Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

3 Juli, Hari Sastra Indonesia

Tanggal 3 Juli setiap tahun kita bangsa Indonesia memperingati Hari Sastra Indonesia. Penetapan Hari Sastra Indnesia 3 Juli ini berdasarkan Maklumat Hari Sastra Indonesia yang berlangsung pada hari Minggu, 24 Maret 2013 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Maklumat inilah yang dinilai sebagai legalitas peringatan Hari Sastra Indonesia pada tanggal 3 Juli setiap tahun.

Berdasarkan laporan Majalah Sastra Horison (edisi bulan Mei 2013, halaman 2-3), Maklumat Hari Sastra Indonesia pada Minggu, 24 Maret 2013 itu berlangsung di SMAN 2 Bukittinggi yang pada masa kolonial Belanda dahulu disebut Sekolah Radja atau Kweekschool (1873-1908) yang merupakan tempat bersemainya sastra Indonesia modern. Banyak sastrawan Indonesia yang berasal dari wilayah ini.

Maklumat Hari Sastra Indonesia ini digagas oleh enam orang tokoh sastra dan budaya Indonesia, yakni Esiyati Ismail, Darman Moenir, Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, Rusli Marzuki Saria, Prof. Dr. Raudha Thaib MP, dan Taufiq Ismail. Diikuti oleh 70 orang tokoh sastra dan budaya Indonesia dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta Maklumat Hari Sastra Indonesia. 

Di antara 70 orang tokoh itu terdapat sejumlah sastrawan dan budayawan tenar, seperti Ahmad Tohari, Budi Darma, Zawawi Imron, Damiri Mahmud, Dorothea Rosa Herliany, Fadli Zon, Fakhrunnas MA Jabbar, Helvy Tiana Rosa, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, LK Ara, Mustofa Bisri, Raudal Tanjung Banua, Saini KM, Suminto A. Sayuti, S.N. Ratmana, Taufik Ikram Jamil, dan Toeti Heraty Nurhadi.

Maklumat Hari Sastra Indonesia pada 24 Maret  2013 itu dibuka secara resmi oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Bidang Kebudayaan) Prof. Dr. Wiendu Nuryanti. Terlihat hadir sejumlah pejabat dan tamu kehomatan, antara lain Ketua DPD RI Irman Gusman, sastrawan Taufiq Ismail, sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah, dan Gubernur Sumatera Barat.

Naskah Maklumat Hari Sastra Indonesia dibacakan oleh penyair kondang Upita Agustine (Prof. Dr. Raudha Thaib). Dalam naskah itu dimaklumkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia Hari Sastra Indonesia (HSI) yang jatuh pada tanggal 3 Juli setiap tahun dan pada hari Rabu tanggal 3 Juli 2013 merupakan peringatan untuk pertama kalinya di Indonesia.    

Dalam naskah itu tercantum tujuan memperingati Hari Sastra Indonesia yang dilakukan pada tanggal 3 Juli setiap tahun, yakni (1) Untuk menghargai karya sastra yang telah menyumbangkan makna kehidupan bagi keindonesiaan kita, (2) Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra anak bangsa, (3) Untuk memupuk silaturahim dan kreativitas antara sastrawan, dan (4) Untuk melanjutkan cita-cita memberi makna luhur bagi keindonesiaan kita. 

Hari Sastra Indonesia yang jatuh pada tanggal 3 Juli ini mengacu pada hari kelahiran sastrawan Indonesia, Abdoel Moeis. “Pada awalnya kami mencari naskah sastrawan terkemuka yang diterima Balai Pustaka, namun kami tidak berhasil menemukan tanggal terbitan pertama Balai Pustaka. Akhirnya panitia kecil menetapkan tanggal lahir sastrawan Abdoel Moeis sebagai Hari Sastra Indoesia,” kata Taufiq Ismail salah satu penggagas.

 Abdul Muis (1883-1959)

Abdoel Moeis lahir pada 3 Juli 1883 di Bukittinggi, Sumatera Barat, meninggal dunia pada 17 Juni 1959 di Bandung, Jawa Barat. Sastrawan, pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Meninggalkan 2 orang istri dan 13 anak.

Menurut Taufiq Ismail, sastrawan Abdoel Moeis dinilai paling aktif dalam pergerakan nasional kemerdekaan Indonesia. Di samping sebagai sastrawan, Abdoel Moeis juga dikenal luas sebagai tokoh pers dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Karena perjuangannya dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Abdoel Moeis diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional sebagai penghargaan puncak bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Gelar Pahlawan Nasional ini dianugerahkan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Kepres Nomor 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959, beberapa bulan setelah Abdul Muis meninggal dunia. Sejak itulah pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi tradisi di Indonesia yang dimulai dari sastrawan Abdul Muis.


Novel Salah Asuhan (1928) dianggap sebagai corak baru penulisan prosa Indonesia pada saat itu. Novel Salah Asuhan membuat namanya terkenal dan dijadikan bahan pelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia yang kemudian diangkat ke layar lebar. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, novel Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.

Karya-karya sastra (novel) asli Abdoel Moeis yang dinilai monumental selain Salah Asuhan (1928) adalah Pertemuan Jodoh (1931), Pangeran Kornel (1931), Surapati (1950), Hendak Berbakti (1951), dan Robert Anak Suarapati (1953). Di samping karya asli, Abdoel Moeis juga menerjemahkan sejumlah karya sastra asing (novel) ke dalam bahasa Indonesia, yakni (1) Don Kisot de La Mancha (karya Cervantes, 1923), (2) Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), (3) Sebatang Kara (karya Hector Halot, 1932), dan (4) Tanah Airku (karya G. Swaan Koopman, 1950). *


Oleh Yohanes Sehandi

Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende,  pada Rabu, 3 Juli 2013.


 

 

 

1 comment for "3 Juli, Hari Sastra Indonesia"

  1. Terima kasih Pak Yan, pengamat Sastra yang setia.

    ReplyDelete