Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Halo ... Kritikus Sastra NTT

            Tiga tahun lalu, Marsel Robot, seorang sastrawan NTT, menulis opini di Pos Kupang (15 September 2010) dengan judul menyodok, “Sastrawan NTT, di Manakah Kau?”  Isi opini itu menunjukkan kegalauan atas kehidupan sastra NTT yang pada saat itu tak bergairah. 
              Sampai dengan tahun 2010 memang kehidupan sastra dan sastrawan NTT lesuh tak bergairah. Boleh dikatakan, kehidupan sastra NTT pada saat itu bagaikan kerakap yang tumbuh di batu karang, hidup enggan mati tak mau, hidup dalam kemelaratan dan keterbelakangan. Memang diakui banyak kalangan bahwa “betul ada” sastra dan sastrawan NTT, hanya sosoknya tidak jelas.
Memasuki tahun 2011, ada kejutan yang membanggakan. Kehidupan sastra dan sastrawan NTT bergairah dan menunjukkan sosoknya. Komunitas sastra muncul di beberapa tempat. Cerpen dan puisi serta artikel opini sastra menghiasi sejumlah koran di NTT. Buku sastra pun marak diterbitkan, terutama oleh para pengarang muda. Ada semacam kebangkitan sastra dan sastrawan NTT yang berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Saya menggambarkan fenomena tersebut lewat opini di Pos Kupang (6 Maret 2012) yang berjudul  “Kebangkitan Sastra NTT 2011.”
Saya mencatat, ada tiga indikator kebangkitan sastra NTT 2011, yakni meningkatnya jumlah penerbitan buku sastra karya para sastrawan NTT, meningkatnya jumlah artikel opini sastra di berbagai koran di NTT, dan meningkatnya jumlah cerpen dan puisi yang ditampilkan sejumlah koran di NTT pada edisi hari Minggu, terutama Pos Kupang.
Sepanjang tahun 2012 dan berlanjut pada tahun 2013 ini, kebangkitan sastra dan sastrawan NTT benar-benar nyata dan menggairahkan. Gerson Poyk, sang perintis sastra NTT, lewat esainya di Kompas (3 Maret 2013) yang berjudul “Menuju Republik Sastra,” menunjukkan rasa bangganya akan kebangkitan sastra dan sastrawan NTT dalam beberapa tahun terakhir ini, sekaligus mempromosikan bahwa NTT siap menuju republik sastra.
Saya mencatat, sejak tahun 2011 sampai dengan saat ini (2,5 tahun terakhir), terjadi lonjakan penerbitan buku sastra karya para sastrawan NTT, baik novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi. Yang meningkat tidak hanya kuantitas, tetapi juga kualitasnya. Ada 35 judul buku sastra (sastra kreatif) karya para sastrawan NTT selama 2,5 tahun terakhir. Tentu saja masih ada buku sastra yang luput dari pantauan saya. Rinciannya, buku novel berjumlah 11 judul, buku kumpulan cerpen 9 judul, dan buku kumpulan puisi 15 judul.
Adapun ke-11 judul buku novel adalah (1) Perempuan Itu Bermata Saga (Agust Dapa Loka, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011); (2) Badut Malaka (Robert Fahik, Cipta Media, Yogyakarta, 2011); (3) Belis Imamat (Inyo Soro, 2011); (4) Cinta Terakhir (V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (5) Membadai Pukuafu (V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (6) Loe Betawi Aku Manggarai (V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (7) Perempuan dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, Frame Publishing, Yogyakarta, 2012); (8) Rumah Lipatan (Kopong Bunga Lamaruran, 2012); (9) Nyoman Sulastri (Gerson Poyk, Libri, Jakarta, 2012); (10) Seribu Malam Sunyi (Gerson Poyk, Libri, Jakarta, 2012); dan (11) Luka Batin yang Tersisa (Fanny J. Poyk, 2013).
Ada 9 judul buku kumpulan cerpen, yakni (1) Wanita Sepotong Kepala (Januario Gonzaga, dkk, Lima Bintang, Kupang, 2011); (2) Suamiku Dirampok Orang (Fanny J. Poyk, Teras Budaya, Jakarta, 2011); (3) Istri-Istri Orang Sebrang (Fanny J. Poyk, 2011); (4) Sabtu Kelabu (Erlyn Lasar, Mosalaki Librica, Jakarta, 2011); (5) Kabut di Lelembala & Teriakan dari Tanah Hawu Mehara (Siswa/i SMA Negeri 1 Kupang, Carangbook, Yogyakarta, 2012); (6) Katuas Gaspar (Sipri Senda, Indie Book Corner, Yogyakarta, 2012); (7) Malaikat Hujan (Mario F. Lawi, 2012); (8) Wasiat Kemuhar (Pion Ratulolly, 2012); dan (9) Dilarang Jadi Pastor (Petrus Y. Wasa, Bajawa Press, Yogyakarta, 2013).
Sebanyak 15 judul buku kumpulan puisi, yakni (1) Riwayat Negeri Debu (Jefta H. Atapeni, Kiara Creative Publishing, Bandung, 2011); (2) Pukeng Moe Lamalera (Bruno Dasion, Lamalera, Yogyakarta, 2011);  (3) Yesus dan Tiga Paus Lamalera (Ivan Nestorman, Lamalera, Yogyakarta, 2011); (4) Cerah Hati (Christian Dicky Senda, Indie Book Corner, 2011); (5) Ketika Cinta Terbantai Sepi (Usman D. Ganggang, 2011); (6) Antologi Puisi Lonceng Sekolah (Arnoldus Ola Aman, 2011); (7) Poetae Verba (Mario F. Lawi, Bajawa Press, Yogyakarta, 2011); (8) Nyanyian Pesisir (Marsel Robot, 2012);  (9) Virgin, di Manakah Perawanmu? (Santisima Gama, Karmelindo, Malang, 2012); (10) Fatamorgana Langit Sabana (Sipri Senda, Lima Bintang, Kupang, 2012); (11) Kalau Tidak Bobo Digigit Sepi (Bara Pattyradja, 2012); (12) Kartini (Fanny J. Poyk, 2012); (13) Negeri Sembilan Matahari  (Fanny J. Poyk, 2013); (14) Pesona Indonesiaku (Antologi Puisi Anak SD Kota Ende, Nusa Indah, Ende, 2013); dan (15) Mengalirlah Sunyi (Wilda, CIJ, Nusa Indah, Ende, 2013).
Perkembangan melonjak penerbitan karya sastra kreatif yang membanggakan di atas sama sekali tidak diimbangi dengan kehadiran kritikus sastra NTT. Karya-karya sastra NTT yang disebutkan di atas hampir tidak pernah ditelaah atau dikritik oleh kritikus sastra NTT, padahal kritikus  sastralah yang mampu  menggali, menjelaskan, dan mempromosikan nilai-nilai yang tersembunyi di balik karya-karya sastra itu.
Krisis kritik sastra di NTT ini memang sangat disayangkan. Perihal krisis kritik sastra NTT ini pernah saya ulas lewat opini di harian ini (lihat Pos Kupang, 1 Februari 2011). Dalam esai Gerson Poyk di Kompas (3 Maret 2013) yang berjudul “Menuju Republik Sastra,” memang disebutkan sudah ada “H.B. Jassin NTT,” namun rasanya belumlah cukup, belum apa-apa!
Pada waktu tiga sastrawan/budayawan Indonesia, yakni Putu Wijaya, Radhar Panca Dahana, dan Gerson Poyk tampil dalam “Seminar Nasional Seni Budaya dan Pembangunan” yang diselenggarakan Komunitas Sastra Rumah Poetika di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11 April 2012, menyatakan dengan jelas bahwa NTT butuh kritikus sastra dan budaya. “Di NTT banyak potensi seni dan budaya, tetapi kurang kritikus. NTT butuh kritikus sastra,”  tandas Radhar Panca Dahana yang diamini Putu Wijaya dan Gerson Poyk (Victory News, 12, 13 April 2012).
Tiga tahun lalu Marsel Robot bertanya: sastrawan NTT, di manakah kau? Pertanyaan itu kini sudah terjawab dengan kebangkitan sastra dan sastrawan NTT dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertanyaan baru kini muncul: kritikus sastra NTT, di manakah kau? *    
 
Oleh Yohanes Sehandi 
Dosen Universitas Flores, Ende, Penulis Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT 
 
(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Selasa, 11 Juni 2013)

Post a Comment for "Halo ... Kritikus Sastra NTT"