deretan manusia ular masa kini.  

Terlalu banyak orang yang tergiur dengan berbagai godaan maut para ular masa kini. Ular-ular manusia ini bergentayangan di sekitar kita. Sadar atau tidak, kita seperti wanita muda dalam puisi di atas, yang dengan mudah tergoda dengan juluran lidah si ular beludak. Hasrat duniawi kita dikuasai godaan ular.  Beruntunglah ada kekuatan moral yang diwakili lelaki muda dalam puisi di atas: /Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik/ lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu/. * 

 
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Selasa, 30 Juli 2013)


Post a Comment for "Wanita Muda dan Ular Itu"