Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Budaya Berpikir Rasional

Prof. Dr. Sundani Nurono Soewono, seorang ilmuwan senior dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam ceramahnya pada Jumat, 20 Juli 2012 di Aula Lantai 3, Gedung Rektorat, Kampus IV, Universitas Flores (Uniflor), Ende, menyatakan, budaya berpikir rasional adalah syarat mutlak untuk kemajuan suatu masyarakat atau bangsa. “Masyarakat yang berpikir rasional adalah masyarakat yang sudah maju, atau masyarakat yang mau maju,” kata Sundani di hadapan 60-an dosen Uniflor yang mengikuti ceramahnya. 
 
Dalam ceramah yang dihadiri Rektor Uniflor, Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A, dan Koordinator Kopertis Wilayah VIII Bali-Nusra, Prof. Dr. Nyoman Sucipto, Profesor Sundani mengajak para dosen Uniflor untuk sejenak melihat masyarakat di tingkat dunia. Di tingkat dunia, kata beliau, masyarakat Barat (Eropa) adalah masyarakat yang sudah berbudaya rasional (berpikir logis), bergeser ke tengah berkurang rasionalnya, dan semakin ke Timur (Asia Pasifik) masyarakatnya kurang rasional atau berpikir logisnya lemah.

Ini pandangan umum yang sudah lama dipercayai masyarakat dunia, meski pada akhir-akhir ini sudah mulai muncul kekecualian dengan tampilnya bangsa Jepang dan Korea (yang ada di Asia Pasifik) yang maju pesat menyamai masyarakat Barat (Eropa) yang mengandalkan kemampuan berpikir rasional. Meskipun demikian, tesis utama yang disampaikan Profesor Sundani tetap kokoh, yakni budaya berpikir rasional adalah syarat mutlak kemajuan masyarakat dan bangsa.

Setelah melihat masyarakat dunia, Profesor Sundani mengajak para dosen Uniflor yang serius mengikuti ceramahnya, untuk melihat sejenak masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia dibagi tiga, masyarakat Indonesia Barat, Indonesia Tengah, dan Indonesia Timur. Masyarakat Indonesia Barat secara umum lebih rasional, bergeser ke tengah Indonesia berkurang rasionalnya, dan Indonesia Timur masyarakatnya kurang bahkan lemah budaya berpikirnya. Kemajuan terlihat mulai dari Indonesia Barat, terus ke Indonesia Tengah, dan terakhir Indonesia Timur. Masyarakat yang rasionalnya kuat, emosionalnya lemah. Sebaliknya, masyarakat yang emosionalnya kuat, rasionalnya lemah. Makin ke Timur makin kuat emosionalnya. Sebaliknya, semakin ke Barat, semakin lemah emosionalnya.

Menurut Profesor Sundani, orang yang kuat menggunakan emosi, ada dua kemungkinan, orang itu akan menjadi seniman besar atau menjadi dukun (paranormal). Masyarakat yang berpikir rasional pada umumnya bertindak pakai otak dan bertanggung jawab. Sebaliknya, masyarakat yang lemahnya rasionalnya (emosionalnya yang kuat), sering bertindak pakai otot dan kurang bertanggung jawab. Orang yang rasional, berpikir dahulu baru bertindak. Orang yang kurang atau tidak rasional, bertindak dahulu baru berpikir.

Tentu dalam masyarakat Indonesia Barat juga ada kelompok-kelompok masyarakat yang kurang atau bahkan tidak rasional. Dalam masyarakat Indonesia Tengah dan Timur pun, tidak sedikit kelompok masyarakat yang berpikir rasional sehingga lebih maju dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di wilayahnya. Artinya, tesis yang disampaikan Profesor Sundani tetap kokoh, yakni budaya berpikir rasional adalah syarat mutlak untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.

Menyadari sungguh-sungguh pentingnya masyarakat berpikir rasional sebagai syarat mutlak agar masyarakat bangsa Indonesia ini maju dan keluar dari keterpurukan dan keterbelakangan, secara kelembagaan Institut Teknologi Bandung (ITB) menggagas Bulan Budaya Bernalar pada pertengahan Mei 2013 lalu. Sebagaimana diberitakan harian Kompas (31 Mei 2013, halaman 14), Bulan Budaya Bernalar ini merupakan sebuah gerakan yang dipelopori oleh dosen-dosen ITB yang prihatin dengan kemampuan bernalar (berpikir logis) masyarakat bangsa Indonesia. 

Menurut Premana W. Premadi, dosen Program Studi Astronomi ITB, yang menjadi Ketua Panitia Bulan Budaya Bernalar ITB pada tahun 2013, ketidakmampuan berpikir rasional itu membuat masyarakat kita tidak bisa berargumentasi dan mengungkapkan pemikiran secara terstruktur. Menurutnya, kemampuan berpikir rasional merupakan bekal hidup utama manusia agar mampu memberdayakan segala kemampuan yang dimiliki serta menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi untuk maju. “Sejarah membuktikan bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kemampuan berpikir rasional,” katanya sebagaimana dikutip Kompas.

Di sekeliling kita masih banyak orang yang belum berpikir rasional. Kalau seseorang sakit, apalagi sakit mendadak, yang dipikirkan pertama oleh orang-orang sekelilingnya adalah dukun atau pendoa untuk menyembuhkan penyakit itu. Bahkan ada yang langsung mencari kambing hitam, yakni menuduh orang lain, biasanya teman dekat atau keluarga dekat, yang mengirim ilmu hitam atau leu-leu yang menyebabkan seseorang itu sakit. Orang yang berpikir rasional, yang dilakukannya adalah mencari obat di toko obat atau apotek atau langsung membawa si sakit ke rumah sakit atau ke dokter. 

Seorang calon anggota legislatif (caleg) merasa diri yakin akan terpilih pada pemilu berikutnya, bukan karena kerja keras, tetapi karena yakin akan mimpi neneknya yang melihat sang caleg berada di atas puncak gunung sambil mengibarkan bendera merah putih. Ada juga caleg yang percaya seorang pendoa (dukun) yang lewat penerawangannya memberi isyarat bahwa si caleg akan terpilih dalam pemilu yang akan datang.     

Caleg yang berpikir rasional, yang dilakukannya bukan mencari mimpi atau dukun, tetapi mendekati masyarakat pemilih, menangkap aspirasi utama mereka, menyusun langkah perjuangan yang prorakyat, membuat peta dukungan atau melakukan jajak pendapat, kemudian bekerja keras dan cerdas untuk menarik simpati masyarakat. * 

Oleh Yohanes Sehandi 
Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores, Ende (2012-2016)

(Telah dimuat harian Flores Pos (Ende) pada Sabtu, 8 Juni 2013)

Post a Comment for "Budaya Berpikir Rasional"