Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kabupaten Malaka dan Novel "Badut Malaka"

“Tuhan ...Tuhan ... Tuhan ....” Lalu dengan bangga akan kubacakan puisi kecintaanku, “Tanahku ... di sini telah kuperoleh segalanya. Di sini pula harus kuabdikan segalanya.” Inilah bunyi sumpah-janji sang penyair Malaka yang baru pulang dari pengembaraannya, dan kini berdiri di batas tanah kelahirannya, Malaka, menatap hamparan sawah dan perumahan rakyat yang membentangkan masa lalunya.
            
Kutipan sumpah-janji sang penyair Malaka di atas diambil dari novel Badut Malaka (terbit 2011) halaman 14, kemudian sumpah-janji itu diulangi lagi pada bagian penutup novel, yakni pada halaman 140. Novel dengan tebal 140 halaman ini menceritakan komitmen seorang anak tanah Malaka yang biasa dijuluki sang penyair Malaka untuk membangun tanah tumpah darahnya Malaka yang rakyatnya masih dililit berbagai masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Novel Badut Malaka adalah karya perdana sastrawan NTT, R. Fahik (biasa dipanggil Roby Fahik), putra kelahiran Betun, Malaka, Timor pada 5 Juni 1985. Gelar Sarjananya diperoleh di Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, dan gelar Magister Sains diperoleh di Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Novel ini pernah dibedah di Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang pada Sabtu, 19 Maret 2011, dengan pembedah Dr. Norbertus Jegalus, MA dan Pdt. Dina Takalapeta, S.Th, dengan moderator Rm. Imanuel Talo, Pr.  

Novel yang diterbitkan Penerbit Cipta Media, Yogyakarta, ini diberi Pengantar oleh Rm. Florens Maxi Un Bria, dan diberi endorsement oleh sejumlah tokoh beragam latar belakang pendidikan dan profesi, yakni Taolin Ludovikus, Cornelis Bria, Ferdinand Seran, Yohanes Paul Bataona, Eko Prasetyo, Louis Monteiro, Budiman Al Iman, dan Benny Dasman.

Perjuangan panjang dan berliku tokoh utama “aku” (yang dikenal luas sebagai “penyair Malaka” oleh masyarakat Malaka) dalam novel Badut Malaka ini “mirip” perjuangan dan kerinduan panjang bertahun-tahun bahkan puluhan tahun masyarakat Malaka untuk menjadi kabupaten sendiri, lepas dari induknya, Kabupaten Belu. 

Perjuangan panjang itu kini sudah berhasil dengan runtutan peristiwa bersejarah yang membanggakan masyarakat Malaka, yakni pada 18 Desember 2012 DPR RI mengesahkan UU tentang Pembentukan Kabupaten Malaka, pada 22 April 2013 Mendagri RI, Gamawan Fauzi, meresmikan Kabupaten Malaka sekaligus melantik Penjabat Bupati Malaka, Herman Nai Ulu, dan pada bulan Mei 2013 ini digelar pesta rakyat meriah masyarakat Malaka sebagai syukuran terbentuknya Kabupaten Malaka. 

Novel Badut Malaka adalah karya sastra bersifat kontekstual, konteks Malaka, Timor, NTT. Inilah yang disebut sebagai “sastra NTT,” yakni sastra Indonesia warna daerah (lokal) NTT yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Pengarang novel ini, yakni R. Fahik adalah sastrawan Indonesia, dan karena kelahiran (keturunan) NTT maka disebut juga sebagai “sastrawan NTT.” 

Terbitnya novel Badut Malaka ini menambah deretan karya sastra NTT berbentuk novel yang berlatar (setting) tanah Timor. Novel lain yang berlatar tanah Timor dalam koleksi saya adalah novel Cumbuan Sabana (Gerson Poyk, Penerbit Nusa Indah, Ende, 1979), Petra Southern Meteor (Yoss Gerard Lema, Penerbit Gita Kasih, Kupang, 2006), Surga Retak (Mezra E. Pellondou, Penerbit Kairos, Kupang, 2007), dan Perempuan dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, Penerbit Framepublishing, Yogyakarta, 2012). 

Novel Badut Malaka menceritakan panggilan jiwa sang penyair Malaka yang mengembara di tanah rantau karena tidak tahan perguncingan masyarakat lingkungannya tentang asal-usul orang tuanya yang tidak jelas. Di mata masyarakat, masa lalu orang tuanya suram. Setelah lama mengembara, ia terpanggil untuk kembali mengabdi pada tanah tumpah darahnya, maka pulanglah ia di tanah Malaka. 

Panggilan tanah kelahiran ini bertambah membuncah tatkala sang kekasih hati, si Noy, yang telah mengisi relung hatinya sebelum mengembara, terus menunggunya di Betun kapanpun sang penyair Malaka kembali.

Terjadilah benturan dan kontroversi dalam diri sang penyair Malaka. Di satu sisi dia  berusaha untuk membangun masyarakat dan daerahnya dalam bentuk penyadaran, di sisi lain namanya terus diperguncingkan masyarakat perihal keabsahan dan masa lalu orang tuanya yang suram. Hubungannya dengan si Noy pun menjadi runyam karena tidak direstui oleh orang tua si Noy  yang materialistis. 

Ada sejenis pohon jarak (jatropha), yang di Kabupaten Belu dan Malaka dikenal luas dengan nama “badut Malaka” yang digunakan sebagai lilin penunjuk arah, memberikan banyak inspirasi kepada sang penyair Malaka. Pengarang novel Badut Malaka berusaha mencari dan menemukan butir-butir spiritual “badut Malaka” dalam novelnya ini. Pijaran cahaya “badut Malaka” sebagai simbol terang menghalau kegelapan mewarnai seluruh perjuangan sang penyair Malaka dalam novel ini. 

Berkat pijaran cahaya “badut Malaka” sang penyair Malaka tak kenal lelah memberi pencerahan dan mendatangi 12 suku adat (12 kecamatan) dalam satu-kesatuan wilayah tanah Malaka. Perjuangan bernafaskan cinta dan kebenaran untuk meraih cita-cita luhur ini, bukan untuk disambut dengan tarian Likurai ketika pulang kampung, tetapi terutama menjawab panggilan agung bermakna simbolik, selamatkan “badut Malaka.”

Inilah ungkapan spiritualitas sang penyair Malaka: “Biarlah badut Malaka ini tetap tertancap di dinding-dinding hati kita dan cahayanya memenuhi ruang jiwa, menerangi aliran darah kita, dan membalut sendi-sendi tulang kita dengan cahaya surga.” 

Ungkapan spiritualitas seperti ini mutlak dibutuhkan kini untuk membangun masyarakat, membangun daerah baru Kabupaten Malaka sebagai tanah terjanji yang berbudaya dan bermartabat. Saat itulah orang-orang Malaka boleh mendengar kokok ayam jantan yang paling merdu di puncak agung: Iha fatin nia leten, manu silak sian kokorek lian diak. *  

Oleh Yohanes Sehandi 
Dosen Universitas Flores, Ende, Penulis Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT

(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Senin, 6 Mei 2013)







Post a Comment for "Kabupaten Malaka dan Novel "Badut Malaka""