Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Local Genuine, Local Genius, dan Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT

Oleh Willem B Berybe 
Peminat Sastra

Tema tentang sastra NTT ramai didiskusikan oleh para pelaku dan pemerhati (peminat) sastra termasuk pengamat sosial (filsafat) melalui opini-opini di media cetak lokal (Pos Kupang dan Flores Pos) beberapa waktu lalu. Sebermula Yohanes Sehandi, penulis buku Mengenal Sastra dan Satrawan NTT (2012) yang juga dosen tetap pada Universitas Flores (Uniflor), Ende, berangkat dari sebuah tesis (pernyataan), apakah ada sastra NTT dan apakah ada sastrawan NTT (baca: Kata Pengantar buku). Sabtu, 30 Juni 2012 berlangsung acara bedah buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT tersebut di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Flores, Ende (Pos Kupang, 2/7/ 2012). 

Buku yang dalam proses kelahirannya mendapat dukungan dan apresiasi Yoseph Yapi Taum, putra Lembata, NTT, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta,  menjadi pintu gerbang bagi para pegiat sastra untuk terus menyelami ‘mutiara’ sastra di bumi Flobamora. Prof. Dr. Stephanus Djawanai, MA, Rektor Universitas Flores, Ende, dalam sambutan tertulisnya mengatakan bahwa sastra NTT termasuk kategori sastra warna daerah atau warna lokal, dan buku ini adalah salah satu dasar referensi dalam melakukan kajian terhadap sastra dan sastrawan NTT selanjutnya (halaman 
1 & 2). 

Realitas kehidupan sosial masyarakat NTT adalah sebuah rumah besar yang kaya akan keunikan: alam, suku (etnik), bahasa, tradisi (adat-istiadat), lagu, musik, mata pencaharian, tari-tarian, agama, kepercayaan, dan sebagainya dan memungkinkan aspek sastra (bahasa) dapat hidup dan berkembang (survive). Lembah Cancar, danau Rana Mese, gunung api Inerie, rumah ilalang, ubi dan jagung, pohon kopi, air pancuran di bawah rumpun bambu, batu karang, rumput dan semak, pohon lontar dan asam, mencangkul ladang, berdagang kerbau, adalah contoh-contoh realitas alam dan kehidupan di Nusa Tenggara Timur yang diambil Gerson Poyk untuk cerpennya Nostalgia Nusa Tenggara.”

Cerita-cerita rakyat yang secara tradisi bersifat lisan dengan unsur sastra di dalamnya menjadi sebuah kekuatan dan keunggulan tersendiri dalam dunia sastra daerah NTT. Cerita tersebut sering ‘dibumbui’ dengan nyanyian ilustratif sesuai alur cerita dan bukan mustahil di dalam syair lagu tersebut terkandung aspek estetika (sastra) serta makna pesan kehidupan. Ambil contoh cerita rakyat Ngada Kua Siga Wunga. Kisah gadis cantik kampung yang telanjur melakukan ‘laa sala’ (laa = jalan, hukum; sala = salah, melanggar) perbuatan a-susila (selingkuh) sehingga dihukum oleh adat dengan mengusirnya keluar dari kampung. Maka,  mengembaralah ia di hutan.  Dalam kesendiriannya di sebuah gua, ia membuat api unggun sambil  melantunkan lagu sendu. Sepenggal syairnya sebagai berikut.

O da io dele ngoi-ngoa 
Sai dhu go ola robha
O da io dele sedho mawe 
Sai dhu go leza zale 

Oh yang berseru dalam nyanyi sendu penuh kerinduan
hingga tibanya pagi baru yang masih kelabu 
Oh yang berteriak dalam nada-nada duka frustrasi cinta 
hingga datangnya kekelaman malam yang kian menghitam
(Sumber: Cerita Rakyat dari Nusa Tenggara Timur, Gregor Neonbasu SVD, Yohanes Vianey Watu, Grasindo, Jakarta, 1996, hlm. 30, 31). 

 Syair lagu di atas yang ditampilkan secara spontan adalah sebuah bentuk ekspresi yang mengandung unsur-unsur puitik. Ada variasi rima yang kuat seperti o da io dele ….. baris pertama dan ketiga atau sai dhu go ….baris kedua dan keempat. Saya yakin jika syair lagu ini dibaca dengan gaya poetik maka aspek ritmenya sangat pas dengan alur cerita yang menggambarkan gadis cantik sedang dirundung pilu. 

Ini sebuah mite (sastra lama bentuk prosa) daerah Ngada yang memiliki genuine ending (akhir cerita yang mengagumkan) karena terjadi sebuah perdamaian sejati antara ketiga pelaku cerita yaitu gadis cantik yang kemudian melahirkan seorang bocah dan ternyata ayahnya seorang makhluk dari langit bernama Kua Siga Wunga, dengan warga kampung yang diwujudkan dengan sebuah acara syukuran setelah sebelumnya mereka bertiga harus mengikuti uji kebenarnan adat yaitu menapaki laja sue (anak tangga dari pedang tajam) tanpa luka sedikit pun pasa tapak kaki dan justru dengan cara itu mereka akhirnya diterima kembali sebagai kaum bangsawan Gae Meze (Ibid. Hlm. 36-37).

Ada dua hal penting dikemukakan Dr. Norbertus Jegalus dalam tulisan Prolog buku Mengenal Sastra dan Satrawan NTT yang diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini, yaitu perlu ditelusuri lebih jauh karakteristik local genuine dan local genius dalam sastra NTT. Dari syair lagu mite  Kua Siga Wunga di atas nampak jelas sebuah keunikan bunyi huruf ‘z’ leza zale; ‘d’ pada dele…sedho yang sangat menonjol. Pada masyarakat Ngada produksi bunyi ‘dh’ (sedho) dilengkapi dengan ujaran eksplosif ‘h’ secara serentak. Karena itu, unsur bahasa lokal termasuk salah satu petunjuk ke arah local genuine. * 
 
(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada 10 Oktober 2012)










Post a Comment for "Local Genuine, Local Genius, dan Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT"