Bunda Menangis
bunda
menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala
perempuan kot
(Rendra, 1983)
Inilah pelukisan penyair besar Indonesia, W.S. Rendra
(selanjutnya disebut Rendra), terhadap “penderitaan” Bunda Maria pada saat menyaksikan
anak kandung satu-satunya, Yesus Kristus, disiksa dan dirajam oleh para serdadu Israel menuju gunung Golgota
untuk disalibkan. Tragedi penyiksaan keji terhadap Yesus ini terjadi pada hari
Jumat sebelum hari Minggu, hari yang dirayakan oleh orang Israel sebagai hari Paskah.
Dua baris (larik) puisi yang menggugah di atas dikutip
dari bait ke-5 puisi Rendra yang berjudul “Ballada Penyaliban” yang terdapat
dalam buku kumpulan puisi Ballada
Orang-Orang Tercinta (Pustaka Jaya, cetakan ke-5, 1983, hlm. 24-25). Buku
ini merupakan buku kumpulan puisi Rendra yang pertama (cetakan pertama, 1957)
dan mendapat hadiah sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN) tahun 1957.
Terdapat 19 judul puisi dalam buku Ballada Orang-Orang Tercinta ini yang semuanya bersifat balada. Balada adalah sajak sederhana
yang mengisahkan cerita rakyat yang mengharukan, kadang-kadang dinyanyikan,
kadang-kadang berupa dialog (Kamus Besar
Bahasa Indonesia atau KBBI, 2001, hlm. 95).
Ada sejumlah pengamat dan kritikus sastra Indonesia yang
menyebut puisi-puisi Renda dalam Ballada
Orang-Orang Tercinta ini sebagai puisi epik
(epika), yakni “puisi (syair) panjang yang menceritakan riwayat perjuangan
seorang pahlawan” (bandingkan dengan cerita epos).
Puisi epik (epika) berbeda dengan puisi
lirik (lirika), yakni puisi
(syair) yang berisi curahan perasaan pribadi pengarang (KBBI, 2001, hlm. 678).
Puisi “Ballada Penyaliban” ini termasuk puisi yang sangat
kuat menggambarkan esensi derita Yesus memanggul salib dan dibunuh mati oleh
serdadu Israel di gunung Golgota. Menurut kepercayaan kaum Nasrani (Katolik dan
Protestan), rangkaian tragedi keji itu dilewati Yesus Kristus sebagai silih (penebusan)
atas dosa-dosa umat manusia.
Puisi “Ballada Penyaliban” Rendra ini, menurut hemat
saya, sama kuat pilihan kata dan esensi penggambaran derita Yesus dengan puisi
karya Chairil Anwar yang berjudul “Isa, Kepada Nasrani Sejati.” Kedua puisi
dari kedua penyair besar Indonesia ini ditambah dengan puisi karya penyair
Sitor Situmorang, J.E. Tatengkeng, dan Subagio Sastrowardoyo, pernah diulas
dengan sangat bagus oleh seorang kritikus sastra Indonesia berkebangsaan
Belanda, A. Teeuw, dengan judul “Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru”
(lihat Sejumlah Masalah Sastra,
Editor Satyagraha Hoerip, cetakan ke-2, 1982, hlm. 119-135).
Menuju Golgota
Mari kita kembali ke puisi Rendra “Ballada Penyaliban.” Puisi
ini terdiri atas 8 bait, 36 baris. Rendra menggambarkan Yesus bagai domba kapas
putih yang memikul salib, bertolak dari istana Pilatus menuju gunung Golgota:
//Yesus berjalan ke Golgota/ disandangnya salib kayu/ bagai domba kapas
putih//.
Dalam cerita Injil (kitab suci kaum Nasrani), satu minggu
sebelum Yesus ditangkap oleh serdadu-serdadu Israel, orang-orang Israel sendiri
(orang Yahudi) mengelu-elukan (menyambut dengan sangat meriah) kedatangan Yesus
di pusat kota Yerusalem dengan bunga-bunga mawar dan daun-daun palma, yang kini
orang Nasrani di seluruh dunia merayakannya sebagai Minggu Palma atau Minggu
Daun-Daun. Keadaan di hari Jumat yang nahas yang menimpa Yesus itu, terbalik
dengan hari Minggu sebelumnya: //Tiada mawar-mawar di jalanan/ tiada daun-daun
palma/ domba putih menyeret azab dan dera/ merunduk oleh tugas teramat dicinta/
dan ditanam atas maunya//.
Pada bait ke-3, Rendra menggambarkan dengan penuh haru
luka berlumuran darah menyirami jalanan menuju gunung pembantaian Golgota, dengan
menghadirkan sejumlah simbol permenungan teologis yang mendalam: mentari
meleleh, menetes dari luka, leluhur Ibrahim berlutut, altar paling agung,
sorga, dan bianglala: //Mentari meleleh/ segala menetes dari luka/ dan leluhur
kita Ibrahim/ belutut, dua tangan pada Bapa:/ -- Bapa kami di sorga/ telah
terbantai domba paling putih/ atas altar paling agung/ Bapa kami di sorga/
berilah kami bianglala!//.
Orang Nasrani dalam imannya mempercayai bahwa penderitaan
Yesus memikul salib ke Golgota adalah taruhan dosa, untuk menebus dosa-dosa
manusia. Inilah kata-kata Rendra melukiskannya: //Ia melangkah ke Golgota/
jantung berwarna paling agung/ mengunyah dosa demi dosa/ dikunyahnya dan betapa
getirnya//.
Pada bait ke-5 dan ke-6 berikut ini Rendra menggambarkan
“penderitaan” Bunda Maria, ibu kandung Yesus, pada saat menyaksikan putra
kandung satu-satunya itu disiksa dan dirajam
oleh para serdadu Israel di jalan menuju Golgota: //Tiada jubah
terbentang di jalanan/ bunda menangis dengan rambut pada debu/ dan menangis
pula segala perempuan kota//. Terhadap perempuan kota yang menangis bersama
ibundanya Maria, dalam keadaan terkulai Yesus menegur: //-- Perempuan!/ mengapa
kautangisi diriku/ dan tiada kautangisi dirimu?//.
Bait ke-7 berikut mengungkapkan “esensi” atau makna
terdalam penderitaan Yesus di kayu salib bagi penebusan dosa umat manusia. Orang
Nasrani masa kini yang tidak menghayati “esensi” atau makna terdalam
penderitaan Yesus di kayu salib, tentu sia-sialah ia menjadi seorang Nasrani.
Rendra menggambarkannya dengan cara yang luar biasa yang tentu membuat kita semua
terenyuh: //Air mawar merah dari tubuhnya/ menyiram jalanan kering/ jalanan
liang-liang jiwa yang papa/ dan pembantaian berlangsung/ atas taruhan dosa//.
Bait terakhir berikut adalah bait pamungkas yang menjadi
puncak tragedi penyaliban Yesus Kristus yang menjadi awal perubahan sejarah perjalanan
umat manusia menurut kepercayaan kaum Nasrani. Inilah penggambaran pamungkas
Renda: //Akan diminumnya dari tuwung kencana/ anggur darah lambungnya sendiri/
dan pada tarikan napas terakhir bertuba:/ -- Bapa, selesailah semua!/.
Rambut Ikut Menangis
Marilah kita coba menghayati dua baris (larik) puisi pada
bait ke-5 puisi “Ballada Penyaliban” Rendra yang sudah dikutip pada awal
tulisan ini. Kedua baris pada bait ke-5 itu berbunyi: //bunda menangis dengan
rambut pada debu/ dan menangis pula segala perempuan kota//. Dua baris puisi
ini khusus menggambarkan derita Maria, ibunda Yesus.
Saya membaca pertama kali puisi “Ballada Penyaliban” ini
pada tahun 1980-an, pada waktu mahasiswa di IKIP Negeri Semarang (kini
Universitas Negeri Semarang). Di samping tergugah dan terenyuh membaca
keseluruhan isi puisi ini, dua baris puisi yang terdapat pada bait ke-5 ini
memberikan kesan khusus dan berpengaruh besar dalam kesadaran saya pribadi. Ini
tentu perasaan pribadi yang sangat subjektif, yang bisa saja berbeda dengan
pengalaman pembaca lain tatkala membaca puisi ini.
Derita Maria yang digambarkan Rendra ini sungguh membuat
saya terkesan dan penasaran, karena menurut tangkapan saya terhadap dua baris
puisi itu, pengaruh Maria sangat luar biasa, setelah tokoh Yesus. Meskipun
dalam Injil tidak banyak diceritakan, tetapi ketokohan Maria sebagai bunda yang
sederhana melekat erat dalam hati sanubari orang-orang Katolik masa kini,
termasuk orang-orang Katolik di Flores dan Indonesia pada umumnya. Menurut
cerita yang pernah saya dengar, orang-orang Katolik di Portugis, Italia, Polandia,
dan sebagian besar orang Katolik di negara-negara Amerika Latin, menempatkan
Bunda Maria sebagai tokoh “pengantara” doa menuju Yesus Kristus, Sang
Juruselamat.
Saya tidak pernah belajar khusus agama Katolik, sekolah
di Seminari, misalnya. Namun, tatkala membaca baris puisi Rendra “bunda
menangis dengan rambut pada debu,” membuat saya penasaran untuk bertahun-tahun
kemudian. Akhirnya saya memiliki sedikit pengetahuan setelah baca sejumlah buku
tentang Maria. Dua di antaranya adalah (1) Buku Ensiklik Redemptoris Mater (Bunda Penebus) dari Paus Yohanes Paulus
II (terjemahan N.J. Boumans, SVD, Nusa Indah, 1987), dan (2) Buku Mariologi (Ilmu tentang Maria) karya seorang
pastor Fransiskan (namanya sudah lupa karena bukunya sudah hilang dipinjam
orang).
Bagi saya, penggambaran Rendra tentang “bunda menangis
dengan rambut pada debu” adalah suatu penggambaran yang luar biasa. Kesan kuat
yang saya tangkap dari baris puisi ini adalah: “yang menangis menyaksikan
derita Yesus tidak hanya Bunda Maria, tetapi ‘rambutnya’ juga ikut menangis!”
Kesadaran yang saya tangkap ini menjadi sangat jelas pada
waktu saya menyaksikan sendiri pada tahun 1990-an Rendra membacakan puisi
“Ballada Penyaliban” ini di televisi, juga sewaktu menyaksikan video (VCD)
Rendra membacakan puisi-puisinya, termasuk puisi ini. Pada waktu Rendra membaca:
/bunda menangis dengan rambut pada debu/, seolah-olah kata “dengan” berubah maknanya
menjadi “bersama,” sehingga menjadi: /bunda menangis ‘bersama’ rambut pada
debu/. Jadi, yang menangis tidak hanya Bunda, tetapi ‘rambutnya’ juga ikut
menangis.
Bicara tentang “rambut” dan “debu” adalah bicara tentang
sesuatu yang mahaluas, yang tak bertepi. Rambut adalah fakta sekaligus simbol
terhadap segala sesuatu yang mahabanyak, yang tak terhitung, yang tak berhingga,
alam semesta. Dan debu atau tanah adalah fakta sekaligus simbol kefanaan
manusia: “manusia berasal dari debu, dan akan kembali ke debu.”
Debu mengingatkan kaum Nasrani tentang kefanaan hudupnya
pada waktu menerima “debu” atau “abu” pada hari Rabu Abu, hari yang menandakan
awal permenungan dan pertobatannya sambil menghayati derita Yesus di kayu
salib. Dan penyair besar Rendra mengingatkan kita bahwa “rambut” alam semesta,
yang mahaluas dan tak berhingga itu ikut “menangis” bersama Bunda Maria yang
tergolek pada debu menyaksikan derita Yesus yang terbantai atas taruhan dosa. Segala
perempuan kota, yang merupakan simbol kita orang-orang berdosa, pun akhirnya
ikut “menangis” bersama Bunda Maria, sebagai simbol penyesalan atas dosa-dosa
yang telah diperbuat: dengan pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian. *
Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Teori Sastra
di Universitas
Flores, Ende, Penulis Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT
(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 28 Maret
2013).
Post a Comment for "Bunda Menangis"