Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kajian Buku: Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT

Oleh Theodorus Uheng Koban Uer
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah (1) Mengapresiasi lebih mendalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT karya Yohanes Sehandi; (2) Meramu kembali intisari hasil  Bedah dan Diskusi Buku yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Flores beberapa waktu yang lalu. Fokus penulisan ini adalah apa yang telah dikerjakan oleh Yohanes Sehandi sebagai seorang kritikus dan bagaimana kegiatan awal yang dilakukan olehnya. Setelah merekam dan menyimak berbagai tanggapan, kemudian mengemasnya dalam sebuah buku yang ingin dikaji lebih lanjut oleh para pembaca dan peminat karya sastra. Konsep penulisan ini merupakan deskripsi dalam bentuk kajian kepustakaan Sosiologi Sastra dan Kritik Sastra serta kegiatan bagaimana mengapresiasi suatu karya seni, dalam hal ini karya sastra.


KATA KUNCI
Sastra dan Sastrawan NTT, upaya pelacakan, mengidentifikasinya.

PENDAHULUAN

Ketertarikan saya mengkaji buku ini berawal dari kegiatan mengikuti diskusi pada bedah buku yang diselenggarakan oleh Panitia Bedah dan Diskusi Buku Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Flores pada 30 Juni 2012 yang lalu. Buku yang dibedah dan didiskusikan adalah Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, karya Yohanes Sehandi, diterbitkan oleh Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tahun terbit 2012, dengan tebal 130 halaman. Dalam diskusi tersebut saya ditunjuk menjadi pembahas pertama yang membawakan topik  “Sastrawan NTT: Siapakah Engkau?”

Sesungguhnya saya menolak sebagai pembahas sebab saya sendiri tidak atau jarang mengikuti dan membaca opini-opini yang disajikan di Flores Pos dan Pos Kupang tentang topik ini. Saya hanya mendengar pembicaraan atau percakapan lepas tentang tanggap-menanggap antar para penulis opini pada dua surat kabar tersebut.

Dan buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT belum pernah dibaca. Dua hari sebelum diskusi buku berlangsung, panitia menyerahkan buku itu dengan surat permohonan untuk menjadi pembahas. Dan sebagai dosen mata kuliah Sosiologi Sastra di PBSI, saya tak dapat  menghindar meskipun pada saat yang sama ada kegiatan penting di tempat lain.

Ahkirnya dengan cara SKS (sistem kebut semalam), saya membaca buku tersebut dan mempersiapkan presentasi untuk dibawakan dalam pertemuan itu. Hasilnya dapat pula dibaca dalam opini yang telah dipublikasikan oleh Flores Pos pada edisi 7 Juli 2012.

Dalam proses diskusi tersebut muncul banyak masukan dan tanggapan terhadap kehadiran serta penulisan buku ini. Memang terdapat beberapa kekurangan di sana-sini, seperti yang diungkapkan dalam diskusi tersebut. Akan tetapi, menurut Rektor Universitas Flores, dalam sambutannya yang tercantum pada halaman 1-2 buku ini, bahwa yang penting adalah semangat dan kemauan kuat untuk memulai meletakkan dasar pemahaman tentang sastra dan sastrawan NTT. Dan jika ada kekurangan, marilah kita sama-sama menyempurnakannya, terutama para pengamat sastra dan sastrawan NTT. Inilah himbauan pemimpin perguruan tinggi bagi para peminat dan pencinta sastra dalam kalangan Universitas Flores. Dan dengan kegiatan membedah buku ini terjawab harapan tersebut.

MELACAK SASTRA DAN SASTRAWAN NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah bagian atau suatu wilayah yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan RI. Dalam berinteraksi atau berelasi dan berkomunikasi, penghuninya menggunakan bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai kehidupan. Pengungkapan nilai-nilai kehidupan paling efektif dilakukan melalui karya sastra baik lisan maupun tulisan (bdk. Ratna, 2003: 3-5).

Dari pernyataan tersebut, maka apabila ada pertanyaan sebagaimana yang tercantum pada buku Sehandi (2012: 11), yakni apakah ada sastra di NTT dan manakah sastrawannya? Sesungguhnya pernyataan ini tak perlu dijawab atau didiskusikan. Banyak penulis opini dalam Flores Pos maupun Pos Kupang memaparkan secara gamblang keberadaan sastra NTT dan sastrawannya. Para penulis hanya merujuk pada sastra tulis dan sastrawannya. Padahal sastra lisan yang dituturkan dari generasi ke generasi oleh pencipta anonim begitu banyak dan luas sebarannya.

Dan untuk memperluas wawasan pembaca tentang sastra dan sastrawan maka Gleeson 1997 dalam Papo (2000: 22-23) menyatakan bahwa melalui seni sastra para pengarang mau melukiskan dan menyairkan kehidupan, baik yang nampak maupun yang gaib ataupun perpaduan antara yang gaib dan nampak. Para pengarang adalah seniman, yang dengan sarana bahasa membentuk nilai-nilai kehidupan, seperti yang ada dalam kesadaran dan keyakinannya. Seniman mau memperlihatkan hidup dalam arti yang kekal, membukukan nilai-nilai dalam keragamannya yang tiada terhitung; mereka menimbulkan ngeri dengan yang mengerikan; dan membikin orang bersorak-sorak dengan yang menggirangkan; perasaan yang mesti mendesak dari kenyataan-kenyataan, mengayakan pandangan hidup orang, mempengaruhi keyakinan dan sikap susila seseorang; itulah yang banyak lagi yang diberikan seniman dengan bentuk-bentuk yang dipersembahkan kepada khalayak.

Menurut Eagleton (1983) dalam Ratna (2003: 34-35) bahwa hubungan karya sastra selalu ditulis kembali pada zamannya. Sumber karya sastra mempresentasikan fakta-fakta sosial. Karya sastra befungsi menginventariskan kejadian-kejadian dalam kreativitas dan imajinasi. Karena pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Bertumpu pada pengertian-pengertian tersebut di atas, penulis buku ini membagi sastrawan NTT dalam dua kelompok, yakni (1) sastrawan kreatif atau sastrawan pencipta yang meliputi penyair, novelis, cerpenis, dan dramawan, dan (2) sastrawan ilmiah atau sastrawan telaah yang meliputi pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra (Sehandi, 2012: 14-15).

Nampaknya bahwa dengan adanya pengelompokan ini penulis buku hanya ingin mempermudah pelacakannya atau penelusurannya terhadap “keberadaan” sastrawan NTT. Yang dimaksud dengan “keberadaan” di sini adalah tempatnya dalam “rumah besar” para pengarang. Di sinilah salah satu titik kelemahan penulisannya, karena apresiasi yang dilakukan terhadap hasil karya pengarang masih bersifat periferi atau belum mendalam, yakni baru menyentuh permukaannya saja terhadap setiap tokoh dan karyanya.

Langkah yang berikut penulis buku mengelompokkan sastrawan berdasarkan usianya. Penulis menggunakan istilah lapis. Dan lapis pertama kelompok Gerson Poyk dengan kawan-kawan yang berjumlah delapan orang, dan lapis kedua dan lapis ketiga belum bisa dikelompokkan (Sehandi, 2012: 16-17). Menurut hemat saya langkah-langkah ini bisa menyesatkan, karena kriterianya belum jelas. Inilah kelemahan yang lain.

Melalui penilikan kelemahan ini maka saya berpendapat bahwa sebaiknya dalam melacak karya sastra dan sastrawan atau pengarangnya, dideskripsikan saja biografi pengarang dan hasil karyanya. Dan hasil-hasil yang diperoleh sudah cukup memadai. Inilah langkah awal yang menggembirakan bagi para kritikus sastra NTT.

PERILAKU KRITIKUS TERHADAP KARYA SASTRA

Tindakan mengkritik pada umumnya tidak mendukung sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Padahal kata “kritik” dalam batasannya berarti kupasan atau tinjauan. Dan kritik sastra yang berkaitan dengan masalah sastra,  bertujuan mendeskripsikan, menganalisis, menginterpretasi, dan menilai sastra (bdk. Bahari, 2008: 2-3).

Norbertus Jegalus, dalam “Prolog” buku ini menulis bahwa penulis buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT bukan saja sebagai seorang pemerhati sastra NTT, tetapi lebih sebagai seorang kritikus sastra NTT. Memang penulis belum dikategorikan ke dalam kritikus sastra hebat karena belum begitu lama menggeluti dunia kritik sastra, namun pengalaman awal ini sudah menunjukkan adanya potensi besar ke arah itu (Sehandi, 2012: 5).

Pernyataan ini boleh jadi memberikan suatu beban mental yang rasa-rasanya tak dapat dipikul sendirian. Sebab menurut Feldman (1967) dalam Bahari (2008: 3) bahwa tujuan kritik adalah memahami karya seni, dan ingin menemukan suatu cara untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu karya seni yang dihasilkan, serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh kreator sehingga hasil kritik seni benar-benar maksimal dan secara nyata dapat menyatakan baik dan buruknya sebuah karya. Jadi, tujuan dari kritik seni, dalam hal ini kritik sastra adalah agar para pembaca dan peminat sastra dapat memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan mutu suatu karya sastra dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap karya sastra.

Diskusi dan bedah buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT yang baru saja diselenggarakan Program Studi PBSI Universitas Flores, merupakan tindakan atau perilaku awal mengapresiasi karya sastra ini. Menurut The Liang Gie (1978: 51) dalam Bahari (2008: 149) bahwa kepuasan estetika akan diperoleh seseorang setelah menikmati suatu karya seni. Kepuasan estetika itu merupakan kombinasi antara sikap subjektif dan kemampuan memunculkan persepsi secara kompleks. Karena pada dasarnya pengalaman estetik merupakan hasil dari interaksi antara karya seni dengan penikmatnya. Interaksi tersebut akan terjadi apabila ada peluang serta kondisi pendukung untuk menikmati nilai-nilai seni yang terkandung dalam karya tersebut.

Dengan demikian, kegiatan bedah dan diskusi buku, hasil serta masukan-masukan dalam diskusi tersebut ditindaklanjuti. Untuk itu, kegiatan ini perlu diteruskan dalam bentuk diskusi terbatas yang diikuti oleh penikmat dan peminat sastra baik dosen maupun mahasiswa di Universitas Flores ini. Selanjutnya, dibutuhkan suatu wadah yang mengolah hasil-hasil diskusi dalam lembaga yang bersifat semi permanen dan dikelola oleh Fakultas Bahasa dan Sastra termasuk Program Studi Sastra Inggris.

Apabila ide-ide ini bisa terwujud maka beberapa kelemahan yang disebutkan  di atas mungkin dapat diatasi. Bahkan boleh jadi akan muncul berbagai gagasan untuk meningkatkan kualitas para apresiator. Memang mengapresiasi suatu karya sastra itu tidak mudah. Hanya melalui proses pembelajaran yang konsisten dan terus-menerus akan diperoleh pembaca, peminat, dan penikmat karya sastra yang semakin berkualitas.

Menurut Rektor Universitas Flores, buku ini menjadi satu dasar referensi dalam melakukan kajian terhadap sastra dan sastrawan NTT. Meskipun ada berbagai kelemahan dan kekurangan dalam buku tersebut, namun semangat awal yang sudah ada perlu terus dikembangkan untuk menelusuri lebih lanjut sastra dan sastrawan NTT (Sehandi, 2012: 2)

METODE PENULISAN

Tanggapan beberapa peserta diskusi bahwa pemaparan dalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT belum merupakan  sajian yang ilmiah. Hal ini betul, sebab dengan membaca judul buku sudah menunjukkan bahwa ini baru merupakan kegiatan awal. Suatu studi awal belum membutuhkan kajian atau studi ilmiah. Harimurti Kridalaksana dalam tulisannya yang berjudul “Mengenal Bahasa dan Linguistik” (dalam Kushartanti, dkk, Ed. 2009: 10) mengemukakan tahap-tahap dalam penelitian linguistik sebagai berikut.

Tahap Spekulasi. Misalnya, untuk menjawab pertanyaan: mengapa terdapat banyak bahasa di dunia muncul berbagai cerita, seperti “Cerita Candi Babel” dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Atau suku Dayak di Kalimatan mempunyai legenda yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya mempunyai satu bahasa, tetapi karena mereka keracunan cendawan, mereka mulai berbicara dalam pelbagai bahasa sehingga timbul kekacauan, dan manusia berpencar ke seluruh bumi dengan bahasanya masing-masing.

Tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para peminat atau ahli bahasa mengumpulkan dan menggolong-golongkan segala fakta bahasa secara teliti tanpa memberikan teori apapun. Cara pendekatan serta metode semacam ini masih diperlukan karena banyak bahasa di Indonesia, termasuk sastranya belum diselidiki.

Menurut hemat saya, penulis buku ini sudah mempertanggungjawabkan pendekatan dan prosedur penelitian/penulisan ini pada bagian “Menjawab Tanggapan-Tanggapan.” Artikel opininya “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT” dalam harian Flores Pos 19 November 2011 dan artikel opininya “Sastra NTT yang Berpijak di Bumi” dalam harian Pos Kupang 13 Desember 2011 sudah menunjukkan hal tersebut. Artikel opini pertama mendapat tanggapan yang seru sedangkan yang kedua ditanggapi melalui SMS. Semua data yang masuk direkam dan dipelajari. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penulis buku ini telah mempelajarinya secara cermat lalu mengklasifikasikan semua masukan dan tanggapan tersebut.

Jadi, wajarlah kalau Norbertus Jegalus memberikan penulis buku ini predikat kritikus. Sebab kritik sastra dapat menjadi masukan berharga untuk meningkatkan proses kreatif pengarang, sehingga pada saatnya akan menghasilkan karangan yang berbobot (Sehandi, 2012: 6). Dan mengenai sistematika penulisan buku ini, Norbertus Jegalus berpendapat bahwa buku ini ditulis secara argumentatif. Artinya, penulis memiliki alasan yang tepat menempatkan Bagian I tentang “Mengenal Sastra NTT,” Bagian II “Mengenal Sastrawan NTT,” dan Bagian III tentang “Menyelisik Sastra NTT.”

Menurut hemat saya, justru pada bagian ketiga inilah terdapat metode pengambilan dan pengumpulan data untuk menghadirkan buku ini dan mempersiapkan langkah-langkah selanjutnya. Jadi, terlalu dini untuk menyatakan bahwa penulisan buku ini tidak ilmiah. Memang pendekatan semacam ini belum dikatakan benar-benar ilmiah, sebab ilmu yang matang bukan hanya merupakan kumpulan fakta semata, tetapi harus dilengkapi dengan berbagai rumusan teoretis. Akan tetapi, pendekatan semacam ini masih diperlukan, sebab ada banyak hal, khususnya sastra dan sastrawan  NTT ini baru pertama kali diperkenalkan ke masyarakat umum melalui buku ini.

Sekali lagi dikatakan bahwa inilah langkah awal yang perlu diapresiasikan agar menjadi lebih berkualitas ilmiah dalam bidang sastra yang tengah berkembang dan dikembangkan dalam wilayah serta daerah-daerah dalam kawasan Nusantara ini.

SASTRAWAN NTT: SIAPAKAH ENGKAU

Topik ini saya bawakan pada Diskusi dan Bedah Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT ini pada 30 Juni 2012 di Universitas Flores. Menurut hemat saya, kiranya disajikan pula dalam tulisan ini karena bukan saja memiliki kaitan yang erat dengan kajian buku ini, tetapi dapat menjadi motivasi bagi pengarang untuk lebih peka membaca, menyuarakan melalui karya-karyanya mengenai kondisi sosial masyarakat Provinsi NTT.

Seorang  pengarang adalah anggota masyarakat yang berpijak pada buminya yang nyata, namun melalui kreativitas dan imajinasinya, dia menciptakan suatu kenyataan baru sebagai hasil imajinasinya. Dan dari aspek sosiologis, seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat perlu membangun suatu dunia sosial yang bermanfaat bagi anggota kolektivitasnya. Sebagai anggota komunitas dia harus berupaya untuk secara tetap mendialogkan kehidupan dengan anggota komunitasnya. Dengan demikian, seorang sastrawan, sebagai subjek kreator harus berada pada kondisi transendental sehingga muatan intelektualitas dan emosionalitasnya mampu mempresentasikan kondisi lingkungan kolektivitasnya.

Dan sebagai warga NTT, kita semua, termasuk pengarang/sastrawan tak dapat menutup mata terhadap berbagai keadaan yang memperihatinkan. Sebagian besar warga NTT hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah kelompok marginalis. Tidak ada kelompok yang menyuarakan keluh-kesah golongan yang merupakan voices of voiceless.  Hidupnya terpuruk baik di lautan yang mengitari mereka dan merana di daratan di antara bongkahan batu yang dibelah untuk memperoleh sepiring nasi tanpa lauk. Mengapa  banyak sastrawan kurang peka mengangkatnya dalam cerpen, novel, atau kumpulan puisi yang menyentuh nurani penguasa negeri dan provinsi ini?

Sebaliknya, mereka yang menjadi penyelenggara pemerintahan hanya muncul satu kali dalam lima tahun ketika saat berkampanye. Mereka mengumbar janji di depan rakyat. Dan setelah terpilih dan “bertakhta” pada tahun pertama mereka mulai belajar berkolusi dengan lingkungannya, pada tahun kedua mereka bernepotis dengan kelompoknya, pada tahun ketiga mereka mulai belajar berkorupsi, dan tahun keempat dan kelima menabung hasil korupsinya sebab musim “paceklik” kekuasaan hampir tiba.

Di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak sekolah rubuh akibat gempa dan tsunami di Flores tahun 1992, sampai sekarang belum diperbaiki. Dan kalau ada dana BOS, para kepala sekolah mulai terbeliak matanya lalu menggunakannya sendiri dengan administrasi pertanggungjawaban yang bisa dimanipulasi. Para pasien terbaring di rumah sakit tanpa harapan hidup karena dokter dan perawatnya masih berunding tentang penggunaan dana proyek.

Seorang pengarang wanita kebanggaan NTT, Maria Matildis Banda telah menulis sebuah novel yang menarik Rabies, kenyataannya setelah pasien digigit anjing lalu dibawa ke rumah sakit, tetapi ternyata obat anti rabies telah habis persiapannya.

Orang-orang miskin berseru “astaqfirullah” dan disambut dengan seruan “alhamdulilah.” Dan masih banyak kisah perih yang memprihatinkan yang dapat dijadikan tema dalam karya sastra, misalnya cerita dalam novel, cerpen, drama, atau kumpulan puisi yang menarik.

MELACAK SASTRAWAN NTT

Upaya “melacak” dan hasil pelacakan yang dilakukan penulis buku ini belum berbuah banyak apalagi ada banyak hambatan yang barangkali tidak disebutkan dalam buku ini. Namun, sipelacak sudah mempunyai disposisi batin untuk menerima segala kemungkinan yang bakal terjadi. Hanya ada satu tekad: kalau bukan sekarang, kapan lagi!

Dan apabila kita menelusuri sejarah kesusasteraan, baik di dunia Barat maupun sastra Nasional Indonesia, telah terbukti bahwa suatu masyarakat itu akan berkembang maju apabila masyarakat tersebut mempunyai minat, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa dan kesusastraan. Kekhasan Sastra Indonesia Modern berkembang bersamaan dengan perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Nasionalisme bertumbuh dan berkembang sejalan dengan berkembangannya sastra Indonesia mulai dengan angkatan Pujangga Baru dan ditingkatkan melalui Angkatan 45 dengan tokoh kunci Chairil Anwar yang memperkenalkan bahasa Indonesia ke dunia Barat, kemudian dilanjutkan oleh angkatan-angkatan sesudahnya (bdk, Ratna, 2007: 422-424).

Menurut hemat saya, mungkin Yohanes Sehandi, penulis buku ini memiliki intuisi seperti itu. Kondisi wilayah NTT mungkin akan berubah dan berkembang dari “Nasib Tidak Tentu” akan munuju ke kondisi yang lebih pasti atau lebih baik, apabila para peminat bahasa dan sastra lebih meningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang disajikan dalam setiap karya sastra oleh para pengarangnya atau sastrawannya sendiri.

Jika demikan, maka akan muncul beberapa masalah, antara lain, bagaimanakah masyarakat NTT memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut? Apakah para pembaca dan peminat karya sastra NTT sungguh merespons nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra NTT? Wadah manakah yang bisa digunakan untuk memanfaatkan hasil karya NTT tersebut? Dan mungkin masih banyak lagi masalah yang perlu didiskusikan bersama melalui buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT ini.

INILAH SASTRAWAN-SASTRAWAN NTT

Penulis buku ini menyodorkan 22 nama sastrawan NTT dengan hasil karyanya. Sesungguhnya ada 64 nama yang telah didata sampai ahkir Januari 2012. Masih ada 42 orang yang belum bisa diperkenalkan secara lengkap, tetapi nama-nama mereka sudah tercantum dalam buku ini (Sehandi, 2012 : 11)

H.B. Jassin seorang visioner kesusasteraan Indonesia mungkin sebelum menulis berbagai buku kritik n esai sastra Indonesia, bekerja seperti penulis buku ini lakukan. Dalam bukunya Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jilid I), mengawali tulisannya dengan topik “Bahasa Indonesia dalam Perkembangannya,” mengamanatkan bahwa bahasa Indonesia bertambah kaya, baik di bidang kebahasaan maupun kesusastraan dengan masuknya bahasa dan sastra daerah. Dan sekarang sedang digalakkan upaya meliterasikan sastra lisan ke dalam bahasa Indonesia.

Memang, selama berkarya H.B. Jassin banyak dikritik, bahkan diejek atau dicemoohkan. Tetapi tokoh yang satu ini tahan bantingan. Di samping ejekan, beliau mendapat julukan Paus Sastra Indonesia. Banyak pihak mendukung perilakunya termasuk karya-karya tulisnya. Buku-bukunya Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jilid I, II, III),  Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Angkatan 66, dan masih banyak lagi sungguh diminati oleh para pembaca dan peminat sastra, baik dalam negeri maupun di luar negeri, khususnya di Belanda.

Sekali lagi saya mengatakan bahwa mungkin penulis buku ini terinspirasi oleh perilaku H.B. Jassin atau secara intuitif terdorong oleh semangat H.B. Jassin tersebut, lalu dengan berani dan gamblang menyodorkan “Inilah Sastrawan-sastrawan NTT,” meskipun pribadi-pribadi tersebut tidak atau belum bersedia menyandang predikat sastrawan. Tujuannya adalah agar para sastrawan dan karya-karyanya dikenal dan dicintai oleh masyarakat NTT sendiri. Namun, apakah para sastrawan tersebut sudah cukup peka menyuarakan keprihatinan warga masyarakat Provinsi NTT ini?

Penulis buku ini ingin menunjukkan kepada pembaca dan peminat sastra di mana saja berada, bahwa sastrawan NTT itu bisa disejajarkan dengan sastrawan serta budayawan Nasional lain bahkan Internasional. Untuk itu ada dua tokoh yang diperkenalkan, yakni Gerson Poyk sebagai perintis sastra NTT dan Dami N. Toda sebagai kritikus sastra.

GERSON POYK, PERINTIS SASTRA NTT

Dengan mencermati data biografi dan data karya-karya sastranya, sudah sepantasnya kalau beliau menyandang gelar perintis sastra NTT. Karena dialah seorang sastrawan yang secara intelektual dan emosional mempresentasikan kondisi lingkungan Provinsi NTT kepada dunia bahwa inilah kondisi lingkungan  anggota kolektivitasnya.

Beliau memperkenalkan NTT melalui novel dan cerpen, seperti Cumbuan Sabana (1979), Puber Kedua di Sebuah Teluk (1985), Tarian Ombak (2009), Enu Molas di Lembah Lingko (2009), Keliling Indonesia dari Era Bung Karno sampai SBY (2011) dan sebagainya. Menurut penulis buku ini beberapa karya Gerson Poyk sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia, Belanda, Jepang, dan Turki. Ini berarti karya beliau bisa dijadikan promosi pariwisata. Dan menjadi pertanyaan berikutnya, dapatkah generasi penerus NTT bisa berbuat lebih dari Gerson Poyk, sang Perintis Sastra NTT?

DAMI N. TODA SEBAGAI KRITIKUS SASTRA

Dari berbagai opini, beliau layak disebut sebagai kritikus sastra. Hanya sayangnya predikat ini “belum” tercantum dalam jajaran kritikus sastra nasional, seperti H.B. Jassin, W.S. Rendra, Ajip Rosidhi, dan sebagainya.

Sesungguhnya sebagai budayawan yang diakui dunia, beliau seorang kritikus sastra yang mendasarkan pandangannya pada psikoanalisis Jung karena mengulas novel-novel Iwan Simatupang seperti Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975). Novel-novel ini agak sulit dicerna oleh pembaca yang tidak memahami psikoanalisis. Demikian pula beliau dapat menganalisis puisi-puisi nyentrik dari Sutardji Calzoum Bachri yang aneh-aneh bentuknya, namun bernas isinya, sebab mendialogkan kehidupan yang nyata hidup dan universal. Dengan membaca hasil telaahannya dapatlah dikatakan bahwa Dami N. Toda seorang kritikus sastra. Tantangan yang berikutnya adalah apakah akan muncul sekian Dami N. Toda yang baru sebagai kritikus sastra?

BEBERAPA KOMENTAR

Penulis buku ini sudah membuka cakrawala para pembaca dan peminat sastra dalam wilayah provinsi NTT. Inilah suatu tantangan yang perlu dihadapi, baik oleh para sastrawan maupun oleh para pembaca, peminat sastra, dan masyarakat luas sebagai penikmat sastra. Untuk itu baiklah kita menyimak pesan atau himbauan H.B. Jassin dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya (Jasssin, 1977: 4-5).

Pertama, menjadi sastrawan itu tidak mudah, sebab sebagai pemikir, penyair, dan pengarang itu, bertindak “memaksa” orang meninjau lebih mendalam hakekat segala. Mereka memiliki bakat dan karakter yang memungkinkan mereka melihat dengan kepolosan seorang anak kecil yang masih hidup dalam dunia yang serba ajaib. Di belakang alam yang nampak dan penjelmaan-penjelmaannya, di belakang hidup dan kejadian sehari-sehari, mereka melihat kerajaan Tuhan, yakni Kerjaaan Kasih yang terbentang teratur. Inilah sebabnya maka hasil seni yang baik, tahan hidup di segala zaman, karena kecakapan seniman merasakan, memilih, dan membentuk inti atau saripati yang berlaku bagi segala zaman. Kekuasaan penyair bahwa ia bisa menangkap dalam perkataan dan memberi bentuk apa yang cuma dirasakan samar-samar dan tidak jelas bentuk serta rupanya bagi orang biasa.

Kedua, peminat sastra yang juga adalah seniman, walaupun seniman pasif, sudah sepantasnyalah dengan usaha yang sungguh untuk mengerti apa yang disajikan oleh seniman atau sastrawan. Mereka harus memiliki kesediaan untuk melatih diri. Untuk menikmati karya sastra perlu ada kasih sayang  dan cinta serta studi yang mendalam terhadap hasil karya. Sebab untuk mengerti sastra, orang harus mengerti bahasa dan kemungkinan-kemungkinan pengungkapannya.

ESIMPULAN

Sebuah buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT telah hadir di tengah kita. Terlepas dari berbagai kekurangannya yang ada, karya ini telah mempekenalkan sastra dan sastrawan NTT. Inilah yang membanggakan para peminat sastra daerah. Kehadirannya merupakan sebuah terobosan . Penulis buku ini cukup telaten dan “tahan banting” telah memperkenalkan suatu produk kritik sastra yang mendapat sambutan positif. Bahwa ada sastra tertulis NTT yang ditulis untuk memperkenalkan karya sastra tersebut dengan pengarang-pengarangnya.

Komentar-komentar “miring” terhadap kualitas karya ini tidak muncul dalam opini-opini, hanya melalui SMS-SMS yang disimpan oleh penulis sendiri sebagai bahan refleksi. Itu berarti, baik secara kuantitatif belum ada kritikus yang hebat di kawasan ini. Jadi, ketika muncul buku ini, timbul banyak reaksi yang meragukan kemampuan penulis buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT sebagai kritikus. Akan tetapi, tidak ada komentar ketika Norbert Jegalus mengemukakan pandangannya tentang local genius  sastra NTT dan local genuine atau kearifan lokal yang sering menjadi wacana dalam diskusi-diskusi. Penulis buku ini mengetahui keterbatasannya sendiri untuk menjangkau predikat sebagai kritikus local genius sastra NTT, meskipun langkah ini sudah dimulainya dengan menghadirkan bukunya ini.

Dan untuk mengakhiri kajian ini penulis mengutip pendapat Yoseph Yapi Taum yang ditulis dalam “Epilog” buku ini. Bahwa buku ini dapat disebut sebagai sebuah refleksi pergulatan daerah tentang kesusasteraannnya. Semangat sang penulis untuk menggali dan memperkenalkan kepada publik Indonesia dan dunia tentang adanya Sastrawan NTT dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk merebut dan memberi ruang bagi sebuah kreasi estetika sastra yang selama ini masih terasa asing di telinga publik Indonesia…. Melalui buku yang diterbitkan oleh Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta inilah publik Indonesia dan dunia mendapatkan informasi awal tentang kekayaan dan kekhasan kesusastraan NTT.

DAFTAR PUSTAKA

 
Bahari, Nooryam. 2008. Kritik Seni: Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jassin, H. B. 1997. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Jassin, H. B. 1985. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I, II, III.  Jakarta: Gramedia.
Jassin, H. B. Angkatan 66 Prosa dan Puisi 1,2. Jakarta: Haji Mas Agung.
Kushartanti, dkk, Ed. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama.
Papo, Jakobus. 2005. Ilmu Budaya Dasar (Buku Modul Kuliah, Sekolah Tinggi Pastoral Reksa), Manuskrip, Ende.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional RI.  1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta:  Balai Pustaka. *

(Telah dimuat dalam Majalah Ilmiah Indikator, Volume XIV, Nomor 2, September 2012, diterbitkan Lembaga Publikasi Universitas Flores, Ende)

Post a Comment for "Kajian Buku: Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT"