Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jangan Biarkan yang Terpencil Main Terkucil

Judul artikel opini ini diambil dari tema Rapat Koordinasi Penyiaran Se-NTT dan Workshop Peningkatan SDM Penyiaran yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi NTT pada 29 Mei s.d. 1 Juni 2013 di Maumere, Sikka. Kegiatan ini diikuti lebih dari 100 peserta, berasal dari seluruh kabupaten/kota di NTT yang bergerak di bidang jasa penyiaran, baik jasa penyiaran radio maupun televisi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (RSPD) maupun oleh pihak swasta.
             
Pemberi materi berasal dari Kementerian Kominfo RI (empat orang pejabat terkait dengan bidang penyiaran), dari Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio Kelas II Kupang, dan dari tiga komisioner KPID NTT, yakni Mutiara Mauboi (Ketua), Imelda Praso dan Imanuel Blegur. Kegiatan terfokus pada dua pokok, yakni rapat koordinasi penyiaran NTT dan workshop (pelatihan) penyiaran untuk meningkatkan SDM penyiaran NTT.
            
 Saya diutus oleh Rektor Universitas Flores (Uniflor) Ende yang mendapat undangan dari KPID NTT untuk dapat mengikuti rapat koordinasi dan workshop penyiaran dimaksud. Saya merasa beruntung terlibat lagi dalam kegiatan yang berkaitan dengan penyiaran ini. Tahun 2005, delapan tahun yang lalu, saya terlibat penuh dalam proses pembentukan KPID NTT dan menjadi Ketua Tim dalam uji kepatutan dan kelayakan kepada belasan calon anggota komisioner KPID NTT untuk pertama kalinya, dalam kapasitas saya pada waktu itu sebagai Ketua Komisi A DPRD Provinsi NTT.
             
Proses pembentukan KPID NTT pada awal mula memang tidak mulus. Sebagian anggota DPRD NTT pada waktu itu merasa belum saatnya NTT membentuk KPID, apalagi masih banyak provinsi di Indonesia yang belum membentuk KPID. Di samping itu, ada alasan yang cukup masuk akal pada waktu itu, yakni APBD NTT belum cukup untuk bisa membiayai KPID.

Komisi A DPRD yang antara lain membidangi media massa bekerja taktis untuk meyakinkan sebagian kalangan DPRD NTT. Beruntung Komisi A memiliki anggota yang punyai kemampuan untuk meyakinkan anggota Dewan yang lain, antara lain bisa saya sebutkan Pius Rengka, Hendrik Rawambaku, dan Martin Darmonsi. Akhirnya, Rancangan Perda tentang Pembentukan KPID NTT ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) NTT yang dilanjutkan dengan pemilihan komisioner KPID oleh Komisi A melalui uji kepatutan dan kelayakan. Yang terpilih pada waktu itu, antara lain tiga anggota komisoner yang tersisa pada saat ini, yakni Mutiara Mauboi, Imelda Praso, dan Imanuel Blegur

Selain tuntutan Pasal 7, Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di mana di setiap provinsi perlu dibentuk KPID, ada sejumlah dasar pertimbangan yang membuat DPRD NTT membentuk KPID NTT pada waktu itu, antara lain sebagai berikut.

Pertama, sebagian besar masyarakat NTT masih terbiasa dengan budaya lisan, yakni budaya dengar-bicara, belum sampai pada tahap budaya tulis, yakni budaya baca-tulis. Budaya lisan adalah ciri masyarakat yang belum maju, masih terbelakang, termasuk NTT. Masyarakat budaya lisan ini, sebagian besar ilmu dan pengetahuan diperolehnya lewat sarana komunikasi lisan. Itulah urgensinya pembentukan komisi penyiaran di NTT, yakni KPID NTT, yang bertugas mengelola jasa penyiaran radio dan televisi 

Kedua, sebagian besar masyarakat NTT terpencar-pencar di pulau-pulau yang sangat banyak (menurut data berjumlah 566 pulau), berjarak jauh satu sama lain. Masyarakat di pulau-pulau juga terpencar-pencar dipisahkan gunung, lembah, dan ngarai yang terisolasi, yang hanya bisa dijangkau lewat sarana komunikasi radio dan televisi. Di sinilah urgensinya peranan radio dan televisi. Intinya, masyarakat NTT yang belum maju ini perlu ditingkatkan pengetahuannya  lewat radio dan televisi untuk kemudian secara pelan-pelan meningkat ke media cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buku. 

Setelah terbentuknya KPID NTT, kini berbagai jenis lembaga penyiaran di NTT bertumbuh dan berkembang, meskipun masih perlu perjuangan yang lebih keras lagi. Sesuai dengan paparan Ketua KPID NTT, Mutiara Mauboi, pada awal kegiatan, pada saat ini NTT baru memiliki 150 lembaga penyiaran. Rinciannya: 124 lembaga penyiaran radio, 14 lembaga penyiaran televisi, 2 lembaga penyiaran berlangganan (TV kabel), dan 10 stasiun repeater (relay besar dan kecil). 

Dari 150 lembaga penyiaran itu, 82 yang berproses izin termasuk 3 lembaga penyiaran televisi perbatasan (bentuk LPPL) dan 14 lembaga penyiaran radio (LPPL) yang semuanya telah memiliki Peraturan Daerah sebagai dasar hukum pembentukannya.

Meskipun demikian, dalam pertemuan penyiaran yang berlangsung selama beberapa hari di Maumere itu muncul berbagai keluhan dan kendala yang dihadapi KPID NTT dan lembaga-lembaga penyiaran di NTT, baik lembaga penyiaran jasa radio maupun televisi, baik lembaga penyiaran publik (LPP), lembaga penyiaran swasta (LPS) maupun lembaga penyiaran komunitas (LPK) dan lembaga penyiaran berlangganan (LPB). Sejumlah kendala yang dapat saya tangkap dari para peserta dalam rapat koordinasi itu, antara lain sebagai berikut.

Pertama, ada sejumlah peraturan pelaksana UU Penyiaran berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kominfo yang bukannya memperlancaran pelaksanaan UU Penyiaran,  malah justru menghambat dan memperlambat masyarakat memperoleh informasi, baik lewat jasa penyaiaran radio maupun televisi, terutama kepada masyarakat terpencil dan terluar serta masyarakat perbatasan, seperti masyarakat NTT ini. Di samping itu, UU Penyiaran yang ada saat ini belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan informasi bagi masyarakat terpencil dan terluar serta masyarakat perbatasan. 

Kedua, banyak lembaga penyiaran di NTT yang belum atau tidak mengurus dan melengkapai persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan izin usaha, memperpanjang izin usaha, atau untuk meningkatkan status kelembagaan lembaga penyiaaran yang dimilikinya, bukan karena lalai tetapi karena tidak tahu. Akibatnya, banyak lembaga penyiaran di NTT yang terpaksa ditutup karena belum memiliki rekomendasi kelayakan dari KPID NTT setelah KPID NTT dan Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio Kelas II Kupang melakukan verifikasi data terhadap lembaga-lembaga penyiaran yang ada. 

Ketiga,  Kementerian Kominfo RI sudah punyai rencana kerja jangka menengah sampai  tahun 2014, berupa pemberian bantuan 500 perangkat pemancar lengkap radio untuk masyarakat NTT yang berada pada daerah tertinggal dan terluar serta daerah perbatasan, namun sampai dengan saat ini belum jelas realisasinya. Dan masih banyak rencana kerja dan program pemerintah di bidang penyiaran yang belum dilaksanakan, janji masih tinggal janji.

Sejumlah kendala yang dihadapi KPID bersama lembaga-lembaga penyiaran yang ada di NTT tentu harus segera dicari solusinya oleh berbagai pihak yang punyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengatasinya. Dengan demikian, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dijamin dalam UUD 1945 dapat terwujud dengan nyata di Provinsi NTT ini. Jangan biarkan Provinsi NTT yang terpencil dan terbelakang ini menjadi semakin terkucil. *
 
Yohanes Sehandi
Dosen Universitas Flores, Ende
 
(Telah dimuat harian Victory News, terbitan Kupang, pada Senin, 10 Juni 2013)

Post a Comment for "Jangan Biarkan yang Terpencil Main Terkucil"