Menuju Republik Sastra
Oleh Gerson Poyk
(Pengarang Kelahiran NTT, Tinggal di Jakarta), Harian KOMPAS, Edisi Minggu, 3 Maret 2013
(Pengarang Kelahiran NTT, Tinggal di Jakarta), Harian KOMPAS, Edisi Minggu, 3 Maret 2013
Beberapa tahun yang lalu, ketika HB
Jassin masih hidup, dia pernah menulis bahwa sebuah pusat kebudayaan tidak
perlu hanya di Jakarta, tetapi sebaiknya di daerah. Beberapa lama kemudian,
Jassin mengatakan, “Koran-koran di
daerah yang punya ruangan sastra sangat penting.” Ucapannya membuat
penulis berpikir bahwa di setiap provinsi mesti ada HB Jassin baru yang
mendokumentasikan semua karya penulis yang muncul di ruang sastra di setiap
koran, lalu menyorot, mengkritik, dan mendidik, seperti yang dialami Angkatan
’45 dan Angkatan ’66 versi Jassin.
Ini sukar karena setiap tahun selalu
lahir sarjana sastra di universitas-universitas di negeri ini. Namun, kelahiran
seorang sastrawan, apalagi kritikus sastra, tidak bisa setiap tahun. Impian HB
Jassin memang mulia, tetapi dalam perjalanan keliling Indonesia, penulis tak
menemukan realisasi mimpi itu. Memang setelah Orde Baru lenyap, koran-koran dan
majalah bermunculan di daerah-daerah dengan ruang sastranya. Mungkin ada yang
melakukan kegiatan kliping, tetapi tidak tampak pendokumentasian dan kritik
yang profesional. Hasrat memang ada dari dunia kampus, tetapi masih merupakan
mimpi, seperti dalam sebuah surat yang dikirim oleh seorang dosen dari
Universitas Sam Ratulangi.
Tahun-tahun terakhir ini ada kejutan
dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Harian Pos
Kupang dan lain-lain menjadi sarang kegiatan sastra. Di ruang sastra
bermunculan penulis-penulis muda berbakat anak NTT dan dari luar NTT. Kalau tak
muncul seorang HB Jassin NTT, bernama Yan Sehandi, maka ruang sastra di Pos Kupang akan menjadi tumpukan koran
pembungkus terasi. Yan Sehandi mengumpulkan semua karya yang bertahun-tahun
muncul di koran tersebut. Semua karya, semua nama dicatatnya dengan tekun.
Sastrawan NTT, baik dalam provinsi
maupun yang merantau di luar provinsi, dicatat nama dan karya mereka. Lalu dia
pun menulis sebuah buku tentang sastrawan dan sastra Indonesia yang muncul di
provinsi itu. Tampaknya impian Jassin dan seorang dosen di Unsrat menjadi
kenyataan di NTT. Dengan demikian, NTT bisa menjadi republik kesusastraan,
filsafat, dan teologia karena di provinsi ini terdapat selain universitas
negeri, seperti Nusa Cendana dengan fakultas sastranya, beberapa universitas
dan sekolah tinggi swasta dengan fakultas sastra, filsafat, dan teologia.
HB Jassin NTT
Ada Universitas Timor di Kefamenanu,
ada Universitas Flores di Ende tempat Yan Sehandi yang patut disebut ”HB Jassin
NTT” (maaf) mengajar. Sudah cukup banyak putra-putri NTT yang bertitel Ph.D.
Ada juga profesor semiotika. Bermunculanlah komunitas-komunitas sastra di ibu
kota (Kupang) dan di pulau-pulau, baik yang dipimpin para pastor maupun seniman
bertitel sarjana. Ada majalah sastra bernama Santarang (Sabana, Lontar Karang). Karya-karya Komunitas sastra
online dapat dibaca semua orang. Bahkan, muncul beberapa penulis produktif
perempuan yang sarjana di samping profesor perempuan.
Dewasa ini NTT memang kaya Ph.D.
dibuktikan dengan adanya kelompok Ph.D. asal NTT yang berada di NTT dan luar
negeri bergabung dalam sebuah organisasi bernama Forum Academia NTT yang setiap tahun memberikan Academy Award kepada tokoh-tokoh NTT
dalam bidang sastra dan humaniora, entrepreneur
social, lifetime achievement, sains, dan teknologi. Begitu banyaknya
komunitas sastra di NTT menimbulkan optimisme karena dengan menyelami sastra,
jiwa seorang akan membuka pintu bagi pengenalan akan keindahan jasmani,
keindahan moral, keindahan akal, dan memuncak pada keindahan ilahi. Batinnya
yang terdalam akan memiliki getaran intuisi puitis atau intuisi kreatif yang
bisa membuat bangsa ini maju di bidang ekonomi, politik, sosial, sains dan
teknologi.
Komunitas sastra dengan segala karya
sastranya akan membuka pintu hati terdalam di mana bersemayam intuisi puitis
(kreatif), suatu kehidupan spiritual dan psikologis yang dinamis yang tak
dimiliki kebanyakan pemimpin kita karena mereka berada dalam kerangkeng
fetishisme komoditas, syahwat terhadap benda dan uang.
Intuisi puitis atau intuisi kreatif
tidak bisa dipelajari atau diperbaiki dengan latihan dan disiplin karena ia
secara alami terikat pada kemerdekaan jiwa manusia dan percikan cahaya
imajinasi serta kekuatan alami intelek manusia. Intuisi puitis atau intuisi
kreatif tak dapat dipreteli dalam dirinya, intuisi puitis hanya menuntut untuk
didengar. Seniman hanya bertugas membersihkan halangan dan keributan untuk
lancarnya jalan yang ditempuh oleh intuisi kreatif atau intuisi puitis itu. Pengalaman
puitis membawa penyair ke tempat tersembunyinya di dasar jiwa yang berkabut,
tetapi ekspresinya dalam karya akan terasa enak.
Pengalaman Puitis
Pengalaman puitis berhubungan erat
dengan citarasa puitis (poetic sense) dalam diri penyair. Citarasa
puitis dalam sebuah karya ibarat jiwa dalam diri manusia karena memiliki
hubungan langsung dengan intuisi puitis. Poetic sense dalam sebuah karya
tak dapat dipisahkan dari bentuk verbal di mana kata-kata bukan hanya merupakan
tanda dari konsep atau ide, melainkan obyek yang merdu. Citarasa puitis adalah inner
melody dari sebuah sajak. Tentang imajinasi, ada tiga kondisi eksistensialnya.
Pertama, imajinasi yang muncul ke akal permukaan, kehidupan dan kebutuhan
sehari-hari. Kedua, imajinasi yang dikuasai oleh naluri atau libido dan kenangan
pahit. Ketiga, imajinasi yang dapat melahirkan konsep-konsep dan ide-ide
abstrak, digetarkan oleh poetic intuition.
Begitulah, bila di sebuah ibu kota
provinsi ada kegiatan kreatif dalam kelompok-kelompok (komunitas) sastra,
efeknya akan datang berupa pengenalan akan keindahan fisik, keindahan akal,
keindahan moral, dan keindahan ilahi. Semoga intuisi puitis (intuisi kreatif)
yang diperkenalkan oleh komunitas sastra di NTT merembes ke para pemimpin
politik, pengusaha, sarjana, pejabat, kepala desa dan seterusnya sehingga
negeri ini cepat maju, meluncur ke utopia di bumi. Bukankah seni termasuk sastra
itu indah dan menghibur dan berguna dan mengajarkan sesuatu, dulce et utile?
(Telah dimuat harian
KOMPAS, Jakarta, pada edisi Minggu, 3 Maret 2013)
Terima kasih,Bapa Yo
ReplyDeleteSaya bisa membaca artikel ini 👍
Makasih Bapa,kami butuh banyak belajar
ReplyDelete