Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berpikir Ilmiah

Oleh Yohanes Sehandi  
Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores, Nomor Hp 081339004021

Kemampuan berpikir atau menalar merupakan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Ditambah dengan kemampuan berbahasa, manusia mampu mengembangkan berbagai jenis pengetahuan (knowledge) yang diterimanya lewat pencerapan pancaindra menjadi berbagai jenis ilmu pengetahuan (science). Ilmu pengetahuan yang dimaksudkan di sini adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya melalui metode-metode ilmiah atau keseluruhan sistem pengetahuan yang telah dibakukan secara sistematis. Ilmu pengetahuan itu kemudian diaplikasikan manusia menjadi berbagai jenis teknologi.   

Dengan modal kemampuan berpikir dan berbahasa, manusia bisa menghubungkan satu konsep dengan konsep yang lain, pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain, untuk  menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat diterima akal sehat (masuk akal).

Kalau berpikir diartikan secara sederhana sebagai cara menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, 2001, hlm. 872) dan ilmiah diartikan sebagai sesuatu yang bersifat ilmu atau secara ilmu pengetahuan (KBBI, 2001, hlm. 423), maka berpikir ilmiah adalah “suatu proses akal budi atau penalaran  yang  menggunakan pertimbangan keilmuan dalam memutuskan sesuatu.”

Sebagai suatu proses akal budi atau penalaran, berpikir ilmiah merupakan suatu kegiatan analitis yang mempergunakan logika ilmiah, menggunakan suatu pola berpikir tertentu, sehingga mampu menghasilkan kesimpulan yang menurut tolok ukur tertentu sahih dan dapat diterima  akal sehat. Kemampuan berpikir menalar ini merupakan kekuatan utama manusia dalam mengembangkan berbagai kebudayaannya, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Dengan modal kemampuan berpikir ilmiah dan berbahasa, seorang ilmuwan berusaha untuk selalu mencari sesuatu yang baru (temuan baru), mendalaminya, dan mengembangkan temuan baru itu dalam bidang keilmuan yang digelutinya.  Watak seorang ilmuwan, sebagaimana digambarkan  Sony Keraf dan Mikhael Dua dalam buku Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis (2005, hlm. 6) adalah “orang yang selalu penasaran ingin mengetahui lebih jauh dan lebih banyak lagi, orang yang selalu tidak puas dan selalu gelisah mempertanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu, orang yang tidak mudah percaya kepada segala teori dan hukum ilmiah yang telah diwariskan para ilmuwan sebelumnya.”

Sementara Nana Sudjana dalam Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah (1991, hlm. 1) menyatakan, tugas utama seorang ilmuwan adalah aktif dalam menguji konsep dan prinsip, disertai sikap kritis, terbuka, teliti, tidak lekas puas, mampu menggunakan teori, konsep, prinsip, postulat dalam menjelaskan berbagai gejala dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.            

Sifat-sifat yang disebutkan di atas merupakan pencerminan berpikir ilmiah (sikap ilmiah) yang pada akhirnya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seorang ilmuwan atau seorang terpelajar. Pengetahuan ilmiah yang telah dimiliki seseorang disertai sikap ilmiah yang ditunjukkannya dalam cara berpikirnya, menjadi dasar pijakan seorang ilmuwan atau seorang terpelajar  dalam melakukan pekerjaannya.

Pada dasarnya, berpikir ilmiah merupakan penggabungan dua pola berpikir manusia, yakni pola berpikir rasional atau logika deduktif dan pola berpikir empiris atau logika induktif. Rasionalisme dan empirisme ini menjadi tumpuan berpikir manusia. Rasionalisme mengandalkan kemampuan akal budi atau rasio atau penalaran, sedangkan empirisme mengandalkan fakta atau bukti nyata dalam pengalaman lapangan atau pengalaman empiris. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang tidak hanya didasarkan atas rasio, tetapi juga dapat dibuktikan secara empiris.

Dalam pola berpikir rasional atau deduktif, menarik suatu kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan rasio atau akal sehat. Hasil pola berpikir rasional menjadi dasar dalam menyusun hipotesis, yakni jawaban sementara atas suatu permasalahan yang kebenarannya masih perlu diuji atau dibuktikan melalui proses keilmuan selanjutnya. Proses keilmuan selanjutnya yang dimaksudkan di sini  adalah proses penelitian ilmiah yang akan dilakukan seorang ilmuwan sebagai kelanjutan proses berpikir ilmiah.

Sebaliknya, dalam pola berpikir empiris atau induktif, menarik suatu kesimpulan dimulai dari kenyataan atau fakta dan data (datum) khusus menuju pada pernyataan yang bersifat umum. Proses berpikir empiris tidak dimulai dari teori yang bersifat umum, tetapi dari fakta atau data khusus berdasarkan pengamatan lapangan atau pengalaman empiris.  Yang dimaksudkan dengan fakta di sini adalah segala sesuatu yang benar-benar ada dan terjadi, sedangkan data adalah bukti nyata tentang adanya fakta. Fakta atau data hasil pengamatan atau pengalaman empiris disusun, diolah, dikaji untuk kemudian ditarik pengertiannya dalam bentuk pernyataan atau kesimpulan yang bersifat umum. 

Standar kerja seorang ilmuwan dalam melakukan tugas keilmuannya senantiasa berdasarkan empat langkah utama tonggak berpikir ilmiah, yang meliputi: merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, melakukan verifikasi data, dan menarik kesimpulan. Dengan demikian, hakikat berpikir ilmiah meliputi berpikir rasional (deduktif), berpikir empiris (induktif), dan berpikir gabungan (deduktif dan induktif). Dalam pelaksanaan tugas keilmuannya, seorang ilmuwan di samping dituntut untuk berpikir ilmiah, juga dituntut untuk mengikuti empat langkah utama tonggak berpikir ilmiah tersebut. * 

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 22 September  2012)









Post a Comment for "Berpikir Ilmiah"