Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Selamat Datang Kritikus Sastra NTT

“NTT butuh kritikus untuk pengembangan seni dan budaya.” Pernyataan ini merupakan benang merah pendapat tiga orang sastrawan/budayawan Indonesia, Putu Wijaya, Radhar Panca Dahana, dan Gerson Poyk pada waktu ketiganya tampil dalam “Seminar Nasional Seni Budaya dan Pembangunan” yang diselenggarakan Komunitas Rumah Poetika di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11 April 2012 yang lalu (Victory News, 12 dan 13 April 2012).

Menurut Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana, NTT memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan menjadi karya seni, hanya sayangnya belum disentuh. “Masyarakat dan pemerintah belum melihat budaya sebagai sebuah kekuatan untuk menjalankan pembangunan di NTT. Karena itu, NTT butuh banyak kritikus untuk mengkritisi sekaligus memberi masukan demi pengembangan kebudayaan di NTT,” kata Putu Wijaya yang dikenal luas sebagai penulis novel absurd dan sutradara berbagai pementasan.

Gerson Poyk, selain menyatakan pentingnya NTT memiliki kritikus seni dan budaya, juga memberikan perhatian serius pada kearifan lokal (local genius) dalam pengembangan seni budaya di NTT. Dalam konteks NTT, menurut Gerson Poyk, kearifan lokal ini mulai terkikis termakan arus globalisasi dan materialisme. “Pada kearifan lokallah yang mendorong penataan relasi sosial. Kearifan lokal mencegah orang terpikat pada materialisme, misalnya mencegahnya dengan mitos, sastra, cerita rakyat, seni tari, dan lain-lain,” kata Gerson Poyk, sang perintis sastra NTT, yang menulis banyak karya sastra berlatar NTT, antara lain berjudul  Nostalgia Nusa Tenggara (1975), Jerat (1978), Cumbuan Sabana (1979), Poti Wolo (1988), dan Enu Molas di Lembah Lingko (2005).

Harapan akan hadirnya kritikus-kritikus seni dan budaya di NTT, tidak hanya harapan ketiga tokoh sastra dan budaya di atas, tetapi merupakan harapan dan kerinduan sebagian besar orang NTT. Kritikuslah yang punyai kemampuan menggali potensi seni dan budaya yang terpendam di bumi Flobamora ini, kritikuslah yang menganalisis dan menjelaskan nilai-nilai yang tersembunyi di balik karya-karya seni dan budaya itu, dan kritikus pulalah yang mempromosikan karya-karya seni dan budaya NTT kepada masyarakat luas, baik di NTT maupun di luar NTT sehingga menjadi lebih berharga dan bermartabat.

Dalam kaitan pentingnya peranan dan fungsi kritikus seni dan budaya NTT ini, kita menyambut kehadiran seorang kritikus sastra NTT yang senior dan berbobot, A.G. Hadzarmawit Netti (selanjutnya, A.G.H. Netti) di harian Flores Pos. Lewat gebrakan tiga artikel opini sastranya di Flores Pos memberikan energi besar terhadap kritikus-kritikus sastra NTT lain untuk menyumbangkan pikiran-pikiran cerdas dan briliannya dalam menganalisis dan membedah karya-karya sastra para sastrawan NTT.

Dalam catatan saya, tahun 1992-1995 dan tahun 1999, artikel-artikel opini sastra A.G.H. Netti sering muncul dalam SKM Dian (kini sudah mati). Beliau juga pernah terlibat dalam polemik panjang di harian Pos Kupang seputar masalah “imajinasi dan fantasi.” Beliau yang memulai dengan menggugat tajam artikel Maria Matildis Banda yang dimuat dalam buku 15 Tahun Pos Kupang (2007) yang berjudul “Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis.” 

Artikel gugatan A.G.H. Netti yang berjudul “Marginalia atas Opini Maria Matildis Banda: Seputar Imajinasi, Fantasi, dan Khayalan” (Pos Kupang, 16/1/2008) menyulut polemik panjang selama 4 bulan di Pos Kupang (Januari-April 2008) dengan melibatkan sejumlah nama, yakni Silvester Ule, Isidorus Lilijawa, dan Marsel Robot. Maria Matildis Banda sendiri tidak memberikan respons apa-apa. 

Sudah tiga artikel opini A.G.H. Netti yang telah dipublikasikan Flores Pos (FP), yakni “Menumbuhkan Minat Sastra Masyarakat NTT” (FP, 20/9/2012); “Sastra dan Kritik Sastra” (FP, 27/9/2012); dan “Kritik Sastra dan Aliran Pukuafu” (FP, 5/10/2012). Dalam artikel opini ketiga, beliau menyodorkan nama Aliran Pukuafu sebagai metode kritik sastra yang diterapkannya selama ini.

Memang beliau telah membuktikan penerapan metode kritik sastra Aliran Pukuafu itu dalam kedua bukunya, yakni Kristen dalam Sastra Indonesia (1977) dan Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (2011). Buku lain yang sudah beliau terbitkan adalah Bilangan Super (2012), Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (2010), dan Kupang dari Masa ke Masa (1997).

Dari lima buku beliau, hanya buku Kristen dalam Sastra Indonesia (1977) yang belum saya miliki, tetapi saya telah membaca resensinya oleh Korrie Layun Rampan dalam bukunya Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra (1984, hlm. 151-153). Beliau betul mempunyai kekhasan dalam menganalisis karya-karya sastra. Dasar analisisnya memang tetap bersifat struktural, tetapi diwarnai oleh unsur-unsur permenungan yang mendalam yang beliau  sebut sebagai kontemplasi.

Dengan kehadiran A.G.H. Netti dalam konstelasi kritik sastra NTT di Flores Pos, kiranya akan mendorong kritikus-kritikus sastra NTT yang lain untuk tampil mengambil bagian dalam menggali, menjelaskan, dan mempromosikan sastra NTT kepada masyarakat luas. Para kritikus sastra NTT, termasuk Bapak A.G.H. Netti sendiri, kiranya dapat tertantang dengan terbitnya karya-karya para sastrawan NTT berikut ini, baik yang terbit tahun 2012, maupun yang terbit tahun 2011.  

Dalam tahun 2012 ini (sampai pertengahan Oktober 2012) sudah 9 buku sastra NTT  yang sudah terbit, yakni 3 buku novel, 3 buku kumpulan cerpen, dan 3 buku kumpulan puisi. Ketiga buku novel: (1) Perempuan dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou); (2) Nyoman Sulastri (Gerson Poyk); dan (3) Seribu Malam Sunyi (Gerson Poyk). Ketiga buku kumpulan cerpen: (1) Kabut di Lelembala & Teriakan dari Tanah Hawu Mehara (Karya Siswa/i SMA Negeri 1 Kupang); (2) Katuas Gaspar (Sipri Senda); dan (3) Wasiat Kemuhar (Pion Ratulolly). Ketiga buku kumpulan puisi: (1) Nyanyian Pesisir (Marsel Robot);  (2) Virgin, di Manakah Perawanmu? (Santisima Gama); dan (3) Fatamorgana Langit Sabana (Sipri Senda).

Sebanyak 15 buku sastra NTT yang terbit tahun 2011 yang sampai kini belum mendapat sentuhan analisis dari para kritikus sastra NTT. Dari 15 karya sastra itu, ada 6 buku novel, 3 buku kumpulan cerpen, dan 6 buku kumpulan puisi. Keenam buku novel itu: (1) Perempuan Itu Bermata Saga (Agust Dapa Loka); (2) Cinta Terakhir (V. Jeskial Boekan); (3) Membadai Pukuafu (V. Jeskial Boekan); (4) Loe Betawi Aku Manggarai (V. Jeskial Boekan); (5) Badut Malaka (Robert Fahik); dan (6)  Belis Imamat (Inyo Soro). Ketiga buku kumpulan cerpen: (1) Wanita Sepotong Kepala (Komunitas Sastra Filokalia St. Mikhael Kupang); (2) Suamiku Dirampok Orang (Fanny J. Poyk); dan (3) Sabtu Kelabu (Erlyn Lasar). Keenam buku kumpulan puisi: (1) Cerah Hati: Sebuah Kumpulan Puisi (Christian Dicky Senda); (2) Riwayat Negeri Debu (Jefta H. Atapeni); (3) Pukeng Moe Lamalera (Bruno Dasion);  (4) Ketika Cinta Terbantai Sepi (Usman D. Ganggang); (5) Antologi Puisi Lonceng Sekolah (Arnoldus Ola Aman); dan (6) Poetae Verba (Mario F. Lawi). * 

Oleh Yohanes Sehandi 
Penulis Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) 

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 15 Oktober 2012)







Post a Comment for "Selamat Datang Kritikus Sastra NTT"